halamn drm #7
Mawi dalam Bising Industri 4.0
Dwi R. Muhtaman
”Lama setelah kita menyebar ke seluruh bumi, manusia masih bertahan hidup dengan berburu dan memakan biji-bijian dan buah beri, serangga, rumput laut, kadal, telur, dan akar.”
–James C. Davis. The Human Story: Our History, from the Stone Age to Today. 2004.
Suatu hari para pemburu menemukan sebuah lembah, terbuka hanya di satu ujung, di mana mereka dapat memegang domba. Melakukan langkah ini berarti mereka harus menetap, setidaknya untuk sementara waktu. Di sepanjang ujung lembah yang terbuka, mereka mendirikan tenda atau membangun gubuk. Kemudian para pemburu itu berubah menjadi penggembala. Mereka dapat memperlakukan domba sebagai cadangan pangan, sesuatu untuk dijadikan sandaran ketika mereka tidak dapat menemukan hewan buruan lainnya. Mereka melatih anjing untuk menggembalakan domba.
Saat mereka menyembelih dan memakan domba yang tidak diinginkan, mereka perlahan-lahan membiakkan spesies dengan sifat yang lebih berguna. Binatang kurus kemudian berevolusi sampai mereka gemuk, dengan mantel wol yang lebih tebal. Saat para penggembala menangkap dan menjebak binatang lain, ini juga berevolusi dengan cara yang bermanfaat. Sapi-sapi yang dulunya berbahaya ketika hidup di alam liar, tumbuh jinak, dan mereka terus memberi susu bahkan ketika anak-anaknya disapih. Babi hutan yang kurus dan lincah berubah menjadi babi yang gemuk dan bergizi.
Tentu saja, para penggembala yang kita diskusikan ini tidak hanya hidup dari daging. Mereka semua, terutama para wanita, mengumpulkan jenis makanan lain. Yang paling penting adalah biji-bijian—jelai, jagung (atau sejenis jagung), dan beras, dan gandum—yang tumbuh tanpa perawatan di dataran dan di rawa-rawa di sekitar mereka. Memanen biji-bijian ini mudah: jika Anda mengetuk batangnya, bijinya akan jatuh di keranjang Anda. Mereka (mungkin para wanita) menyadari bahwa biji-bijian adalah benih. Jadi pada tahun ketika makanan sulit ditemukan, mereka menggaruk tanah dan menaburkan benih di atasnya, berharap mereka akan memiliki lebih banyak rumput sereal. Memang benar menggali tanah dengan tongkat dan menanam benih jauh lebih sulit daripada sekadar mengumpulkan makanan yang ditawarkan alam. Tetapi ketika mereka menuai panenan, mereka memiliki lebih banyak biji-bijian untuk dimakan atau disimpan untuk musim dingin, atau musim berikutnya.
Sekarang setelah mereka menanam tanaman, mereka memiliki alasan lain (selain soal ternak) untuk tetap di tempat. Lagi pula, tidak masuk akal untuk membersihkan ladang dan menggunakannya hanya untuk satu tahun. Jadi mereka membangun sendiri beberapa gubuk yang lebih besar, dengan ruang untuk menyimpan peralatan dan benih mereka. Di sekitar gubuk, mereka membangun pagar dan kemudian tembok untuk menjaga ternak dan bandit yang keluar.
Begitulah kira-kira bagaimana pertanian dan kehidupan desa dimulai. Dan itu menurut Scott (2017) justru merupakan awal dari lahirnya sebuah negara. Menjadi fondasi purba bagi perjalanan sebuah negara dalam beberapa ribu tahun kemudian. Itu semua bukan karena seorang jenius soliter yang memikirkan pengembangan pertanian, dan kemudian berita tentang penemuan hebat ini menyebar ke seluruh bumi. Manusia pasti telah beralih ke pertanian dengan cara seperti yang dipaparkan tersebut. Sekelompok kecil orang, sedikit demi sedikit, hampir tidak memikirkan apa yang mereka lakukan, mengubah cara mereka berurusan dengan hewan dan tumbuhan. (Dan kebetulan, perubahan ini bertepatan dengan awal dari apa yang disebut “Zaman Batu Baru,” New Stone Age, ketika manusia membuat alat yang lebih halus dari batu dengan memoles atau menggilingnya).
Pertanian menjadi sumber pengumpulan makanan, hampir di mana-mana di bumi, hanya dalam sepuluh ribu tahun. Perubahan luas yang cepat itu hampir hanya menuntut penjelasan global yang sama. Menurut Davis, ini salah satunya: Mungkin pada saat tertentu manusia menghadapi masalah pasokan. Kekeringan di seluruh dunia mungkin telah memaksa orang di mana-mana untuk mencari cara baru untuk mendapatkan lebih banyak makanan. “Penjelasan seperti itu menarik, tetapi sejarawan tidak menemukan bukti kekeringan seperti itu,” pungkasnya.
Dalam catatan Davis pada Human Story itu, para arkeolog telah menemukan tempat-tempat di mana seseorang dapat mengikuti transisi dari pengumpulan makanan ke pertanian. Salah satu tempat tersebut adalah Yerikho, sebuah oasis dekat Yerusalem yang terletak lebih dari 800 kaki di bawah permukaan laut. Sejak awal, setiap generasi di Yerikho meninggalkan lapisan tanah dan sampah. Akhirnya lapisan-lapisan itu membentuk gundukan yang menjulang tujuh puluh kaki di atas dataran. Lapisan paling bawah menunjukkan bahwa pada mulanya pemburu pengembara biasa berkemah di Yerikho di samping mata air. Mereka berburu kijang dan berkemah di gubuk atau tenda tipis dan mendirikan kuil, mungkin dikhususkan untuk mata air.
Kemudian orang-orang perlahan-lahan menetap dan mulai bertani. Para petani awal menanam gandum dan jelai dan mungkin memelihara kambing; yang kemudian memiliki anjing untuk membantu mereka menggembalakan ternak mereka. Mereka membutuhkan waktu sekitar seribu tahun untuk melaksanakan revolusi pertanian mereka. Pada saat itu dua atau tiga ribu orang tinggal di sini, di desa yang ramai. Mereka tinggal di gubuk-gubuk kecil yang terbuat dari lumpur, tetapi mereka membangun tembok besar di sekitar desa mereka dan sebuah menara setinggi sepuluh meter. Mereka cukup makmur sehingga timbul rasa takut pada pemburu-bandit di perbukitan dan gurun terdekat, yang biasanya merampok.
“Dalam 150.000 tahun pertama di bumi, populasi manusia modern meningkat sangat, sangat lambat. Jumlah kami meningkat sedikit saat keadaan baik, dan tidak begitu menurun banyak saat keadaan buruk. Bahkan hingga akhir tahun 1600-an (ketika orang Eropa menetap di Dunia Baru, dan Manchu menaklukkan Cina, dan para astronom menemukan di mana kita berada) semua orang di bumi berjumlah kira-kira setengah miliar.”
“Pada tahun 1600-an itu kita mulai tidak hanya menambah, tetapi juga mengalikan jumlah populasi kita. Sejak saat itu hingga tahun 1900 jumlah manusia meningkat tiga kali lipat. Populasi Amerika dan Australia berlipat ganda dengan cepat terutama karena banyak orang Eropa meninggalkan rumah mereka dan menduduki benua yang hampir kosong ini. Diluar eksodus itu, orang Eropa tiga kali lipat lebih banyak. Orang Asia hampir tiga kali lipat, dan bahkan orang Afrika meningkat, meskipun kapal budak membawa setidaknya sepuluh juta dari mereka. Menjelang Perang Dunia I, manusia dengan mudah berkembang menjadi satu setengah miliar.”
Lalu Industrialisasi datang dengan segala implikasinya pada periode 1760-1840: orang-orang desa yang bertani mengadu nasib ke kota dimana industri tumbuh, pertambangan, tekstil dan makanan olahan. Pertanian cara tradisional mulai ditinggalkan. Mekanisasi menyergap lahan-lahan pertanian. Tuan-tuan tanah memerlukan tanah pertanian yang luas agar efisien menggunakan mekanisasi pertanian. Kapitalis berkembang subur. Urbanisasi–perpindahan penduduk dari desa ke kota, ke seputaran wilayah urban– makin meningkat pesat. Mereka mempertaruhkan kehidupan di desa menuju kota untuk mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik. Kota-kota besar tumbuh dan berkembang sejalan dengan industrialisasi dan ditopang oleh urbanisasi. Megacities, kota dengan penduduk lebih dari 10 juta orang, lahir.
Di awali pada tahun 1950. New York-Newark, USA (12.3 juta) dan Tokyo, Japan (11.3) adalah megacities pertama. Duapuluh lima tahun kemudian, 1975 menjadi Tokyo, Japan (26.6), New York-Newark, USA (15.9) dan Mexico City, Mexico (10.7). Pada tahun 2007 telah ada 19 megacities. Dan pada 2025 diperkirakan telah ada 27 megacities di dunia. Jakarta, Indonesia menduduki peringkat ke 19 dengan penduduk 12.4 (Laurence C. Smith. “The World in 2050: Four Forces Shaping Civilization’s Northern Future, 2010).”
Demikianlah peradaban manusia dimulai. Dari berburu, bertani, menetap, berkembang dan menciptakan industri. Membangun negara-negara. Memberi batas-batas. Menyematkan identitas baru. Dan kita masih mempunyai petani–profesi yang telah ribuan tahun hidup. Mungkin juga untuk ribuan tahun mendatang.
Suatu saat Che Guevara berbincang soal petani. Dengan gayanya yang heroik, Che mengatakan: “Petani itu adalah seorang yang berkeyakinan baik, orang yang bermoral tinggi, dan memiliki cinta kepada kebebasan yang kokoh.” Che Guevara adalah seorang Revolusioner dan pemimpin gerilya dari Argentina pada jejak waktu 1928-1967. Ia menggerakkan petani untuk mencapai kebahagiaan mereka.
Jauh sebelum itu adalah Abu Hamid Al Ghazali seorang filsuf dan sofis dari Persia yang hidup pada rentang 1058-1111, mengatakan dengan suaranya yang lembut namun tegas: “Kerja seorang guru tidak ubah seperti kerja seorang petani yang senantiasa membuang duri serta mencabut rumput yang tumbuh di celah-celah tanamannya.” Ia menganalogikan guru dengan cara berkarya petani. Membersihkan aneka pengganggu agar tanaman pokoknya—murid-muridnya—bisa tumbuh dengan baik dan berbuah dengan sepantasnya.
Namun ada juga orang bijak yang prihatin dengan makin langkanya petani yang mengolah kehidupan melalui sebongkah tanah, segenggam benih. Berkatalah Paulo Coelho, penulis dari Brazil 1947-…: “Agar bisa menanjak di dunia ini, kau harus menjadi sarjana. Dan begitulah ceritanya sehingga dunia kehilangan banyak petani, pembuat roti, pedagang barang antik, pemahat, dan penulis hebat.” Semua mengejar kesarjanaanya. Lupa pada berkarya. Banyak yang bersekolah, tak lagi kembali bercocoktanam. Entah bekerja untuk apa.
Kini kita telah banyak kehilangan petani. Padahal kita lebih banyak membutuhkan pangan.
Petani—baik pada masa Revolusi Industri 1.0 rentang waktu 1760-1840, lalu berlanjut pada Revolusi Industri 2.0 pada abad 19 dan awal abad 20, disambung dengan Revolusi Industri 3.0 pada 1960an, hingga akhirnya memasuki Revolusi Industri 4.0 yang dimulai tahun 2000-an hingga 2030-an—adalah tetap seseorang yang tekun melakukan pekerjaan menyemai, menanam, beternak, atau memelihara ikan. Berlumpur. Berbau. Wangi alami. Karena itulah makin tidak menarik bagi generasi baru. Memang tidak selalu. Dalam beberapa tahun terakhir ini disebut-sebut dengan istilah petani milenial. Petani-petani muda yang berkarya di bidang pertanian yang menggabungkan pertanian dengan kemajuan teknologi. Atau menggarap pertanian dengan cara yang berbeda, lebih kreatif dan inovatif, lebih kaya gagasan.
Pada awal 2019, siang yang terik tak menyurutkan saya untuk memenuhi undangan seorang petani ke kebun alpukatnya di ujung kaki gunung Pasaman, Nagari Kinali, Kec. Kinali, Kab Pasaman Barat. Saya ditemani Direktur BUMNAG (Badan Usaha Milik Nagari), Ketua Kelompok Tani, “Tunas Baru” dan 3 petani, termasuk Mawi, demikian orang-orang menyebut nama Pak Darmawi pemilik kebun alpukat. Perjalanan menuju kebun alpukatnya ditempuh dengan jalan kaki 2.5 km dari lokasi parkir mobil terakhir. Kalau jalan datar masih mendingan. Perjalanan 2.5 km ini dilakukan dengan altitude yang terus menanjak.
Mawi membangun mimpi di ujung tepian Gunung Pasaman dengan penuh keyakinan. Dilakukan seorang diri. Dengan menggunakan motor butunya setiap hari ia membuka lahan dan menanaminya. Pada 2000, ia, yang pada saat saya temui 2019 berusia 55 tahun, mengembara dari asalnya Jorong Sukamenanti—sekitar 40 km dari dia tinggal saat ini, Nagari Kinali. Mawi tidak suka menanti. Ia suka mencari. Lalu menanam cabe rawit, jagung, sayur dan nilam pada lahan pinjaman di kaki Gunung Pasaman itu. Hasil palawija cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya dan menabung.
Lalu ia membeli lahan yang dipinjamnya. Ia yakin sepenuh hati bisa hidup di tanah barunya itu—tanah yang jauh dari keramaian desa. Tanah yang subur. Ia seorang enterpreneur sejati yang berani mengambil risiko, menjelajahi potensi baru. Dan ia percaya pada apa yang dilakukannya. Ia mengikuti nasihat Walt Disney, meski tak kenal dan tidak pernah membaca tentang Disney: “Cara terbaik untuk memulai bisnis adalah berhenti membicarakannya dan mulai melakukannya.”
Ia menanam alpukat mentega. Ia mulai menanam alpukat yang diperoleh dari dinas pertanian. Alpukat yang lebih unggul: buah lebih besar, tanpa serat, lembut. Sendiri menanam di wilayah itu. Tidak ada orang lain di sekitar kebun. Pak Mawi adalah perintis babad alas. Sendiri diantara rimbunan hutan sekitarnya. Tiga tahun setelah membeli lahan ia menanam alpukat. Seperti halnya hasil palawija, alpukatpun harus diangkut dengan dipanggul. Jalan yang ada hanya jalan setapak yang dilalui dengan berjalan. Saat pertama kali tanam cabe rawit, ia mampu panen luar biasa: 600 kg.
Setelah cabe, palawija lain berhasil, alpukat sukses maka berdatanglah orang-orang mengikuti jejaknya. Ketika orang-orang bertanam sawit disekitar Pak Mawi yang banyak akal dalam bertani ini menolak ikut tanam sawit dan tetap teguh pada alpukat dan palawija yang ditanam. Kebun alpukat memang bisa diselingi dengan aneka tumpang sari. Dia tanam cabe, jagung, dan nilam untuk tumpang sari.
Kini ada lebih dari 70 kepala keluarga menanam alpukat dengan total 50 hektar. Jalan dibeton secara swadaya sehingga bisa dilalui sepeda motor. Ayah 5 anak ini, menikmati hasilnya. Menghidupi anak-anak dan keluarga. Memberi inspirasi pada tetangga petani mengikuti jejaknya: menanam alpukat mentega. Di rumah tinggalnya ia tekun membuat bibit alpukat. Ribuan bibit alpukat sudah diproduksi dan dijual. Kadang diberikan pada orang secara gratis.
Tiap bulan Pak Mawi dengan 6 ha lahannya bisa menghasilkan 2 ton. Alpukat dua ton it harus dengan susah payah diangkut dengan motor yang sudah dimodifikasi sebagai alat angkut hasil pertanian. Kebun yang jauh menyulitkan untuk menjual hasil panen dengan kualitas yang stabil. Alpukat yang dipanen sebagai Kelas A, setelah tiba di lokasi penampungan bisa merosot masuk Kelas C krn rusak selama perjalanan. Alpukat hanya dibungkus karung dan diangkut seadanya.
Tantangan lain yang dihadapi adalah membebaskan diri dari kungkungan tengkulak. Alpukat ditampung oleh tengkulak. Tengkulak inilah yang memberi pinjaman atau membeli sebelum berbuah—sebuah praktek yang sudah berlangsung sejak dulu kala pada budaya pertanian nusantara.
“Dunia berada di persimpangan jalan,” tulis Klaus Schwab, “Shaping the Future of the Fourth Industrial Revolution (2018).” Sistem sosial dan politik yang telah mengangkat jutaan orang dari kemiskinan dan membentuk kebijakan nasional dan global kita selama setengah abad telah mengecewakan kita. Manfaat ekonomi dari kecerdikan dan upaya manusia menjadi lebih terkonsentrasi, ketidaksetaraan meningkat, dan eksternalitas negatif dari ekonomi global terintegrasi telah merusak lingkungan alam dan menyengsarakan penduduk yang rentan: para pemangku kepentingan yang paling tidak mampu menyerap biaya kemajuan. “..the stakeholders least able to absorb the cost of progress.”
“Kepercayaan publik terhadap bisnis, pemerintah, media, dan bahkan masyarakat sipil telah jatuh ke titik di mana lebih dari separuh penduduk dunia merasa sistem saat ini mengecewakan mereka. Kesenjangan yang semakin lebar dalam kepercayaan antara mereka yang berada di kuartil berpenghasilan tertinggi di negara mereka dan penduduk lainnya menunjukkan bahwa kohesi sosial paling rapuh, dan sangat dekat dengan kehancuran paling buruk,” papar Pendiri World Economic Forum ini.
Teknologi pertanian hingga kini dengan segala macam teknologi digital makin maju. Namun, teknologi yang muncul ini bukan hanya kemajuan tambahan pada teknologi digital saat ini. Teknologi Revolusi Industri Keempat benar-benar mengganggu kemapanan, disruptif—mereka mengubah cara yang ada dalam merasakan, menghitung, mengatur, bertindak, dan menyampaikan. Mereka mewakili cara yang sama sekali baru untuk menciptakan nilai bagi organisasi dan warga negara. Mereka akan, seiring waktu, mengubah semua sistem yang kita anggap remeh saat ini—dari cara kita memproduksi dan mengangkut barang dan jasa, hingga cara kita berkomunikasi, cara kita berkolaborasi, dan cara kita mengalami dunia di sekitar kita. Dan sudah terjadi kini, kemajuan dalam neuroteknologi dan bioteknologi memaksa kita untuk mempertanyakan apa artinya menjadi manusia.
Kabar baiknya adalah bahwa evolusi Revolusi Industri Keempat sepenuhnya berada dalam kekuasaan kita, dan kita masih berada pada tahap yang paling awal. Norma dan peraturan sosial yang mengatur teknologi baru sedang dalam proses dikembangkan dan ditulis saat ini. Semua orang dapat dan harus memiliki suara tentang bagaimana teknologi baru memengaruhi mereka. Pertanyaannya, seberapa merata akses atas semua kemajuan teknologi yang dirupstif itu. Bagaimana dengan Mawi? Bisakah ia mendapatkan manfaatnya?
Kita berada di simpang jalan. Tapi berdiri di persimpangan ini berarti kita memikul tanggung jawab yang besar. Bagi Schwab, dan mungkin sebagian dari kita, percaya–meski tidak sepenuhnya–jika kita melewatkan kesempatan ini untuk membentuk teknologi baru dengan cara yang mempromosikan kebaikan bersama, meningkatkan martabat manusia dan melindungi lingkungan, ada kemungkinan besar bahwa tantangan yang kita alami saat ini hanya akan bertambah buruk, karena kepentingan yang sempit dan sistem yang bias semakin jauh memperdalam ketidaksetaraan dan mengorbankan hak-hak orang di setiap negara.
Menghargai pentingnya Revolusi Industri Keempat dan membentuknya untuk kepentingan semua, bukan hanya bagi mereka yang kaya atau terampil, membutuhkan cara berpikir baru dan pemahaman yang luas tentang berbagai teknologi yang akan berdampak pada individu, komunitas, organisasi dan pemerintah.”
Indonesia adalah negara yang masih menggantungkan pada pertanian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Lokadata.id, jumlah petani per 2019 mencapai 33,4 juta orang. Sebagian besar petani tersebut berusia lanjut. Petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8 persen atau setara dengan 2,7 juta orang. Sekitar 30,4 juta orang atau 91 persen berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun. Kondisi ini kian diperparah dengan penurunan jumlah regenerasi petani muda. Dalam data yang sama, dari periode 2017 ke 2018, penurunan jumlah petani muda mencapai 415.789 orang.
Lahan-lahan petani yang berupa petak-petak kecil menjadi tantangan tersendiri untuk mekanisasi, tahap paling awal dalam industrialisasi. Tanpa lahan dengan hamparan yang luas mekanisasi pertanian menjadi tidak efisien, amat mahal. Di banyak lokasi disiasati dengan menggunakan jenis mesin pengolah lahan yang sederhana, portable. Bisa digunakan hanya menggarap setengah hingga 2-3 hektare.
Menurut laporan FAO, populasi dunia akan melampaui 9,0 miliar orang pada tahun 2050 (FAO, 2009). Bagaimana memastikan pangan dunia bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sejumlah pnduduk bumi tersebut. Tingkat produktivitas pertanian perlu diupayakan untuk memenuhi perkiraan permintaan pangan dunia, pakan, serat dan bahan bakar pada tahun 2050. Meskipun pertanian telah menghadapi tantangan yang signifikan di masa lalu, peningkatan produktivitas yang ditargetkan harus dilakukan pada tahun 2050, dalam menghadapi kendala antara lain, sumber daya yang terbatas, tenaga kerja yang kurang terampil, terbatasnya jumlah lahan yang dapat ditanami dan perubahan iklim. Untuk sebagian besar abad ke-20, banyak faktor kunci yang mempengaruhi peningkatan laju produksi tanaman, terutama mekanisasi, peningkatan genetika dan peningkatan penggunaan input.
Akan tetapi, peningkatan produksi tanaman tersebut mengakibatkan penerapan yang berlebihan dari berbagai input pertanian, yaitu irigasi, nutrisi dan pestisida. Penggunaan pertanian intensif sumber daya, input tinggi di seluruh dunia menyebabkan penipisan kesuburuan tanah, air kelangkaan, deforestasi yang meluas dan tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi (FAO, 2017; NASEM, 2019).
Saat ini, produksi pertanian menyumbang lebih dari 70% air tawar konsumsi dan tingkat konsumsi bahan kimia yang tidak berkelanjutan untuk produksi tanaman. Karenanya, keberlanjutan di bidang pertanian adalah suatu keharusan yang menjadi kebutuhan tidak hanya karena kelangkaannya sumber daya alam dan pertumbuhan penduduk, tetapi juga untuk perhatian yang semakin besar bagi kesejahteraan dan gaya hidup hijau. Pertanian perlu memberikan solusi yang efektif untuk menjawab tantangan lama dan baru dan merangkul wawasan dari disiplin lain dan menggunakannya secara terintegrasi.
Mawi adalah bagian dari upaya dunia untuk memenuhi kebutuhan manusia atas pangan itu. Slogan no one left behind dari SDGs harusnya juga menjadi dorongan kita untuk mengapresiasi dan mendukung Mawi dan jutaan petani kecil lainnya untuk bisa memanfaatkan IoT. Menyediakan segala pemungkin bagi mereka untuk mengambil manfaat dalam kebisingan perbicnangan soal Indutri 4.0, pertanian cerdas dan sejumlah perangkat pertanian IoT itu.
Catatan ini hanya merekam jejak ringkas dari apa yang tersisa. Meski teknologi yang dilakukan Pak Mawi sederhana yang berabad-abad dipakai, model transaksi dengan tengkulak juga berabad-abad bercokol, ia tetap berkebun. Revolusi Industri 4.0 hanya baik pada satu kondisi. Tak menyentuh apapun di sebidang lahan Pak Mawi. Pedih.
Namun keindahan seringkali ada dalam kepedihan. Sejumput kebahagiaan seringkali bertaburan dalam ruang kesedihan. Sebab, bagaimanapun, taburan bintang-bintang hanya bisa kita nikmati dalam pekat kegelapan. Dan Pak Mawi cukup bahagia untuk menjalaninya sebagai petani yang masih menjalani tahap Revolusi Industri 1.0. Sebab, seperti ditulis Davis dalam Epilognya:
“The world’s still cruel, that’s understood,
But once was worse. So far so good.”
Bogor, 10 Juni 2021,
Diperbarui, Nunukan 3 September 2021.