Sustainability 17A #66
Kota Tanpa Mobil
Dwi R. Muhtaman,
Sustainability Partner
“Kota 15 menit menawarkan sebuah kerangka kerja
untuk mengembangkan kota secara lebih merata,
dengan menciptakan lingkungan yang lengkap
di mana orang dapat hidup dengan
lebih sedikit ketergantungan pada mobil.”
– Carlos Moreno, Sang pencetus ide Kota 15 Menit.
Akhirnya seluruh warga di kompleks pemukiman saya, Taman Darmaga Permai, Ciampea, Kabupaten Bogor bersepakat: Semua mobil milik warga di parkir di luar wilayah pemukiman. Tempat parkir disediakan pada sebuah lahan di seberang perumahan. Diperlukan jalan kaki kurang dari lima hingga sepuluh menit untuk mencapai rumah masing-masing di dalam perumahan. Setelah keputusan ini dibuat suasana sore, malam, pagi dan siang hari nampak sangat berbeda. Udara makin segar. Pandangan terasa lebih bebas. Halaman nampak luas memandang horison. Jalan sehat yang saya lakukan hampir tiap pagi makin menyenangkan. Tidak ada gangguan penglihatan dari mobil lalu lalang atau bercokol di tepi jalan. Tidak ada udara mono-oksida dari asap mobil. Juga tidak ada polusi suara dari deru roda dan mesin-mesin. Hanya suara tegur sapa tetangga dan keceriaan pagi. Mata bebas menikmati pepohonan dan aneka bunga-bunga di halaman depan warga.
Sayangnya kesepakatan warga itu tidak akan bertahan lama. Begitu proyek pembetonan jalan yang melintas persis di depan perumahan selesai maka saat itu pula mobil-mobil itu berbondong-bondong kembali memenuhi jalanan kompleks perumahan yang kecil ini.
Apakah mungkin kita menciptakan pemukiman yang bebas dari mobil-mobil produksi polusi udara dan suara? Kota bebas mobil?
Mewujudkan Utopia Perkotaan: Melirik Gerakan Kota Bebas Mobil
Bayangkan sebuah kota di mana suara dominannya bukan deru mesin dan klakson mobil, melainkan percakapan warga, tawa anak-anak, dan kicauan burung. Udara yang dihirup terasa bersih, dan jalanan menjadi ruang publik yang aman untuk dinikmati. Ini bukanlah impian yang mustahil. Di seluruh dunia, sebuah gerakan untuk menciptakan kota yang lebih sehat dengan mengurangi ketergantungan pada mobil semakin menguat. Gerakan ini berakar pada keyakinan sederhana: kota yang baik adalah kota untuk manusia, bukan untuk kendaraan.
Konsep kota bebas mobil tidak serta merta berarti melarang semua mobil masuk dalam satu malam. Lebih dari itu, ini adalah sebuah pendekatan perencanaan kota yang bertujuan untuk meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi berbahan bakar fosil dengan menyediakan alternatif yang lebih baik: transportasi umum yang efisien, infrastruktur pejalan kaki dan pesepeda yang nyaman, serta penataan ruang yang memusatkan kebutuhan warga dalam jarak yang terjangkau.
Pertumbuhan kota saat ini telah membuat kita sangat bergantung pada kota. Seperti kata Jan Gehl, Arsitek dan Perancang Kota, “Kita telah membentuk kota kita, dan selanjutnya kota-kota itu membentuk kita.” Kutipan ini menyadarkan kita bahwa kota yang didesain untuk mobil akan menciptakan masyarakat yang individualistik dan terburu-buru, sementara kota untuk pejalan kaki akan mendorong komunitas dan interaksi.
Jan Gehl dalam bukunya, “Cities for People” mengatakan bahwa penting untuk merancang kota dengan benar yang dihidupi oleh manusia. Bayangkan Anda sedang duduk di sebuah bangku taman, menikmati sinar matahari sore sambil memperhatikan kehidupan kota berdenyut di sekitar Anda. Orang-orang lalu lalang, ada yang tergesa, ada yang santai. Sepasang tua duduk bercakap-cakap, anak-anak berlarian tertawa, dan seorang pejalan kaki berhenti sejenak untuk melihat etalase toko. Adegan kehidupan seperti inilah yang menjadi jiwa dari buku Jan Gehl, “Cities for People”.
Buku ini bukan sekadar teori perencanaan kota; ia adalah sebuah manifesto yang meminta kita untuk melihat kota dari ketinggian mata manusia, bukan dari atas peta atau dari balik kaca mobil. Gehl, dengan pendekatannya yang humanis dan empiris, berargumen bahwa selama puluhan tahun, kita telah merancang kota untuk lalu lintas dan mesin, bukan untuk orang. Kini, saatnya kita mengambil kembali ruang tersebut. Pemukiman-pemukiman dari yang modern hingga yang apa adanya juga cenderung mengikuti pola itu: menjauhkan penghuninya dari interaksi sosial.
Theorinya: Skala Manusia vs. Skala Mobil
Gehl membedakan dua pendekatan perencanaan kota: Pertama, Pendekatan “Dari Atas ke Bawah”: Ini adalah pendekatan tradisional arsitektur modernis, yang terobsesi dengan gedung-gedung pencakar langit yang megah, bentuk-bentuk spektakuler, dan jalan raya yang lebar. Kota dilihat sebagai sebuah objek seni dari atas. Masalahnya? Pendekatan ini seringkali mengabaikan bagaimana manusia sebenarnya mengalami kota di permukaan tanah—bagaimana mereka berjalan, berinteraksi, dan merasakan sebuah tempat.
Kedua, Pendekatan “Dari Bawah ke Atas”: Inilah inti dari “Cities for People”. Kota harus dirancang dimulai dari pengalaman pejalan kaki. Bagaimana rasanya berjalan di trotoar itu? Apakah ada tempat untuk duduk dan beristirahat? Apakah ruangannya menarik dan aman? Dengan fokus pada detail-detail kecil inilah, sebuah kota yang besar menjadi hidup dan menyenangkan.
Saya kira kita perlu memikirkan cara mengembangkan kota atau pemukiman yang manusiawi. Menurut Gehl ada empat prinsip utama untuk kota yang manusiawi. Gehl kemudian merinci elemen-elemen kunci yang membuat sebuah ruang kota sukses dihuni oleh orang:
- Melindungi dan Memperlakukan Pejalan Kaki dengan Baik: Ini adalah fondasinya. Trotoar harus lebar, aman, menarik, dan nyaman. Sebuah trotoar sempit yang dipenuhi halangan dan tanpa pelindung dari matahari/hujan adalah contoh kota yang tidak menghargai pejalan kaki. Kehidupan kota yang berkualitas, kata Gehl, dimulai dengan berjalan kaki.
- Menciptakan Ruang untuk Berdiam dan Berinteraksi: Sebuah kota yang hidup bukan hanya untuk dilalui, tetapi untuk ditinggali. Kota perlu menyediakan “ruang tamu” di luar ruangan—bangku yang nyaman, tangga yang dapat diduduki, air mancur, dan kafe tepi jalan. Tempat-tempat duduk inilah yang memungkinkan “kehidupan antara gedung” (life between buildings) terjadi: orang mengobrol, membaca, menikmati makan siang, atau sekadar menonton orang lain lewat.
- Merancang Pengalaman Sensorik yang Kaya: Kota yang baik adalah kota yang dapat dilihat, didengar, dan diraba dalam skala manusia. Gehl menganjurkan “arsitektur yang sopan”—bangunan dengan fasad yang detail dan menarik di level mata, bukan hanya sebuah dinding kosong yang membosankan. Suara air, tekstur material yang beragam, dan perubahan ketinggian lantai menciptakan pengalaman berjalan kaki yang kaya dan memikat.
- Komunikasi yang Baik Antara Gedung dan Ruang Publik: Bagian bawah gedung—lantai dasar—memegang peran krusial. Gehl menekankan pentingnya “fasad yang aktif”. Bandingkan antara dinding kosong sebuah parkiran mobil dengan deretan kafe, toko ritel, dan jendela rumah yang menghadap jalan. Fasad yang aktif menciptakan mata yang mengawasi jalan (eyes on the street), yang meningkatkan rasa aman, dan memberikan sesuatu yang menarik untuk dilihat oleh pejalan kaki.
“Pertama kita membentuk kota, dan kemudian kota membentuk kita.” Kutipan ikonik ini adalah inti dari pesan Gehl. Jika kita merancang kota untuk mobil, kita akan mendapatkan masyarakat yang terisolasi, tergesa-gesa, dan kurang sehat. Sebaliknya, jika kita merancang kota untuk berjalan kaki dan bersepeda—untuk kehidupan—kita akan membentuk masyarakat yang lebih sosial, aktif, dan bahagia.
Buku “Cities for People” adalah sebuah panggilan untuk berubah yang disampaikan dengan data pengamatan yang teliti dan foto-foto pembanding yang powerful (misalnya, foto sebuah ruang sebelum dan setelah dirancang ulang untuk pejalan kaki). Buku ini memberikan kerangka kerja yang praktis dan dapat diimplementasikan bagi para perencana kota, arsitek, dan warga biasa untuk membuktikan bahwa perubahan menuju kota yang lebih manusiawi bukan hanya mungkin, tetapi telah berhasil dilakukan di kota-kota seperti Kopenhagen, Melbourne, dan New York.
Pada akhirnya, Gehl mengajak kita untuk bertanya: “Apa yang ingin kita alami di kota kita?” Jawabannya, tentu saja, adalah sebuah kota yang hidup, aman, berkelanjutan, dan sehat—sebuah kota yang benar-benar untuk orang.
Beberapa kota di dunia telah menjadi pelopor dengan menerapkan kebijakan yang berani:
Venice, Italia: Sering disebut sebagai “kota bebas mobil” asli. Venice dibangun di atas kanal, menjadikan perjalanan berjalan kaki, naik perahu (vaporetto), atau gondola sebagai satu-satunya moda transportasi. Kota ini adalah bukti nyata bahwa sebuah kota dapat berkembang pesat tanpa mobil. Copenhagen, Denmark: Kota ini memiliki tujuan ambisius untuk menjadi ibu kota netral karbon pertama dunia pada 2025. Sejak tahun 1960-an, Copenhagen secara sistematis merebut ruang dari mobil dan mengubahnya menjadi jalur sepeda dan ruang publik. Sekarang, lebih banyak pesepeda daripada pengendara mobil yang melintas di pusat kota.
Paris, Perancis: Di bawah Wali Kota Anne Hidalgo, Paris telah melakukan transformasi dramatis. Kota ini menutup jalan tepi sungai yang sebelumnya padat mobil menjadi area pejalan kaki (Les Berges de Seine), memperbanyak jalur sepeda, dan memiliki hari “Paris Sans Voiture” (Paris Tanpa Mobil) dimana sebagian besar kota bebas dari kendaraan.
Ghent, Belgia: Sejak 1996, Ghent telah membagi pusat kotanya menjadi beberapa zona “lingkaran hidup” dimana mobil dilarang melintas. Antar-zona dihubungkan oleh transportasi umum, jalur sepeda, dan jalan untuk pejalan kaki. Kebijakan ini sukses meningkatkan kualitas udara dan aktivitas ekonomi di pusat kota. Konsep “Superblocks” di Barcelona, Spanyol: Barcelona menciptakan “superblok” (superilles) dengan membatasi lalu lintas mobil hanya di jalan-jalan arteri di sekelilingnya. Di dalam superblok, jalanan dibebaskan untuk pejalan kaki, anak-anak bermain, dan aktivitas komunitas. Kecepatan kendaraan yang melintas di dalamnya sangat dibatasi, membuat lingkungan menjadi lebih aman dan sunyi.
Gagasan “Kota 15 Menit”
Konsep yang sedang naik daun dan melengkapi gerakan bebas mobil adalah “Kota 15 Menit” (*The 15-Minute City*). Memadukan segala kebutuhan dalam jarak terjangkau. Dicetuskan oleh pakar kota asal Perancis-Kolombia, Carlos Moreno, ide ini sederhana namun revolusioner: Setiap warga harus dapat memenuhi enam kebutuhan pokok hidup—tempat tinggal, pekerjaan, belanja, kesehatan, pendidikan, dan hiburan—dalam jarak 15 menit berjalan kaki atau bersepeda dari rumah mereka.
Konsep ini mematahkan paradigma kota “zona tunggal” (kawasan pemukiman, komersial, industri yang terpisah jauh) yang memaksa masyarakat bergantung pada mobil. Dengan menciptakan kota yang “tercampur” dan padat kegiatannya, waktu perjalanan yang terbuang bisa dikurangi, interaksi sosial ditingkatkan, dan kesehatan masyarakat menjadi lebih baik.
Enrique Peñalosa, Mantan Wali Kota Bogotá suatu waktu mengatakan: “Jalanan yang bagus adalah jalanan di mana seorang anak dapat bermain dengan aman.” Peñalosa, yang membangun sistem bus rapid transit TransMilenio dan ratusan kilometer jalur sepeda di Bogotá, menekankan bahwa keselamatan dan kenyamanan warga, terutama yang paling rentan, harus menjadi prioritas.
Bayangkan sebuah kota di mana “kehilangan waktu” karena terjebak macet hanyalah kenangan buruk. Bayangkan hari-hari Anda tidak lagi terfragmentasi menjadi “waktu kerja,” “waktu perjalanan,” dan “waktu hidup.” Sebaliknya, waktu itu utuh dan menjadi milik Anda. Konsep inilah yang diusung oleh Profesor Carlos Moreno dan rekan-rekannya dalam artikel visioner mereka, “Introducing the ‘15-Minute City’: Sustainability, Resilience and Place Identity in Future Post-Pandemic Cities” (2021) karya Carlos Moreno et al.” Artikel ini bukan hanya sekadar membahas tata kota, melainkan sebuah proposal radikal untuk merevolusi cara kita menghabiskan waktu dan menjalani hidup di ruang urban.
Diterbitkan di tengah-tengah gejolak pandemi COVID-19, artikel ini melihat krisis sebagai sebuah peluang yang unik untuk “mereset” model perkotaan kita yang sudah rusak. Pandemi mengungkap dengan brutal betapa rapuhnya kota-kota yang membuat warganya menghabis-kan berjam-jam untuk bermobilisasi, serta betapa berharganya lingkungan sekitar (neighbourhood) sebagai tempat kita bekerja, belajar, dan bersosialisasi ketika mobilitas dibatasi.
Inti dari konsep ini sederhana sekaligus revolusioner: Setiap warga kota harus dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya dalam jarak 15 menit berjalan kaki atau bersepeda dari rumah mereka.
Namun, Moreno tidak berhenti di sana. Ia merinci empat dimensi kunci yang harus dipenuhi untuk mewujudkan kota 15 menit yang sesungguhnya:
- Kedekatan (Proximity): Ini adalah prinsip dasarnya. Fungsi-fungsi kota harus “didekatkan” kembali. Ini berarti menghindari zonasi tunggal (kawasan huni, komersial, industri yang terpisah jauh) dan beralih ke pencampuran penggunaan lahan (mixed-use) yang cerdas. Perumahan, perkantoran kecil, toko, kafe, dan klinik kesehatan harus berbaur dalam satu lingkungan.
- Otonomi Lokal (Locality): Setiap lingkungan harus memiliki “jiwa” dan kemandiriannya sendiri. Ini tentang memberdayakan ekonomi lokal, mendukung bisnis-bisnis kecil, dan menciptakan jaringan sosial yang kuat di tingkat akar rumput. Lingkungan bukan lagi sekadar tempat tidur, melainkan sebuah ekosistem yang hidup dan saling terhubung.
- Pengurangan Jejak Ekologis (Reduction of ecological footprint): Konsep ini secara inheren adalah konsep hijau. Dengan mengurangi ketergantungan pada mobil berbahan bakar fosil, kota 15 menit langsung memotong emisi karbon dan polusi udara. Ruang yang sebelumnya dicuri oleh mobil dan jalan raya dapat dikembalikan menjadi taman, sabuk hijau, dan kebun komunitas, meningkatkan biodiversitas dan ketahanan iklim.
- Penghubungan (Connection): Meski fokus pada lingkungan, kota 15 menit bukanlah pulau-pulau yang terisolasi. Konektivitas tetap vital. Lingkungan-lingkungan ini harus dihubungkan oleh jaringan transportasi umum yang andal dan terjangkau untuk perjalanan yang lebih jauh. Prinsipnya adalah “hiper-kedekatan dan jaringan berkualitas tinggi.”
Enam Fungsi Sosial yang Harus Tersedia
Lebih lanjut, Moreno merinci enam fungsi sosial yang harus dapat diakses dalam radius 15 menit tersebut. Inilah yang membuat konsep ini begitu manusiawi:
- Hidup (Living): Perumahan yang layak dan terjangkau.
- Bekerja (Working): Ruang kerja bersama (co-working), kantor cabang, atau peluang kerja lokal.
- Berbelanja (Supplying): Akses ke pasar, toko kelontong, dan penjual lokal.
- Kesehatan (Caring): Klinik kesehatan, apotek, dan fasilitas medis dasar.
- Pendidikan (Learning): Sekolah, perpustakaan, dan tempat kursus.
- Bersenang-senang (Enjoying): Taman, kafe, restoran, pusat kebudayaan, dan ruang rekreasi.
Konsep ini sangat relevan untuk masa depan. Artikel ini berargumen bahwa Kota 15 Menit adalah jawaban untuk tiga tantangan perkotaan sekaligus: Keberlanjutan (Sustainability): Dengan memotong emisi transportasi dan konsumsi energi. Ketangguhan (Resilience): Dengan membuat kota tidak tergantung pada satu pusat dan rentan terhadap guncangan (seperti pandemi atau krisis energi). Jika satu lingkungan terganggu, lingkungan lain tetap dapat berfungsi. Identitas Tempat (Place Identity): Dengan memperkuat karakter dan ikatan sosial di setiap lingkungan, menciptakan rasa memiliki, dan melawan keseragaman perkotaan.
“Kota 15 menit menawarkan kerangka kerja untuk mengembangkan kota secara lebih merata, dengan menciptakan lingkungan yang lengkap di mana orang dapat hidup dengan lebih sedikit ketergantungan pada mobil.” – Carlos Moreno
Konsep ini pada akhirnya adalah tentang memulihkan waktu yang hilang. Waktu yang biasanya terbuang di perjalanan dapat dialihkan untuk hal-hal yang benar-benar penting: lebih banyak waktu dengan keluarga, lebih banyak waktu untuk belajar, lebih banyak waktu untuk terlibat dalam komunitas, atau sekadar lebih banyak waktu untuk beristirahat. Artikel Moreno dkk. bukan hanya sebuah teori akademis; ia adalah sebuah peta jalan menuju kota yang tidak hanya lebih efisien dan hijau, tetapi juga pada hakikatnya, lebih bahagia.
Walkable City
Kita juga bisa belajar dari pengembangan kota dalam jangkauan jalan kaki untuk memenuhi kebutuhan dasar penghuninya. Tanpa harus bermobil. Cukup kemana-mana jalan kaki. Bayangkan jika kita bisa meninggalkan kunci mobil di rumah. Bayangkan tugas harian seperti pergi ke kantor, membeli kopi, mengantar anak ke sekolah, atau sekadar mencari tempat makan malam bisa dilakukan dengan nyaman melalui jalan setapak yang rindang, melewati sudut-sudut kota yang hidup dan menarik. Ini bukanlah nostalgia akan masa lalu, tetapi sebuah visi praktis untuk masa depan perkotaan yang digaungkan oleh Jeff Speck dalam bukunya yang sangat berpengaruh, “Walkable City: How Downtown Can Save America, One Step at a Time” (2012).”
Jika Jan Gehl adalah filsuf yang membangun teori kota manusiawi, maka Jeff Speck adalah “tukang bangunan” yang memberikan palu dan paku untuk mewujudkannya. Buku ini adalah sebuah manual yang lugas, blak-blakan, dan penuh data tentang bagaimana sebenarnya membuat orang memilih untuk berjalan kaki. Speck berargumen bahwa kemampuan untuk berjalan kaki (walkability) bukanlah sebuah kemewahan gaya hidup, melainkan fondasi untuk kota yang ekonomis, berkelanjutan, sehat, dan bahagia.
Speck memulai dengan diagnosis yang jernih. Mengapa orang Amerika (dan banyak kota lainnya) tidak berjalan kaki? Selama puluhan tahun, perencanaan kota telah didominasi oleh satu tujuan: memperlancar arus lalu lintas kendaraan. Hasilnya? Jalan raya yang lebar, persimpangan yang rumit, dan lingkungan yang tergusur untuk tempat parkir. Bayangkan saja yang disitir Donald Shoup, Profesor Perencanaan Kota, “Tempat parkir mobil menghabiskan lebih banyak ruang daripada mobil itu sendiri, dan mobil menghabiskan 95% waktunya untuk diparkir. Ini adalah penggunaan ruang kota yang sangat tidak efisien.” Kutipan ini menyoroti betapa tidak efisiennya alokasi ruang publik kita untuk mobil yang tidak bergerak, padahal ruang itu bisa menjadi taman, kafe, atau perumahan.
Kota menjadi tempat yang tidak ramah, bahkan bermusuhan, bagi pejalan kaki. Orang tidak berjalan kaki bukan karena malas, tetapi karena berjalan kaki menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan, tidak aman, dan tidak praktis.
Speck memberi resep utama: 10 Aturan Menuju Kota yang Dapat Dilalui dengan Berjalan Kaki.
Inti dari buku ini adalah “Sepuluh Langkah Menuju Walkability,” sebuah resep komprehensif yang dapat diadopsi oleh kota mana pun. Berikut adalah empat prinsip utamanya yang paling fundamental:
- Alasan untuk Berjalan (The Useful Walk):
Sebelum ada trotoar yang indah, harus ada tujuan yang berarti. Perjalanan kaki harus bisa mengantarkan orang kepada kebutuhan dasarnya: bekerja, berbelanja, atau bersenang-senang. Ini menuntut pencampuran fungsi kota (mixed-use)—menggabungkan perumahan, perkantoran, dan ritel dalam satu wilayah yang berdekatan. Trotoar terluas sekalipun akan sia-sia jika hanya menghubungkan satu gedung parkir dengan gedung parkir lainnya. - Ruang yang Aman untuk Berjalan (The Safe Walk):
Keselamatan adalah yang utama. Namun, keselamatan bukan hanya tentang statistik kecelakaan, tetapi juga persepsi rasa aman. Speck menekankan bahwa keselamatan bagi pejalan kaki dicapai dengan dua cara:- Melindungi Pejalan Kaki dari Mobil: Memperkecil lebar jalur mobil, membangun bump-outs(perlebaran trotoar di persimpangan), dan memasang halangan pemisah yang jelas.
- Melindungi Pejalan Kaki dari Kejahatan: Menciptakan “mata di atas jalan” (eyes on the street) dengan mendorong bangunan yang aktif di lantai dasar (toko, kafe) yang secara alami mengawasi ruang publik.
- Ruang yang Nyaman untuk Berjalan (The Comfortable Walk):
Setelah aman, berjalan kaki harus nyaman secara psikologis. Orang merasa nyaman ketika mereka merasa dilindungi dan dikelilingi oleh hal-hal yang menarik. Ini dicapai dengan:- Bangunan yang Menghadap Jalan: Fasad bangunan harus memiliki pintu, jendela, dan aktivitas, bukan dinding kosong atau ventilasi parkiran.
- Pohon, Pohon, dan Pohon: Peneduh adalah “infrastruktur kenyamanan” yang paling murah dan efektif. Bayangan pohon membuat berjalan kaki di hari terik menjadi mungkin.
- Blok Kota yang Kecil: Blok yang kecil menciptakan lebih banyak rute dan membuat perjalanan terasa lebih singkat.
- Ruang yang Menarik untuk Berjalan (The Interesting Walk):
Terakhir, berjalan kaki harus menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan. Speck berkata, “Di sebuah kota yang menarik, Anda tahu Anda akan sampai di tujuan, tetapi Anda tidak terburu-buru.” Daya tarik diciptakan oleh arsitektur yang bervariasi, aktivitas manusia, toko-toko unik, dan elemen kejutan yang membuat orang ingin menjelajah.
“Rata-rata orang Amerika muda saat ini bersedia mengorbankan ukuran rumah dan mobil untuk tinggal di tempat yang lebih berjalan kaki, di mana percuma saja memiliki mobil yang besar.” Kutipan ini menangkap perubahan paradigma yang sedang terjadi. Walkability bukan lagi isu pinggiran, melainkan keunggulan ekonomi kompetitif utama sebuah kota. Generasi muda dan perusahaan kreatif tertarik pada kota yang menawarkan kualitas hidup, dan kualitas hidup itu diukur dengan kemampuan untuk hidup tanpa bergantung pada mobil.
Buku “Walkable City” berhasil karena ia menerjemahkan prinsip-prinsip perencanaan yang kompleks menjadi bahasa yang mudah dimengerti oleh para walikota, pengembang, dan warga biasa. Speck tidak hanya menjelaskan “apa” yang harus dilakukan, tetapi juga “mengapa” (dengan dukungan data ekonomi dan kesehatan) dan “bagaimana” (seringkali dengan menantang kebijakan lalu lintas konvensional).
Buku ini adalah seruan untuk bertindak yang meyakinkan. Ia menunjukkan bahwa dengan serangkaian intervensi yang terukur, terjangkau, dan bertahap, kita dapat mengubah kota yang didominasi mobil menjadi lingkungan yang hidup di mana berjalan kaki sekali lagi menjadi cara paling sederhana, sehat, dan menyenangkan untuk bergerak. Setiap langkah kaki, menurut Speck, adalah sebuah kemenangan kecil yang menyelamatkan kota, satu langkah dalam satu waktu.
Penutup
Gerakan kota bebas mobil dan konsep kota 15 menit bukanlah tentang anti-kemajuan, melainkan tentang kemajuan yang manusiawi. Ini adalah sebuah koreksi terhadap kesalahan perencanaan di masa lalu yang mengorbankan kesehatan, waktu, dan kebersamaan warga untuk kepentingan kendaraan bermotor. Dengan belajar dari kota-kota perintis dan menerapkan prinsip-prinsip yang berpusat pada manusia, kita dapat mulai membayangkan dan mewujudkan pemukiman yang tidak hanya bebas dari polusi, tetapi juga kaya akan kehidupan, interaksi, dan kebahagiaan. Langkah pertama dimulai dari mimpi untuk merebut kembali jalanan kita.
Dan itu bisa dimulai dari tempat kita tinggal, kampung, atau perumahan. Mau?
Daftar Referensi yang Relevan
TED Talk: “How an ecosystem of layers can make a city livable” oleh Eduardo Paes.
Buku:
- Gehl, Jan. (2010). Cities for People. Island Press.
- Speck, Jeff. (2012). Walkable City: How Downtown Can Save America, One Step at a Time. Farrar, Straus and Giroux.
- Shoup, Donald. (2011). The High Cost of Free Parking. Routledge.
Artikel & Situs Web:
- C40 Knowledge Hub. (2021). “The 15-Minute City”. https://www.c40knowledgehub.org/s/article/The-15-minute-city?language=en_US
- Moreno, Carlos, et al. (2021). “Introducing the ‘15-Minute City’: Sustainability, Resilience and Place Identity in Future Post-Pandemic Cities”. Smart Cities.
- The Guardian. (Berbagai artikel tentang kota tanpa mobil, Paris, dan Copenhagen).
- Institute for Transportation and Development Policy (ITDP). https://www.itdp.org/
Video & Dokumenter:
- The Human Scale (2012) – Dokumenter yang mengeksplorasi karya Jan Gehl.
- TED Talk: “How an ecosystem of layers can make a city livable” oleh Eduardo Paes.






