Sustainability 17A #53
–bagian 1 dari 5–
Dwi R. Muhtaman,
sustainability partner
“It’s not about what it is.
It’s about what it can become.”
—ONCE-LER, The Lorax screenplay (2012) 1
Shaming, pada mulanya…
Pada tahun 1987, Sam LaBudde yang berusia tiga puluh tahun masuk ke kantor Earth Island Institute di San Francisco. Dia mencari pekerjaan dalam perjuangan melawan perusakan hutan hujan. Namun, ia keluar dari sana dengan tujuan ke Meksiko. Mau menjadi mata-mata. Di lobi Earth Island, LaBudde membaca sebuah artikel tentang industri tuna yang membunuh jutaan lumba-lumba dalam jaring insang—jaring besar yang mengelilingi sekumpulan tuna dan kemudian dikencangkan untuk menangkap semua yang ada di dalam “kantongnya,” termasuk lumba-lumba, yang akhirnya mati lemas atau hancur dalam alat yang menarik jaring tersebut. Artikel itu sangat kuat. Tetapi tidak memiliki visual. Alih-alih menyelamatkan hutan hujan, LaBudde meyakinkan Earth Island untuk mengirimkan kamera video kepadanya (pada tahun 1980-an, sebelum camcorder umum digunakan). Ia memulai misi untuk mendapatkan pekerjaan di kapal penangkap tuna sebagai kedok untuk merekam pembantaian lumba-lumba.
LaBudde berhasil menjadi awak kapal dan kemudian menjadi juru masak di atas kapal penangkap ikan Panama yang beroperasi dari Ensenada, Meksiko. Dengan risiko pribadi yang besar, ia merekam beberapa kaset yang menunjukkan lumba-lumba mati dan sekarat yang terjerat dalam peralatan penangkapan tuna. Earth Island menggunakan rekaman itu untuk meluncurkan kampanye media di televisi nasional dan lokal di AS. Berita ini ditulis dalam surat kabar dan majalah, termasuk sebuah seri tiga bagian oleh Kenneth Brower di The Atlantic Monthly. Kampanye ini didasarkan pada rasa malu, yang melibatkan eksposur para pelanggar kepada publik Amerika. Sasaran rasa malu ini adalah industri tuna, khususnya tiga perusahaan tuna terbesar: StarKist, Bumble Bee, dan Chicken of the Sea.
Kisah tentang pembantaian lumba-lumba itu oleh industri tuna dituliskan dalam sebuah buku yang berjudl: Is shame necessary?: New uses for an old tool (2015). Ditulis oleh Jennifer Jacquet seorang asisten profesor di Departemen Studi Lingkungan di Universitas New York. Ia bekerja pada isu-isu yang berkaitan dengan tragedi milik bersama dan kerja sama. Ini adalah buku pertamanya.
Pada beberapa saat setelah itu, seperti diceritakan pada bukunya, ibunya membelikan sebuah buku berjudul 50 Simple Things Kids Can Do to Save the Earth (1990), dan atas saran buku itu ia menulis surat permohonan informasi kepada Earth Island Institute. Beberapa minggu kemudian, ia menerima balasan dari kelompok yang sama yang dikunjungi LaBudde di San Francisco, yang tiba di kotak surat di Ohio. Amplop itu berisi sebuah foto hitam-putih yang mengerikan yang diambil oleh LaBudde, menunjukkan seekor lumba-lumba yang telah mati dan diangkat ke atas kapal tuna. Materi kampanye dari Earth Island telah mempermalukan industri tuna, tetapi baginya, itu membangkitkan rasa bersalah. Terlepas dari pendapat orang lain, hati nuraninya mengatakan bahwa apa yang terjadi pada lumba-lumba itu salah (belum lagi apa yang terjadi pada tuna). Rasa bersalah adalah perasaan yang pemicunya adalah diri sendiri, dan ketidaknyamanannya mengarah pada pengaturan diri sendiri. Melihat gambar itu adalah pertama kalinya ia merasa sangat sedih untuk makhluk yang belum pernah ditemui—dan pertama kali, tetapi bukan yang terakhir, ia merasa bersalah karena telah memakan sesuatu dari hasil pengambilan dari alam yang amat buruk.
Pada usia sembilan tahun, Jennifer sudah belajar apa yang diajarkan tahun 1980-an sebagai ritual baru menuju kedewasaan: mengurangi rasa bersalah sebagai konsumen. Ia bersikeras agar keluarganya berhenti membeli tuna kalengan, dan ia bukan satu-satunya. Bukti tentang lumba-lumba yang cacat dan mati membuat orang di seluruh dunia merasa sedih dan marah, serta memicu boikot tuna dalam skala besar oleh rumah tangga, yang kemudian memaksa perubahan kebijakan oleh perusahaan tuna besar. Dalam sebuah wawancara saat itu, Anthony O’Reilly, mantan CEO Heinz (yang memiliki StarKist), mengatakan, “Saya pikir akan menjadi CEO yang buruk jika tidak memperhatikan pelanggannya. Dan karena kasih sayang anak-anak terhadap Flipper serta adegan mengerikan yang ditampilkan dalam film LaBudde, muncul gelombang kritik yang semakin besar—sangat terorganisir—yang menurut Jennifer menyampaikan sentimen yang berkembang di kalangan anak sekolah bahwa metode penangkapan ikan sebelumnya tidak lagi dapat diterima.”
Anak-anak sekolah itu dan orang tua mereka menjadi pembeli yang lega ketika label ekologi “dolphin safe” diperkenalkan. Semua merasa lebih baik dan mulai makan tuna lagi. Untuk sementara masalah tuna atau label dolphin-safe tak lagi menjadi pikiran. Tetapi Jennifer terpaksa memikirkannya kembali. “…itu karena saya menyadari bahwa kami telah tertipu,” tulisnya dengan geram.
“Kami telah tertipu” ini bisa jadi benar.
Raz Godelnik dalam buku Rethinking corporate sustainability in the era of climate crisis: A strategic design approach menjelaskan mengapa busnis sustainability yang banyak dikoar-koarkan itu justru tidak sustainable. Business for Social Responsibility (BSR) adalah salah satu organisasi terkemuka di bidang bisnis berkelanjutan, dengan “jaringan lebih dari 250 perusahaan anggota dan mitra lainnya” serta tujuan “membangun dunia yang adil dan berkelanjutan.” Pada tahun 2012, BSR menerbitkan laporan peringatan 20 tahun mereka, yang mencakup pernyataan berikut: “Saat kami merefleksikan 20 tahun terakhir, tampaknya segalanya telah berubah, tetapi pada saat yang sama, tidak ada yang berubah.” Laporan tersebut menyatakan bahwa meskipun kemajuan besar telah dicapai dalam keberlanjutan bisnis, kemajuan tersebut masih belum cukup. “Berdasarkan banyak ukuran objektif, kemajuan berlangsung terlalu lambat,” demikian disampaikan dalam laporan tersebut.
Kritik terhadap lambatnya dan/atau tidak cukupnya kemajuan dalam keberlanjutan bisnis bukanlah hal yang jarang terjadi. Lacy et al. (2019), seperti dikutip Godelnik, misalnya, berpendapat bahwa meskipun “dalam dekade terakhir, keberlanjutan telah tertanam kuat dalam agenda perusahaan… era baru keberlanjutan yang terintegrasi, yang sebelumnya dengan percaya diri diprediksi oleh para CEO, mungkin justru terasa semakin jauh dari kenyataan.” C. B. Bhattacharya (2020), Ketua Bidang Keberlanjutan dan Etika di Katz Graduate School of Business, University of Pittsburgh, dalam bukunya Small Actions, Big Difference, menulis: “Sayangnya, penelitian saya mengarah pada kesimpulan bahwa gerakan keberlanjutan perusahaan saat ini tidak berkelanjutan.”
Selain itu, laporan yang diterbitkan oleh United Nations Global Compact pada tahun 2020 menunjukkan bahwa “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) memberikan kerangka kerja yang kuat untuk mengatasi banyak ketidaksetaraan ini, tetapi bukti menunjukkan dengan jelas bahwa kita tidak berada di jalur yang tepat untuk mencapainya. Meskipun ada beberapa titik terang dalam kemajuan di berbagai bidang, perkembangan menuju SDGs masih lambat atau bahkan mengalami kemunduran” (Russell Reynolds Associates dan UN Global Compact 2020, 5) 2.
Laporan lain dari BSR: “The Elephant in the Sustainability Room” (2024) memberi isyarat keputusasaan. Setelah satu dekade menetapkan komitmen lingkungan, perusahaan semakin beralih ke tahap aksi. Namun, fase implementasi ini terbukti penuh tantangan: meskipun ada beberapa kemajuan, seperti dalam efisiensi energi atau dekarbonisasi operasi mereka sendiri, banyak perusahaan mendapati bahwa kemajuan mereka berjalan lebih lambat dari yang diharapkan. Kurangnya kebijakan pendukung memang berkontribusi terhadap tantangan ini, tetapi dalam banyak kasus, hambatan tersebut juga disebabkan oleh model bisnis yang bertentangan dengan target keberlanjutan.
Tidak ada perusahaan yang benar-benar berkomitmen pada aksi berkelanjutan yang ingin berada dalam situasi di mana mereka gagal memenuhi ambisi keberlanjutan yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, ketika ada ketegangan antara pertumbuhan bisnis dan keberlanjutan, penting untuk memahami sumber permasalahannya dan mengambil tindakan yang sepadan agar dapat menciptakan nilai bagi bisnis dan masyarakat dalam jangka panjang 3.
Apa yang dirasakan Jennifer beberapa dekade yang lalu tidak banyak berubah. Logo dolphin-safe yang diperkenalkan pada tahun 1990 hanyalah salah satu dari banyak alat pasar yang baru diperkenalkan untuk “menyelamatkan dunia.” Pada tahun yang sama, pemerintah AS menetapkan undang-undang makanan organik (meskipun sertifikasi makanan organik pertama kali didirikan di Santa Cruz, California, pada tahun 197). Forest Stewardship Council, sebuah skema internasional, dibentuk pada tahun 199 setelah bertahun-tahun diskusi tentang bagaimana mengesahkan praktik kehutanan yang berkelanjutan. Marine Stewardship Council, program utama untuk mensertifikasi perikanan berkelanjutan, dimulai pada tahun 1997, tahun yang sama dengan didirikannya Fairtrade International. Banyak label lainnya menyusul.
Sebelum adanya dorongan untuk sertifikasi ini, tujuan dari kampanye rasa malu dan boikot adalah untuk mengubah perusahaan atau industri secara fundamental. Para aktivis seperti Cesar Chavez, yang memimpin pemogokan dan boikot anggur meja pada tahun 1960-an, tidak akan menghentikan upaya mereka hanya dengan menempelkan label pada anggur yang bertuliskan, “DIPANEN OLEH BURUH YANG MENDAPAT UPAH MINIMUM.” Tujuan mereka bukan hanya untuk memenuhi keprihatinan segelintir konsumen, tetapi untuk mengubah aturan federal tentang upah minimum dan keselamatan kerja bagi semua pekerja pertanian.
Namun, pada tahun 1980-an, gagasan untuk langsung mengubah pasokan mulai tergeser oleh gagasan untuk mengubah permintaan. Strategi ini, yang bahkan didukung oleh para aktivis lingkungan karena era Reagan membawa iklim politik yang semakin tidak ramah terhadap regulasi, menganggap dompet konsumen sebagai sarana persuasi paling kuat. Strategi ini memungkinkan konsumen untuk tetap memiliki “kebebasan memilih” dan menyarankan bahwa pembeli yang diliputi rasa bersalah bisa menghindari perasaan tidak nyaman mereka hanya dengan mengubah kebiasaan belanja mereka.
Buku yang ditulis Jennifer ini mengeksplorasi asal-usul dan masa depan rasa malu (Shame)—mengungkap pelanggar kepada ketidaksetujuan publik—bisa disesuaikan untuk melayani kita dengan cara-cara baru. Bagaimana rasa malu berperan dalam norma sosial yang terus berubah dan bagaimana ia bisa menjadi alat yang efektif dalam menghadapi tantangan besar seperti perubahan iklim, pelanggaran hak azasi manusia dan eksploitasi sumber daya alam. Dengan dunia yang semakin terhubung dan terdistraksi, dapatkah rasa malu menjadi kekuatan yang lebih efektif dibandingkan rasa bersalah?
Menurut Jennifer Jacquet rasa malu (shame) dapat digunakan sebagai alat sosial untuk mendorong perubahan perilaku, terutama dalam konteks masalah lingkungan dan tanggung jawab korporasi. Jacquet berpendapat bahwa meskipun rasa malu sering dianggap sebagai emosi negatif, sebenarnya ia bisa menjadi mekanisme efektif untuk menciptakan tekanan sosial terhadap individu maupun institusi yang bertindak tidak etis.
Jacquet membedakan antara rasa malu (shame) dan rasa bersalah (guilt). Rasa bersalah lebih bersifat internal dan individual, sedangkan rasa malu adalah fenomena sosial yang terjadi ketika seseorang atau kelompok disorot secara publik karena tindakan mereka. Dalam konteks buku ini, Jacquet menyoroti bagaimana rasa malu dapat digunakan untuk menekan korporasi agar bertindak lebih bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Praktik public shaming (mempermalukan secara publik) dapat menjadi strategi efektif untuk mengubah perilaku korporasi yang merusak lingkungan atau melanggar norma sosial. Beberapa mekanisme shaming yang digunakan meliputi:
- Kampanye Publik – Masyarakat, aktivis, atau media mengekspos perilaku buruk korporasi untuk menciptakan tekanan sosial.
- Pemeringkatan dan Transparansi – Publikasi daftar perusahaan yang tidak bertanggung jawab, seperti yang dilakukan oleh LSM atau media.
- Boikot dan Sanksi Sosial – Masyarakat berhenti membeli produk dari perusahaan yang terkena shaming.
- Tekanan dari Investor atau Mitra Bisnis – Publisitas negatif dapat menyebabkan investor menarik dukungan mereka.
Jacquet menunjukkan bahwa rasa malu yang efektif harus memenuhi beberapa syarat: target yang jelas (korporasi, bukan individu pekerja), eksposur yang luas, dan adanya tekanan nyata yang mempengaruhi reputasi serta keuntungan perusahaan. Berbagai contoh kasus di mana kampanye shaming berhasil memaksa perusahaan untuk mengubah praktik mereka. Beberapa contoh yang relevan, termasuk di sektor kehutanan, kelapa sawit, dan industri barang konsumsi, antara lain:
1. Nike (Industri Pakaian dan Sepatu)
– Pada 1990-an, Nike mengalami tekanan besar akibat laporan mengenai eksploitasi buruh anak dan kondisi kerja buruk di pabrik-pabrik pemasok mereka di Asia. Kampanye oleh aktivis dan media akhirnya memaksa Nike untuk meningkatkan transparansi dan memperbaiki standar ketenagakerjaan mereka.
2. McDonald’s dan Greenpeace (Industri Sawit dan Fast Food)
– Pada 2006, Greenpeace meluncurkan kampanye melawan McDonald’s terkait penggunaan kedelai dari hutan yang ditebang di Amazon untuk pakan ternak mereka. Kampanye ini berhasil, dan McDonald’s pun berkomitmen untuk hanya membeli kedelai dari sumber yang berkelanjutan.
3. Asia Pulp & Paper (APP) dan Rainforest Alliance (Industri Kehutanan)
– APP, salah satu perusahaan pulp dan kertas terbesar, menjadi target kampanye shaming dari Greenpeace dan Rainforest Alliance karena praktik deforestasi besar-besaran di Indonesia. Akibat tekanan tersebut, beberapa klien besar seperti Mattel dan Nestlé menghentikan kontrak dengan APP, yang akhirnya memaksa perusahaan ini untuk mengadopsi kebijakan kehutanan yang lebih ramah lingkungan pada 201.
4. Nestlé dan Kampanye “Killer” (Industri Consumer Goods dan Sawit)
– Nestlé mendapat kecaman karena menggunakan minyak sawit dari pemasok yang merusak hutan hujan di Indonesia. Greenpeace meluncurkan kampanye viral dengan video parodi Kit-Kat yang menampilkan seorang pekerja menggigit jari orangutan. Akibatnya, Nestlé akhirnya mengadopsi kebijakan keberlanjutan baru dan menghentikan kerja sama dengan pemasok yang tidak patuh pada standar lingkungan.
Jelas Shaming bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk memaksa perubahan perilaku, terutama bagi korporasi yang bergantung pada reputasi dan citra publik. Namun, efektivitasnya bergantung pada sejauh mana masyarakat, media, dan pemangku kepentingan lainnya berpartisipasi dalam kampanye tersebut. Dalam beberapa kasus, perusahaan dapat mengabaikan rasa malu jika mereka tidak melihat dampak nyata terhadap keuntungan mereka. Oleh karena itu, Jacquet menekankan bahwa kampanye shaming harus ditargetkan dengan baik, dilakukan secara luas, dan disertai dengan tekanan ekonomi agar benar-benar menghasilkan perubahan.
Bersambung pada bagian 2 dari 5 bagian.
1 Kutipan “It’s not about what it is. It’s about what it can become.” diucapkan oleh karakter Once-ler dalam film animasi The Lorax (2012), yang diadaptasi dari buku Dr. Seuss berjudul sama. Once-ler mengucapkan kata-kata ini saat menjelaskan pandangannya tentang menebang pohon Truffula untuk membuat Thneeds—produk multifungsi yang ia yakini akan sukses besar. Kalimat ini mencerminkan cara pikir kapitalis yang sering melihat sumber daya alam bukan berdasarkan keberadaannya, tetapi berdasarkan potensi keuntungan yang bisa diperoleh dari eksploitasi sumber daya tersebut. Di satu sisi, kutipan ini bisa diartikan sebagai sesuatu yang positif—menekankan visi, inovasi, dan kemungkinan yang lebih besar dari sesuatu yang tampak sederhana. Namun, dalam konteks film, kutipan ini justru menjadi simbol pemikiran yang merusak lingkungan: Once-ler terlalu fokus pada apa yang bisa menjadi tanpa mempertimbangkan dampak negatif dari tindakannya terhadap ekosistem. The Lorax adalah kisah alegoris yang mengkritik eksploitasi sumber daya alam, kapitalisme tanpa batas, dan dampak industri terhadap lingkungan. Once-ler mewakili pengusaha yang awalnya hanya ingin mencari keuntungan, tanpa mempertimbang-kan konsekuensi ekologis. Dengan filosofi bahwa nilai sesuatu bergantung pada potensinya untuk dieksploitasi, ia akhirnya menghancurkan seluruh hutan Truffula, menyebabkan punahnya spesies yang bergantung pada ekosistem tersebut. Di akhir cerita, Once-ler menyesali tindakannya setelah semuanya terlambat. Ini menjadi pesan kuat tentang pentingnya keseimbangan antara inovasi dan keberlanjutan, serta dampak buruk dari keserakahan yang mengabaikan lingkungan. Kutipan ini bisa dikaitkan dengan banyak fenomena di dunia nyata, misalnya:
– Deforestasi untuk industri seperti kelapa sawit, kayu, atau pertambangan, di mana hutan tidak lagi dihargai sebagai ekosistem tetapi sebagai lahan yang bisa dikembangkan untuk kepentingan ekonomi.
– Urbanisasi dan pembangunan tanpa batas, di mana lahan hijau sering dianggap lebih berharga jika diubah menjadi kompleks perumahan atau pusat perbelanjaan.
– Inovasi teknologi tanpa pertimbangan etika, di mana kemajuan sering didorong oleh potensi keuntungan tanpa memperhatikan dampak sosial atau ekologis.
Kutipan ini memiliki dua sisi makna—di satu sisi, itu adalah ungkapan tentang visi dan potensi, tetapi di sisi lain, dalam konteks film The Lorax, itu adalah peringatan tentang bahaya eksploitasi berlebihan yang mengorbankan lingkungan demi keuntungan jangka pendek. Kutipan ini dikutip dari Jacquet, J. (2015). Is shame necessary?: New uses for an old tool [E-book edition]. Pantheon Books.
2 Godelnik, R. (2021). Rethinking corporate sustainability in the era of climate crisis: A strategic design approach.Palgrave Macmillan. Raz Godelnik adalah seorang akademisi dan praktisi di bidang keberlanjutan bisnis serta desain strategis. Ia menjabat sebagai Associate Professor of Strategic Design and Management di Parsons School of Design, The New School. Penelitiannya berfokus pada inovasi dalam keberlanjutan perusahaan, model bisnis yang berorientasi pada iklim, dan strategi desain untuk menghadapi krisis iklim. Godelnik telah menulis berbagai artikel serta buku, termasuk Rethinking Corporate Sustainability in the Era of Climate Crisis: A Strategic Design Approach (2021), yang mengeksplorasi pendekatan baru dalam keberlanjutan bisnis melalui lensa desain strategis. Sebelum berkarier di dunia akademik, ia memiliki pengalaman dalam kewirausahaan berkelanjutan dan pernah mendirikan beberapa startup yang berfokus pada inovasi hijau.
3 Berruti, G.; Dugard, J.; Ling, K.; Moubarak, S. ; 2024. “The Elephant in the Sustainability Room.” Report.
BSR, San Francisco.