halaman drm #4
Keberanian dalam Hidup
Dwi R. Muhtaman
“Unless you try to do something beyond
what you have already mastered, you will never grow,”
–Ralph Waldo Emerson
Ia mulai tertarik mendaki pada usia lima tahun. Lahir pada 17 September 1944 di Brixen, Tyrol Selatan. Dia memiliki satu saudara perempuan dan merupakan anak tertua kedua dari delapan bersaudara. Ia dibesarkan di Villnöss dan menghadiri Geometerschule di Bozen. Pada 1956 ia mendaki rute batu pertama yang sulit, wajah timur Kleine Fermeda, bersama ayahnya. Pada 1960 mereka berdua mendaki sisi utara Sass Rigais.
Pada 1978 pada musim semi yang menggembirakan, ia melakukan pendakian pertama “Breach Wall” di Kilimanjaro (5895 meter). Pada tanggal 8 Mei, Ia bersama rekannya, Peter Habeler, melakukan pendakian pertama Gunung Everest (8850 meter) tanpa oksigen tambahan. Pada tanggal 9 Agustus, ia melakukan pendakian solo pertama di Nanga Parbat melalui Diamir Face. Ini juga merupakan pendakian solo pertama dari puncak 8000 meter.
Pada 1979 Pada bulan Februari, Ia melakukan perjalanan ke Sahara dan mendaki beberapa rute baru di Pegunungan Hoggar. Di musim panas, bersama dengan Michl Dacher, ia mendaki Abruzzi Ridge dengan gaya alpine di K2 (8611 meter). 1980 Pada tanggal 20 Agustus, Ia melakukan pendakian solo pertama Gunung Everest.
1982 ia menjadi pendaki pertama yang mendaki tiga gunung dengan tinggi delapan ribu dalam satu musim. Di musim semi, ia mendaki Kangchenjunga (8.598 meter), diikuti oleh Gasherbrum II (8.035 meter) dan Puncak Luas (8.048 meter). Upaya pada Desember di Cho Oyu (8188 meter) dengan Hans Kammerlander tidak berhasil.
Dialah Reinhold Messner. Hingga masa pensiunnya ia telah ‘menaklukan’ delapan gunung setinggi 8.000 meter atau bahkan lebih. Dia mendaki gunung ”dengan cara yang sederhana.” Tanpa oksigen, tanpa piton dan tanpa pembawa barang. ”Sekarang teknologi telah melampaui pendakian,” katanya. ”Saya ingin mendaki dengan tenaga saya, dengan ketakutan saya, dengan naluri saya. Pendakian bagi saya adalah suatu penjajagan diri sendiri. Saya ingin mengatasi kesulitan pendakian di pegunungan, bukan di toko olahraga.”
Kini pada usianya yang 77 tahun ia mendedikasikan sisa hidupnya mengelola Messner Mountain Museum (MMM) project bersama Yayasan yang didirikan the Messner Mountain Foundation (MMF). Yayasan ini bertujuan untuk mendukung orang-orang pegunungan di seluruh dunia. Telah terbangun enam Museum di seluruh dunia. Salah satunya adalah Museum ke-enam the MMM Corones di Enneberg, Südtirol, Italy, yang didesain oleh Zaha Hadid, arsitek kenamaan dunia. Enam museum itu dibangun dengan desain futurisktik dan pada tempat-tempat yang eksotik. Menyimpan aneka artefak tentang pendakian dan kehidupan orang-orang pegunungan.
Bagi Messner untuk menghilangkan keraguan dalam hidup maka perlu membangun dan meningkatkan aturan main. Dalam pendakian gunung, perubahan itu menuju gaya yang lebih sederhana, lebih ringan, dan lebih cepat. Salah satu contoh: Pendakian Everest tahun 1978 oleh Messner dan Habeler tanpa menggunakan oksigen tambahan. Ini merupakan perubahan paradigma besar dalam gaya pendakian gunung di ketinggian. Termasuk yang dilakukan Ed Viesturs (The Mountain: My Time on Everest, 2013). Dari tujuh pendakian sukses Ed Viesturs.
di Everest, dia memuncaki tiga kali hanya dengan menghirup udara di sekitarnya. Saat bersama klien, Ed percaya pemandu juga harus menggunakan oksigen untuk mengoptimalkan kesejahteraan seluruh tim.
Pada 1972 Messner membuat pendakian pertama dari wajah selatan Manaslu (8156 meter). Pada malam hari para pendaki terjebak dalam badai salju yang tak terduga. Rekan anggota ekspedisi Messner, Andi Schlick dan Franz Jäger, gagal kembali ke perkemahan. Tubuh mereka tidak pernah ditemukan. Messner mendaki Noshaq (7492 meter) di Hindu Kush.
Pada 1973 Pada awal musim panas, Messner kembali ke Nanga Parbat dengan tujuan melakukan pendakian solo. Upaya gagal. Kembali ke rumah, dia melakukan pendakian pertama dari pilar barat Marmolada dan wajah barat Furchetta. Messner dan Demeter membeli dan merenovasi bekas pastoran di sebuah bukit di atas Saint Magdalena di Lembah Villnöss di bawah Geisler. Pada 1974 Selama ekspedisi ke Andes, Messner mendaki rute langsung baru di sisi selatan Aconcagua (6959 meter). Upaya di sisi selatan Makalu (8485 meter) pada bulan Mei berakhir dengan kegagalan. Pada bulan Agustus, Reinhold Messner dan Peter Habeler mendaki sisi utara Eiger dalam catatan waktu sepuluh jam.
Itulah kisah Reinhold Messner yang dikisahkan dalam bukunya, “Reinhold Messner: My Life at the Limit (2014).
Messner memang orang ’gila’ tulen. Disamping sebagai orang yang pertama kali mendaki Everest tanpa oksigen, dia juga seorang diri menaklukan puncak Nang Parbat yang tingginya 8.125 meter itu. Dia tentu tidak sendiri. Masih banyak orang-orang yang masuk dalam golongan dia. Dan, sambil berdecak kagum, banyak orang mengaggapnya “gila” atau “nekad.”
Namun dia tak henti-hentinya memperingatkan kita agar mendaki gunung dengan aman. Mendaki gunung adalah tentang risiko” dan bahwa “gunung tanpa bahaya bukanlah gunung tetapi sesuatu yang lain. “Mountaineering is about risk” and that “a mountain without danger is not a mountain but something else,” katanya.
Reinhold Messner adalah pendaki gunung dan petualang paling terkenal di zaman itu. Dia telah mencapai sekitar seratus pendakian pertama, mendaki semua empat belas delapan ribu, dan melintasi Antartika, Greenland, Tibet, dan gurun Gobi dan Takla Makan dengan berjalan kaki. Setelah menjalani masa jabatan sebagai anggota Parlemen Eropa, ia sekarang mencurahkan banyak waktu dan energinya untuk proyek Museum dan Yayasan yang dididirikan dan dikelolanya.
Gila? Nekad? Ah, tidak. Messner bukan tergolong orang nekad. Kita kadang terlampau terpesona atas kemampuan seseorang atau sebuah tim yang berhasil menjajal ujung-ujung dunia tertinggi, atau kita kagum atas prestasinya menerobos liang-liang bumi yang paling dalam. Atau kita berdecak kagum pada kegiatan apa saja yang menuntut akal, skill dan rasa yang lebih. Entah itu pengusaha gila, pemimpin yang nyeleneh, pemusik, pelukis, penyair yang tidak biasa.
Tanpa disadari, sering pula terlontar kata “gila!” ”Wah, nekad” kalau melihat keberhasilan yang hebat–sebuah kegilaan yang jarang sekali di pikirkan orang apalagi melakukannya. Pada November 1985, sebuah tim arung jeram yang di pimpin oleh Renaud Lavergne, merobek-robek jeram terderas kedua di dunia dengan kecepatan arus 40.000 meter kubik per detik. Jeram itu adalah jeram Inga di Zaire, Afrika. Jeram dengan deru yang menggetarkan itu adalah aliran dari Danau Tanganyika menuju ke Samudra Atlantik.
Siapa saja dalam tim itu? Luc-Henri Face, selain wartawan foto juga speleolog yang telah menaklukan liang terdalam di Afrika, sejauh 1.000 meter di bawah tanah; Denis Ziegle, petualang di Papua Nugini dan Amerika Latin; Jean Luc Julien, seorang mekanik; Herve Argenson, speleolog; Christian Real dan Oliver Segal, penyelam profesional, veteran ekspedisi-ekspedisi di Afrika; Jean-Marc Karouby, dokter; Jacky Houannessiau, pengamat olahraga; Jean Pierre Coindet, pembuat film olahraga. Dan jago-jago rakit macam Gerard Pazzagila dan lain-lain.
Lavergne adalah seorang petualang yang menyebrangi Laut Merah dengan perahu layar kecil Arab (boutre), menunggang kuda sendiri menyebrangi Mexico Selatan dan pelintas padang pasir dan penerobos hutan di Pantai Gading.
Kalau melihat komposisi tim tersebut kita jadi tergeleng-geleng. Ternyata mereka tidak main-main. Tidak sekedar iseng. Dan mereka datang bukan untuk menyerahkan nyawa. Kemampuan individu sangat mengagumkan. Apalagi, tentu saja, dengan peralatan-peralatan yang betul-betul dapat dipercaya untuk menerobos jeram itu. Kemudian, apakah itu juga di katakan sebagai nekad?
Tekad dalam kamus bahasa Indonesia berarti teguh. Namun nekad sebetulnya dalam bahasa Jawa sering mempunyai konotasi negatif. Melakukan sesuatu tanpa perhitungan. Ceroboh. Keberanian yang konyol.
Messner dan tim arung jeram Inga itu bukan orang-orang nekad, tapi adalah orang-orang pemberani. Keberanian dalam hidup yang dibangun, dirawat dan dilengkapi dengan penguasaan kompetensi terbaiknya. Sementara itu orang nekad seperti seorang yang mau berpetualang memasuki hutan lebat dengan sandal jepit, bawa seikat roti, pakai kaos singlet dan topi, serta pengetahuan medan yang minim. Lalu setelah dua hari di hutan ia tidak kembali pulang. Hari kelima telah di temukan tanpa nyawa. Hanya nama dan sebutan ’orang nekad.’
Orang nekad juga seperti halnya seorang yang memanjat dinding gunung yang terjal dengan tali plastik, sepatu kets, peralatan pemanjatan yang minim atau langsung dengan teknik free climbing tanpa tahu teknik sebelumnya. Lalu didapatkan puncaknya tidak pernah di capai, sebab keburu jatuh dan kakinya patah.
Orang pemberani adalah seperti seseorang yang akan mendaki gunung dengan membawa perlengkapan dan bahan makanan yang memadai untuk hidup di alam bebas selama waktu tertentu dan bisa menggunakannya sesuai keadaan. Memperhitungkan segala sesuatunya. Persiapan dan perencanaan yang memadai. Atau seperti Messner yang melakukan free climbing. Tetapi sebelum mencapai teknik free climbing itu, ia sudah menguasai seluruh teknik-teknik pemanjatan sebelumnya. Karena itu ia belajar banyak dari pengalamannya, lalu ia mencoba dan mencari pengalaman baru. Ia merancang, merencanakan, dan memperhitungkan segala keadaan, waktu dan kesempatan yang terbaik. Dan Messner dapat melaksanakannya dengan baik. Ia berhasil. Selalu berhasilkah? Tidak. Beberapa kali gagal. tetapi kegagalan adalah guru terbaiknya.
Seorang pemberani adalah seperti tim arung jeram Inga itu. Kemampuan individu, kualitas fisik dan mental yang prima dan latihan yang ampuh. Kemampuan individual kemudian menjadi dasar terbaik untuk membangun tim yang solid. Masing-masing memahami keungulan dan kelemahan. Dan dalam sebuah masing-masing menguatkan. Semuanya diperhitungkan dengan matang dan mendekati sempurna seperti menghitung pembuatan pesawat Challenger.
Wajar kalau tim Eiger Indonesia beberapa tahun lalu dan juga Seven Summit Team dari Indonesia, kurang lebih satu tahun berlatih. Bertahun-tahun pula Messner berguru, berlatih dan menimba banyak pengalaman. Demikian pula tim Inga. Semua itu adalah untuk sebuah keberanian, bukan kenekadan.
Itulah gambaran Sang Pemberani. Messner tidak akan langsung free climbing kalau belum tahu teknik-teknik sebelum mencapai free climbing, atau tim Inga tidak akan mengajak orang-orang yang sekedar ngramein dan iseng kemudian bawa rakit dari kayu. Kalau itu di lakukan itu namanya kenekadan, bukan keberanian.
Kata Messner, melalui kemampuan mengatasi keberanian hidup, manusia mengalami dan menyadari apa artinya menjadi manusia. Dan dalam paradoks inilah alasan paling mendasar untuk mendaki gunung atau mencari situasi ekstrem dapat ditemukan, apakah itu Kutub Selatan, Kutub Utara, Gobi, K2, atau Chang Tang. Rahasianya terletak pada kenyataan bahwa saya hanya dapat memiliki pengalaman yang paling intens ketika saya mendorong diri saya ke tapal batas yang mungkin, to the limits what is possible.
Keberanian untuk menggapai tantangan-tantangan baru, keberanian untuk memasuki zona-zona penuh risiko membawa kita pada pertumbuhan. Seperti kata Waldo….
Bogor, 8 Juni 2021