Rubarubu #28
How Innovation Works:
Bekerja Baik dalam Kebebasan
Kisah Nyata yang Menggugah
Pada suatu hari di tahun 2004, di sebuah bengkel kecil di Kota Bandung, seorang mahasiswa bernama Muhammad Luqmanul Hakim sedang berjuang dengan tugas akhirnya. Idenya sederhana namun rumit: menciptakan alat bantu untuk penyandang tunanetra. Bukan sekadar tongkat, tapi sebuah sistem navigasi. Dia menghabiskan berbulan-bulan merancang, mencoba, gagal, dan mencoba lagi. Prototipe pertamanya terlalu berat, yang kedua tidak akurat, dan yang ketiga hampir membuatnya menyerah. Namun, di tengah keputusasaan, sebuah percakapan dengan seorang dosen memberinya sudut pandang baru. Kolaborasi dengan teman dari jurusan elektro melahirkan solusi teknis yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Kegagalan-kegagalan itu bukanlah akhir, melainkan batu pijakan. Akhirnya, terciptalah sebuah prototipe yang berfungsi, hasil dari proses trial and error yang melelahkan, kolaborasi, dan ketekunan yang luar biasa.
Kisah Luqman ini adalah miniatur dari ribuan kisah inovasi sepanjang sejarah yang dipotret dengan brilian oleh Matt Ridley dalam bukunya, “How Innovation Works: And Why It Flourishes in Freedom (2017)”. Buku ini bukanlah puja-puji bagi para jenius penyendiri seperti Thomas Edison atau Steve Jobs, melainkan sebuah eksplorasi mendalam tentang bagaimana inovasi sebenarnya bekerja—sebagai sebuah proses evolusioner, kolektif, dan seringkali dipenuhi kegagalan, yang hanya bisa tumbuh subur dalam iklim kebebasan. Sebagaimana dikatakan Ridley, “Inovasi adalah proses yang tidak terhindarkan dan bertahap dari penemuan yang tidak disengaja.” [1]. Kisah Luqman membuktikan tesis ini: inovasinya lahir bukan dari sebuah “eureka” moment, tapi dari perjalanan panjang yang penuh ketidaksengajaan dan pembelajaran.
Jadi bagaimana sebenarnya inovasi ini bekerja? “How innovation works,” tulis Ridley dalam buku itu.
Definisi Inovasi: Evolusi, Bukan Revolusi
Ridley dengan tegas membedakan antara penemuan (invention) dan inovasi (innovation). Penemuan adalah terciptanya sebuah ide atau prototipe untuk pertama kalinya. Sementara inovasi adalah proses membuat penemuan tersebut menjadi terjangkau, dapat diandalkan, dan tersedia bagi banyak orang. Penemu pesawat terbang adalah Orville dan Wilbur Wright, tetapi yang menginovasi penerbangan komersial adalah ribuan insinyur, entrepreneur, dan regulator yang menyempurnakan desain, meningkatkan keamanan, dan menekan biaya.
“Inovasi adalah proses mengubah ide menjadi sesuatu yang dapat dijual, sesuatu yang praktis, dan sesuatu yang berguna. Ini berbeda dengan penemuan. Penemuan adalah konsep baru; inovasi adalah implementasi suksesnya.” [1]. Proses ini bersifat evolusioner, mirip dengan seleksi alam. Berbagai varian dicoba, yang terkuat (paling efisien, paling murah, paling disukai) yang bertahan dan bereproduksi. Tidak ada “Manusia Purba Pencipta Roda”; roda berevolusi dari gelondongan kayu yang digulingkan, menjadi piringan, hingga akhirnya menjadi roda berjari-jari yang ringan.
Proses Inovasi: Perlahan, Kumulatif, dan Penuh Kegagalan
Buku ini meruntuhkan mitos “momentum jenius” yang mengubah dunia dalam semalam. Ridley menunjukkan bahwa hampir semua inovasi besar adalah hasil dari akumulasi penyempurnaan kecil oleh banyak orang selama puluhan bahkan ratusan tahun.
- Mesin Uap: James Watt bukanlah penemu mesin uap. Dia menyempurnakan mesin Newcomen yang sudah ada sebelumnya, dan mesinnya pun kemudian disempurnakan oleh orang lain. Inovasi adalah proses “penghematan waktu” (time-saving), dan mesin uap adalah puncak dari proses panjang ini.
- Ponsel Cerdas: iPhone bukanlah penciptaan dari ketiadaan. Ia adalah konvergensi dari puluhan teknologi yang sudah diinovasi sebelumnya: layar sentuh, prosesor, internet, GPS, dan baterai lithium. Steve Jobs dan Apple berhasil mengemasnya dengan elegan.
Kegagalan adalah bagian tak terpisahkan dari proses ini. Ridley menegaskan bahwa kita tidak bisa memprediksi inovasi mana yang akan berhasil. Yang bisa kita lakukan adalah memper-banyak percobaan dan membiarkan kegagalan terjadi dengan cepat dan murah, sehingga pembelajaran dapat berlangsung.
Sang Pahlawan: Tim, Bukan Jenius Penyendiri
Narasi tentang “genius penyendiri” adalah simplifikasi yang menyesatkan. Ridley berargumen bahwa inovasi hampir selalu merupakan usaha kolektif. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang melalui pertukaran ide, kolaborasi, dan “pembelajaran dari tetangga”. Dia menyebutnya sebagai “Ide yang Berhubungan Seks” (Ideas Having Sex) – konsep dari bukunya sebelumnya, di mana kemajuan terjadi ketika dua ide berbeda bertemu dan menghasilkan keturunan yang lebih baik.
“Tidak ada seorang pun yang mengetahui bagaimana membuat sebuah pensil,” merujuk pada esai terkenal Leonard Read, yang menggambarkan betapa kompleksnya jaringan pengetahuan yang terlibat dalam menciptakan benda sederhana sekalipun [1]. Inovasi adalah fenomena jejaring.
Syarat Utama: Kebebasan dan Sistem yang Tepat
Ini adalah inti dari argumen Ridley. Inovasi membutuhkan kebebasan: kebebasan untuk bereskperimen, kebebasan untuk berdagang, kebebasan untuk gagal, kebebasan untuk berkolaborasi, dan kebebasan untuk menikmati hasil dari inovasi tersebut (insentif). Dia menunjukkan bahwa sepanjang sejarah, inovasi berkembang pesat di tempat dan waktu di mana terdapat otonomi individu, pasar yang kompetitif, dan perlindungan terhadap hak properti.
Sistem yang ideal untuk inovasi, menurut Ridley, adalah sistem yang bottom-up (dari bawah ke atas), bukan top-down (dari atas ke bawah). Inovasi tidak bisa diperintahkan atau direncanakan secara terpusat oleh pemerintah. Ia muncul secara spontan dari interaksi jutaan individu yang mencoba memecahkan masalah mereka sendiri. Filsuf Cina kuno, Lao Tzu, dalam Tao Te Ching, tampaknya memahami prinsip ini ribuan tahun lalu: “When the Master governs, the people are hardly aware that he exists… The Master doesn’t talk, he acts. When his work is done, the people say, ‘Amazing: we did it, all by ourselves!'” [2].
Ini adalah esensi dari sistem yang memungkinkan inovasi bottom-up.
Hambatan Inovasi: Regulasi Berlebihan dan Rintangan Buatan
Jika kebebasan adalah pupuk, maka regulasi yang berlebihan, monopoli, dan proteksionisme adalah racun bagi inovasi. Ridley mengkritik keras apa yang disebutnya “the precautionary principle” (prinsip kehati-hatian) yang ekstrem. Prinsip ini, yang menuntut pembuktian 100% aman sebelum suatu teknologi boleh digunakan, justru mematikan inovasi karena ketiadaan kepastian adalah hal yang melekat pada inovasi.
Dia memberikan contoh pada sektor energi nuklir dan bioteknologi (seperti tanaman GM), di mana regulasi yang hiper-hati dan didorong oleh ketakutan irasional telah menghambat adopsi teknologi yang justru bisa menyelesaikan masalah besar seperti perubahan iklim dan kelaparan.
Bagian Paling Relevan untuk Masa Kini dan Masa Depan
a. Energi dan Inovasi Hijau
Ridley optimis tentang masa depan energi. Dia berargumen bahwa transisi energi terjadi bukan karena perintah pemerintah, tetapi karena inovasi yang membuat energi terbarukan menjadi lebih murah dan efisien (contohnya penurunan harga panel surya dan baterai lithium). Proses evolusioner ini, yang didorong oleh pasar, pada akhirnya akan menggeser bahan bakar fosil. Pesannya jelas: alih-alih memaksakan solusi melalui subsidi besar-besaran atau regulasi yang kaku, ciptakanlah iklim yang memungkinkan kompetisi dan inovasi dalam teknologi energi. Hal ini sangat relevan dengan perdebatan global tentang transisi energi yang adil dan terjangkau.
b. Bioteknologi dan Masa Depan Pangan
Bab tentang bioteknologi adalah salah satu yang paling provokatif. Ridley melihat teknologi seperti pengeditan gen CRISPR sebagai inovasi revolusioner yang bisa memecahkan masalah pangan dan kesehatan global. Dia mengkritik keras penolakan terhadap tanaman hasil rekayasa genetika (GMO) di Eropa, yang menurutnya didasarkan pada pseudosains dan telah menghambat inovasi yang dapat mengurangi penggunaan pestisida dan meningkatkan ketahanan pangan di negara berkembang. Dalam konteks pandemi dan masa depan kesehatan, buku ini mengingatkan kita bahwa kecepatan inovasi vaksin mRNA adalah buah dari decades-long research yang tidak direncanakan oleh pemerintah, tetapi oleh para ilmuwan dan perusahaan swasta yang diberi kebebasan untuk mengeksplorasi.
c. Peran Negara vs. Pasar dalam Inovasi
Ridley bukanlah anarkis; dia mengakui peran pemerintah dalam menyediakan public goods seperti pendidikan dasar, penegakan hukum, dan pendanaan riset dasar. Namun, dia sangat skeptis terhadap kemampuan pemerintah dalam “memilih pemenang” (picking winners). Inovasi yang benar-benar transformatif, dari mesin uap hingga ponsel, jarang yang berasal dari perencanaan terpusat. Peran negara yang paling efektif adalah sebagai katalis dan fasilitator—dengan memastikan rule of law, pendidikan yang berkualitas, dan infrastruktur—bukan sebagai komandan dan pelaku utama inovasi.
Pemikir Muslim klasik, Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, juga menekankan pentingnya lingkungan yang stabil dan bebas untuk kemakmuran: “Ketika jiwa-jiwa merasakan kemerdeka-an dan kebebasan dari kendala, mereka akan lebih cenderung untuk kreatif dan produktif.” [3].
Ini selaras dengan argumen Ridley bahwa kemerdekaan individu adalah fondasi dari kemajuan material.
Ridley menyampaikan sebuah peringatan di tengah pesta inovasi saat ini. Ia menuliskannya pada Bagian 12: An Innovation Famine – Kelaparan Inovasi. Kita hidup di era yang paradoks. Di permukaan, kita disuguhi pesta inovasi yang seolah-olah tak pernah berhenti. Setiap tahun, ponsel pintar menjadi lebih canggih, layanan streaming menawarkan lebih banyak konten, dan mobil listrik semakin lazim di jalanan. Seolah-olah kita berada di puncak revolusi teknologi yang tak terbendung.
Namun, dalam bab yang provokatif dan penting ini, Matt Ridley membunyikan sirene peringat-an. Dia berargumen bahwa di balik gemerlap pesta ini, kita sebenarnya sedang memasuki masa “kelaparan inovasi” (innovation famine). Kemajuan yang kita saksikan saat ini, menurut-nya, sebagian besar adalah penyempurnaan akhir dari revolusi-revolusi besar yang terjadi beberapa dekade lalu, bukan terobosan fundamental yang benar-benar baru. Kita sedang memetik buah yang ranum dari pohon yang ditanam pada abad ke-20, tetapi kita lupa untuk menanam benih baru untuk abad ke-21.
“Kita mungkin hidup di puncak peradaban teknologi, tetapi kita juga mungkin hidup di ujungnya… Kemajuan yang kita anggap remeh bisa saja melambat dan berhenti.” [1].
Mengapa Kita Menuju Kelaparan?
Ridley tidak mengklaim bahwa inovasi telah berhenti, tetapi bahwa laju inovasi yang sesungguhnya—yang transformatif dan mendasar—telah melambat secara signifikan. Dia menyajikan beberapa bukti yang mengejutkan:
- Melambatnya Pertumbuhan Produktivitas: Ini adalah indikator makroekonomi yang paling gamblang. Setelah ledakan produktivitas selama sebagian besar abad ke-20, pertumbuhannya telah mandek di banyak negara maju sejak sekitar tahun 1970-an. Padahal, inovasi sejati seharusnya tercermin dalam angka produktivitas yang terus melesat. Jika inovasi digital saat ini begitu revolusioner, mengapa angka pertumbuhan produktivitas tidak mencerminkannya? Petuan Ridley: “Statistik produktivitas adalah bukti terkuat bahwa kemajuan teknologi telah melambat, tidak mempercepat.” [1].
- Ilusi “Revolusi Digital”: Ridley berargumen bahwa banyak dari apa yang kita sebut “inovasi” hari ini adalah variasi dari tema yang sudah ada. Media sosial, aplikasi pesan, dan layanan on-demand adalah penyempurnaan cerdas dari teknologi internet dan telepon seluler yang intinya sudah ditemukan puluhan tahun lalu. Mereka adalah inovasi dalam model bisnis dan user experience, tetapi bukan terobosan fundamental dalam sains atau teknik seperti penemuan transistor, antibiotika, atau mesin jet.
- Kemunduran di Sektor Fisik: Sementara dunia digital berkembang pesat, dunia fisik justru stagnan.
- Transportasi: Kecepatan pesawat komersial justru menurun (Concorde sudah tidak beroperasi). Perjalanan antarbenua memakan waktu yang sama seperti 50 tahun lalu. Mobil listrik, meskipun lebih bersih, pada dasarnya tidak lebih cepat atau lebih revolusioner dalam hal transportasi dibandingkan mobil bermesin pembakaran internal.
- Energi: Terlepas dari kemajuan energi terbarukan, tantangan mendasar dalam penyimpanan energi (baterai) dan densitas energi masih menjadi hambatan besar. Fusi nuklir, yang dijanjikan sebagai sumber energi abadi, selalu “berjarak 30 tahun lagi” selama beberapa dekade.
- Ruang: Perjalanan ke bulan, puncak pencapaian teknologi 1969, justru tidak bisa kita ulangi dengan mudah hari ini.
Akar Penyebab Kelaparan: Musuh-Musuh Inovasi
Ridley kemudian membedah mengapa hal ini terjadi. Dia menunjuk beberapa “musuh” inovasi yang semakin kuat:
- Birokrasi dan Regulasi yang Mencekik (The Strangulation of Regulation): Ini adalah penyebab utama. Ridley mengkritik keras “precautionary principle” (prinsip kehati-hatian) yang telah berubah dari sikap bijak menjadi alat untuk menolak segala hal baru. Prinsip ini menuntut pembuktian bahwa suatu teknologi 100% aman sebelum diizinkan, sebuah standar yang mustahil dipenuhi oleh inovasi apa pun. Regulasi yang berlebihan ini membunuh inovasi di sektor-sektor kritis seperti:
- Bioteknologi: Tanaman rekayasa genetika (GMO) yang dapat mengurangi kelaparan dan kerusakan lingkungan ditolak berdasarkan ketakutan irasional.
- Energi Nuklir: Pembangkit listrik tenaga nuklir generasi baru yang lebih aman terhambat oleh biaya dan waktu perizinan yang sangat tinggi.
- Farmasi: Biaya dan waktu untuk meluncurkan obat baru meroket, sebagian besar disebabkan oleh persyaratan regulasi yang semakin kompleks.
- Konsolidasi dan Keengganan untuk Mengambil Risiko (Risk Aversion): Perusahaan-perusahaan besar yang sudah mapan cenderung menjadi birokratis dan menghindari risiko. Mereka lebih memilih untuk membeli startup inovatif daripada mengembangkan terobosan secara internal, atau lebih fokus pada shareholder value jangka pendek daripada investasi jangka panjang pada teknologi radikal. Ekosistem yang didominasi oleh raksasa yang bermain aman adalah ekosistem yang mandul.
- Intelektualisme yang Anti-Kemajuan (The Intellectual Opposition to Progress): Ridley mencatat munculnya tren filosofis dan budaya yang memandang sinis terhadap kemajuan, sains, dan teknologi. Narasi bahwa “masa lalu lebih baik” atau bahwa manusia adalah perusak planet (yang sering kali mengabaikan bukti historis tentang perbaikan kondisi manusia) menciptakan iklim sosial yang tidak ramah terhadap inovasi.
Relevansi dengan Dunia Saat Ini dan Masa Depan
Bab ini bukan sekadar keluhan. Ini adalah diagnosis kritis untuk masa depan kita.
- Tantangan Eksistensial: Masalah terbesar umat manusia—perubahan iklim, pandemi berikutnya, penuaan populasi—tidak akan bisa diatasi tanpa terobosan teknologi besar-besaran. Jika kita mengalami “kelaparan inovasi”, maka kita tidak memiliki alat yang memadai untuk memecahkan masalah-masalah ini.
- Kesenjangan antara Harapan dan Realita: Kita terbiasa dengan narasi “teknologi akan menyelamatkan kita”, tetapi jika laju inovasi mendasar melambat, narasi itu bisa menjadi khayalan yang berbahaya. Kita tidak bisa hanya bersandar pada penyempurnaan teknologi lama.
- Peringatan untuk Daerah Berkembang: Negara-negara seperti Indonesia, yang masih berusaha mengejar ketertinggalan, akan sangat dirugikan oleh kelaparan inovasi global. Jika negara maju berhenti menghasilkan terobosan fundamental, maka tidak akan ada lagi “teknologi yang menetes ke bawah” (trickle-down technology) yang dapat diadopsi dan diadaptasi.
Di dunia pasca-pandemi yang dihadapkan pada tantangan seperti perubahan iklim, ketimpangan, dan disrupsi teknologi, pesan Ridley terasa sangat relevan.
- Pandemi: Kecepatan pengembangan vaksin COVID-19 adalah bukti nyata dari tesis Ridley. Ini adalah hasil dari kolaborasi global, kompetisi antar perusahaan, dan regulasi yang mampu beradaptasi dengan cepat (seperti Emergency Use Authorization), bukan dari komando terpusat satu pemerintah.
- Perubahan Iklim: Solusi untuk krisis iklim tidak akan datang dari satu teknologi ajaib, tetapi dari ribuan inovasi kecil dalam efisiensi energi, energi terbarukan, pertanian, dan transportasi. Sistem yang membiarkan inovasi ini bersaing dan berkembang adalah kuncinya.
- Revolusi AI: Seperti teknologi sebelumnya, AI berkembang secara evolusioner. Kekhawatiran etis dan regulasi penting, tetapi menerapkan “precautionary principle” yang ekstrem justru akan memindahkan pusat inovasi AI ke tempat yang lebih bebas, dan menghambat potensi manfaat besarnya.
Relevansi dengan Situasi di Indonesia
Buku Ridley seperti cermin yang memantulkan peluang dan tantangan besar bagi Indonesia.
Peluang:
- Semangat Wirausaha: Indonesia memiliki jiwa entrepreneur yang kuat. Ribuan startup dan UMKM adalah bukti nyata dari energi inovasi bottom-up yang digambarkan Ridley.
- Demografi Muda: Populasi muda Indonesia adalah aset tak ternilai. Mereka adalah generasi digital native yang secara alami berpikir dalam jejaring dan kolaborasi.
- Masalah yang Perlu Solusi: Dari ketahanan pangan, logistik antar pulau, hingga kesehatan di daerah terpencil, Indonesia dipenuhi oleh masalah nyata yang membutuhkan inovasi lokal. Seperti kata penyair dan intelektual Indonesia, Goenawan Mohamad: “Kita sering lupa bahwa yang terpenting bukanlah menjawab, tetapi mengolah soal.” [4]. Inovasi adalah proses “mengolah soal” tersebut.
Tantangan:
- Regulasi yang Berbelit dan Tidak Pasti: Birokrasi yang rumit dan tumpang tindih adalah musuh utama inovasi. Prinsip “precautionary principle” seringkali dijadikan alasan untuk menunda atau membatalkan proyek inovatif.
- Budaya Takut Gagal: Budaya di mana kegagalan dianggap sebagai aib, bukan pembelajaran, menghambat semangat eksperimen. Padahal, seperti dikatakan Ridley, kegagalan adalah sekolah terbaik bagi inovator.
- Mentalitas “Top-Down” yang Kuat: Pemerintah sering kali terjebak dalam skema “picking winners” melalui berbagai program yang mahal, alih-alih menciptakan lapangan bermain yang rata bagi semua pemain (level playing field) dan membiarkan pasar memilih pemenangnya.
- Proteksionisme Berlebihan: Meski memiliki tujuan mulia, proteksionisme yang berlebihan justru melindungi inefisiensi dan mematikan insentif untuk berinovasi. Perusahaan yang dilindungi dari kompetisi tidak memiliki alasan untuk menjadi lebih baik.
Jalan untuk Indonesia: Indonesia perlu beralih dari paradigma memerintahkan inovasi menjadi memupuk ekosistem inovasi. Ini berarti:
- Menyederhanakan Regulasi: Membuat proses perizinan usaha yang cepat, murah, dan transparan.
- Memperkuat Pendidikan Dasar dan Keterampilan Kritis: Bukan menghafal, tetapi memupuk rasa ingin tahu, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah.
- Melindungi Hak Kekayaan Intelektual (HKI): Untuk memberikan insentif yang jelas bagi para inovator.
- Mendorong Kolaborasi Triple Helix: Menciptakan ruang bagi pertemuan yang setara antara akademisi, bisnis, dan pemerintah.
Kritik dan Perspektif Lain
Pandangan Ridley ini tentu saja tidak tanpa kritik. Beberapa berargumen bahwa dia meremehkan inovasi diam-diam (deep tech) yang sedang terjadi di bidang seperti biologi sintetis, komputasi kuantum, dan kecerdasan artifisial umum (AGI), yang mungkin baru akan menunjukkan dampaknya dalam beberapa dekade mendatang. Namun, kekuatan argumen Ridley terletak pada data makroekonomi (produktivitas) dan pengamatan bahwa hambatan birokrasi terhadap inovasi fisik adalah nyata dan semakin memburuk.
Buku ini merupakan sebuah narasi yang mencerahkan: Buku ini berhasil meruntuhkan mitos-mitos populer tentang inovasi dengan bukti historis yang kaya. The Economist memujinya sebagai “a strong and powerful counter-narrative to the conventional wisdom.” [5].
Provokatif yang Diperlukan: Argumennya tentang kebebasan dan regulasi memicu debat penting yang diperlukan di era yang semakin diatur ini.
Seperti karya besar lainnya, buku Ridley tidak luput dari kritik. Disampaikan bahwa buku ini terlalu meremehkan peran pemerintah: Kritikus seperti Mariana Mazzucato, dalam The Entrepreneurial State, berargumen bahwa Ridley meremehkan peran investasi pemerintah dalam riset dasar yang berisiko tinggi. Teknologi di dalam iPhone dan vaksin mRNA, misalnya, berutang budi pada pendanaan publik yang masif [6]. Ridley dianggap terlalu mengidealkan pasar.
Optimisme yang Naif: Beberapa pengamat mempertanyakan optimisme Ridley yang percaya bahwa pasar akan secara otomatis menyelesaikan masalah seperti perubahan iklim tanpa intervensi kebijakan yang lebih kuat. Kurang Membahas Dampak Sosial: Buku ini fokus pada “bagaimana” inovasi bekerja, tetapi kurang membahas secara mendalam tentang ketimpangan yang mungkin dihasilkan oleh disrupsi inovasi dan bagaimana mendistribusikan manfaatnya secara adil.
Catatan Akhir: Masa Depan yang Inovatif
Bab “An Innovation Famine” diakhiri bukan dengan keputusasaan, tetapi dengan seruan untuk bertindak. Pesan Ridley jelas: kita tahu resep untuk menumbuhkan inovasi, yaitu kebebasan. Untuk menghindari kelaparan inovasi ini, kita harus secara sadar memangkas belitan regulasi yang mencekik, memupuk budaya yang menerima risiko dan kegagalan, dan melawan narasi pesimis yang anti-kemajuan.
Kita harus kembali ke prinsip dasar bahwa inovasi yang transformatif adalah proses bottom-up yang membutuhkan kebebasan untuk bereksperimen, berkolaborasi, dan bersaing. Jika kita gagal melakukannya, pesta inovasi yang kita nikmati hari ini mungkin akan menjadi kenangan terakhir sebelum masa kelaparan yang sesungguhnya.
“How Innovation Works” bukan sekadar buku sejarah teknologi. Ia adalah sebuah manifesto tentang cara membangun masa depan yang lebih makmur dan memecahkan masalah-masalah besar umat manusia. Pesan utamanya adalah sebuah panggilan untuk percaya pada kemampuan kolektif manusia, asalkan kita diberikan kebebasan untuk bereksperimen, berkolaborasi, dan bersaing.
Masa depan Indonesia, dan dunia, tidak ditentukan oleh satu rencana induk yang sempurna, tetapi oleh kekacauan yang kreatif dari jutaan percobaan yang dilakukan oleh warganya. Tugas kita bersama—pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, dan masyarakat—adalah bukan untuk menjadi dalang dari semua inovasi itu, melainkan untuk menciptakan taman yang subur tempat benih-benih inovasi dapat bertumbuh dengan bebas. Seperti kata Ridley sendiri:
“The lesson of history is that innovation happens when people are free to think, experiment, and speculate, and when they have the incentive to do so by being able to profit from their ideas.” [1].
Inilah pesan abadi yang harus kita pegang: Kebebasan bukanlah musuh kemajuan; ia adalah ibunya.
Cirebon, 27 November 2025
Dwi Rahmad Muhtaman
Referensi
[1] Ridley, M. (2020). How Innovation Works: And Why It Flourishes in Freedom. HarperCollins Publishers.
[2] Tzu, L. (n.d.). Tao Te Ching (Chapter 17). (Terjemahan). Dikutip dari berbagai sumber.
[3] Khaldun, I. (1377). The Muqaddimah: An Introduction to History. (F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press.
[4] Mohamad, G. (2002). Katalog. Esai-esai dalam berbagai media.
[5] The Economist. (2020, May 14). How innovation works—A powerful new book explains what makes societies creative. The Economist. https://www.economist.com/culture/2020/05/14/a-powerful-new-book-explains-what-makes-societies-creative
[6] Mazzucato, M. (2013). The Entrepreneurial State: Debunking Public vs. Private Sector Myths. Anthem Press.
i CRISPR adalah singkatan dari: Clustered RegularlyInterspaced Short Palindromic Repeats. CRISPR merujuk pada rangkaian DNA yang ditemukan dalam genom bakteri dan archaea. Secara alami, sistem ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan kekebalan yang membantu organisme tersebut melawan serangan virus.
- Clustered: Urutan DNA ini terkumpul dalam satu wilayah genom.
- Regularly Interspaced: Di antara rangkaian pendek DNA yang berulang, terdapat “spacer” (potongan DNA virus yang pernah menginfeksi) yang disisipkan secara teratur.
- Short Palindromic Repeats: Bagian yang berulang pendek dan bersifat palindromik (dapat dibaca sama dari dua arah).
CRISPR-Cas9: Sistem Edit Gen Revolusioner. Sistem CRISPR-Cas9 adalah alat edit gen yang terinspirasi dari mekanisme pertahanan alami ini. Komponen utamanya: Cas9 (CRISPR-associated protein 9): Enzim yang bertindak seperti “gunting molekuler” untuk memotong DNA. RNA pemandu (guide RNA): Molekul RNA yang mengarahkan Cas9 ke bagian spesifik DNA yang ingin diedit. Dengan menggabungkan kedua komponen ini, ilmuwan dapat:
Memotong, menambah, atau mengganti gen dengan presisi tinggi; Mengobati penyakit genetik seperti anemia sel sabit atau distrofi otot; Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama dan perubahan iklim. Contoh Aplikasi CRISPR: Terapi Gen: Mengedit gen penyebab penyakit pada sel manusia; Pertanian: Menciptakan tanaman tahan penyakit dan bernutrisi tinggi; Bioteknologi: Memodifikasi mikroba untuk memproduksi bahan bakar atau obat.






