Rubarubu #19
Reinventing Organizations:
Organisasi yang Tangguh, Adaptif, dan Manusiawi
Ketika Presiden Direktur Melepas Kendali
Di sebuah pabrik mainan bernama FAVI di Prancis utara, seorang CEO bernama Jean-François Zobrist melakukan sesuatu yang dianggap gila. Pada hari pertamanya memimpin, dia meng-hapus semua kartu absensi, jam kerja yang kaku, dan aturan yang berlebihan. Dia memberitahu para operator mesin, “Kalian adalah orang-orang dewasa. Kalian tahu apa yang harus dilakukan. Jika ada masalah, selesaikanlah. Jika butuh suku cadang, pesanlah.” Dia membubarkan seluruh staf kontrol kualitas dan meminta setiap tim untuk bertanggung jawab penuh atas kualitas produk mereka sendiri. Yang paling radikal, dia menghilangkan hampir semua lapisan manajemen menengah.
Apa yang terjadi? Bukan kekacauan. Justru sebaliknya. Produktivitas meroket. Inovasi mengalir—seorang operator tanpa diminta menemukan cara untuk mengurangi limbah produksi hingga 90%. Semangat kerja mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya. FAVI menjadi pemimpin pasar di niche-nya, mengalahkan pesaing dari negara berbiaya rendah [1].
Kisah FAVI ini bukanlah dongeng. Ini adalah salah satu dari banyak studi kasus nyata yang diungkap oleh Frederic Laloux dalam bukunya yang visioner, “Reinventing Organizations: A Guide to Creating Organizations Inspired by the Next Stage of Human Consciousness” (2014). Buku ini berargumen bahwa kemanusiaan sedang berada di ambang melompat ke dalam cara baru yang revolusioner dalam mengelola organisasi—cara yang lebih adaptif, holistik, dan membangkitkan jiwa.
Laloux tidak menawarkan “tips manajemen” lainnya. Dia menyajikan sebuah peta evolusi yang menunjukkan bagaimana bentuk organisasi kita telah berevolusi seiring dengan kesadaran manusia, dan dia mengajak kita untuk melompat ke tahap berikutnya. Dia menyatakan:
“Every time humanity has shifted to a new stage of consciousness, it has invented a new way to collaborate and make organizations work.” (Laloux, 2014, p. 4) [2].
Buku ini adalah sebuah kompas untuk mereka yang merasa bahwa birokrasi, politik kantor, dan pekerjaan yang tanpa jiwa bukanlah takdir kita, tetapi hanya sebuah tahapan yang sudah usang dalam perjalanan kita.
Evolusi Kesadaran dan Bentuk Organisasi
Fondasi teoretis seluruh buku ini dipaparkan pada Bab 1.1: “Changing Paradigms: Past and Present Organizational Models”. Di sini, Laloux memperkenalkan kerangka evolusioner yang brilian, yang berargumen bahwa setiap lompatan dalam kesadaran manusia telah melahirkan bentuk organisasi yang sama sekali baru. Ini bukan sekadar perbaikan incremental, tetapi perubahan paradigma yang menyeluruh.
Laloux membuka bab dengan sebuah proposisi yang powerful: cara kita mengelola organisasi bukanlah hal yang kebetulan atau murni hasil dari efisiensi. Ia adalah cerminan langsung dari tingkat kesadaran kolektif kita pada masa itu. “Every time in history that humanity has shifted to a new stage of consciousness, it has invented a whole new way to come together and collaborate… We have created organizations that are perfectly suited to our current worldview.” (Laloux, 2014, p. 4) [1].
Dia menggunakan kerangka kerja dari teori perkembangan manusia, seperti Spiral Dynamics, untuk memetakan evolusi ini. Setiap model organisasi diberi kode warna yang mewakili “paradigma” atau “memetika” dunia yang mendasarinya.
Model organisasi yang dijelaskan Laloux, dimulai dari yang tertua.
1. Paradigma ORGANISASI MERAH (Red Organizations) – Kesadaran Impulsif. Mirip dengan kawanan serigala atau geng mafia. Didorong oleh kekuatan dan kepatuhan yang impulsif. Strukturnya mirip “kekuasaan tuan-tuan budak”. Efektif untuk bertahan hidup jangka pendek, tetapi tidak stabil
- Metafora Inti: Kawanan Serigala (The Wolf Pack). Organisasi adalah tentang kekuatan dan kekuasaan yang impulsif.
- Konteks Sejarah & Sosial: Muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu dengan suku-suku awal, geng jalanan, mafia.
- Struktur & Kekuasaan: Strukturnya berbentuk “kekuasaan tuan-budak”. Seorang pemimpin yang kuat (sang “Alpha”) berada di puncak, memerintah melalui rasa takut, impuls, dan kekuatan langsung. Kekuasaan dipegang dengan “cakar dan taring”.
- Pencapaian & Inovasi: Model Merah mampu mengoordinasikan beberapa ratus orang untuk pertama kalinya dalam sejarah, sebuah pencapaian yang revolusioner pada masanya.
- Keterbatasan: Sangat tidak stabil. Kekuasaan bergantung pada kekuatan terus-menerus dari pemimpin. Begitu pemimpin menunjukkan kelemahan, dia akan segera digulingkan oleh orang yang lebih kuat. Tidak ada hierarki yang stabil atau proses yang dapat diprediksi.
- Contoh Modern: Geng kriminal, pasukan paramiliter, dan dalam bentuk yang lebih lunak, lingkungan kerja yang diwarnai oleh pelecehan dan intimidasi oleh seorang bos.
2. Paradigma ORGANISASI AMBER (Amber Organizations) – Kesadaran Konformis
- Metafora Inti: Tentara (The Army). Organisasi adalah tentang stabilitas, keteraturan, dan hierarki yang formal dan dapat diprediksi.
- Konteks Sejarah & Sosial: Muncul dengan peradaban pertanian skala besar (sekitar 4000 SM). Contoh paling sempurna: Gereja Katolik abad pertengahan dan birokrasi sipil.
- Struktur & Kekuasaan: Strukturnya piramidal dan hierarkis yang stabil. Kekuasaan mengalir dari atas ke bawah. Inovasi kuncinya adalah peran dan proses yang formal dan dapat direplikasi. Untuk pertama kalinya, organisasi dapat mencapai skala yang masif (seluruh kekaisaran) dan bertahan melampaui masa hidup seorang pemimpin.
- Pencapaian & Inovasi:
- Hierarki yang Stabil: Posisi tidak lagi bergantung hanya pada kekuatan individu.
- Proses yang Dapat Diprediksi: Memungkinkan perencanaan jangka menengah (misalnya, menanam dan menyimpan hasil panen).
- Keterbatasan: Sangat kaku dan tidak adaptif. Perubahan hanya bisa datang dari atas. Inovasi dan umpan balik dari level bawah diredam. Individu diharapkan untuk mematuhi dan menyesuaikan diri dengan peran dan aturan mereka. Pikiran individu ditekan demi stabilitas kolektif.
- Contoh Modern: Lembaga pemerintah tradisional, sistem pendidikan publik yang kaku, organisasi militer tradisional, dan gereja yang sangat hierarkis.
3. Paradigma ORGANISASI JINGGA (Orange Organizations Orange – Achievist) – Kesadaran Pencapaian. Ini adalah model dominan di dunia korporat saat ini. Organisasi dilihat sebagai “mesin”. Tujuannya adalah untuk menang, menghasilkan laba, dan tumbuh. Inovasi, akuntabilitas, dan meritokrasi adalah kuncinya. Namun, ini menyebabkan persaingan internal yang kejam, tujuan yang sempit (hanya uang), dan perasaan hampa. Relevansi: Mayoritas perusahaan Fortune 500 dan konglomerat global beroperasi dengan paradigma ini.
- Metafora Inti: Mesin (The Machine). Organisasi adalah sebuah mesin yang dirancang untuk mencapai tujuan, terutama laba dan pertumbuhan.
- Kontej Sejarah & Sosial: Muncul dengan Zaman Pencerahan dan Revolusi Industri. Dunia dilihat sebagai sebuah mesin yang kompleks namun dapat dipahami dan dikendalikan.
- Struktur & Kekuasaan: Masih piramidal, tetapi lebih cair daripada Amber. Inovasi kuncinya adalah akuntabilitas dan inovasi. Kekuasaan masih terpusat di puncak, tetapi delegasi menjadi mungkin. Manajemen berdasarkan sasaran (MBO) dan proyek lintas-fungsional muncul.
- Pencapaian & Inovasi:
- Inovasi: Untuk pertama kalinya, inovasi bukan lagi sebuah ancaman terhadap keteraturan (seperti di Amber), tetapi sesuatu yang secara aktif didorong untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.
- Meritokrasi: Orang dapat naik pangkat berdasarkan bakat dan pencapaian, bukan hanya karena kelahiran atau senioritas.
- Akuntabilitas: Hasil diukur dan individu bertanggung jawab atasnya.
- Keterbatasan: Menciptakan persaingan internal yang kejam, politik kantor, dan fokus yang sempit pada keuntungan materi dan pertumbuhan, sering kali dengan mengorbankan faktor-faktor lain. Ini menyebabkan pekerjaan yang terasa hampa dan tanpa jiwa. Banyak orang memakai “topeng profesional” dan merasa seperti “sekrup” dalam mesin raksasa.
- Contoh Modern: Mayoritas perusahaan Fortune 500, konglomerat global, dan sebagian besar perusahaan multinasional. Ini adalah paradigma yang mendominasi dunia bisnis modern.
4. Paradigma ORGANISASI HIJAU (Green Organizations) – Kesadaran Pluralis. Sebagai reaksi terhadap Jingga yang dingin, organisasi Hijau memandang organisasi sebagai “keluarga”. Fokusnya adalah pada budaya, pemberdayaan, dan nilai-nilai bersama. Kepemimpinan adalah pelayanan (servant leadership). Perusahaan seperti Zappos dan Ben & Jerry’s mewakili tahap ini.
Keterbatasan: Meski lebih manusiawi, Hijau sering kali mempertahankan struktur piramida dan berjuang dengan “konsensus yang melelahkan”. Pemberdayaan sering kali masih merupakan “hadiah” yang diberikan oleh manajemen, bukan hak yang melekat.
- Metafora Inti: Keluarga (The Family). Organisasi adalah sebuah keluarga yang bertujuan untuk memupuk harmoni, budaya, dan pemberdayaan.
- Konteks Sejarah & Sosial: Muncul sebagai reaksi terhadap dinginnya dan materialistik-nya paradigma Jingga. Dipengaruhi oleh gerakan hak-hak sipil dan postmodernisme pada tahun 1960-an.
- Struktur & Kekuasaan: Masih mempertahankan struktur piramidal Jingga, tetapi berusaha melibatkan dan memberdayakan orang-orang di level bawah. Kepemimpinan dilihat sebagai pelayanan (servant leadership). Fokusnya adalah pada nilai-nilai dan budaya bersama sebagai alat kohesi utama.
- Pencapaian & Inovasi:
- Pemberdayaan Stakeholder: Berusaha menciptakan nilai bagi semua pemangku kepentingan—bukan hanya pemegang saham, tetapi juga karyawan, pelanggan, dan masyarakat.
- Kepemimpinan yang Melayani: Pemimpin ada untuk melayani dan membangun tim mereka.
- Budaya yang Kuat: Investasi besar dalam membangun budaya organisasi yang inspiratif.
- Keterbatasan: Sering kali berjuang dengan “paradoks Hijau”. Di satu sisi, mereka menganjurkan pemberdayaan dan konsensus; di sisi lain, mereka mempertahankan struktur piramida di mana kekuasaan tertinggi masih berada di puncak. Pemberdayaan sering kali terasa seperti “hadiah” yang diberikan oleh manajemen, bukan hak yang melekat. Proses konsensus bisa lambat dan melelahkan.
- Contoh Modern: Perusahaan seperti Zappos (sebelum eksperimen Holacracy-nya), Ben & Jerry’s, The Container Store, dan banyak organisasi nirlaba.
Pentingnya Kerangka Ini: Sebuah Peta Evolusioner
Dengan memetakan evolusi ini, Laloux mencapai beberapa hal:
- Konteks Historis: Dia menunjukkan bahwa model kita saat ini (Jingga dan Hijau) bukanlah akhir dari sejarah. Mereka hanyalah sebuah tahapan. Ini membebaskan pikiran kita untuk membayangkan apa yang mungkin datang selanjutnya.
- Memvalidasi Setiap Tahap: Setiap paradigma, dalam konteksnya, adalah sebuah terobosan. Merah lebih baik daripada kekacauan; Amber lebih baik daripada Merah; Jingga lebih baik daripada Amber; Hijau lebih baik daripada Jingga. Setiap model memecahkan masalah utama dari model sebelumnya, sambil menciptakan tantangan baru.
- Mempersiapkan Panggung untuk Teal: Dengan memahami keterbatasan paradigma Hijau (terutama paradoks pemberdayaan dalam hierarki), Laloux membangun kasus yang kuat mengapa lompatan evolusioner berikutnya—menuju paradigma Teal—tidak hanya diinginkan, tetapi juga diperlukan.
Bab ini pada dasarnya adalah sebuah cerita tentang bagaimana kita sampai di sini. Ini adalah fondasi yang memungkinkan Laloux, di bab-bab selanjutnya, untuk dengan penuh keyakinan memperkenalkan Organisasi Teal bukan sebagai sebuah khayalan, tetapi sebagai tahap evolusioner yang logis dan sudah muncul berikutnya dalam perjalanan panjang kita dalam berorganisasi.
Penemuan Laloux tentang organisasi dipaparkan di “Three Breakthroughs And A Metaphor” (Bab 2.1). Di sini, dia beralih dari diagnosis evolusioner ke deskripsi tentang seperti apa bentuk organisasi paradigma baru ini. Dia mengidentifikasi tiga terobosan mendasar yang membedakan organisasi Teal dari model sebelumnya, dan dia memberikan sebuah metafora yang powerful untuk memahaminya.
Kutipan pembuka, “Nothing is as powerful as an idea whose time has come” (Victor Hugo), menegaskan bahwa terobosan ini bukanlah ciptaan teoritis, tetapi merupakan pola yang muncul secara organik di berbagai organisasi yang telah mencapai tahap kesadaran ini.
Metafora Sentral: Organisasi sebagai Organisme Hidup
Sebelum menyelami tiga terobosan, Laloux membongkar metafora dominan dari paradigma sebelumnya:
- Organisasi Amber sebagai “Tentara”: Kaku, hierarkis, dan berorientasi pada perintah.
- Organisasi Jingga sebagai “Mesin”: Efisien, dapat diprediksi, dan bertujuan untuk menghasilkan output.
- Organisasi Hijau sebagai “Keluarga”: Hangat, peduli, dan berfokus pada budaya.
Metafora Teal adalah Organisasi sebagai Organisme Hidup. “Teal Organizations are viewed as living entities, with their own energy, sense of direction, and evolutionary purpose.” (Laloux, 2014, p. 44) [1].
Metafora ini memiliki implikasi yang dalam:
- Bertujuan Sendiri: Sebuah organisme hidup memiliki dorongan intrinsiknya sendiri untuk tumbuh, menjadi apa adanya, dan berinteraksi dengan lingkungannya. Demikian pula, organisasi Teal dipandang memiliki jiwa atau tujuan evolusionernya sendiri.
- Berinteraksi dengan Lingkungan: Sebuah organisme tidak mencoba mengendalikan lingkungannya, tetapi terus-menerus beradaptasi dan berevolusi bersamanya dalam hubungan yang saling memengaruhi.
- Bagian dari Sistem yang Lebih Besar: Organisasi adalah bagian dari ekosistem yang lebih luas dan memiliki tanggung jawab terhadapnya.
Dengan metafora ini sebagai landasan, Laloux memperkenalkan Tiga Terobosan yang menjadi pilar operasional organisasi Teal.
Buku ini adalah lompatan revolusioner: organisasi teal (teal – evolutionary) yang merupakan inti dari buku Laloux. Organisasi Teal mewakili lompatan kualitatif, bukan hanya perbaikan dari model sebelumnya. Ini didasarkan pada tiga Terobosan utama:
Terobosan 1: PENGELOLAAN DIRI (Self-Management)
Ini adalah terobosan struktural. Organisasi Teal beroperasi secara efektif—bahkan dalam skala ribuan orang—tanpa memerlukan hierarki piramida, rantai komando, atau lapisan manajemen menengah.
- Prinsip Inti: Kekuasaan didistribusikan secara radikal. Tidak ada lagi atasan dan bawahan. Individu dan tim memiliki kebebasan yang sangat besar untuk mengambil keputusan yang memengaruhi pekerjaan mereka.
- Bagaimana Cara Kerjanya?
- Struktur Jaringan yang Dinamis: Alih-alih bagan organisasi yang tetap, struktur organisasi terdiri dari tim atau “lingkaran” yang mengatur diri sendiri, yang saling terhubung dalam jaringan yang terus berevolusi.
- Peran, Bukan Deskripsi Pekerjaan: Orang sering kali memegang beberapa peran yang berbeda, yang didefinisikan dengan jelas mengenai tujuan dan tanggung jawabnya. Peran-peran ini dapat beradaptasi dan berubah dengan cepat sesuai kebutuhan.
- Proses Penasihat (The Advice Process): Ini adalah mekanisme kunci untuk pengambilan keputusan. Siapa pun dapat membuat keputusan penting apa pun, tetapi dengan satu syarat penting: mereka harus terlebih dahulu meminta nasihat dari (1) semua orang yang akan terkena dampak signifikan dari keputusan tersebut, dan (2) para ahli di bidangnya. Setelah meminta nasihat, pembuat keputusan bebas memutuskan apa yang mereka anggap terbaik.
- Menggabungkan Kecepatan dan Kebijaksanaan: Proses ini menghindari kelambanan birokrasi dan konsensus yang melelahkan, sekaligus memanfaatkan kecerdasan kolektif organisasi.
- Dampak: Struktur ini melepaskan motivasi intrinsik, kreativitas, dan akuntabilitas yang luar biasa. Orang tidak lagi menunggu perintah; mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab penuh atas peran dan tim mereka.
Organisasi Teal menghilangkan hierarki piramida dan menggantinya dengan sistem di mana tidak ada atasan dan bawahan. Kekuasaan didistribusikan secara radikal.
- Struktur: Organisasi beroperasi sebagai jaringan tim yang mengatur diri sendiri (self-managing teams). Tidak ada bagan organisasi yang tetap.
- Proses Pengambilan Keputusan: Bukan melalui perintah atau konsensus, tetapi melalui proses penasihat (advice process). Siapa pun dapat membuat keputusan besar, tetapi mereka harusterlebih dahulu meminta nasihat dari (1) semua yang akan terkena dampak signifikan, dan (2) para ahli di bidangnya. Setelah itu, mereka bebas memutuskan apa pun. Ini menggabungkan kecepatan dengan kebijaksanaan kolektif.
- Contoh: Perusahaan konsultan Buurtzorg di Belanda, dengan 10.000+ perawat, tidak memiliki manajer. Tim-tim kecil perawat mengatur jadwal, anggaran, dan perawatan klien mereka sendiri. Hasilnya? Hasil kesehatan pasien yang jauh lebih baik dengan biaya 40% lebih rendah bagi sistem kesehatan nasional [2].
Kutipan Kunci: “In self-managing organizations, the power to decide is truly distributed. It is not delegated; it is inherent in every role.” (Laloux, 2014, p. 60).
Terobosan 2: KEUTUHAN (Wholeness)
Ini adalah terobosan budaya dan personal. Paradigma organisasi sebelumnya (terutama Jingga) sering memaksa kita untuk memakai “topeng profesional”—kita meninggalkan sebagian kepribadian kita di rumah untuk mematuhi norma-norma rasional dan “profesional” di tempat kerja. Organisasi Teal secara sengaja mengundang kita untuk membawa seluruh diri kita ke tempat kerja.
“We are used to showing up with a narrow “professional” self, and we check other parts of ourselves at the door. Wholeness is the spiritual yearning to be allowed to express our uniqueness in the community, to be seen and appreciated for who we are.” (Laloux, 2014, p. 49) [1].
- Prinsip Inti: Menciptakan ruang yang aman di mana orang merasa bebas untuk mengekspresikan keunikan mereka secara utuh—tidak hanya kekuatan dan kecerdasan rasional mereka, tetapi juga kerentanan, intuisi, emosi, dan sisi spiritual mereka.
- Praktik Nyata:
- Ruang untuk Kerapuhan: Memulai pertemuan dengan “check-in” di mana orang dapat berbagi keadaan emosional atau personal mereka, sehingga hadir sepenuhnya.
- Mengakui Segala Aspek Manusia: Mengizinkan ekspresi kreativitas (seni, musik), pengakuan terhadap sisi emosional dalam konflik, dan penciptaan ritual yang bermakna.
- Hubungan yang Otentik: Mendorong percakapan yang jujur dan tulus, di mana orang dapat saling menantang dengan penuh hormat dan peduli.
- Dampak: Ketuhanan mengubah energi yang dihabiskan untuk “menjaga citra” menjadi energi untuk inovasi dan koneksi yang mendalam. Ini memupuk rasa memiliki dan kepuasan kerja yang sangat dalam, karena orang merasa diterima dan dihargai sepenuhnya.
Terobosan 3: TUJUAN EVOLUSIONER (Evolutionary Purpose)
Ini adalah terobosan strategis. Dalam paradigma Jingga, organisasi adalah sebuah “mesin” yang diarahkan oleh manajemen puncak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (biasanya laba dan pertumbuhan). Dalam paradigma Teal, persepsinya berubah secara fundamental.
- Prinsip Inti: Organisasi dipandang sebagai kekuatan hidup dengan potensi sendiri dan tujuan yang ingin diwujudkannya. Peran kita bukan untuk menciptakan strategi dan mengendalikan organisasi, tetapi untuk mendengarkan ke mana organisasi ingin pergi, dan melayani tujuannya.
- Bagaimana Cara Kerjanya?
- Merasakan dan Merespons (Sense and Respond): Alih-alih “memprediksi dan mengendalikan” melalui perencanaan strategis jangka panjang yang kaku, organisasi Teal terus-menerus “merasakan” lingkungan dan peluang yang muncul, lalu “merespons” dengan gesit. Mereka bergerak berdasarkan apa yang terasa “tepat” dan selaras dengan tujuan organisasi.
- Peran Pemimpin yang Berubah: Pemimpin beralih dari “pengendali catur” (yang mencoba mengontrol setiap gerakan) menjadi “tukang kebun“—mereka menciptakan kondisi yang subur, lalu mempercayai bahwa organisasi akan menemukan jalannya sendiri untuk tumbuh dan berkembang.
- Tujuan di Atas Laba: Laba tetap penting, tetapi bukan sebagai tujuan akhir. Laba dilihat seperti oksigen bagi tubuh—sangat penting untuk hidup, tetapi bukan alasan untuk hidup. Tujuan evolusioner organisasilah yang menjadi kompas utamanya.
- Dampak: Pendekatan ini memungkinkan kelincahan, ketahanan, dan inovasi yang luar biasa. Organisasi tidak lagi berjuang melawan perubahan, tetapi merangkulnya sebagai ekspresi dari perjalanan evolusionernya sendiri.
Kutipan Kunci: “The organization is viewed as a living entity, with its own energy, sense of direction, and evolutionary purpose. Our role is to listen in to where it wants to go.” (Laloux, 2014, p. 135).
Sintesis: Tiga Terobosan yang Saling Memperkuat
Kekuatan model ini terletak pada bagaimana ketiga terobosan ini saling terkait dan saling memperkuat:
- Pengelolaan Diri menciptakan struktur yang cair yang memungkinkan organisasi dengan mudah “merasakan dan merespons” (Tujuan Evolusioner).
- Ketuhanan menciptakan budaya kepercayaan dan keotentikan yang diperlukan bagi orang untuk menangani kekuatan yang terdistribusi (Pengelolaan Diri) tanpa jatuh ke dalam kekacauan.
- Tujuan Evolusioner memberikan kompas moral dan arah bersama yang menyelaraskan tindakan semua orang dalam sistem yang mengatur diri sendiri, menggantikan kebutuhan akan kontrol dari atas.
Secara bersama-sama, ketiganya mewujudkan metafora organisme hidup: sebuah entitas yang mengatur diri sendiri (self-managing), diisi oleh orang-orang yang utuh (wholeness), dan didorong oleh tujuan intrinsiknya sendiri (evolutionary purpose).
Bab ini, dengan demikian, memberikan cetak biru yang koheren dan menarik untuk sebuah bentuk organisasi yang tidak hanya lebih manusiawi dan memuaskan, tetapi juga secara fundamental lebih adaptif dan tangguh dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.
Setelah menggambarkan keindahan organisasi Teal, Laloux menghadapi pertanyaan yang paling mendesak: “Bagaimana caranya kita mengubah organisasi yang sudah ada—dengan semua budaya, struktur, dan kebiasaan lamanya—menuju paradigma ini?” Berbeda dengan bab-bab sebelumnya yang deskriptif, bab Transformasi bersifat preskriptif. Laloux mengakui bahwa ini adalah jalan yang penuh tantangan, tetapi bukan tidak mungkin. Dia menawarkan sebuah peta, bukan sebagai resep yang kaku, tetapi sebagai serangkaian prinsip dan wawasan yang dikumpulkan dari organisasi-organisasi perintis.
Perjalanan Transformasi, Bukan Perbaikan
Laloux menekankan sejak awal bahwa transisi ke Teal bukanlah sebuah inisiatif perubahan biasa. Ini adalah pergeseran paradigma yang mendalam. Ini bukan tentang memperkenalkan program pemberdayaan baru atau merombak struktur organisasi. Ini adalah perubahan mendasar dalam keyakinan, kekuasaan, dan hubungan.
“The shift to Teal is a metamorphosis. It requires a fundamental rethinking of assumptions about authority, structure, and the very purpose of the organization.” (Laloux, 2014, p. 284) [1].
Oleh karena itu, pendekatan “top-down” tradisional—di mana para pemimpin merancang perubahan dan memaksakannya ke bawah—pada dasarnya bertentangan dengan jiwa Teal itu sendiri. Transformasi harus selaras dengan prinsip-prinsip Teal sejak awal.
Prinsip-Prinsip Kunci untuk Transformasi
Laloux menguraikan beberapa prinsip panduan yang krusial untuk perjalanan ini:
1. Perubahan Harus Dimulai dari “Dalam dan Dari Bawah” (Inside-Out and Bottom-Up)
- Dalam dan Keluar (Inside-Out): Transformasi harus dimulai dengan perubahan kesadaran internal dari orang-orang yang terlibat, terutama sang pemimpin. Mereka harus melakukan perjalanan pribadi untuk berevolusi ke dalam pola pikir Teal—melepaskan kebutuhan untuk mengontrol, mempercayai proses, dan merangkul kerentanan. Tanpa transformasi batin sang pemimpin, upaya apa pun akan gagal.
- Dari Bawah Ke Atas (Bottom-Up): Meskipun dukungan dari atas sangat penting, energi untuk perubahan tidak boleh datang hanya dari atas. Perubahan harus “muncul” (emerge) dari orang-orang yang merasakan panggilan untuk bekerja dengan cara yang lebih otentik dan bermakna. Inisiatif kecil dari akar rumput adalah katalisator yang powerful.
2. Perubahan sebagai Proses yang “Muncul” (Change as an Emergent Process)
Alih-alih mengikuti rencana master yang detail dan linier (pendekatan Jingga), transformasi ke Teal bersifat iteratif dan eksperimental.
- Rasakan dan Merespons (Sense and Respond): Organisasi harus “merasakan” area di mana rasa sakit atau energi untuk perubahan paling besar—mungkin dalam satu tim, departemen, atau proses tertentu—dan kemudian memulai sebuah prototipe atau percobaan di sana.
- Mulai dari Mana yang Memungkinkan: Tidak perlu mengubah seluruh organisasi sekaligus. Cari “titik masuk” (entry point)—sebuah tim yang terbuka, seorang manajer yang mendukung, atau sebuah proses yang sudah usang—dan mulailah dari sana. Kesuksesan di area kecil ini akan menjadi bukti konsep yang powerful yang memberi energi pada perubahan yang lebih luas.
3. Peran Penting Sang Pemimpin (Pendiri atau CEO)
Laloux sangat tegas: Transformasi ini hampir mustahil tanpa komitmen penuh dan transformasi personal dari pemimpin puncak (CEO atau Pemilik).
“The CEO or founder must not only support the change but personally embody the new consciousness. They must be willing to fundamentally rethink their role and redistribute their power.” (Laloux, 2014, p. 289) [1].
Peran pemimpin dalam transformasi ini sangat berbeda:
- Dari Pengendali menjadi Fasilitator: Tugas mereka bukanlah untuk memimpin perubahan dengan memberikan perintah, tetapi untuk menciptakan wadah yang aman di mana perubahan dapat muncul.
- Melindungi Proses: Mereka harus melindungi percobaan-percobaan awal dari skeptisisme dan tekanan budaya lama untuk kembali ke “business as usual.”
- Memimpin dengan Keteladanan: Mereka harus secara aktif mempraktikkan kerentanan, transparansi, dan kepercayaan—misalnya, dengan secara sukarela mengadopsi Proses Penasihat untuk keputusan mereka sendiri.
Langkah-Langkah Praktis dan Area Intervensi
Laloux menyarankan untuk memulai dengan praktik-praktik tertentu yang dapat berfungsi sebagai katalis. Praktik-praktik ini adalah perwujudan dari Tiga Terobosan Teal.
1. Memperkenalkan Praktik Pengelolaan Diri (Self-Management Practices)
- Langkah Awal: Mulailah dengan Proses Penasihat (The Advice Process). Perkenalkan sebagai alat untuk pengambilan keputusan tertentu. Ini adalah cara yang relatif aman untuk memberi orang rasa kekuasaan yang terdistribusi dan membangun kepercayaan.
- Pertemuan yang Check-in: Mulailah rapat dengan putaran “check-in” di mana setiap orang berbagi keadaan emosional atau mental mereka. Ini adalah pintu masuk praktis menuju Ketuhanan (Wholeness).
- Ubah Struktur Secara Bertahap: Daripada membubarkan semua manajer sekaligus, mulailah dengan mendorong tim untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab atas area mereka sendiri, secara bertahap membuat peran manajemen menengah menjadi usang.
2. Mengubah Pertemuan dan Proses Konflik
- Pertemuan Restoratif: Ganti pertemuan yang berfokus pada pengendalian dan pelaporan dengan pertemuan yang berfokus pada pembelajaran dan penyelesaian masalah bersama.
- Proses Konflik yang Konstruktif: Perkenalkan mekanisme untuk menangani konflik secara terbuka dan jujur, melihatnya sebagai sumber energi dan pembelajaran, bukan sebagai sesuatu yang harus ditakuti atau ditekan.
3. Meninjau Ulang Kebijakan Formal (Mulai dari Buku Aturan)
Laloux menyarankan latihan yang powerful: Kumpulkan semua kebijakan, prosedur, dan buku pedoman organisasi. Letakkan di tengah ruangan dan tanyakan: “For each of these rules, let’s ask: Does this rule truly serve the organization’s purpose? Or was it created out of fear, mistrust, or a desire for control? Can we simplify or eliminate it?” (Laloux, 2014, p. 297) [1].
Gagasan ini secara simbolis dan praktis membongkar warisan paradigma Amber dan Jingga.
Ada sejumlah tantangan dan jebakan yang harus diwaspadai. Laloux dengan jujur menguraikan tantangan terberat:
- Ketakutan dan Ketidaknyamanan: Melepaskan kendali itu menakutkan. Baik pemimpin maupun karyawan mungkin merasa cemas dengan ketidakpastian dan tanggung jawab baru.
- Budaya Lama yang Kuat: Budaya yang mapan—dengan politik kantor, silo, dan rasa takut—sangat tahan terhadap perubahan. Butuh ketekunan untuk mengubahnya.
- “Pemimpin Zombie”: Ini adalah manajer menengah yang secara fisik telah beralih ke struktur baru, tetapi pola pikir dan perilakunya masih tertanam dalam paradigma lama (Jingga atau Amber). Mereka dapat secara tidak sengaja merusak transformasi.
- Kesabaran: Transformasi ini bukanlah perbaikan cepat. Ini adalah perjalanan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun, bukan bulan.
Tabel Perbandingan Komprehensif: Struktur, Praktik, dan Proses Organisasi Teal
Tabel di bawah ini mengelompokkan inovasi utama Teal berdasarkan tiga terobosannya, dan memberikan gambaran singkat tentang bagaimana hal itu terwujud dalam praktik.
| Terobosan Teal & Prinsip Inti | Inovasi Struktur/Praktik/Proses | Deskripsi & Implementasi Singkat |
| ��️ 1. SELF-MANAGEMENT Kekuasaan didistribusikan; tidak ada hierarki piramida. | Struktur Berbasis Tim & Peran | Organisasi terdiri dari tim atau “lingkaran” yang mengatur diri sendiri. Tidak ada bagan organisasi yang tetap. Orang memegang beberapa peranyang dinamis, bukan satu deskripsi pekerjaan yang kaku. |
| Proses Penasihat (Advice Process) | Mekanisme pengambilan keputusan kunci. Siapa pun dapat membuat keputusan penting, tetapi harus meminta nasihat dari: (1) mereka yang akan terkena dampak, dan (2) para ahli. Setelah itu, mereka bebas memutuskan. | |
| Mekanisme Resolusi Konflik | Proses formal dan terstruktur untuk menangani perselisihan, sering kali melibatkan mediator yang terlatih. Fokus pada penyembuhan dan restorasi hubungan, bukan pada menyalahkan. | |
| Perekrutan dan Pemecatan oleh Rekan | Tim secara kolektif mewawancarai dan memilih anggota baru mereka sendiri. Mereka juga memiliki wewenang untuk memutuskan apakah seorang anggota perlu meninggalkan tim atau organisasi. | |
| Evaluasi Kinerja oleh Rekan Sejawat | Umpan balik kinerja datang dari banyak rekan, bukan dari satu “atasan”. Sering kali dilakukan melalui proses 360-derajat yang terstruktur. | |
| �� 2. WHOLENESS Membawa seluruh diri kita ke tempat kerja. | Praktik Check-in & Ruang Aman | Pertemuan sering dimulai dengan “check-in” di mana orang berbagi keadaan emosional atau cerita pribadi, sehingga hadir sepenuhnya. Menciptakan ruang aman untuk berbagi kerentanan. |
| Ruang untuk Praktek Spiritual & Reflektif | Beberapa organisasi menyediakan ruang hening, meditasi bersama, atau mengakui aspek spiritual kehidupan. Ini adalah pengakuan bahwa manusia lebih dari sekadar “sumber daya”. | |
| Kebebasan Berekspresi secara Personal | Lingkungan kerja yang mendorong orang untuk mendekorasi ruang kerjanya, berpakaian sesuai gaya pribadi, dan mengekspresikan kreativitas mereka. | |
| Pertemuan yang Dirancang untuk Kehadiran Penuh | Mengurangi gangguan (seperti laptop dan ponsel) dalam rapat untuk mendorong mendengarkan secara mendalam dan keterlibatan penuh. | |
| �� 3. EVOLUTIONARY PURPOSE Organisasi memiliki jiwanya sendiri dan arah yang ingin ditujunya. | Perencanaan & Penganggaran yang “Merasakan dan Merespons” | Menggantikan perencanaan strategis 5-tahun yang kaku. Organisasi terus-menerus “merasakan” peluang dan kebutuhan, lalu “merespons” dengan cepat melalui proses penganggaran yang dinamis dan terdesentralisasi. |
| Proses untuk “Mendengarkan” Tujuan | Mengadakan pertemuan atau retret rutin untuk merefleksikan pertanyaan: “Apa yang ingin organisasi kita wujudkan? Ke mana kita ingin pergi?” Ini adalah cara untuk “mendengarkan” tujuan organisasi. | |
| Kebijakan Informasi Terbuka Sepenuhnya | Semua informasi keuangan dan operasional terbuka untuk semua karyawan. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa setiap orang adalah penjaga tujuan organisasi dan membutuhkan konteks penuh untuk membuat keputusan yang selaras. | |
| Pemimpin sebagai Pelayan Tujuan | Peran pemimpin bergeser dari “pengambil keputusan strategis” menjadi “pelayan tujuan organisasi”. Tugas mereka adalah memastikan struktur dan proses melayani tujuan evolusioner, bukan ego mereka. |
Uraian dan Elaborasi Kunci dari Tabel
1. Terkait SELF-MANAGEMENT: Dari Teori ke Praktek
- Dampak Struktur Berbasis Peran: Sistem ini sangat adaptif. Sebuah peran dapat dibuat, diubah, atau dihapus dalam hitungan minggu untuk merespons kebutuhan baru, tanpa perlu restrukturisasi besar-besaran.
- Filsafat di Balik Proses Penasihat: Proses ini dengan elegan menyelesaikan dilema antara kontrol dan kebebasan. Ini mempercayai kebijaksanaan individu sekaligus menghormati kebijaksanaan kolektif. Ini mencegah isolasi dan keputusan egois tanpa menciptakan birokrasi yang lambat.
- Mengatasi Ketakutan: Mekanisme seperti resolusi konflik dan evaluasi oleh rekan sejawat dirancang untuk bekerja dalam lingkungan yang didasarkan pada kepercayaan dan akuntabilitas bersama, bukan rasa takut terhadap atasan.
2. Terkait WHOLENESS: Menciptakan Kultur yang Memanusiakan
- Landasan Filosofis: Praktik-praktik ini berakar pada pemikiran bahwa manusia adalah multidimensi. Seperti yang mungkin diungkapkan oleh seorang filsuf atau penyair, “Kita bukanlah mesin yang dapat dipisahkan antara bagian ‘kerja’ dan ‘bukan kerja’.” Dengan mengundang seluruh diri seseorang, organisasi mendapatkan akses kepada kreativitas, intuisi, dan passion yang lebih dalam.
- Contoh Nyata: Sebuah perusahaan mungkin memulai rapat dengan satu menit keheningan, atau mengadakan lokakarya di mana karyawan membuat seni untuk mengekspresikan nilai-nilai tim. Ini bukan “hal yang lembut”, tetapi investasi dalam membangun modal sosial dan psikologisyang mendalam.
3. Terkait EVOLUTIONARY PURPOSE: Strategi sebagai Proses Hidup
- Perubahan Mindset dari “Predict & Control” ke “Sense & Respond”: Dalam dunia yang kompleks, adalah naif untuk percaya bahwa kita dapat memprediksi masa depan. Organisasi Teal mengakui hal ini dan malah membangun kapasitas untuk merasakan dan beradaptasi. Proses penganggaran mereka mungkin mirip dengan sistem VC internal, di mana tim mengajukan proposal untuk sumber daya berdasarkan peluang yang mereka rasakan.
- Informasi Terbuka sebagai Darah Kehidupan: Transparansi radikal adalah prasyarat untuk Self-Management. Bagaimana orang bisa membuat keputusan yang baik untuk organisasi jika mereka tidak memahami realitas keuangannya? Ini adalah ekspresi keyakinan yang mendalam terhadap setiap anggota organisasi.
- Konsep Kepemimpinan yang Berubah: Metafora “pemimpin sebagai tukang kebun” (dari Team of Teams) sangat relevan di sini. Seorang tukang kebun tidak bisa memerintahkan tanaman untuk tumbuh; dia menciptakan kondisi yang optimal dan kemudian mempercayai proses alaminya. Begitu pula pemimpin Teal.
Tabel Laloux di atas berfungsi sebagai bukti nyata bahwa Teal bukanlah sekadar teori filosofis. Ini adalah paradigma yang dapat dijalankan dengan serangkaian struktur, praktik, dan proses yang koheren dan saling memperkuat.
- SELF-MANAGEMENT menyediakan kerangka kerja untuk kelincahan dan akuntabilitas.
- WHOLENESS menyuntikkan bahan bakar motivasi dan kreativitas ke dalam kerangka kerja tersebut.
- EVOLUTIONARY PURPOSE memberikan kompas dan makna yang mengarahkan energi kolektif.
Ketiganya bersama-sama menciptakan sebuah sistem yang jauh lebih tangguh, adaptif, dan pada akhirnya lebih manusiawi daripada model organisasi sebelumnya. Tabel ini memberikan titik awal yang berharga bagi organisasi mana pun yang ingin bereksperimen dan memulai perjalanan transformasinya sendiri.
Relevansi dengan Dunia Saat Ini dan Masa Depan
Model Teal bukanlah utopia yang naif; ini adalah solusi pragmatis untuk tantangan abad ke-21.
- Kompleksitas dan Perubahan yang Cepat: Struktur komando-dan-kendali yang kaku terlalu lambat untuk dunia VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous). Organisasi yang mengatur diri sendiri, seperti Buurtzorg, jauh lebih adaptif dan tangguh.
- Krisis Keterlibatan dan Makna: Survei Gallup secara konsisten menunjukkan bahwa lebih dari 80% karyawan tidak terlibat secara emosional dalam pekerjaan mereka [5]. Organisasi Teal, dengan penekanannya pada “Wholeness” dan “Evolutionary Purpose”, menjawab langsung kerinduan manusia akan makna dan kepenuhan.
- Masa Depan Kerja dan AI: Ketika AI mengotomasi tugas-tugas rutin dan administratif, nilai manusia justru terletak pada kreativitas, empati, kolaborasi, dan intuisi—persis kualitas yang dibangkitkan dan dihargai dalam organisasi Teal.
Relevansi dengan Konteks Indonesia
Menerapkan model Teal di Indonesia adalah sebuah proposisi yang kompleks dan menarik, penuh dengan tantangan dan peluang.
Tantangan:
- Budaya Hierarkis yang Kuat: Budaya tinggi “power distance” dan rasa hormat yang besar kepada atasan (Bapak/Ibu) bertentangan dengan konsep pengelolaan diri yang radikal.
- Keterikatan pada Struktur “Mesin” Jingga: Banyak konglomerat dan BUMN Indonesia masih berjuang untuk beralih dari model keluarga/Red atau birokrasi/Amber ke model Jingga yang efisien. Melompat langsung ke Teal bisa terasa seperti lompatan yang terlalu jauh.
- Kebutuhan akan Kepastian: Sistem pendidikan dan sosial sering kali menanamkan kebutuhan akan kepastian dan jalur karir yang jelas, yang terganggu oleh struktur Teal yang cair.
Peluang:
- Gotong Royong sebagai Fondasi: Nilai inti Indonesia, Gotong Royong (kerja sama timbal balik), sangat selaras dengan semangat kolaborasi dan pengambilan keputusan kolektif dalam organisasi Teal. Ini bisa menjadi fondasi budaya yang lebih kuat daripada individualisme Barat.
- Kearifan Lokal dan Spiritualitas: Konsep “Ketuhanan” (Wholeness) sangat cocok dengan masyarakat Indonesia yang secara spiritual sadar. Nilai-nilai seperti musyawarah untuk mufakat(berdiskusi hingga mencapai konsensus) dapat diadaptasi menjadi “proses penasihat” yang otentik.
- UMKM yang Gesit: UMKM, yang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia, sering kali secara alami memiliki struktur yang datar dan lincah. Dengan kesadaran yang tepat, mereka dapat berevolusi menjadi organisasi Teal tanpa harus melalui fase birokrasi yang menyakitkan.
Catatan Akhir: Sebuah Undangan untuk Berevolusi
“Reinventing Organizations” pada akhirnya bukanlah sebuah buku tentang manajemen; ini adalah sebuah undangan untuk berevolusi—sebagai individu, sebagai tim, dan sebagai masyarakat. Laloux tidak menawarkan resep satu ukuran untuk semua, tetapi sebuah kerangka keyakinan:
Kutipan Penutup: “The revolution is not something we need to create. It is already happening. It is a movement that is emerging from the bottom up, in many places at once, as more and more people are feeling the call to bring more soul and more purpose into the workplace.“ (Laloux, 2014, p. 280).
Buku ini mengajak kita untuk percaya bahwa kita dapat membangun organisasi yang tidak hanya sukses secara finansial, tetapi juga menjadi tempat di mana kita dapat menyembuhkan luka-luka dunia, memulihkan jiwa kita, dan berkontribusi pada evolusi kesadaran manusia. Di Indonesia, dengan kekayaan budaya dan spiritualitasnya, pesan ini bukanlah impian yang mustahil, tetapi sebuah panggilan yang dalam untuk menyelaraskan cara kita bekerja dengan siapa kita sebenarnya.
Laloux tidak menjanjikan jalan yang mudah, tetapi dia meyakinkan pembaca bahwa jalan itu ada dan dapat dilalui. Kuncinya adalah memulai, bukan dengan rencana besar, tetapi dengan langkah kecil yang percaya diri. “The journey begins with a first step. Find an area where there is energy for change, and start a conversation. Prototype a new practice. Don’t try to have all the answers upfront. Trust that the next step will reveal itself once the first step is taken.” (Laloux, 2014, p. 301) [1].
Dia menekankan bahwa proses transformasi itu sendiri—dengan semua tantangan dan penemuannya—sering kali sama berharganya dengan hasil akhirnya, karena memaksa setiap orang untuk tumbuh dan berkembang secara pribadi. Dengan demikian, mengubah sebuah organisasi yang sudah ada menjadi organisasi Teal bukan hanya tentang menciptakan tempat kerja yang lebih baik; ini adalah sebuah perjalanan heroik kolektif menuju kesadaran yang lebih penuh.
Lumajang-Cirebon, 25 November 2025
Dwi Rahmad Muhtaman
Referensi
[1] Laloux, F. (2014). Reinventing Organizations: A Guide to Creating Organizations Inspired by the Next Stage of Human Consciousness. Nelson Parker.
[2] Ibid.
[3] Rumi, J. (n.d.). The Essential Rumi. Translations by Coleman Barks.
[4] Tzu, L. (n.d.). Tao Te Ching. (Various translations).
[5] Gallup. (2022). State of the Global Workplace Report. Retrieved from https://www.gallup.com/workplace/349484/state-of-the-global-workplace.aspx
[6] Coughlan, R. (2015). [Review of the book Reinventing Organizations, by F. Laloux]. Journal of Leadership Studies, 8(4), 58-59. https://doi.org/10.1002/jls.21352
[7] Clamp, C. A. (2017). [Review of the book Reinventing Organizations, by F. Laloux]. Academy of Management Learning & Education, 16(1), 157-159. https://doi.org/10.5465/amle.2016.0310






