#03 Rubarubu
Merebut Kembali Kemampuan Hidup yang Hilang
Suatu saat saya melakukan perjalanan ke luar kota. Setiba di bandara, baru menyadari kalau telpon genggam saya mati. Baterei sekarat. Sedangkan tiket satu-satunya adalah tiket elektronik yang bercokol di aplikasi telpon. Panik tak bisa dihindari lagi. Buru-buru saya mencari colokan listrik. Beruntung cukup waktu untuk menyalakan dan mengambil tiket.
Dulu waktu kecil hampir semua kebutuhan sayur mayur, cabe, tomat bisa dengan mudah dipanen dari pekarangan kecil di samping rumah. Bahkan telor ayam bisa dipenuhi sendiri dari beberapa ekor ayam kampung yang kami pelihara. Tak ada hal-hal yang menyusahkan. Kebutuhan sehari-hari sebagian bisa dipenuhi tanpa ribet.
Tetapi kini segalanya berbeda. Kita sangat tergantung pada teknologi. Kita sangat tergantung pada pasar. Semua serbabeli. KIta tak lagi mampu mandiri. Kemampuan menghidupi diri sendiri telah hilang.
Buku Attainable Sustainable: The lost art of self-reliant living karya Kris Bordessa hadir sebagai jawaban atas kehidupan modern yang semakin terpisah dari sumber pangannya. Buku ini bukan sekadar panduan keterampilan, melainkan sebuah manifesto yang mengajak kita untuk merebut kembali kendali atas kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang praktis dan dapat dicapai. Bordessa berargumen bahwa keberlanjutan bukanlah tentang kesempurnaan, tetapi tentang serangkaian pilihan kecil yang bermakna. Ia menulis, “Self-reliance isn’t about moving to a remote cabin and living off the land. It’s about making conscious choices, right where you are, that reduce your reliance on a fragile and distant supply chain.” Filsuf Amerika, Henry David Thoreau, yang mengasingkan diri di Walden Pond, mencatat, “I went to the woods because I wished to live deliberately…” Semangat untuk “hidup dengan sengaja” inilah yang menjadi jiwa buku Bordessa, yang dapat diterapkan di halaman belakang kota maupun di pedesaan.
Bordessa sendiri telah berupaya dengan tekun untuk menjalani gaya hidup yang lebih hijau dan mandiri selama sebagian besar masa dewasanya. Bersama suami dan kedua putranya, dia telah menjadikan Hawaii sebagai rumahnya selama lebih dari belasan tahun. Meskipun dia kesulitan menanam tomat dan zucchini di iklim tropis, hasil panen pisang dan alpukatnya (hampir) mengimbangi kekurangan itu.
Inti dari kehidupan mandiri yang dibahas buku ini dimulai dari tanah. Bordessa memberikan panduan komprehensif untuk menciptakan kebun produktif, baik di lahan luas maupun di wadah-wadah kecil. Buku ini tidak berhenti pada panen, tetapi mengajarkan seni mengawetkan kelimpahan tersebut melalui teknik pengalengan, pengeringan, dan fermentasi. Pengetahuan ini, yang dahulu diturunkan dari generasi ke generasi, dihidupkan kembali untuk mengurangi limbah makanan dan memastikan persediaan pangan yang bergizi sepanjang tahun. “A garden, no matter how small, is a declaration of independence,” katanya. Dalam konteks ini, kata-kata Nabi Muhammad SAW, “Tidaklah seorang muslim menanam suatu pohon, lalu pohon itu dimakan oleh manusia, binatang atau sesuatu, melainkan hal itu menjadi sedekah baginya,” memberikan dimensi spiritual. Setiap tanaman yang kita tanam bukan hanya sumber pangan, tetapi juga menjadi amal jariyah yang berkelanjutan bagi kelestarian lingkungan. Membangun fondasi dari tangan sendiri, berkebun atau mengawetkan makanan.
Bordessa memperluas konsep kemandirian pangan melampaui kebun tradisional. Buku ini mengajak pembaca untuk melihat sekelilingnya sebagai sumber pangan potensial, termasuk memanfaatkan tanaman liar yang dapat dimakan dan buah-buahan yang terbuang di lingkungan sekitar. Selain itu, buku ini membahas praktik beternak hewan kecil seperti ayam atau lebah untuk pasokan telur, madu, dan penyerbukan yang berkelanjutan. “Foraging connects us to the landscape in a profound way, turning a simple walk into a treasure hunt,” tulisnya. Penyair Indonesia, Sapardi Djoko Damono, dalam puisinya Hujan Bulan Juni menangkap keintiman dengan alam: “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni/ dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon yang berbunga itu.” Bordessa mengajak kita untuk menjadi seperti hujan yang “tabah” itu, yang dengan lembut dan terus-menerus membina hubungan yang produktif dengan alam sekitarnya.
Ibu saya adalah orang yang termasuk langka. Apapun yang ditanam, dan hewan apapun yang diperlihara selalu berkembangbiak dengan baik. Ayam dan angsa yang dipelihara bebas, ketika ada suara panggilan dari mulut Ibu darimanapun mereka berkeliaran asal dengar suara itu maka berdatanganlah mereka dengan bergegas. Itulah salah satu keterampilan rumah tangga yang memberdayakan.
Buku ini membangkitkan keterampilan rumah tangga klasik yang hampir punah: membuat roti sourdough, membuat keju sederhana, hingga menenun dan menjahit. Juga tentu tentang bercocok tanam dan beternak. Bordessa menunjukkan bahwa aktivitas-aktivitas ini bukanlah sekadar hobi, tetapi merupakan tindakan pemberdayaan yang mengurangi ketergantungan pada produk industri dan kemasan sekali pakai. Setiap keterampilan yang dikuasai adalah langkah menuju otonomi yang lebih besar. Sayangnya kita tidak menyadari semua itu. Sehingga kini kemampun yang memberdayakan itu hilang dan tidak pernah diwariskan ke generasi-generasi baru. “When you make it yourself, you know exactly what’s in it. You take control of your health, your budget, and your environmental impact,” tekannya. Tokoh Muslimah abad ke-7, Khadijah binti Khuwailid, adalah contoh nyata seorang wanita yang mandiri dan tangguh melalui usaha dagangnya. Semangat kewirausahaan dan kemandiriannya selaras dengan pesan buku ini untuk mengambil kendali atas kehidupan ekonomi dan konsumsi kita sendiri.
Attainable Sustainable dengan tegas menyatakan bahwa kemandirian sejati berarti menghasilkan lebih sedikit sampah. Keberlanjutan melalui pengurangan dan daur ulang.
Bordessa memberikan strategi praktis untuk hidup dengan lebih sedikit limbah, termasuk membuat pembersih rumah tangga sendiri, merawat dan memperbaiki barang, serta mendaur ulang limbah dapur menjadi kompos. Praktik-praktik ini mengubah hubungan kita dari konsumen pasif menjadi pengelola sumber daya yang aktif. “Zero waste isn’t a destination; it’s a direction. Every item you refuse, repair, or repurpose is a victory,” ujarnya. Filsuf Prancis, Antoine de Saint-Exupéry, dalam The Little Prince mencatat, “What is essential is invisible to the eye.” Buku ini mengajak kita untuk melihat yang “esensial”—yaitu sistem pendukung kehidupan kita—dan merawatnya dengan mengurangi beban yang kita timpakan padanya.
Buku ini juga mendorong para pembaca untuk membangun komunitas yang tangguh. Bertukar pengetahuan dan pengalaman dan menularkan virus kemandirian ini pada lainnya. Bordessa menekankan bahwa kehidupan yang berkelanjutan bukanlah tentang mengisolasi diri, melainkan justru tentang membangun komunitas yang saling mendukung. Dia mencontohkan dirinya sendiri. Ketika dia tidak sedang berkebun, kemungkinan besar dia sedang mengobrol dengan penuh semangat bersama ayam, bebek, kelinci, dan kucing-kucing yang menjadi anggota rumah tangganya. Buku ini mendorong pembaca untuk terlibat dalam pertukaran bibit, alat, dan keterampilan dengan tetangga, serta mendukung petani dan pengrajin lokal. Jaringan komunitas yang tangguh ini adalah pengaman sosial terbaik di saat krisis. “Our ancestors survived because they worked together. True self-reliance includes knowing when and how to rely on your community,” pesannya. Nilai ini sangat sejalan dengan konsep Gotong Royong dalam budaya Indonesia, yang merupakan filosofi hidup untuk bahu-membahu dan bekerja sama mencapai kesejahteraan bersama. Keberlanjutan, dalam lensa ini, adalah sebuah proyek kolektif.
Catatan Akhir
Berbagai tantangan keberlanjutan yang berkecamuk saat ini membuat gagasan yang dituliskan pada buku ini sangat relevan. Dan makin relevan untuk masa depan yang tidak pasti ini. Dalam konteks ketidakpastian global—mulai dari gangguan rantai pasokan, krisis iklim, hingga kestabilan ekonomi—pengetahuan yang termuat dalam buku ini berubah dari sekadar pilihan gaya hidup menjadi sebuah keharusan pragmatis. Kemampuan untuk memproduksi dan mengolah pangan sendiri, serta mengurangi ketergantungan pada sistem yang rapuh, adalah bentuk ketahanan yang nyata. “The skills in this book are a form of insurance. They prepare you not for a doomsday scenario, but for a more resilient and delicious daily life,” tulis Bordessa. Pujangga Jawa, Ronggowarsito, dalam serat Kalatidanya menasihati, “Amenangi jaman édan, éwuh aya ing pambudi… (Menghadapi zaman gila, serba sulit dalam pertimbangan…).” Nasihat untuk bersikap sabar, narima, dan waspada (sabar, menerima, dan waspada) sangat relevan, di mana kemandirian adalah wujud kewaspadaan dan kesiapan menghadapi zaman “édan”.
Pada akhirnya, Bordessa, pendiri attainable-sustainable.net, seorang penulis lepas, penulis buku, serta pengoleksi benih sayuran yang sangat antusias, menyimpulkan bahwa memilih jalan keberlanjutan yang dapat dicapai adalah sebuah tindakan penuh harapan. Setiap kebun yang ditanam, setiap barang yang diperbaiki, dan setiap keterampilan yang dipelajari adalah sebuah suara untuk dunia yang lebih adil—dunia yang mengutamakan kesejahteraan manusia dan kesehatan planet di atas konsumsi yang tak terkendali. “This is a legacy we can all leave: a planet that is a little healthier, communities that are a little stronger, and lives that are a little richer in what truly matters,” tutupnya. Seperti kata penyair Persia, Jalaluddin Rumi, “Kamu bukan sekadar tetes di samudra. Kamu adalah samudra itu sendiri, dalam sebuah tetesan.” Buku Attainable Sustainable memberdayakan kita untuk melihat bahwa setiap tindakan mandiri yang kita lakukan, sekecil apa pun, mengandung kekuatan samudra untuk mengubah dunia. Tindakan kita adalah warisan untuk dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Bogor, 21 Oktober 2025.
Dwi Rahmad Muhtaman
Referensi:
Bordessa, K. (2020). Attainable sustainable: The lost art of self-reliant living. National Geographic.





