halaman drm #51
Mayrit: Una Villa Creada 1
Dwi R. Muhtaman
Madrid, Madrid: namamu adalah teriakan
yang menembus abad dan perbatasan,
gema kemarahan dan harapan
yang tak akan pernah padam dalam ingatan
….
— Miguel Hernández (1910-1942),
penyair Spanyol yang meninggal dalam penjara Franco.
Rona merah matahari pagi menyapu angkasa sisi timur kota tua. Tersenyum cerah, biru langit kastila. Dari ketinggian 4000 kaki, bayangan kota seperti siluet batu-batu purba. Berebut menjulang ke angkasa. Dari bandara Internasional Bandara Adolfo Suárez Madrid–Barajas dibutuhkan sekitar 60 menit untuk menuju kota. Dari jauh, di dalam bandara dengan arsitektur gelombang kemajuan budaya, saya membayangkan berkeliling kota yang dibangun dari bata-bata sejarah aneka rupa.
Madrid, Madrid, Madrid; alangkah merdunya namamu,
pemecah gelombang dari seluruh Spanyol!
Bumi terkoyak, laut memenuhi…
dan kau, dengan kebesaranmu, menyatukannya.
Di sini dimana seluruh Iberia,
dengan nafasnya yang asli dan murah hati,
adalah sarang tawon yang luas, dan di luar
membawa kekuatan perasaannya.
Kaulah jantung di dada kami;
padamu berdebar keraguan dan kerinduan;
kaulah cermin dimana kami telah menciptakan
sejarah besar orang-orang Spanyol. 2
Mungkin benar kesan tentang Madrid yang dituliskan Ramón de Campoamor (1817-1901), seorang penyair realis Spanyol terkemuka ini. Madrid adalah nama yang merdu. Pemecah gelombang dari seluruh Spanyol seperti yang dilukiskan pada desain bandara Internasional Adolfo Suárez Madrid–Barajas. 3
Sebelum menjadi Madrid, wilayah ini adalah sebuah pos perbatasan kecil di Emiriah Kordoba yang dikenal sebagai Mayrit (مجريط), sebuah nama yang berasal dari bahasa Arab “majra” (مجرى) yang berarti “saluran air” atau “sumber air”. Ini adalah petunjuk kunci tentang mengapa pemukiman ini didirikan. Peradaban-peradaban lama lahir, dibangun dan tumbuh di jantung atau tepi sumber-sumber air. 4 Air adalah sumber kehidupan. Karena itu kata Francisco de Quevedo, penulis Zaman Keemasan, “Air Madrid layak untuk mati karenanya.” 5
Karena itu “Air adalah darahnya Mayrit. Tanpa saluran-saluran tersembunyi yang dibangun oleh orang-orang Moor, tidak akan ada apa-apa di sini selain gurun dan batu,” demikian catatan sejarawan abad pertengahan anonim, menggambarkan ketergantungan vital kota pada teknik hidrolik Islam.
Mayrit bukan hanya benteng militer, tetapi juga sebuah komunitas Muslim yang hidup dengan medina (kota), alcazaba (benteng dalam), dan mesjid.
Pada sekitar tahun 860 M, atas perintah Emir Muhammad I dari Kordoba, sebuah alcázar (benteng) dibangun di sebuah bukit yang sekarang menjadi lokasi Istana Kerajaan Madrid. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi Toledo, kota penting di selatan, dari serangan kerajaan-kerajaan Kristen di utara. Kejeniusan pendirian Mayrit terletak pada jaringan qanats (saluran air bawah tanah) yang dibangun oleh insinyur Muslim, yang memungkinkan mereka mengangkut air dari akuifer bawah tanah ke permukaan. Inilah “kanal” pertama Madrid—sebuah prestasi hidrolik yang memastikan kelangsungan hidup kota benteng di dataran yang kering.
Inilah sebuah kota, dua kisah asal. Madrid adalah saatu-satunya ibu kota Eropa yang dicetuskan oleh penguasa Muslim, benteng Mayrit didirikan pada abad ke-9 oleh Mohamed I dari Córdoba. Saat Felipe II memutuskan untuk menetapkan istana Spanyol di sini secara permanen pada 1561, benteng peninggalan Mohamed pun diubah wujud menjadi istana kerajaan. Sebuah narasi alternatif pun diciptakan, yang merunutkan sejarah Madrid hingga ke zaman klasik. Hal ini tidak sulit dilakukan, sebab sebelum dinobatkan sebagai ibu kota, Madrid hanyalah sebuah kota kecil yang tak berarti.
Begitu menjadi pusat imperium global, kota kecil ini segera bertransformasi. Bangunan-bangunan baru menjulang, menampung populasi yang melesat cepat. Sejak saat itu, deru pembangunan nyaris tak pernah reda, hanya terpotong kasar oleh invasi Napoleon, pengepungan berdarah Franco, dan krisis finansial 2008. Gelombang kebangkrutan dan penggusuran menyusul krisis itu. Dan tepat ketika kota ini mulai bangkit, pandemi COVID-19 menerpa.
Namun, orang-orang Madrid adalah kaum yang tangguh. Ketabahan mereka terukir dalam perlawanan sengit terhadap Napoleon dan keteguhan hati selama pengepungan panjang atas kota mereka.
Rekonkuista dan Kota Abad Pertengahan yang Terlupakan (1085-1561)
Madrid direbut oleh Raja Alfonso VI dari Kastilia pada 1085. Di bawah kekuasaan Kristen, kota ini mempertahankan populasi Mudejar (Muslim yang tetap tinggal) yang signifikan, yang terus mengelola sistem air yang canggih.6 Namun, Madrid menjadi kota provinsi yang relatif tidak penting selama berabad-abad, tenggelam dalam bayangan kota-kota kekuasaan seperti Toledo, Sevilla, dan Valladolid. Jejak Islam secara bertahap terhapus, dengan masjid-masjid diubah menjadi gereja, meskipun warisan arsitektur Mudejar tetap terlihat dalam gaya bangunan seperti menara gereja yang menyerupai menara masjid.
Lalu lahirlah Ibu Kota baru Monarki Habsburg (1561). Takdir Madrid berubah secara dramatis pada 1561 ketika Raja Felipe II memindahkan istana kerajaan yang berpindah-pindah ke kota kecil berpenduduk 15.000 jiwa ini. Keputusannya didasarkan pada lokasi geografis sentral Madrid dan keinginan untuk membebaskan mahkota dari pengaruh kuat klerus Toledo dan bangsawan di kota-kota lain.7
Keputusan ini memicu ledakan pertumbuhan yang kacau. Madrid tiba-tiba harus membangun istana, biara, dan infrastruktur untuk menampung seluruh istana dan pemerintahan. Sebuah “kota” baru harus dibangun dari atas, bukan tumbuh secara organik. Inilah awal dari Madrid sebagai sebuah “kota yang diciptakan” (una villa creada), sebuah proyek ambisius yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. “Madrid adalah sebuah pulau… sebuah pulau di tengah-tengah dataran tinggi Kastilia.” — Antonio Muñoz Molina, penulis Spanyol kontemporer, menggambarkan perasaan terisolasi namun unik dari ibu kota Spanyol.
Pembangunan Ibu Kota ini juga merupakan upaya penggusuran yang terselubung. Pembangun-an Madrid sebagai ibu kota tidak melibatkan kanal dalam artian fisik seperti di Amsterdam atau Panama, tetapi lebih pada kanalisasi sumber daya dan tenaga kerja. Untuk membangun istana, biara, dan jalanan, ribuan buruh, pengrajin, dan budak didatangkan. Banyak dari tenaga kerja ini berasal dari populasi yang tertindas: Budak Muslim dan Morisco: Setelah Pemberontakan Alpujarras (1568-1571), ribuan Morisco (Muslim yang dipaksa pindah agama) diusir dari Granada dan banyak yang dipekerjakan sebagai buruh paksa dalam proyek konstruksi di Madrid. Populasi Mudejar yang Tergusur: Dengan meningkatnya ortodoksi agama, populasi Mudejar yang tersisa semakin dipinggirkan. Pengusiran besar-besaran Morisco pada 1609-1614 adalah puncaknya, yang secara paksa mencabut komunitas yang telah berkontribusi besar pada ekonomi dan arsitektur Spanyol dari tanah air mereka. Budaya dan warisan teknik mereka, termasuk pengetahuan tentang sistem air, secara sistematis dihilangkan.
Pembangunan Plaza Mayor (awal 1600-an) adalah contoh sempurna: sebuah ruang publik megah yang dibangun untuk mengontrol dan “membudayakan” populasi yang beragam dan seringkali bergejolak, dengan mengorbankan permukiman tua dan jalan sempit yang dihancurkan untuk memberi tempat bagi tatanan baru.
“Madrid adalah kota yang aneh: sebuah istana kerajaan yang besar, sekelompok biara, dan sekawanan orang asing… sebuah tubuh besar tanpa jiwa, ” tulis Marquis de Villars, duta besar Prancis pada 1679, menggambarkan kesan artifisial dan kosong dari ibu kota yang baru diciptakan ini.
Madrid terletak di tengah Meseta Central, sebuah dataran tinggi yang gersang di jantung Semenanjung Iberia. Kondisi alamnya ditandai dengan iklim kontinental yang ekstrem—musim panas yang sangat panas dan musim dingin yang dingin, dengan sedikit curah hujan. Sungai Manzanares, yang dengan sinis dijuluki “sungai termuda di Spanyol” karena alirannya yang seringkali minim, mengalir melalui kota. Lokasinya yang terpencil di dataran tinggi awalnya tampak tidak menguntungkan untuk mendirikan ibu kota, namun justru menjadi keunggulan strategisnya sebagai benteng yang sulit ditembak.
Warisan yang Hilang dan Paradoks Modern
Dampak terbesar dari pembangunan Madrid adalah penghapusan hampir total warisan fisik Islamnya. Alcázar Muslim asli dihancurkan untuk membangun Istana Kerajaan baru. Jaringan qanats yang canggih, yang menjadi alasan awal keberadaan kota, ditinggalkan dan dilupakan, digantikan oleh sistem air baru yang lebih “modern.” 8
Namun, jiwa kota itu tetap ada. Nama “Madrid” sendiri adalah warisan Arab. Tata letak beberapa distrik tua, seperti Barrio de la Morería, masih mengikuti denah jalan sempit dari medina Muslim abad pertengahan, meskipun bangunannya telah berubah. Baru-baru ini, arkeologi telah mulai mengungkap kembali saluran air dan fondasi Mayrit yang hilang, mengingatkan kota akan asal-usulnya yang dalam dan kompleks.9
“Di bawah plester dan batu bata Madrid yang baru, saya merasakan denyut nadi Mayrit yang tua, sebuah kota yang tidak pernah benar-benar mati, hanya tertidur.”— Arturo Barea, penulis Spanyol, dalam bukunya “The Forge”.
Madrid modern adalah sebuah metropolis yang hidup dan kosmopolitan, tetapi pertumbuhan-nya didasarkan pada fondasi penggusuran budaya dan rekonfigurasi paksa ruang urban—sebuah paradoks yang umum di banyak kota Eropa dengan masa lalu yang berlapis-lapis.
“Darah di jalan-jalan sempit/bukan sekadar darah, ia adalah lagu,” tulis puisi Pablo Neruda, penyair Chili peraih Nobel yang pernah bertugas sebagai diplomat di Spanyol selama Perang Saudara.10 “yang akan ditangisi gitar-gitar Triana/untuk generasi-generasi. Spanyol adalah kanvas yang kasar/dicat dengan hijau tua pohon zaitun,/merah ganas bumi,/dan hitam kerudung janda”– sebuah puisi yang menangkap luka sejarah Spanyol melalui metafora seni visual, dengan Madrid sebagai bingkai yang menahan baik keindahan maupun penderitaan.
Dan Madrid adalah bingkai/yang memuat keindahan yang menyakitkan ini,/jubah berwarna-warni/yang terkoyak oleh kuku sejarah.
Seperti umumnya kota-kota di dunia, gebyar, kerlap-kerlip duniawi, materialistik menjadi bagian dari nadi kehidupan. Gereja-gereja barangkali hanya menjadi bagian historis dengan arsitek eksotik peninggalan jaman yang melelahkan. Meskipun orang pernah mengatakan Dari “Dari Madrid ke langit.” (De Madrid al cielo). 11 “Madrid adalah kota yang paling menyenangkan, paling bebas, dan paling hidup di Eropa… Di sini, tidak ada yang menjadi budak dari mode,” ledekan Pedro Calderón de la Barca, dramawan Zaman Keemasan Spanyol, memuji suasana egaliter Madrid yang awal.
Ah, Madrid, Madridku!
Sepotong surga yang turun ke bumi,
dimana para malaikat minum anggur
dan para santo bermain lotere.12
Madrid-Panama City, Panama
31 Oktober 2025
1 Istilah dalam bahasa Spanyol yang berarti Kota yang Diciptakan
2 Puisi ini ditulis oleh Ramón de Campoamor (1817-1901), seorang penyair realis Spanyol terkemuka. Puisi ini menggambarkan Madrid sebagai pusat pemersatu Spanyol yang penuh gejolak (“pemecah gelombang”), mencerminkan keraguan dan cita-cita bangsa. Puisi ini terdapat dalam antologi “Obras Completas de Campoamor” (Montaner y Simón, 1901). Diterjemahkan dari bahasa Spanyol dengan menggunakan DeepSeek. Pembaca disilakan untuk menemukan sumber asli dan terjemahan yang lebih tepat. Puisi asli dikutipkan sebagai berikut (Bahasa Spanyol):
Madrid, Madrid, Madrid; ¡qué bien tu nombre suena,
rompeolas de todas las Españas!
La tierra se desgarra, el mar se llena…
y tú, con tu grandeza, las apañas.
Aquí donde la Iberia toda entera,
con su castizo y generoso aliento,
es un inmenso avispero, y fuera
lleva la fuerza de su sentimiento.
Eres el corazón de nuestro pecho;
en ti laten las dudas y anhelos;
eres el espejo donde hemos hecho
la historia grande de los españoles.
3 Bandara internasional di Madrid bernama Adolfo Suárez Madrid–Barajas Airport (kode IATA: MAD). Bandara ini adalah bandara terbesar dan tersibuk di Spanyol, serta menjadi hub utama maskapai Iberia. Terminal yang paling terkenal secara arsitektural adalah Terminal 4 (T4), yang dirancang oleh arsitek Inggris Richard Rogers dan arsitek Spanyol Antonio Lamela.
Bahan atap interiornya: Atap T4 terbuat dari lapisan baja bergelombang (corrugated steel) yang dilapisi dengan panel bambu alami di bagian bawahnya. Bambu ini memberikan warna hangat dan tekstur organik pada interior, menciptakan suasana yang menenangkan dan alami di ruang yang sangat besar. Selain itu: Struktur penyangganya menggunakan kolom baja berbentuk Y berwarna biru, kuning, hijau, dan merah, untuk membantu navigasi dan orientasi penumpang. Desainnya juga memanfaatkan pencahayaan alami melalui skylight besar di antara gelombang atap, sehingga cahaya matahari tersebar lembut di dalam terminal. Jadi, bahan utama atap interior T4 adalah bambu alami di bagian dalam, dan baja bergelombang di bagian struktur luar.
4 Museo de los Orígenes (Museum Asal-Usul Madrid). Museum ini terletak di lokasi yang diyakini sebagai rumah Felipe II, museum ini menyimpan artefak dari periode Islam dan abad pertengahan Madrid, termasuk sisa-sisa sistem air.
5 “Air Madrid layak untuk mati karenanya.”
— Francisco de Quevedo, penulis Zaman Keemasan. Sebuah pujian ironis yang terkenal terhadap air Madrid yang keras, yang konon menyebabkan penyakit batu ginjal, namun juga menjadi sumber kebanggaan karena kelimpahannya—warisan tidak langsung dari teknik hidrolik Muslim.
6 Carr, Raymond (Ed.). (2000). Spain: A History. Oxford University Press. Buku ini memuat bab-bab mendalam tentang periode Rekonquista dan pembentukan negara Spanyol modern.
7 Elliott, J.H. (2002). *Imperial Spain: 1469-1716*. Penguin Books. Buku ini memberikan konteks politik dan sosial yang sangat baik tentang keputusan Felipe II menjadikan Madrid sebagai ibu kota.
8 Tremlett, Giles. (2012). Ghosts of Spain: Travels Through Spain and Its Silent Past. Faber & Faber. Buku ini menjelajahi warisan yang tertutup di Spanyol, termasuk jejak-jejak Islam di Madrid, dengan gaya jurnalistik yang menarik.
9 Barea, Arturo. (1941). The Forge. (Bagian pertama dari trilogi The Struggle for the Spanish Soul). Sebuah memoar fiksi yang menggambarkan kehidupan di Madrid pada awal abad ke-20 dan menyentuh warisan sejarahnya yang dalam.
10 Pablo Neruda (1904-1973), penyair Chili peraih Nobel yang pernah bertugas sebagai diplomat di Spanyol selama Perang Saudara. Puisi ini menangkap luka sejarah Spanyol melalui metafora seni visual, dengan Madrid sebagai bingkai yang menahan baik keindahan maupun penderitaan. Puisi terkumpul dalam “Spain in Our Hearts: 1936-1939” (Salamandra Press, 2019).
Puisi ini berjudul “The Spanish Cloak” oleh Pablo Neruda (Chili). Puisi ini diterjemahkan dari bahasa Inggris dengan menggunakan DeepSeek. Pembaca disilakan untuk menemukan sumber asli dan terjemahan yang lebih tepat. –Versi Bahasa Inggris:
In Madrid, with its dry moon,
and its stone buildings hard as promises,
I learned about death and love
in the same breath.
The blood in the alleyways
was not just blood, it was a song
that the guitars of Triana
would weep for generations.
Spain is a rough canvas
painted with the dark green of olive trees,
the fierce red of earth,
and the black of widows’ veils.
And Madrid is the frame
that holds this painful beauty,
a cloak of many colors
torn by history’s nails.
11 “Dari Madrid ke langit.” (De Madrid al cielo)
— Pepatah populer Spanyol. Konon berasal dari abad ke-17, merujuk pada banyaknya biara dan gereja yang atapnya seolah-olah “menyentuh langit”, dan pada kenikmatan hidup di kota tersebut.
12 Penulis: Gloria Fuertes (1917-1998), penyair madrileña yang karyanya mencerminkan kehidupan rakyat sehari-hari. Puisi ini menangkap esensi Madrid melalui distrik-distriknya (Chamberí, Lavapiés, Gran Vía) dengan gaya yang sederhana namun penuh keakraban dan kritik sosial halus. Puisi ada dalam kumpulan puisi “Historia de Gloria” (Cátedra, 2005). Berikut ini puisinya (Bahasa Spanyol) dengan terjemahan Indonesia:
“Canto a Madrid” oleh Gloria Fuertes (Spanyol)
Madrid, con tu feria
de luces y sombras,
con tus calles que cantan
y tus plazas que lloran.
Tienes el olor del chocolate
y el sabor de la prisa,
tienes la voz del pueblo
y la piel de ceniza.
En Chamberí se sueña,
en Lavapiés se vive,
en la Gran Vía se muere
un poco cada día.
¡Ay, Madrid, mi Madrid!
Trozo de cielo bajado a la tierra,
donde los ángeles beben vino
y los santos juegan a la lotería.
Terjemahan Bahasa Indonesia:
Madrid, dengan feriamu
cahaya dan bayangan,
dengan jalan-jalanmu yang bernyanyi
dan alun-alunmu yang menangis.
Kau memiliki aroma cokelat
dan rasa ketergesaan,
kau memiliki suara rakyat
dan kulit abu.
Di Chamberí orang bermimpi,
di Lavapiés orang hidup,
di Gran Vía orang mati
sedikit setiap hari.
Ah, Madrid, Madridku!
Sepotong surga yang turun ke bumi,
dimana para malaikat minum anggur
dan para santo bermain lotere.






