halaman drm #49
Seni untuk Perlawanan:
Dari Guernica sampai Gaza,
Dari Banksy hingga Darwish
Dwi R. Muhtaman
“Seni bukanlah cermin yang memantulkan kenyataan,
melainkan palu untuk membentuknya.”
— Bertolt Brecht 1
“Tugas seorang seniman adalah membuat
revolusi terasa tak terelakkan.”
— Toni Cade Bambara 2
“Seni seharusnya menghibur mereka yang gelisah,
dan mengguncang mereka yang nyaman.”
— Banksy 3
Suara Hati dari Volkov
“Setiap hari selama berbulan-bulan, hati saya diliputi rasa sakit yang mendalam,” katanya. “Saya berasal dari Israel. Saya tinggal di sana. Saya mencintainya, itu rumah saya. Tetapi apa yang sedang terjadi sekarang sungguh keji dan mengerikan dalam skala yang tak terbayangkan.”
Ilan Volkov, yang memimpin BBC Scottish Symphony Orchestra, menyampaikan seruan tulus itu untuk mengakhiri penderitaan di Gaza. Dalam salah satu festival musik klasik terbesar di dunia, BBC Proms, konduktor asal Israel itu berbicara mengenai krisis yang sedang berlangsung, menyoroti dampak menghancurkan terhadap warga Palestina yang tidak bersalah.
Dalam konser yang digelar di Royal Albert Hall yang ikonik di London, Volkov menyampaikan pidato kepada para penonton dengan penuh kepedihan atas situasi tersebut. Menanggapi sebagian penonton yang bereaksi negatif terhadap komentar politiknya, Volkov dengan tegas menyatakan:
“Anda boleh pergi jika tidak ingin mendengar politik. Politik adalah bagian dari kehidupan.”
Volkov melanjutkan dengan menggambarkan betapa suramnya krisis kemanusiaan yang terjadi: “Warga Palestina yang tak bersalah dibunuh dalam jumlah ribuan, terusir berkali-kali, tanpa rumah sakit, tanpa sekolah, tanpa tahu kapan akan mendapat makanan berikutnya.”
Ia menekankan bahwa situasi di Gaza tidak dapat diselesaikan hanya oleh orang Israel, Yahudi, atau Palestina sendiri. Sambil menatap penonton, Volkov memohon dengan sungguh-sungguh: “Saya memohon kepada Anda semua untuk melakukan apa pun yang bisa Anda lakukan untuk menghentikan kegilaan ini. Setiap tindakan sekecil apa pun berarti, sementara pemerintah terus ragu dan menunggu. Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Setiap detik yang berlalu mengancam keselamatan jutaan orang.”
Pidato ini disampaikan di tengah meningkatnya ketegangan di BBC Proms, setelah sebelumnya sekelompok seniman yang menamakan diri “Jewish Artists for Palestine” melakukan protes terhadap apa yang mereka anggap sebagai sikap pro-Israel dari Melbourne Symphony Orchestra, yang sempat menyebabkan konser terhenti sementara.
Banksy dan Suara Dinding
Pagi itu, London masih berkabut. Jalanan basah, lampu lalu lintas berpendar lesu di antara bayangan gedung tua. Orang-orang berjalan cepat melewati gedung High Court, kopi di tangan, sibuk dengan rutinitas. Tapi langkah mereka tiba-tiba terhenti. Di dinding batu yang dingin, muncul lukisan, nampak baru semalam dibuat.
Di sudut dinding abu-abu dekat High Court, sebuah mural misterius — seorang pria tergeletak, setengah tertutup bayangan, setengah tampak, tubuhnya terpelintir seolah dipukuli oleh sosok tak terlihat. Pada 8 September 2025, sebuah mural jadi pemandangan baru di dinding bagian luar Queen’s Building, kompleks Royal Courts of Justice (gedung pengadilan tinggi) di London. Tak ada wajah, hanya gerak. Tak ada darah, hanya kesunyian. Tapi pesannya terasa menusuk: kekerasan yang disahkan oleh hukum.
Tak ada tanda tangan, tak ada publikasi resmi. Tapi semua orang tahu siapa pelakunya: Banksy. Itu adalah karya Banksy.
Banksy mengautentikasi mural tersebut lewat unggahan di Instagram dengan caption “Royal Courts Of Justice. London.”
Mural itu menggambarkan seorang hakim memakai wig dan jubah tradisional, memukul seorang demonstran yang terlentang di tanah dengan palu pengadilan (gavel). Demonstran tersebut memegang placard (poster) yang penuh “tetesan darah” (blood-splattered).
Beberapa jam kemudian, mural itu dikerumuni orang. Kabar itu menyebar ke seluruh kota. Si seniman misterius yang selalu muncul tanpa wajah kembali membuat Inggris tertegun — kali ini, di jantung sistem keadilannya sendiri.
Polisi datang. Pihak otoritas mencoba menghapusnya — namun cat yang digunakan terlalu kuat. Mereka akhirnya menutupinya dengan papan kayu. Ironisnya, tindakan itu justru membuat publik makin penasaran. Orang-orang mengintip dari celah papan, menyalakan kamera, dan memotret mural yang kini menjadi rahasia umum.
Namun, seperti yang sudah sering terjadi, menutupi Banksy justru memperkuat suaranya.
Menjelang siang, orang-orang berdatangan. Pengacara, mahasiswa, turis, pedagang kaki lima — semua penasaran. Mereka mengintip ke balik papan, memotret, meninggalkan bunga, dan menulis pesan:
“Kebenaran tidak bisa dihapus.”
“Keadilan tidak buta — hanya dibungkam.”
London, kota yang telah lama menyembunyikan ketidakadilannya di balik hukum, kembali dipermalukan oleh selembar dinding.
Gedung tempat mural itu muncul adalah gedung bersejarah, gaya Victorian gothic revival, berusia sekitar 143 tahun, dan masuk dalam daftar listed building (bangunan dilindungi) yang harus mempertahankan karakter arsitektur aslinya. Oleh karena itu, otoritas pengadilan (HM Courts & Tribunals Service, HMCTS) menyatakan mural tersebut harus dihapus.
Pihak keamanan dan petugas pengadilan dengan sigap menutup mural itu sementara dengan lembaran plastik hitam dan memasang penghalang metal. Penyidik dari Metropolitan Police membuka penyelidikan atas mural tersebut sebagai potensi criminal damage (kerusakan properti ilegal).
Mural di samping High Court London (2025) hanyalah satu babak baru dalam perjalanan panjangnya melawan ketidakadilan. Lukisan itu datang di tengah meningkatnya represi terhadap aktivis pro-Palestina di Inggris. Ketika mural itu dihapus, publik justru menilai: Sensor adalah bentuk pengakuan bahwa kebenaran telah menyentuh saraf kekuasaan. Banksy tidak hadir untuk menjelaskan, tetapi dinding itu berbicara sendiri: tentang kekuasaan yang memukul dan rakyat yang terbaring.
Banksy adalah seniman jalanan (street artist) paling misterius dan berpengaruh di dunia saat ini—ikon global yang menggunakan seni mural sebagai alat perlawanan terhadap ketidakadilan sosial, perang, kapitalisme, dan penindasan. Identitas aslinya masih belum diketahui hingga kini, meskipun banyak spekulasi beredar bahwa ia berasal dari Bristol, Inggris, dan mulai aktif sejak awal 1990-an.
Meskipun anonim, pengaruh Banksy melampaui dunia seni: ia berhasil mengubah seni jalanan yang dulu dianggap vandalisme menjadi medium protes politik dan humanisme yang kuat, sekaligus menantang tatanan sosial dan moral dunia modern.
Banksy selalu muncul dari tempat tak terduga. Ia tak punya wajah publik, tak pernah memberi wawancara langsung. Tapi pesannya nyaring —lebih jujur dari banyak pidato politik.
“I come from Bristol,” begitu yang diketahui sedikit tentang asalnya. Ia memulai kariernya sebagai graffiti artist pada akhir 1980-an, dalam subkultur bawah tanah yang menyatukan musik, protes, dan seni jalanan. Di saat orang-orang sibuk mencari galeri, Banksy memilih dinding kota sebagai kanvas nurani.
Ia kemudian mengembangkan gaya stencil — cetakan cepat yang bisa disemprot dalam hitungan detik sebelum polisi datang. Tapi kecepatannya bukan sekadar teknis; itu metafora: “Dalam masyarakat yang tak mau mendengarkan, seni harus berbicara dengan kecepatan kejutan.”
Tidak ada yang tahu siapa Banksy sebenarnya — dan itu justru membuatnya abadi. Anonimitas baginya bukan misteri, melainkan bentuk perlawanan.
Berasal dari skena graffiti bawah tanah di Bristol pada 1990-an, Banksy menjadikan dinding sebagai media pernyataan moral. Ia tidak melukis untuk dijual; ia melukis untuk mengguncang nurani.
“Seni seharusnya menenangkan yang gelisah, dan menggelisahkan yang tenang.”
— Banksy
Bagi Banksy, seni adalah senjata moral yang ditembakkan dari balik bayangan.
Ketika Dinding Bicara, Kekuasaan Gemetar
Seluruh karier Banksy adalah bentuk aktivisme visual. Ia tak sekadar menggambar, tetapi melawan — perang, kolonialisme, kapitalisme, dan kemunafikan sosial. Dalam salah satu karyanya di Betlehem, seorang pria bertopeng melempar bukannya granat, tapi bunga. Lukisan itu berjudul The Flower Thrower. Ia seolah berkata bahwa cinta bisa menjadi bentuk perlawanan paling berani di dunia yang sudah terlalu terbiasa dengan kekerasan.
Karyanya di Palestina adalah yang paling menggugah. Pada 2017, ia membangun “The Walled Off Hotel” — sebuah hotel nyata yang berdiri tepat di depan tembok pemisah Israel. Di setiap jendela, pemandangan yang tampak bukan pantai atau taman, melainkan tembok beton setinggi delapan meter dengan kawat berduri.
“It’s not a joke hotel. It’s a protest,” kata Banksy dalam salah satu pernyataannya. Di ruang-ruang hotel itu tergantung lukisan anak-anak yang berlari di antara reruntuhan, burung-burung yang terperangkap, dan bendera yang tak bisa berkibar. Seni di sini bukan sekadar estetika, tapi saksi sejarah.
Ketika karyanya Girl with Balloon dilelang di Sotheby’s London pada 2018, publik bersorak saat palu ketok harga — hanya untuk terkejut ketika lukisan itu menghancurkan dirinya sendiri melalui mesin penghancur tersembunyi di bingkainya. Tindakan itu bukan sabotase, tapi satire tajam terhadap komersialisasi seni dan kerakusan pasar.
“Kalau seni dijual kepada sistem yang ia kritik,” kata Banksy suatu kali, “maka seni telah kalah.”
Lukisan di dinding High Court bukan sekadar vandalisme. Ia adalah gugatan moral — surat dakwaan terhadap sistem yang menindas sambil berselimut hukum. Sejarawan seni Sarah Hughes menulis di The Guardian (Oktober 2025): “Karya Banksy di samping High Court bukan tindakan vandalisme. Itu kesaksian. Sebuah pernyataan warga yang ditulis dengan cat.”
Dan mungkin karena itu pula negara terburu-buru menutupinya. Sebab sekali orang melihatnya, mereka tidak akan bisa berpura-pura tidak tahu.
Sebelum kota sempat bernapas, kabar itu sudah menyebar — sang seniman jalanan misterius itu beraksi lagi, dan kali ini bukan di gang terlupakan, melainkan tepat di samping simbol keadilan London. Dalam hitungan jam, otoritas pun datang. Pertama, petugas kebersihan kota muncul dengan ember dan rol cat. Namun ketika menyadari cat itu tak bisa dihapus, para pekerja mendirikan papan kayu untuk menutupi gambar tersebut.
Banksy tidak sendirian. Di berbagai penjuru dunia, seniman bangkit untuk menjadikan seni sebagai wujud keberanian moral.
Ai Weiwei — Arsitek Keberanian
Di seberang benua, di kota lain tempat tembok-tembok juga menyimpan kisah — entah di Beijing, Berlin, atau Lisbon— Ai Weiwei telah lama berdiri sebagai arsitek perlawanan.
Karya seninya, seperti karya Banksy, menolak tunduk. Instalasi-instalasi Ai — yang terbuat dari jaket pelampung para pengungsi, reruntuhan kuil yang dihancurkan, atau sepeda-sepeda yang dirakit ulang — menghadapkan kita pada politik dehumanisasi.
Ketika ditanya mengapa ia menggunakan seni untuk memprotes, Ai menjawab: “Jika karya seniku tidak membantu orang lain, maka itu tak berarti apa-apa. Menjadi seniman berarti bertanggung jawab terhadap zamanmu.”
Pada tahun 2016, Ai menutupi fasad Konzerthaus Berlin dengan 14.000 jaket pelampung pengungsi yang dikumpulkan dari pantai Lesbos. Dalam warna oranye dan keheningan, karya itu berteriak lebih nyaring daripada pidato apa pun. Dan seperti Banksy, Ai Weiwei memahami bahwa seni adalah tempat perlindungan terakhir bagi kejernihan moral ketika politik runtuh.
“Kebebasan bukan sesuatu yang kita miliki. Itu sesuatu yang kita lakukan.”
— Ai Weiwei
Setiap karyanya adalah monumen empati — mengubah penderitaan menjadi kesadaran kolektif.
Roger Waters — Musisi yang Menolak Dinding
Mantan pentolan Pink Floyd ini tak berhenti melawan tembok, baik yang nyata maupun simbolik. Dalam konser-konsernya, Roger Waters menampilkan nama-nama anak Gaza yang terbunuh; dalam wawancara, ia berkata tegas dan pada tahun 2024, ketika bom-bom jatuh di Rafah, Waters menulis: “Jika kamu netral dalam situasi ketidakadilan, kamu telah memilih berpihak pada penindas.” “Aku bukan anti-Semit. Aku anti-genosida.”
Waters kehilangan sponsor, diboikot media, tapi ia tidak berhenti. Ia tahu: musik yang diam di hadapan kejahatan bukanlah musik, melainkan propaganda.
Dalam bahasa lain — musik — Roger Waters, salah satu pendiri Pink Floyd, mengambil sikap yang sama. Dulu ia adalah suara di balik lagu “Another Brick in the Wall,” dan selama puluhan tahun ia justru berjuang meruntuhkan tembok, terutama tembok yang memisahkan Israel dan Palestina.
Baginya, musik bukan hiburan, tetapi konfrontasi — sebuah tuntutan moral yang tersamar sebagai melodi. Konser-konsernya bukan lagi pertunjukan, melainkan upacara pemakaman bagi kebenaran.
Mahmud Darwish — Negara yang Hidup dalam Puisi
Jauh sebelum mural dan konser, Mahmud Darwish menulis Palestina ke dalam sejarah sastra.
“Ke mana kami harus pergi setelah batas terakhir?
Ke mana burung harus terbang setelah langit terakhir?”
Puisi Darwish menjadikan penderitaan kolektif bangsa Palestina sebagai bahasa universal — bahasa kehilangan, ketabahan, dan harapan. Bagi rakyat Palestina, Mahmoud Darwish bukan sekadar penyair; ia adalah sebuah bangsa yang berbicara dalam bait-bait puisi. Bahasanya memuat pengasingan, martabat, dan perlawanan — semangat yang hingga kini menghidupkan para seniman muda di Gaza, yang melukis harapan di atas reruntuhan, bernyanyi di tengah puing-puing, dan memproyeksikan film di dinding-dinding yang telah menjadi debu.
Kini, kata-katanya hidup di mural Banksy, dalam nada-nada Roger Waters, dan di instalasi Ai Weiwei.
Apa yang menyatukan Banksy, Ai Weiwei, Roger Waters, dan Mahmud Darwish adalah keyakinan bahwa seni tidak pernah netral. Ia hanya punya dua sisi: berpihak pada korban atau pada pelaku. Picasso melukis Guernica untuk mengecam pengeboman warga sipil. Nina Simone menyanyi Mississippi Goddam untuk menampar wajah rasisme Amerika. Banksy melukis dinding pengadilan untuk menyingkap kemunafikan keadilan modern.
Seni bukan hiasan. Seni adalah perlawanan.
Banksy, Ai Weiwei, Roger Waters, dan Mahmoud Darwish — medium mereka berbeda, tetapi pesan mereka bertemu dalam satu titik: Ketika pemerintah gagal menegakkan kemanusiaan, seniman mengingatkan dan menegakkan. Dari kamp-kamp Gaza hingga jalanan London, dari monumen pengungsi di Berlin hingga demonstrasi di New York, seni menjadi peta moral — peta perlawanan yang digambar oleh mereka yang menolak lupa. Keberanian mereka mahal harganya. Ai Weiwei pernah dipenjara. Roger Waters difitnah. Banksy terus diburu dalam anonimitas. Mahmoud Darwish meninggal dalam pengasingan.
Namun mereka semua memegang keyakinan yang sama — bahwa keindahan, di tengah horor, bukanlah pelarian; melainkan bentuk pemberontakan.
Vibeke dan kertas merah 18.459 nama anak Palestina
Di sebuah ruang minimalis yang remang cahaya lampu, tangan seorang seniman bergerak lambat. Ia menata baris demi baris potongan kertas tipis. Tiap lembarnya memuat nama — nama seorang anak Palestina — yang telah meninggal antara 7 Oktober 2023 hingga 31 Juli 2025. Tangannya gemetar sesekali, tertahan di udara seolah ragu, lalu dilanjutkan kembali. Tak ada musik — hanya desahan lembut dan suara lantang narator:
“Kami telah membaca nama 18.459 anak-anak Palestina… menulis nama-nama ini sangat mengerikan. Namun di sisi lain ini terasa baik karena kita bisa memberi mereka penghormatan yang berharga.” Waktu berjalan perlahan. Nama menyusul nama. Ribuan kertas yang seperti potongan kenangan dikumpulkan menjadi satu ritual visual dan emosional di hadapan kamera.
Video (unggahan Instagram) memperlihatkan sebuah inisiatif vigil/aksi artistik di mana seorang artis/desainer menyiapkan potongan-potongan kertas berisi nama-nama anak-anak Palestina yang tewas — dan ada pembacaan nama-nama tersebut secara berurutan.
Aksi vigil tersebut diasosiasikan dengan seniman Norwegia Vibeke Harper pada acara vigil di Oslo pada 9 Oktober 2025 dan diunggah oleh TRTWorld.
Ada beberapa aksi serupa di berbagai kota (Oslo, Madrid, Doha, Lahore, dsb.) dalam 18–24 bulan terakhir — instalasi bunga/teddy/patchwork, pembacaan nama, poster dan mural— yang semuanya bagian dari gelombang artistik global untuk “memberi nama” korban dan menahan lupa. Dampak praktis & contoh-contoh paralel (apa yang sudah terlihat di lapangan)
Oslo vigil (Vibeke Harper) — pembacaan nama 18.459 yang berlangsung berjam-jam/24 jam menjadi ritual publik dan konten media sosial; acara semacam ini memicu diskusi, solidaritas, dan liputan internasional.
Instalasi ‘Roses of Humanity’ (Lahore) — 15.000 mawar kain mewakili anak yang tewas; menjadi ruang refleksi dan media advokasi lokal/global. Ini menunjukkan bagaimana media artistik bervariasi (paper, kain, boneka) namun fungsi moralnya sama. Doha teddy bears/instalasi boneka — contoh lain: ribuan benda kecil yang melambangkan korban anak sehingga penyampaian emosional menjadi kuat di publik.
Dari Statistik ke Nama: Melawan Lupa
Dalam konflik bersenjata, korban anak sering menjadi angka statistik yang cepat terlupakan. Namun seniman ini memilih memulihkan — mengubah angka menjadi manusia, menjadi nama. Setiap kertas adalah suara, setiap nama adalah keberadaan yang tak boleh hilang dalam kabut perang.
Metode itu bukan baru; di memorial Holocaust, pembacaan nama korban setiap tahun adalah ritual pemelihara ingatan. Tapi dalam konteks Gaza, strategi itu muncul kembali sebagai respons terhadap bisu dunia: ketika media berganti topik dan konflik dianggap “status quo”.
Satu per satu nama dibacakan. Ritme itu lambat, mendesak: nama berhenti, jeda, nama berikutnya. Itu bukan sekadar performa — itu meditasi kematian, panggilan batin agar tak gampang lupa. Mereka yang mendengarkan tak dapat berpaling: identitas korban menuntut pengakuan publik dan moral.
Instalasi tanpa suara pun berbicara melalui baris kertas: susunan visualnya sudah seperti lautan — ribuan objek kecil yang menyatu menjadi monumen kesedihan. Kamera dan postingan media sosial menjadi perpanjangan ruang memorial sehingga publik global bisa turut menyaksikan dan menyimpan memori.
Seni Sebagai Kesaksian Kemanusiaan
Dari Gaza hingga London, dari Calais hingga New York, jejak Banksy adalah mosaik penderitaan manusia. Ia pernah membuat mural tentang anak pengungsi Suriah, lukisan bidan di rumah sakit saat pandemi COVID, dan instalasi boneka pengungsi yang menatap ke laut Mediterania.
Ia tidak memberi solusi, tapi memberi cermin — memperlihatkan wajah dunia yang enggan kita akui. “If we wash our hands of the conflict between the powerful and the powerless, we side with the powerful.” (Jika kita berpura-pura netral dalam konflik antara yang kuat dan yang lemah, kita berpihak pada yang kuat.)
Dalam diamnya, Banksy berbicara paling keras. Ia mengingatkan bahwa seni bisa lebih tajam daripada pedang, dan lebih jujur daripada diplomasi.
Kini, papan kayu masih menutup mural di samping pengadilan London itu. Tapi di balik papan itu, gambar seseorang yang dipukul tetap ada — tak bisa dihapus, tak bisa dibungkam. Seperti pesan yang disematkan Banksy lewat setiap karyanya: kebenaran mungkin disembunyikan, tapi tidak bisa dimusnahkan. Dan di setiap dinding yang ia sentuh, selalu ada satu pesan yang tetap hidup: bahwa seni, pada akhirnya, adalah bentuk paling murni dari kemanusiaan.
Ketika mereka menutup dinding, mereka membuka topengnya sendiri. Dan ketika otoritas London menutup mural Banksy dengan papan kayu, mereka kira mereka menutup masalah.
Padahal, mereka baru saja membuktikan tuduhan sang seniman: bahwa kekuasaan takut pada kebenaran. Orang-orang datang juga. Mereka mengintip, memotret, berdoa dalam diam. Dinding itu berubah menjadi altar — tempat orang mencari suara yang dibungkam.
“Kita membangun tembok untuk menutupi rasa malu,” kata Ai Weiwei dalam film dokumenter-nya Human Flow. “Tapi seni selalu menemukan celah.” Dan seperti yang pernah ditulis Mahmud Darwish: “Melawan kebiadaban, puisi saja tidak cukup — tapi diam adalah pengkhianatan.”
Palu dan Hati
Dari London ke Gaza, dari Beijing ke Berlin, dari kata ke warna, dari nada ke dinding — pesan mereka satu: Hati nurani adalah bentuk tertinggi dari seni.
Ketika Banksy melukis, Ai Weiwei membangun, Roger Waters bernyanyi, dan Darwish menulis, mereka semua sedang mengingatkan kita: Bahwa warna, suara, dan kata bisa menjadi palu yang memecahkan tembok ketakutan.
“Jika kamu lelah,” tulis Banksy di salah satu muralnya, “belajarlah untuk beristirahat — bukan menyerah.” Dan seperti yang dinyanyikan Roger Waters di tengah panggung gelap atau dalam konsernya di São Paulo: “Tembok itu bukan dari beton. Ia terbuat dari ketakutan.
Dan setiap goresan, setiap lagu, setiap puisi — adalah palu yang memecahkannya.”
Di zaman ketika algoritma menentukan empati, para seniman ini — yang tampak maupun tersembunyi, yang bernyanyi maupun melukis — mengingatkan kita bahwa tujuan sejati seni bukan untuk menghias kenyataan, tetapi untuk menebusnya. Mural terbaru Banksy mungkin telah ditutup dengan papan, tetapi seperti setiap tembok yang pernah ia sentuh, mural itu telah menunaikan misinya — membuat para penguasa merasa tidak nyaman, membuat yang acuh mulai berpikir, dan membuat yang diam akhirnya bersuara.
Aktivisme Seni sebagai Senjata, Sebuah Jajak Lama
Seniman mungkin tak bisa menghentikan bom, tetapi mereka bisa menghentikan lupa. Dan ketika publik ikut menyuarakan nama-nama anak yang jadi korban kebiadaban penjajah Israel itu, kita bersama menuntut bahwa kemanusiaan tak boleh mati oleh kekerasan.
Di tengah reruntuhan dan asap, ada yang tak pernah lenyap: lagu yang dinyanyikan kembali, gambar yang memaksa mata tak berpaling, puisi yang menempel di dinding bekas rumah, instalasi yang memanggil ingatan. Seni selalu muncul di saat-saat ketika bahasa biasa gagal. Seni memberi nama pada luka — lalu menantang yang menyebabkan luka itu.
Seni bukan sekadar hiasan; ia adalah alat kognitif dan emosional yang bisa membentuk opini, membangkitkan empati, dan memobilisasi tindakan. Seperti kata Bertolt Brecht: “Art is not a mirror held up to reality but a hammer with which to shape it.” Kutipan itu merangkum fungsi seni dalam politik: bukan hanya memantulkan, tetapi membentuk (Brecht). Seni berbicara lewat citra, suara, gerak, dan ritual — media yang langsung menyentuh tubuh dan perasaan, sehingga membuat pesan kemanusiaan sulit diabaikan. Itu sebabnya seniman sering ada di garis depan gerakan kemanusiaan: mereka memberi wajah dan suara kepada yang terlupakan.
Sejak zaman klasik, seni telah dipakai untuk membela rakyat tertindas: relief, patung, puisi epik sering memuat kritik terhadap tiran atau penyembahan palsu. Contoh klasik: epik-epik seperti “Iliad” dan “Mahabharata” mengandung kritik sosial dan etis. Namun baru pada abad modern seni protes menjadi eksplisit: lukisan anti-perang, mode literatur eksperimental, pameran yang memprotes kolonialisme.
Ketika Guernica dibom pada 1937, Picasso menanggapi dengan lukisan monumental Guernica, menjadikan kanvas sebagai protes publik terhadap kekerasan. Lukisan ini tidak ditempel di galeri elit saja, tetapi pernah dipamerkan keliling dunia sebagai bukti visual penderitaan rakyat Basque, memperkuat dukungan anti-fasis Eropa (Picasso, Guernica).¹
Pada dekade-dekade kemudian, musik protes di Amerika Latin (Nueva Canción) dan Afrika Selatan memainkan peran penting di front budaya perlawanan. Lagu-lagu dari Violeta Parra, Victor Jara, Miriam Makeba menjadi soundtrack perlawanan terhadap rezim ombak militer. Tragisnya, Victor Jara dibunuh setelah kudeta di Chile — tetapi suaranya terus menggema.²
Teater dokumenter, foto perang, film dokumenter juga memainkan peran sebagai arsip moral — menyampaikan realitas yang sering disensor. Sebuah dokumenter perang bisa menggerakkan opini publik di negara jauh, menyentuh empati yang tak bisa dicapai oleh laporan fakta semata.
a. Guernica (Pablo Picasso, 1937) — lukisan sebagai kecaman
Ketika bom menghantam kota Guernica pada 1937, Picasso merespons dengan kanvas raksasa yang kemudian menjadi simbol anti-perang paling ikonik abad ke-20: Guernica. Picasso menegaskan bahwa lukisan bukanlah untuk menghias ruang — melainkan “senjata” melawan penindasan. Guernica mengubah cara publik Eropa (dan dunia) melihat kekejaman perang sipil Spanyol; itu menjadi bukti visual yang tak terbantahkan terhadap kebrutalan. Picasso melukis bukan untuk menghias ruang, tetapi untuk menyatakan kecaman. Guernica mengembalikan realitas kekerasan ke ranah estetika sehingga publik dunia tak bisa mengabaikannya. Karya ini mempercepat dukungan internasional terhadap Republik Spanyol di banyak kalangan seni dan intelektual.
Pablo Picasso (mengenai karya politisnya): “Painting is not made to decorate apartments. It’s an offensive and defensive weapon against the enemy.” — pernyataan yang menunjukkan seni sebagai alat perlawanan.
Politik publik & tuduhan selektivitas. Seni memorial bersifat politis; penentang akan menuduh pemilihan korban “politis” atau “bias”. Seniman/penyelenggara perlu siap menghadapi debat dan memberi konteks: mengapa fokus pada anak-anak? (Jawaban moral: anak tidak bersalah.) Namun secara strategis, artist activism rentan diserang di arena publik-politik.
Efektivitas vs. simbolisme. Kritik lain: apakah pembacaan nama mengubah kebijakan? Jawaban teoretis: karya seni sendiri bukan pengganti advokasi legal/kemanusiaan, tetapi meningkatkan kesadaran, memengaruhi opini publik, dan dapat memicu tekanan pada pembuat kebijakan bila dikombinasikan dengan advokasi terorganisir.
Inisiatif pembacaan nama dan karya potongan kertas yang kamu kirim adalah contoh kuat dari artivism (seni + aktivisme): sebuah usaha untuk mengubah angka abstrak menjadi wajah dan suara, untuk mengundang empati, merawat ingatan, dan menekan tuntutan kemanusiaan. Ini bukan hanya estetika: ia adalah ritual politik yang menuntut pengakuan atas korban, dan bertujuan memaksa masyarakat internasional agar tak membiarkan tragedi menjadi statistik yang terlupakan. Namun, langkah semacam ini juga menuntut transparansi sumber data dan pertimbangan etika — supaya penghormatan tetap menghormati, bukan mengeksploitasi.
Instalasi nama anak Gaza ini bukan sekadar memorial estetis — ia tindakan moral. Di saat kebisingan politik berbalik ke tema baru, seni seperti ini menarik kita kembali ke korban: anak yang tak pernah memilih perang, tetapi menjadi korbannya.
b. Lagu protes & gerak sosial (amerika latin, Afrika, Amerika Serikat)
Nueva Canción di Amerika Latin (Violeta Parra, Víctor Jara) — lagu-lagu yang memperkuat identitas kolektif dan mengorganisasi perlawanan melawan diktator serta ketidakadilan sosial. Víctor Jara sendiri menjadi martir setelah dibunuh pasca-kudeta di Chile (1973). Víctor Jara menjadi simbol bagaimana seniman dapat menjadi ancaman bagi rezim: lagu-lagunya mengikat perjuangan rakyat; pembunuhannya pada 1973 menjadikan karya dan nyawanya bahan suar perlawanan tak lekang. (sejarah Nueva Canción; umum).
Gerakan hak sipil AS: Nina Simone, Paul Robeson, Bob Dylan, Joan Baez — musik sebagai alat pengorganisasian, penguatan narasi perlawanan, dan dokumentasi pengalaman. Nina Simone pernah berkata: “An artist’s duty, as far as I’m concerned, is to reflect the times.” — menyatakan bahwa seniman berkewajiban untuk merefleksikan dan menentang ketidakadilan. Sebuah kewajiban etis seniman terhadap zamannya. Paul Robeson: “Artists are the gatekeepers of truth. We are civilization’s radical voice.” — menyatakan peranan moral seniman sebagai pembawa kebenaran.
c. Anti-apartheid (Afrika Selatan) — suara global menekan rezim
Musisi seperti Miriam Makeba dan Hugh Masekela membawa cerita penderitaan apartheid ke panggung internasional; konser, lagu, dan kuliah mereka membantu pembentukan penolakan global terhadap sistem rasis itu. Seni di sini menjadi diplomasi moral yang efektif. (sejarah musik anti-apartheid; umum).
d. Seni dokumenter & film — menyampaikan bukti
Film dokumenter dan foto perang (wartawan foto) sering menjadi materi bukti moral di pengadilan opini publik. Dari foto perang Vietnam sampai dokumenter kontemporer, citra bergerak merubah persepsi politik masyarakat luas. (sejumlah kajian media & dokumenter; umum).
Seni di era kontemporer
Dalam beberapa tahun belakangan ini seni terbukti masih menjadi alat yang ampuh untuk digunakan sebagai alat perlawanan dan ekspresi untuk protes. Street art dan mural sebagai ruang publik protes seperti yang ditunjukkan Banksy & West Bank, misalnya. Seperti diuraikan sebelumnya, Banksy, seniman jalanan anonim, membuat karya pada Tembok Pemisah (West Bank) dan di reruntuhan Gaza; karyanya mengusik narasi dominan dan memberi perhatian global terhadap penderitaan Palestina melalui citra yang mudah menyebar. Banksy bukan satu-satunya: seniman lokal dan internasional menggunakan tembok, tenda pengungsi, dan reruntuhan sebagai kanvas protes. (dokumenasi Banksy/analisis street art). Banksy menempelkan gambar-gambar yang mudah diingat pada infrastruktur pendudukan; walau sering dikritik soal representasi, karya-karyanya berhasil menarik perhatian internasional pada kondisi lokal yang sering disembunyikan. (analisis street art dan liputan media).
Seni Instalasi dan teater dokumenter: Basel Abbas & Ruanne Abou-Rahme membuktikannya. Karya instalatif seperti Prisoners of Love: Until the Sun of Freedom oleh Basel Abbas dan Ruanne Abou-Rahme menyatukan video, suara, puisi, dan artefak pribadi untuk mengangkat pengalaman tahanan Palestina — menempatkan publik Barat di posisi menyaksikan trauma yang sering disensor. Karya-karya semacam ini mengandalkan imersi untuk memaksa empati dan mendorong pertanyaan etis. (contoh tinjauan pameran). Pameran yang menyusun gambar, suara, dan artefak tahanan di Nottingham Contemporary membuktikan bagaimana seni kontemporer bisa menjadi arsip politik yang menyentuh, memaksa publik melihat sistem penahanan administratif dan trauma yang melekat.
Musisi dan konser solidaritas: Roger Waters, kumpulan musisi pro-Palestina. Sejumlah musisi (baik individu maupun orkestrasi kolektif) menggunakan konser, tur, dan lagu untuk menggalang dukungan politik: memberi platform kepada narasi Palestina, mengumpulkan dana kemanusiaan, atau menolak tampil di tempat tertentu sebagai bentuk boikot etik. Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana panggung publik diubah menjadi ruang politik. (liputan konser, pernyataan artis; umum).
Film panjang & dokumenter baru — merekam, mengungkap, menuduh. Sutradara yang mengeksplor konflik dan pelanggaran HAM menyajikan data sejarah dan kesaksian korban, sekaligus memicu debat politik: dari film panjang festival hingga karya media independen yang viral di jejaring sosial. (praksis dokumenter kontemporer; umum).
Artis untuk Palestina: Ketika Suara Hati Tampil di Panggung
Platform kolektif: Artists4Ceasefire dan koalisi seni internasional. Gerakan kolektif seniman (mis. Artists4Ceasefire, Palestinians Artists initiatives) mengoordinasikan pameran, petisi, konser, dan kampanye digital untuk menuntut gencatan, menghentikan dukungan perusahaan terhadap kekerasan, atau mempromosikan bantuan kemanusiaan. Kelompok-kelompok ini memperkuat suara individu menjadi tekanan institusional.
Dalam dua tahun terakhir, dunia seni telah berubah menjadi medan moral — panggung di mana para artis, aktor, musisi, dan penulis menolak diam atas genosida dan penjajahan di Palestina.
Dari Hollywood hingga London, dari festival musik Glastonbury hingga Oscar, suara para seniman menggema: “Free Palestine.”
Para artis bergerak bagai gelombang yang tak terbendung dari Hollywood ke Westminster. Beberapa hari setelah serangan 7 Oktober 2023, lebih dari 55 artis dan figur hiburan besar — di antaranya dua peraih Oscar dan sejumlah musisi papan atas — menandatangani surat terbuka mendesak Presiden Joe Biden agar menghentikan perang di Gaza. Mereka menyerukan gencatan senjata segera dan penghentian pemboman terhadap warga sipil.
Di Inggris, lebih dari 2.000 artis, penulis, dan pekerja kreatif bergabung dalam gerakan Artists for Palestine UK, menuntut pemerintah mereka memutus dukungan politik dan militer terhadap Israel. Nama-nama seperti Tilda Swinton, Steve Coogan, Maxine Peake, dan Miriam Margolyes ikut menandatangani pernyataan yang menyerukan “akhir bagi pendudukan dan apartheid.”
Tahun 2024 menjadi titik balik. Di ajang Oscar, beberapa selebriti muncul mengenakan pin merah “Artists4Ceasefire”, simbol solidaritas bagi rakyat Gaza. Di tengah karpet merah yang gemerlap, pesan mereka sederhana tapi mengguncang: “No more bombs. No more silence.”
Komika Rami Youssef menggunakan panggung Saturday Night Live untuk menyerukan “Free Palestine” di hadapan jutaan penonton Amerika. Di media sosial, potongan klipnya disebarkan lebih dari 4 juta kali — menjadikan seruan kemanusiaan itu viral di seluruh dunia.
Ketika protes mahasiswa di kampus-kampus AS menyebar, rapper Macklemore merilis lagu “Hind’s Hall”, terinspirasi oleh nama Hind Rajab, gadis berusia lima tahun yang tewas bersama keluarganya di Gaza. Lagu tersebut dengan cepat menembus Billboard Global 200, membuktikan bahwa suara hati nurani juga bisa menembus industri musik komersial.
Pada Glastonbury Festival 2025, grup Fontaines D.C. dan trio hip-hop Mikap memimpin ribuan penonton menyanyikan “Free Palestine.” Di London, konser amal Together for Palestine berhasil mengumpulkan lebih dari 2 juta dolar untuk bantuan kemanusiaan di Gaza.
Dunia film pun bergolak. Lebih dari 5.000 pekerja industri film internasional, termasuk beberapa pemenang Oscar, menandatangani petisi untuk memboikot institusi perfilman Israel yang terlibat dalam proyek-proyek normalisasi pendudukan.
Film dokumenter “No Other Land”, karya kolaborasi sutradara Israel-Palestina tentang perlawanan di Tepi Barat, memenangkan Oscar 2025 untuk Dokumenter Terbaik. Di Festival Film Venesia 2025, film “The Voice of Hind Rajab” — yang disutradarai oleh tim lintas negara — meraih Silver Lion Award dan standing ovation. Film ini menyoroti kesenyapan dunia di tengah genosida yang berlangsung di Gaza.
Konflik, Seni & Kehidupan Palestina: Cerita yang Tak Boleh Hilang
Namun keberanian ini tidak tanpa konsekuensi. Aktor Susan Sarandon dan Melissa Barrera kehilangan kontrak dan peran utama karena pernyataan pro-Palestina mereka. Trio hip-hop Mikap dilarang tampil di Kanada. Musisi Bob Vylan ditolak visanya oleh otoritas AS. Penulis Irlandia Sally Rooney, yang menolak menerbitkan bukunya melalui penerbit Israel, bahkan membatalkan tur bukunya di Inggris karena takut ditangkap.
Seperti kata Sarandon, “Speaking for justice should never cost your career. But if it does, then silence costs your soul.”
Kini, seruan itu telah menjadi gerakan. Menurut Al Jazeera AJLabs, lebih dari 16.000 seniman — mayoritas dari industri musik dan film — telah menandatangani pernyataan solidaritas global. Mereka menuntut diakhirinya pendudukan, apartheid, dan genosida, serta mendesak lembaga-lembaga seni internasional meninjau kembali hubungan mereka dengan entitas Israel. Sebagaimana dinyatakan dalam deklarasi Artists for Palestine Global (2025):
“Art is not neutral. When bombs fall, silence is complicity.”
Para artis tahu mereka menanggung risiko — kontrak dibatalkan, panggung ditutup, visa dicabut.
Namun seperti kata rapper Macklemore dalam wawancara dengan Rolling Stone:
“If we can’t use our voice for the voiceless, then what’s the point of having a stage?”
Gelombang “Artist for Humanity” kini menjadi bagian penting dari sejarah perlawanan global terhadap kolonialisme dan genosida. Dari layar bioskop hingga panggung konser, seni menjadi bahasa universal bagi kemanusiaan — menolak kebisuan, mengingatkan dunia bahwa keindahan sejati tidak pernah berpihak pada penindasan.
Seni protes tidak tanpa masalah—beberapa kritik yang sering muncul: Representasi pihak lain: siapa berhak menggambarkan penderitaan? Seniman luar negeri (mis. Banksy) dikritik karena bisa “mengambil ruang” bagi narasi lokal. Jawaban praktis: kolaborasi dan memberi platform pada suara lokal (seniman Palestina) adalah penting. Komodifikasi penderitaan: barang seni yang berasal dari trauma bisa diperdagangkan; kapan etika perdagangannya? Galeri harus hati-hati agar karya tak mengkapitalisasi kesengsaraan. Sensor dan penarikan pameran: institusi sering kali menghadapi tekanan politik untuk membatalkan pameran yang dianggap kontroversial — dilema antara kebebasan berekspresi dan stabilitas institusi. Risiko penindasan terhadap seniman: berani berbicara sering berujung pada intimidasi, penahanan, atau hukuman. Seniman Palestina dan kolega aktivisnya kerap berada pada risiko nyata.
Seni sebagai Senjata Moral: Suara Palestina melalui Kreativitas
Kasus Palestina menunjukkan bagaimana seni dapat berfungsi sebagai pengingat terus-menerus terhadap pelanggaran yang mungkin ingin dilupakan. Instalasi yang menampilkan gambar bekas penjara, lagu yang menjadi seruan solidaritas internasional, mural yang menandai tempat — semuanya membangun arsip kolektif yang menantang lupa. Dalam konteks laporan dan dokumentasi HAM serta mobilisasi global, seni membantu memperluas empati melampaui batas wilayah dan bahasa. (contoh: pameran Basel Abbas & Ruanne Abou-Rahme; Artists4Ceasefire).
Apa yang dapat dilakukan pembaca dan institusi seni. Kunjungi pameran yang mendokumentasikan konflik secara etis; baca keterangan kuratorial; dukung seniman lokal.
Bila Anda bagian institusi (galeri, universitas, festival), fasilitasi dialog yang aman dan berkelanjutan antara seniman Palestina dan audiens internasional. Dukung koalisi seniman dan petisi yang menyerukan gencatan senjata, bantuan kemanusiaan, atau perlindungan HAM. (contoh kegiatan Artists4Ceasefire).
Di tengah ledakan, reruntuhan, dan suara sirine yang tak henti, ada sesuatu yang tetap bertahan: nyanyian harapan, lukisan luka, kata-kata yang tak bisa dibungkam. Seni muncul bukan sebagai hiburan, tapi sebagai saksi, tangisan, dan pemberontakan. Di panggung global konflik Palestina / Gaza, seniman bertindak sebagai ujung tombak narasi — mereka yang menegur, menantang, dan menolak melupakan.
Dalam konflik Palestina, seni menjadi medium narasi yang tak bisa dihapus. Di kota-kota yang runtuh, dinding-dinding kosong, blok-blok tembok pemisah, dan reruntuhan rumah menjadi kanvas mural protes dan cetak biru visual peringatan.
Banksy, seniman jalanan anonim, telah membuat karya di Tembok Pemisah (West Bank) dan di reruntuhan Gaza. Salah satu mural terkenalnya, “Girl Frisking Soldier,” tertempel di tembok pembatas menunjukkan ketidakseimbangan kekuasaan. Karya-karya Banksy sering viral, menjadikan dinding konflik sebagai ruang diskusi global.³
Kelompok seniman lokal Palestina (dan diaspora) juga rutin memproduksi pameran, instalasi, video, performance yang menggabungkan kesaksian warga, puisi, suara ledakan, fragmen rumah hancur. Contoh: instalasi multi-media Prisoners of Love oleh Basel Abbas & Ruanne Abou-Rahme memadukan suara tahanan, arsip militer, dan narasi visual, memaksa penonton “turun ke lubang kesengsaraan” agar merasakan penderitaan tak hanya sebagai fakta, tetapi pengalaman.⁴
Musisi internasional seperti Roger Waters (dulu Pink Floyd) juga sering ikut konser solidaritas atau menyatakan dukungan terhadap Palestina. Lagu dan konser menjadi platform mobilisasi; mereka mampu mengalirkan narasi ke publik luas, termasuk mereka yang mungkin tak mengikuti berita perang.
Instansi seperti Artists4Ceasefire mengorganisir kolektif seniman di berbagai negara untuk melakukan pameran kolektif, kampanye digital, lukisan mural protes serentak — menyambungkan suara lokal Palestina dengan publik global.⁵ Seni lintas batas seperti ini memberi kekuatan bahwa bukan hanya orang lokal yang peduli — dunia pun menyaksikan.
Catatan penutup
Seni tak selalu menggantikan politik — ia tidak dapat menghentikan tank atau mengubah undang-undang sendirian — tetapi seni menyalakan moral ruang publik: mengubah persepsi, memberi keberanian pada saksi, dan menempatkan tuntutan keadilan di pusat perhatian kolektif. Di setiap zaman, ketika norma moral diuji, seniman sering menjadi suara yang mengingatkan: bahwa ada batas yang tak boleh dilampaui bila kita ingin tetap manusiawi.
Cirebon-Bogor, 14 Oktober 2025
1“Art is not a mirror held up to reality
but a hammer with which to shape it.”
— Bertolt Brecht
2“The role of the artist is to make the revolution irresistible.”
— Toni Cade Bambara
3 “Art should comfort the disturbed
and disturb the comfortable.”
— Banksy
4 Ilan Volkov adalah seorang konduktor asal Israel, dengan reputasi internasional, yang pernah menjadi principal guest conductor BBC Scottish Symphony Orchestra, dan yang tampil di banyak event musik bergengsi. Beberapa hari kemudian, Ilan Volkov ikut serta dalam sebuah demonstrasi di dekat perbatasan Israel-Gaza. Dalam aksi tersebut, bersama aktivis lain, ia menyerukan berakhirnya apa yang ia sebut “genocide” (genosida). Saat demonstrasi, Volkov ditahan oleh polisi Israel, bersama beberapa pengunjuk rasa. Ia kemudian dilepaskan sekitar satu jam kemudian.
https://www.wsws.org/en/articles/2025/09/18/rwvw-s18.html?utm_
5 https://www.dailysabah.com/arts/israeli-maestro-breaks-silence-on-gaza-conflict-during-bbc-proms/news
6 theartnewspaper.com+2Wikipedia+2
7 South China Morning Post+3theartnewspaper.com+3Al Jazeera+3
8 Reaksi Publik & Efeknya
- Setelah mural muncul, publik dan pejalan kaki segera datang, mengambil foto (“peek” di balik penghalang), karena mural sudah ditutup sebagian dengan penghalang dan plastik. theartnewspaper.com+3Wikipedia+3Sky News+3
- Banyak pihak melihat bahwa penghapusan mural ini adalah bentuk sensor dan penekanan atas kritik terhadap sistem kekuasaan — “silencing protest”. Salah satu kelompok advokasi, Good Law Project, menyebut tindakan penghapusan mural seperti tindakan “menghapus hak kita untuk protes.” euronews+2theartnewspaper.com+2
- Aktivis kebebasan berbicara dan kelompok HAM memperingatkan bahwa penggunaan undang-undang pelestarian bangunan sebagai alasan bisa menjadi alat untuk membungkam seni kritik dan ekspresi politik.
Al Jazeera+1
9 Wikipedia+3South China Morning Post+3theartnewspaper.com+3
10 Foto-Dokumenter & Penampakan Visual
- Beberapa foto menunjukkan mural sebelum ditutup: hakim memakai wig dan jubah pengadilan, memukul demonstran yang terlentang di tanah, demonstran memegang placard bercelana darah. (PA / Banksy via Sky News) Artnet News+3Sky News+3Flickr+3
- Foto saat penutupan awal: security menutup mural dengan lembar plastik hitam, dipagari barrikade logam, beberapa petugas berjaga. The Guardian+3The Standard+3Perspective Media+3
- Foto aktivitas penghapusan (“scrubbing off”): pekerja terlihat menggunakan alat untuk menghapus cat stencil, bagian cat hilang namun bayangan mural masih tampak samar. euronews+2The Global Herald+2
- Dokumentasi publik: foto publik yang mengintip di balik penghalang, antrian orang untuk melihat mural sebelum dihapus, media sosial penuh dengan gambar & diskusi mural. The Washington Post+3The Standard+3The Express Tribune+3
11 Komentar & Analisis Ahli
- Paul Gough, mantan rektor di Arts University Bournemouth, menggambarkan mural itu sebagai “angry and direct,” dengan teknik stencil yang sangat detil, dengan “splash of red” sebagai tanda khas Banksy — “law at its most raw.” Wikipedia+1
- Sophie Doherty (lektor hukum) mengomentari bahwa penghapusan mural tersebut dapat dilihat sebagai simbol bagaimana otoritas mencoba membungkam kritik; dengan menghapus karya seni yang mengkritik sistem hukum, publik kehilangan ruang visual untuk perlawanan moral. Wikipedia+1
- Kelompok advokasi Defend Our Juries menyebut mural tersebut menggambarkan secara kuat “the brutality unleashed” (kekejaman yang dibebaskan) oleh larangan grup Palestine Action. CBS News+2The Standard+2
12 Profil dan Kehidupan Artistik
Banksy diyakini lahir di Bristol, Inggris, sekitar tahun 1974. Ia mulai membuat grafiti pada akhir 1980-an, saat munculnya subkultur Bristol Underground Scene, yang memadukan musik, seni jalanan, dan aktivisme politik. Pada masa awal, ia bekerja dengan freehand graffiti, tetapi kemudian mengembangkan teknik stencil (cetakan) — gaya khas yang membuatnya bisa bekerja cepat di ruang publik, menghindari polisi, namun tetap menghasilkan karya dengan presisi dan pesan kuat. Meskipun tidak pernah memperlihatkan wajahnya, Banksy dikenal lewat “tanda tangan visual”: gaya hitam-putih kontras, humor sarkastik, dan sindiran politik yang tajam. Ia menolak sistem seni komersial, bahkan mengejek galeri dan kolektor yang memperjualbelikan karyanya dengan harga jutaan dolar.
Visi dan Tema Utama
Karya Banksy selalu berakar pada kemanusiaan dan kritik terhadap kekuasaan. Ia menolak perang, kemunafikan politik, dan ketimpangan sosial. Tiga pilar utama visinya adalah:
- Anti-perang dan anti-kolonialisme
Ia menentang pendudukan militer, terutama melalui karya-karya di Palestina.
“If we wash our hands of the conflict between the powerful and the powerless, we side with the powerful.” - (Jika kita berpura-pura netral dalam konflik antara yang kuat dan yang lemah, maka kita berpihak pada yang kuat.)
- Kritik kapitalisme dan konsumerisme
Banksy melihat dunia modern sebagai penjara iklan dan uang. Banyak karyanya menggambarkan manusia yang diperbudak oleh merek dan uang. - Keadilan sosial dan kemanusiaan universal
Ia menggambarkan harapan, kasih sayang, dan perlawanan rakyat biasa terhadap sistem yang menindas.
Karya-Karya Ikonik Banksy
1. The Flower Thrower (2003)
Terletak di Bethlehem, mural ini menampilkan seorang pria bertopeng yang melempar bukannya granat, tapi bunga.
Maknanya: Perlawanan tidak harus dengan kekerasan — cinta dan perdamaian adalah senjata paling kuat.
2. Dove of Peace (2007)
Seekor merpati putih yang mengenakan rompi anti-peluru, dengan tanda bidikan sniper di dadanya.
Kritik tajam terhadap paradoks “perdamaian” yang selalu berada dalam ancaman kekerasan.
3. Girl with Balloon (2002)
Salah satu karya paling terkenal di dunia — seorang gadis kecil yang melepaskan balon merah berbentuk hati.
Balon itu melambangkan harapan yang hilang namun selalu ada.
Karya ini pernah dilelang dan hancur otomatis dengan alat penghancur tersembunyi pada 2018 — aksi satir Banksy terhadap komersialisasi seni.
4. The Walled Off Hotel (2017, Bethlehem)
Sebuah instalasi nyata — hotel di Tepi Barat Palestina dengan “pemandangan terburuk di dunia”, menghadap langsung ke tembok pemisah Israel.
Hotel ini berfungsi sebagai museum, ruang seni, dan protes hidup atas penjajahan Israel.
“It’s not a joke hotel. It’s an actual functioning business and an act of protest.” — Banksy
5. Napalm Girl / Can’t Beat the Feeling (2004)
Karya ini memparodikan foto ikonik “Napalm Girl” dari Perang Vietnam, tetapi menambahkan Ronald McDonald dan Mickey Mouse menggandeng gadis telanjang yang menangis.
Sebuah sindiran terhadap kolusi antara kekerasan dan kapitalisme hiburan.
6. London’s High Court Mural (2025)
Baru-baru ini, Banksy melukis gambar seseorang yang dipukuli di tembok samping Pengadilan Tinggi London — sebuah komentar terhadap ketidakadilan sistem hukum Inggris dan represi terhadap protes.
Ketika mural itu dihapus oleh otoritas kota, cat sulit dihapus membuat mereka menutupinya dengan papan — yang justru menarik lebih banyak publik datang melihatnya.
Tindakan itu menciptakan ironi hidup: sensor justru memperkuat pesan perlawanan.
Filosofi dan Aktivisme
Banksy jarang berbicara langsung, tetapi melalui buku Wall and Piece (2005), ia menulis:
“Art should comfort the disturbed and disturb the comfortable.”
(Seni seharusnya menghibur yang tersakiti dan mengguncang yang nyaman.)
Ia juga aktif dalam isu-isu:
- Krisis pengungsi (melalui karya di Calais, Prancis)
- Kekerasan polisi di AS
- Ketimpangan ekonomi global
Ia menolak komodifikasi seni, pernah menulis:
“They say graffiti is ugly, irresponsible and childish… but that’s only if it’s done right.”
Banksy adalah sosok fenomenal di persimpangan seni dan aktivisme moral.
Ia membuktikan bahwa seni tidak sekadar estetika, tetapi senjata empati dan kebenaran — melawan kekerasan, kolonialisme, dan kemunafikan global.Dalam konteks Palestina, Banksy menjadi saksi dan juru bicara visual bagi yang tak bersuara. Melalui setiap tembok, ia menuliskan seruan universal:
Keadilan tidak membutuhkan izin untuk berbicara.
Referensi Singkat
- Banksy. Wall and Piece. Century, 2005.
- Ellsworth-Jones, Will. Banksy: The Man Behind the Wall. Pegasus Books, 2013.
- BBC Culture (2024). “Banksy’s Walled Off Hotel and the Art of Resistance.”
- Time Magazine (2023). “How Banksy Keeps Changing the World Without Showing His Face.”
- The Guardian, “Banksy’s London High Court Mural Sparks Controversy After Removal,” Oct 2025.
- B’Tselem Reports on the West Bank Separation Wall, 2024.
13 Ai Weiwei. Human Flow. Documentary film, 2017; Ai Weiwei, Interview with The Guardian, 2024: “Art and Empathy in an Age of Indifference.”
14 When asked why he used art to protest, Ai replied:
“If my art doesn’t help others, then it’s meaningless.
To be an artist is to be responsible for your time.”
15 And like Banksy, Ai Weiwei understands that art is the last refuge of moral clarity when politics collapses.
16 In 2024, as bombs fell on Rafah, Waters wrote: “If you’re neutral in a situation of injustice, you’ve chosen the side of the oppressor. I’m not anti-Semitic. I’m anti-genocide.”
For him, music is not entertainment but confrontation — a moral demand disguised as melody.
His concerts are no longer shows; they are funerals for the truth.
17 Roger Waters. Wawancara dengan Rolling Stone, Juli 2024.
18 “Where should we go after the last frontiers?
Where should the birds fly after the last sky?”
— Darwish, “State of Siege”
19 Mahmud Darwish. The Butterfly’s Burden. Bloodaxe Books, 2007.
20 Instagram+1
21 Video menunjukkan artis yang “mendesain potongan kertas” — format ini sering dipilih karena sederhana, mudah dibagikan, mudah dipamerkan di dinding, tiang, pagar dan memberi kesan tak terhitung ketika digantung berjajar. Potongan kertas bisa berupa strip nama, poster A4, kartu, atau tag kecil yang ditempel berlapis. Teknik ini visual dan taktil: tiap potongan mewakili seorang anak sehingga jumlahnya menjadi impresif secara visual (ribuan objek kecil yang membentuk lautan kesedihan). (praktik serupa tampak pada instalasi bunga/teddy/patchwork di beberapa kota). Arab News+1; Pembacaan nama (performative reading / vigil ritual)
Metode pembacaan berkelanjutan (reading the names) adalah ritual memori: pembacaan nama satu per satu menggantikan statistik abstrak dengan suara manusia yang menyebutkan identitas. Pembacaan bisa dilakukan non-stop selama jam/hari, atau digilir oleh relawan. Ritual semacam ini menghubungkan publik dengan korban secara personal dan etis. (contoh tradisi pembacaan nama ada juga di memorial lain seperti Holocaust memorials, 9/11 vigils). Daily Sabah
Dokumentasi & penyebaran digital
Video Instagram/reel, foto, dan liputan media adalah bagian penting dari strategi: instalasi yang tampak lokal menjadi isu global lewat jejaring sosial. Pengunggah (seniman/organizer) biasanya menyertakan sumber data (mis. “list compiled from UN/OCHA/UNICEF reports”), waktu pembacaan, dan permintaan untuk aksi (donasi, petisi, kampanye advokasi). Instagram
Analisis makna artistik & politik — mengapa metode “mencantumkan nama” efektif?
- Personifikasi statistik — Statistik besar (puluhan ribu) mudah menjadi angka yang tak terbayangkan. Menyebut nama membuat korban “datang ke hadapan” sebagai manusia konkret: umur, nama, kadang kota asal — ini menghidupkan kembali kehancuran individu yang hilang. Seni di sini berfungsi sebagai arsip moral. (teori memori kolektif & seni sipil). Arab News
- Ritual publik & legitimasi emosional — Pembacaan nama adalah ritual yang memberi legitimasi emosional dan sosial: orang berkumpul untuk menyaksikan, berduka bersama, mengakui kehilangan, dan menunjukkan solidaritas. Ritual ini mengikat komunitas global dan memaksa kesadaran publik. Daily Sabah
- Teknik visual & skalabilitas — Potongan kertas/mawar/teddy/tags yang berjuta membuat efek visual dominan: “lahan” korban yang nampak secara visual sering lebih menggerakkan ketimbang artikel berita. Itu membuat media lebih mudah menyorotnya. (lihat instalasi roses/teddies di Doha/Lahore sebagai contoh paralel). Arab News+1
- Aktivisme yang tak hanya simbolik — Sering aksi-aksi semacam ini disusun bersama tuntutan spesifik: penghentian serangan, buka akses bantuan, akuntabilitas hukum; karya seni menjadi amplifikasi tuntutan politik. Penyelenggara biasanya menautkan vigil ke petisi, kampanye bantuan, atau tekanan diplomatik. (praktik umum dalam seni aktivis). Daily Sabah
22 Instagram+1
23 Arab News+1
24 Daily Sabah+1
25 Arab News
26 And as Darwish reminded us: “Against barbarity, poetry alone is not enough — but silence is betrayal.”
27 Goodreads
28 Guernica (nama Basque: Gernika) adalah sebuah kota kecil yang terletak di Provinsi Vizcaya, di wilayah Basque, Spanyol Utara. Kota ini bukanlah kota metropolitan yang besar, tetapi memegang signifikansi budaya dan historis yang sangat dalam bagi bangsa Basque.
Secara simbolis, Guernica adalah jantung identitas dan otonomi Basque. Di bawah pohon ek suci “Tree of Gernika,” para penguasa tradisional Basque sejak abad pertengahan bersumpah untuk menghormati hak-hak dan kebebasan rakyat Basque. Kota ini mewakili kebebasan, demokrasi, dan tradisi bagi rakyat Basque.
Yang membuat Guernica istimewa sekaligus tragis adalah peristiwa Pengeboman 1937 yang terjadi pada Senin, 26 April 1937.
- Saat itu, Spanyol sedang dilanda Perang Saudara Spanyol (1936-1939), yang memperhadapkan kaum Republikan (koalisi pemerintah sayap kiri yang terpilih secara demokratis) melawan kaum Nasionalis (pemberontak fasis yang dipimpin oleh Jenderal Francisco Franco).
- Pada hari itu, pasukan pemberontak Nasionalis Franco, dengan bantuan sekutu fasinya, Legiun Kondor Nazi Jerman dan Aviazione Legionaria Italia Fasis, melakukan serangan udara yang sistematis dan tanpa ampun terhadap kota Guernica.
- Serangan ini bukanlah serangan terhadap target militer. Pesawat-pesawat Jerman dan Italia membombardir kota kecil itu dengan bom pembakar dan fragmentasi selama lebih dari tiga jam, dan kemudian pesawat tempur menukik rendah untuk menembaki warga sipil yang berlarian. Taktik ini dikenal sebagai “pemboman karpet” (carpet bombing).
- Sebagian besar kota hancur, dan ratusan—mungkin hingga 1.600—warga sipil tewas atau terluka. Peristiwa ini mengejutkan dunia karena merupakan salah satu pengeboman pertama terhadap warga sipil tak berdosa di Eropa pada abad ke-20, sebuah pembantaian yang dirancang untuk mematahkan semangat perlawanan Republik Basque.
Lahirnya sebuah Mahakarya Anti-Perang. Pablo Picasso, seniman Spanyol terkemuka yang tinggal di Paris, membaca laporan koran tentang kekejaman itu. Dia sedang mencari inspirasi untuk sebuah mural yang ditugaskan oleh pemerintah Republik Spanyol untuk Paviliun Spanyol di Exposition Internationale des Arts et Techniques dans la Vie Moderne (Pameran Dunia) di Paris tahun 1937.
- Respons Cepat dan Penuh Amarah: Kemarahan dan kesedihan Picasso atas pengeboman Guernica menjadi inspirasi instan. Dia membatalkan ide awalnya dan mulai membuat sketsa untuk karya yang akan menjadi “Guernica”.
- Lukisan sebagai “Senjata”: Pernyataan Picasso bahwa lukisan bukan untuk menghias ruang, melainkan “senjata” melawan penindasan, adalah kunci untuk memahami “Guernica”. Lukisan ini adalah sebuah protes visual, sebuah kecaman yang dilukiskan.
- Isi Lukisan: Dalam kanvas raksasa hitam-putihnya, Picasso tidak menggambarkan adegan realistis pengeboman. Sebaliknya, ia menggunakan bahasa Kubisme dan simbolisme untuk menyampaikan teror dan penderitaan universal. Adegannya kacau, penuh dengan figur-figur yang menyiksa:
- Ibu yang meratapi anaknya yang mati.
- Kuda yang terluka dan meringkuk kesakitan.
- Pejuang yang terpotong-potong dengan pedang patah di tangannya.
- Banteng yang tampak bingung dan garang.
- Wajah-wajah yang terdistorsi, menjerit kesakitan.
- Bola lampu yang menyala, melambangkan bom.
Setelah kematian Franco dan restorasi demokrasi di Spanyol, Guernica telah dibangun kembali dan tetap menjadi simbol perdamaian dan rekonsiliasi.
- Pusat Perdamaian: Kota ini sekarang menjadi rumah bagi Museum of Peace of Gernika, yang didedikasikan untuk mendidik pengunjung tentang tragedi perang dan mempromosikan nilai-nilai perdamaian, terinspirasi oleh sejarahnya sendiri.
- Otonomi Basque: Guernica tetap menjadi ibu kota spiritual dan simbol identitas bagi wilayah otonomi Basque.
- Warisan Abadi: Nama “Guernica” selamanya terukir dalam sejarah dunia bukan hanya karena kehancurannya, tetapi karena lukisan Picasso yang memberinya suara dan keabadian. Kota ini adalah pengingat nyata akan kekejaman perang, sementara lukisannya adalah suara abadi yang menentang kekejaman itu.
Di tangan Picasso sebuah tragedi lokal di sebuah kota kecil di Spanyol diubah oleh genius seorang seniman menjadi simbol universal anti-perang.
- “Mengubah cara publik Eropa melihat”: Sebelum “Guernica”, kekejaman Perang Saudara Spanyol bagi banyak orang hanyalah berita di koran. Lukisan ini memberikan wajah dan emosi yang tak terlupakan pada penderitaan itu, membuatnya mustahil untuk diabaikan.
- “Bukti visual yang tak terbantahkan”: Di era sebelum televisi dan internet, “Guernica” berfungsi seperti foto atau video viral masa kini—sebuah bukti yang powerful dan langsung yang memengaruhi opini publik internasional.
- “Mempercepat dukungan internasional”: Dengan memobilisasi simpati dari kalangan seni dan intelektual di seluruh dunia, “Guernica” membantu menyebabkan gelombang dukungan moral dan material bagi pihak Republik, menjadikan seni sebagai alat politik yang sangat efektif.
“Guernica” Picasso bukan sekadar lukisan; ia adalah sebuah dokumen sejarah, sebuah pamflet politik, dan sebuah jeritan kemanusiaan yang terus bergema hingga hari ini.
Referensi untuk Pengeboman Guernica dan Lukisan Picasso
1. Buku Sejarah tentang Perang Saudara Spanyol dan Guernica:
- Beevor, A. (2006). The Battle for Spain: The Spanish Civil War 1936–1939. Penguin Books.
- Sejarawan terkemuka Antony Beevor memberikan narasi komprehensif tentang perang, termasuk analisis mendalam tentang pengeboman Guernica dan signifikansinya.
- Thomas, H. (2013). The Spanish Civil War. Modern Library.
- Edisi revisi dari karya klasik ini tetap menjadi salah satu sejarah paling detail dan dapat diakses tentang konflik tersebut, dengan laporan tentang Guernica.
- Preston, P. (2012). The Spanish Holocaust: Inquisition and Extermination in Twentieth-Century Spain. W. W. Norton & Company.
- Buku ini berfokus pada kekejaman dan korban jiwa, memberikan konteks yang suram di mana peristiwa Guernica terjadi.
2. Buku Seni dan Biografi tentang Picasso:
- Russell, F. D. (Ed.). (1980). Picasso’s Guernica. Oxford University Press.
- Analisis khusus yang mendalam tentang lukisan itu sendiri, simbolisme, dan proses kreatifnya.
- Richardson, J. (2007). *A Life of Picasso: The Triumphant Years, 1917-1932*. Jonathan Cape.
- Meskipun jilid ini berakhir sebelum Guernica dilukis, biografi definitif Richardson memberikan pemahaman mendalam tentang perkembangan artistik dan politik Picasso yang memuncak dalam karya tersebut. (Jilid selanjutnya membahas periode Guernica).
- Chipp, H. B. (1988). Picasso’s Guernica: History, Transformations, Meanings. University of California Press.
- Karya akademis yang diakui secara luas yang menelusuri sejarah lukisan, dari komisi hingga menjadi ikon global.
3. Sumber dari Museum dan Lembaga Budaya:
- Museo Nacional Centro de Arte Reina Sofía, Madrid. (Guernica – Collection). (Situs Web Museum).
- Museum di Madrid yang menjadi rumah permanen bagi lukisan Guernica. Situs web mereka menyediakan materi berkualitas tinggi, sejarah, dan sumber daya pendidikan tentang karya tersebut.
- Gernika Peace Museum Foundation. (Situs Web Museum).
- Museum yang terletak di kota Guernica sendiri. Situs webnya menyajikan sejarah pengeboman dari perspektif lokal dan mempromosikan pendidikan perdamaian, memberikan konteks tanah bagi tragedi tersebut.
4. Artikel Jurnal Ilmiah:
- Southworth, H. R. (1977). The Bombing of Guernica. The Hispanic American Historical Review, 57(2), 329–335.
- Artikel akademis awal yang membahas fakta-fakta sejarah dan penyangkalan (denial) seputar pengeboman.
- Carr, R. (1980). Picasso’s Guernica. History Today, 30(4), 12-16.
- Artikel yang mudah diakses yang membahas dampak lukisan dalam konteks sejarah.
29 Pablo Picasso+1.
30 Goodreads
31 Daily Sabah
32 YouTube
33 Daily Sabah+1
34 The Fulcrum.
35 PBS
36 Magazine Artsper+1.
37 Magazine Artsper
38 Financial Times.
39 Financial Times
40 Artists for Palestine UK. (2024). Statement: End the Siege on Gaza.
41 Artists4Ceasefire
42 The Guardian (2024). Tilda Swinton, Steve Coogan and 2,000 artists sign open letter for Palestine.
43 Rolling Stone (2024). Macklemore’s Hind’s Hall: Music as Moral Protest.
44 Al Jazeera AJLabs (2025). How Artists Around the World Stand with Gaza.
45 BBC Culture (2025). Art, Ethics, and the War in Gaza.
46 Academia.