halaman drm #20
Pesan Ozon 1: …dan musafirpun lalu…
Dwi R. Muhtaman
Daratan binasa,
perairanpun binasa
akibat perbuatan manusia
(QS: AR-Rum : 41)
Bumi adalah sebuah pigura yang makin rapuh, tua dan terbongkok-bongkok. Bingkai yang makin pupus segi bentuknya. Berdebu. Berlumut. Kadang kering kerontang. Lukisan yang cepat berubah warna dan tebal tipis sentuhan goresannya. Kuas untuk merestorasi seperti mau patah. Sapuannya terlampau berat.
Bumi makin renta.
“Wajah yang Anda lihat di cermin mungkin sudah berusia puluhan tahun,” tulis Andrew H. Knoll dalam A Brief History of Earth, tetapi ia terdiri dari elemen-elemen yang terbentuk miliaran tahun yang lalu di bintang-bintang kuno. Melalui kebesaran waktu, tentu saja kebesaran Tuhan, bintang-bintang terbentuk dan mati, setiap siklus menambahkan elemen-elemen baru yang kini terkonsentrasi di Bumi dan kehidupan. Galaksi-galaksi bergabung, dan lubang hitam (wilayah yang begitu padat hingga cahaya pun tidak bisa lolos) muncul, perlahan membentuk alam semesta yang kita amati saat ini.
Apa yang kita saksikan, kita nikmati dengan segala kekaguman, mungkin juga kejengkelan, tentang bumi adalah sebuah lanjutan kisah sejak sekitar 4,6 miliar tahun yang lalu. Dimulai dengan awan hidrogen yang tampak sederhana, bersama sejumlah kecil gas, es, dan butiran mineral di lengan spiral dari sebuah galaksi yang disebut Bimasakti. Awalnya, awan ini besar, tersebar, dan dingin (sangat dingin, dengan suhu 10–20 derajat Kelvin, atau -460 hingga -420 derajat Fahrenheit). Mungkin terdorong oleh supernova di dekatnya, awan ini mulai runtuh menjadi nebula yang jauh lebih kecil, padat, dan panas. Seperti yang telah terjadi miliaran kali di alam semesta, gravitasi akhirnya menarik sebagian besar awan itu menjadi massa pusat yang panas dan padat — Matahari kita. Sebagian besar hidrogen nebula masuk ke Matahari, tetapi es dan butiran mineral terbagi menjadi cakram yang berputar mengelilingi bintang muda kita, serupa dengan cincin partikel kecil yang mengelilingi Saturnus saat ini.
Planet kita terbentuk sekitar 4,54 miliar tahun yang lalu, tetapi batuan tertua yang diketahui di Bumi baru berasal dari sekitar 4 miliar tahun lalu. Batuan yang lebih tua pastinya pernah ada, tetapi telah terkikis atau terkubur dan berubah melalui proses metamorfosis menjadi bentuk yang tidak dapat dikenali. Beberapa mungkin masih terletak di lereng terpencil di Kanada atau Siberia, menunggu untuk dikenali, tetapi sebagian besar, 600 juta tahun pertama dalam sejarah Bumi merupakan Zaman Kegelapan planet kita. Demikian catatan-catatan yang dihimpun oleh Knoll, Profesor Natural History at Harvard University.
Homo sapiens—kita—adalah satu-satunya spesies yang masih ada dari genus Homo, bahkan satu-satunya hominin yang masih hidup. Berdasarkan fosil, terdapat 13 spesies Homo tambahan yang telah diakui (11 diantaranya secara resmi diberi nama), semuanya kini telah punah. Sekitar lebih dari 2 juta tahun yang lalu, kerabat terdekat kita mulai berdiversifikasi di Afrika, mirip dengan yang dilakukan leluhur hominin mereka sebelumnya. Homo leluhur yang paling dipahami adalah Homo erectus, ditemukan pada batuan dengan rentang usia antara 1,9 juta hingga sekitar 250.000 tahun yang lalu. Selain pelestariannya yang luar biasa berdasarkan banyak individu, H. erectus menonjol karena dua alasan. Pertama, anatominya merupakan peralihan antara australopithecines dan manusia modern, dengan kerangka yang lebih mirip manusia dan otak yang lebih besar dari Lucy, tetapi lebih kecil dari milik kita. Kedua, berbeda dengan semua hominin sebelumnya, H. erectus berhasil berkembang tidak hanya di Afrika tetapi juga di seluruh Eurasia.”
Pada masa ini, nenek moyang kita hidup mantap di darat dan bertahan hidup dengan berburu serta mengumpulkan makanan. Bekas sayatan pada tulang hewan menunjukkan bahwa mereka memotong hasil buruan mereka, menyediakan sumber nutrisi baru yang penting ketika Bumi memasuki zaman es sepenuhnya. Kemungkinan besar, nenek moyang ini berbagi hasil buruan mereka, seperti yang dilakukan oleh pemburu-pengumpul saat ini, yang memperkuat kohesi sosial di dalam kelompok.
Fosil tertua yang diidentifikasi sebagai Homo sapiens ditemukan pada batuan berusia 300.000 tahun di Maroko. Fosil-fosil ini hanya sedikit lebih muda daripada bukti keberadaan budaya pembuatan alat yang baru dan canggih serta penggunaan api yang tersebar luas (dan terkontrol). Jadi, spesies kita muncul dengan teknologi-teknologi baru. Mungkin mengejutkan, nenek moyang langsung kita berbagi Bumi zaman es dengan setidaknya tiga spesies Homo lainnya. Yang paling dikenal adalah Neanderthal, yang sering dicap sebagai kasar, tetapi sebenarnya adalah pemburu-pengumpul yang canggih, dengan beragam alat dan otak yang lebih besar dari milik kita.
Di ujung spektrum lainnya ada Homo floresiensis, kerabat kecil yang dijuluki “hobbit,” yang baru-baru ini ditemukan sebagai fosil di Indonesia. Kemudian, ada pula Denisovan, yang dikenal hanya dari fragmen yang awalnya ditemukan di gua-gua berusia 50.000 hingga 30.000 tahun di Siberia dan terbukti berbeda berdasarkan DNA mereka yang terpelihara dalam tulang jari. Kini, kita memiliki genom yang direkonstruksi dari fosil Neanderthal dan Denisovan, dan ini menunjukkan bahwa manusia modern, Neanderthal, dan Denisovan memiliki hubungan yang dekat. Pada masa lampau, individu-individu dari spesies ini kadang-kadang melakukan kawin silang. DNA kebanyakan orang saat ini mengandung sedikit campuran gen Neanderthal; Melanesia, penduduk asli Australia, dan beberapa populasi Asia lainnya juga memiliki gen yang diturunkan dari Denisovan. Sejarah menjadi hidup dalam gen kita.
Manusia awal hanya hidup di Afrika, tetapi lebih dari 100.000 tahun yang lalu, sebuah populasi menjelajah dunia yang lebih luas, tinggal di wilayah yang kini disebut Israel bersama dengan Neanderthal. Kemudian, sekitar 50.000–70.000 tahun yang lalu, spesies kita menyebar dengan cepat ke seluruh Asia dan Eropa. Seperti apakah para penjajah pemberani ini?”
Itulah kilasan amat ringkas perjalanan bumi kita yang renta dan kita sebagai penghuni utamanya yang pada kemudian hari penguasa yang gelisah.
Antara Bumi dan Manusia seperti sebuah hubungan yang gelisah di tengah semesta padang penggembalaan. Semua makhluk membentuk tumpukan arus dan geraknya disitu. Kegelisahan dan ketegangan, dan kenikmatan hidup ada disitu, luntur disitu. Di bumi ini, hidup dan kehidupan berkubang dari awal sampai berakhir dalam kesementaraan.
Kita pernah terkejut: sebuah teluk di Jepang – Minamata. Namanya menebar racun ke daratan. Berpuluh-puluh orang binasa, cacat. Mereka menderita hebat, racun mercury (air raksa) dan sejumlah logam berat lainnya menuai kesengsaraan yang berkepanjangan, menyusup, menghunjam dalam ke sel – sel otak. Dan hidup pun dipermainan. Diporakporandakan. Kesadaran menghilang. Bentuk manusia yang aneh dan ganjil. Pola kehidupan yang berubah arah. Minamata 1953. Minamata 1960.
“Pada suatu hari di bulan Juli 1955,” demikian Timothy S. George memulai tulisan pada buku Minamata: Pollution and the Strugglefor Democracy in PostwarJapan, Hamamoto Tsuginori berjalan dari rumahnya di daerah Detsuki, Minamata, menuju teluk kecil Tsubodan, tempat keluarganya menyimpan perahu mereka. Ia hendak mengambil hasil tangkapan ikan belanak dari perangkap yang telah dipasang sehari sebelumnya, membunuh ikan-ikan itu, dan membawanya ke pasar. Hamamoto sama sekali tidak menyangka bahwa hidupnya dan keluarganya tak akan pernah kembali nyaman seperti sebelumnya.
Jalanan yang dilaluinya buruk, dan jalan raya tua yang ada membutuhkan waktu lebih lama, jadi hampir setiap hari ia berjalan di rel kereta api. Kereta tidak datang dan pergi sesering sekarang. Jika satu kereta lewat, tidak ada lagi kereta yang datang selama beberapa jam.
Kemudian pada suatu hari, ketika berjalan dari perlintasan yang sekarang menjadi halte bus Detsuki, saya tersandung dan jatuh. Saya berpikir, “Itu aneh. Mengapa saya tersandung dan jatuh?” Lalu saya terjatuh lagi di tepi pantai. Nakatsu Yoshio menyusul saya dari belakang dan berkata, “Tsuginori, apa kamu merasa aneh?” Dan saat itulah saya pertama kali menyadari bahwa mati rasa dan gemetaran di tangan saya adalah sesuatu yang serius.
Nakatsu mengatakan bahwa ia juga mengalami gejala yang sama dan menyarankan mereka untuk menemui dokter. Di sebuah klinik lokal, Dr. Ichikawa memberi mereka suntikan dan obat, mengatakan bahwa mereka kelelahan karena bekerja di bawah terik matahari, dan menyuruh mereka makan makanan bergizi serta beristirahat di tempat teduh selama seminggu. Ketika mereka diminta menulis nama dan alamat, Nakatsu menemukan bahwa ia tidak bisa menulis sama sekali, dan Hamamoto hanya bisa menulis dengan susah payah. Mereka bertanya kepada dokter apa yang dimaksud dengan makanan bergizi, dan “dia berkata bahwa ada banyak jenisnya, jadi kami sebaiknya makan apa yang kami sukai. Saya seorang nelayan, jadi saya bisa mendapatkan ikan, dan saya menyukainya, jadi setiap hari saya mengisi perut saya dengan sashimi dan beristirahat.”
Setelah seminggu, kondisi Hamamoto malah memburuk. Mati rasa telah menyebar ke seluruh tubuhnya. Ketika koin sepuluh yen jatuh di dalam bus Nakatsu tidak dapat menemukannya karena pandangannya menjadi sangat sempit. Hamamoto dan Nakatsu pergi dari satu dokter ke dokter lain selama dua bulan. Akhirnya mereka kembali ke Dr. Ichikawa, yang memberi mereka surat pengantar kepada seorang teman lamanya dari masa perang di rumah sakit Universitas Kumamoto di ibu kota prefektur.
Dokter di sana mengangguk memahami saat membaca surat dari Ichikawa. Kedua pria itu dirawat di rumah sakit dan menjalani berbagai tes, dengan mesin-mesin yang belum pernah mereka lihat sebelumnya di Minamata. Mereka diberi lebih banyak suntikan dan obat-obatan, dan gejala mereka sedikit membaik. Nakatsu diperbolehkan pulang, dan kemudian Hamamoto. Kakaknya, Fumiyo, datang menjemputnya.
Hamamoto kembali ke Minamata membawa surat dari dokter universitas untuk Ichikawa. Surat itu menjelaskan bahwa karena tes tidak menemukan apa pun yang tidak biasa, Ichikawa mungkin benar menduga bahwa kedua pria itu menderita keracunan asetilena, seperti yang ia tulis dalam surat pengantarnya. Kecenderungan alami efek keracunan asetilena yang hilang seiring waktu tampaknya menjelaskan perbaikan pada pasien. Hamamoto berkata kepada Ichikawa, “Saya tidak ingin berdebat dengan Anda, dokter, tetapi tidakkah Anda merasa ini aneh?”
“Mengapa?”
“Ayah saya sudah lama menangkap ikan dengan gas (lampu asetilena); mengapa Anda berpikir dia tidak sakit? Saya tidak menggunakannya selama tiga atau empat tahun, sejak saya lulus sekolah.”
Kemudian dokter menggelengkan kepala dan berkata, “Hmm, itu benar juga, ya. Yah, universitas menulis bahwa saya harus memberi Anda suntikan ini, jadi mari kita berikan suntikannya.” Lalu saya pulang setelah mendapatkan suntikan dan beberapa obat.
Kenyataannya, Hamamoto menderita keracunan merkuri yang disebabkan oleh makan ikan yang telah menyerap dan mengkonsentrasikan merkuri organik dalam limbah dari pabrik kimia Shin Nihon Chisso Corporation (disingkat Shin Nitchitsu, kemudian disebut Chisso) di Minamata. Makan ikan dalam jumlah besar malah meningkatkan asupan merkuri dan memperparah gejalanya. Di rumah sakit di Kumamoto, ia makan ikan dalam jumlah lebih sedikit dan kondisinya sedikit membaik.
Hamamoto memutuskan untuk berhenti menjadi nelayan dan melamar pekerjaan di Shin Nitchitsu. Ia lulus tes pertama dan berhasil lolos pemeriksaan fisik dengan mengepalkan tangan untuk menyembunyikan gemetarannya. Ia mulai bekerja pada Desember 1955, dengan gaji ¥270 (setara $0,75) per hari, di pabrik yang meracuninya. Baik dia maupun orang lain tidak menyadari bahwa banyak orang lain juga menderita penyakit yang sama dan bahwa pabrik yang menjadi tulang punggung bisnis dan kemakmuran Minamata adalah penyebab penyakit tersebut. Bahkan, pada bulan sebelumnya, Maeda Eiki, pemimpin upaya untuk menarik pabrik ke Minamata setengah abad sebelumnya dan masih hidup pada usia 79 tahun, diberi penghargaan khusus oleh kota tersebut.
Kita di Indonesia pernah mengenal peristiwa Teluk Buyat.
Kasus Teluk Buyat terjadi di Indonesia pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, melibatkan dugaan pencemaran merkuri dan arsenik oleh perusahaan pertambangan emas PT Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Limbah hasil tambang dari operasi di wilayah hulu dikabarkan mengandung logam berat, termasuk merkuri, yang dialirkan ke perairan teluk ini melalui proses pembuangan tailing bawah laut.
Peristiwa ini memicu kekhawatiran publik ketika warga sekitar mulai menunjukkan gejala kesehatan yang tidak biasa, seperti gangguan kulit, sakit kepala, nyeri sendi, dan masalah saraf yang mirip dengan gejala keracunan merkuri. Pada tahun 2004, kasus ini menarik perhatian nasional dan internasional, serta mendorong pemeriksaan kesehatan dan lingkungan oleh berbagai pihak, termasuk Kementerian Kesehatan, lembaga lingkungan, dan para peneliti.
Dugaan pencemaran merkuri dan arsenik berasal dari pembuangan limbah tailing bawah laut oleh PT Newmont Minahasa Raya, yang mengoperasikan tambang emas di Sulawesi Utara. Perusahaan mengklaim metode ini aman, namun diduga zat berbahaya dari limbah tersebut meresap ke ekosistem laut dan masuk ke rantai makanan, yang akhirnya mencemari tubuh manusia.
Kasus Teluk Buyat menimbulkan perdebatan panjang dengan investigasi oleh berbagai pihak, namun hasilnya kontroversial dan tidak menghasilkan bukti yang sepenuhnya menyimpulkan keracunan merkuri seperti kasus Minamata.
Pada akhirnya, kasus Teluk Buyat memperlihatkan pentingnya pengelolaan limbah tambang yang ketat serta perhatian pada dampak lingkungan dan kesehatan masyarakat di sekitar operasi pertambangan.
Minamata dan Buyat adalah contoh sebuah kesadaran industri yang kesurupan. Pabrik-pabrik memang melajukan manusia ke tangga yang lebih tinggi untuk menyongsongi langit: mobil, komputer, segala jenis industri, pangan dan pakan. Semua perangkat kehidupan yang jauh sangat berbeda dengan nenek moyang umat manusia tempo yang lama lewat. Prasarana dan sarana hidup lebih terjamin. Memang. Hampir banyak hal kita jadi mudah melakukannya. Bumi, dunia, seperti bola kecil yang tersusun rapi diatas rak meja belajar. Tingkat kehidupan yang amat menggagumkan.
Tapi, coba tengok ke pinggir-pinggir, ke lubang-lubang kecil, ke celah-celah semua “keberhasilan” itu. Ada yang aneh. Ada kelainan yang amat mencengangkan yang tidak pernah ditemukan sebelumnya. Teluk yang bisa membunuh manusia. Udara yang bisa mencekik leher manusia. Sungai yang mampu meratakan kehidupan. Air yang bisa membawa pergi sang nyawa. “Kelahiran” anak manusia lewat IVF, In Vitro Fertilizer, yang kehilangan ayah atau ibunya. Air laut berasa jadi pahit, hitam dan pekat, suhu udara yang tak segan- segan lagi bakalan membakar kulit kita sendiri. Dan flora fauna juga tersisih. Pasti akan makin panjang lagi kalau ditulis lebih lengkap.
Manusia memang merupakan faktor utama yang mewarnai, menggores, menyapu dan memberi bentuk lukisan bumi ini. Segalanya bisa cepat berubah. Seperti sebuah ungkapan “ kita adalah tuan rumah utama dari apa yang bumi hasilkan, kita menikmati pegunungan dan dataran sungai-sungai adalah milik kita. Kita menebarkan benih dan menanam pepohonan. Kita memupuki bumi…., kita membendung, mengatur dan membelokkan sungai. Pendeknya, dengan tangan kita, kita berikhtiar mengubah dunia … menjadi alam yang lain”
Kini kita telah, sedang dan akan mengubah alam itu. Langkah yang tak bisa dihindarkan.
Berjuta-juta barel minyak dihasilkan untuk penggerak kehidupan. Berjuta-juta pula yang tumpah ke lautan. Membunuh berjuta-juta kehidupan. Berjuta-juta kendaraan di luncurkan untuk mempercepat langkah kehidupan. Berjuta-juta pula asapnya mengotori udara mempercepat lumpuhnya kehidupan. Berjuta-juta zat kimia dihasilkan untuk penyedap kehidupan. Berjuta-juta pula mengurangi dinding penyaring ultra violet. Berjuta-juta manusia memetik kenikmatan kehidupan, berjuta-juta pula nanusia yang terancam. Inikah hukum keseimbangan alam itu? Atau inikah bukti isyarat suci yang dikutip awal catatan ini? Sadarkah kita? Mengertikah kita akan tanda-tanda itu? Pedulikah kita?
Mungkin kita telah tuli. Mata kita yang rabun telah buta. Jiwa dan hati telah lama pergi. Sebab kita tak pernah lagi mendengar suaranya. Ia telah lama pergi meninggalkan kita: sang manusia modern. Lalu kemanakah kita akan pergi tanpa nurani…. Sementara kaki kita semakin kuat, tegar, gagah. Siap menerjang. Siap menyerang.
Ketika kita cuma mencatat aneka bencana itu, dan menyimpannya rapat-rapat jadi arsip nasional, dan terlupalah semuanya. Kemudian ……. Dibangun pabrik-pabrik baru dibuat ramuan kimia baru, senjata-senjata baru, racun-racun baru. Kemudian, asap hitam pekat menjelagai langit yang benderang. Dan jelagapun deras meluncur dari cerobong pabrik, truk, bemo, mobil pribadi dan sampah-sampah. Ledakan bom meletus dimana-mana, senjata kimia melayang-layang diudara. Hewan tumpas. Pohon-pohon tumbang. Chlorofluorocarbon/CFCS merebak kemana-mana. Meroyak rata di atmosfir. Bumi kini berubah jadi “Rumah Kaca” dengan gelagat “Green House Effect” nya.
Efek rumah kaca ini, mengambil fenomena yang terjadi dalam “green house” yang biasa digunakan untuk bercocok tanam. Pada rumah kaca, sinar matahari menembus kaca yang menjadi atap rumah kaca tetapi kaca menahan panas yang dipantulkan kembali oleh permukaan benda dibawah atap rumah kaca itu. Akibatnya suhu di bawah rumah kaca akan meningkat. Efek rumah kaca di planet bumi serupa tetapi aktor sebagai atap kaca adalah polutan: CO2, CFC, Oksida Nitrogen dan metana. Peningkatan polutan ini, oleh dampak roda industri kalap ini, memanaskan suhu bumi 0,5 – 0,9 0C.
Lapisan ozon “O3” sebagai barrier senior UV akan makin tipis akibat reaksinya dengan polutan itu. Penipisan ini kini, di Kutub Selatan, mencapai 50%. Penipisan ozon ini sangat berbahaya. Sebab akan meloloskan UV yang membahayakan kehidupan di bumi . Ozon berperan sebagai “payung” bagi kelestarian kehidupan di bumi. Kini payung itu sobek. Bolong. Nganga. Kuakan atsmofir yang mengerikan. “Lubang Ozon,” lubang kepongahan manusia. Sebuah lubang ketaksempurnaan manusia dalam membangun dirinya.
Akibat lubang ozon ini yang juga menyebabkan adanya efek rumah kaca, lima puluh tahun lagi, Ancol, Cirebon, Semarang, Pati atau Surabaya akan tenggelam. Sawah-sawah dan tambak tepi laut akan tergeser ke pedalaman. Hutan-hutan makin gundul. Ketersediaan pangan dimana-mana terganggu dan anak cucu nanti akan duduk termangu. Cuma mendengar cerita tentang alam yang pernah jaya atau pergi ke museum untuk kebanggaan yang hilang.
Dalam seluruh rangkaian ketergangguan keseimbangan alam sejak revolusi industri hingga sekarang, lubang ozon sepertinya salah satu bukti yang paling syah: ketidakberdayaan manusia, kenaifan manusia.
Lubang ozon bak sebuah “Mata Dewa” yang melotot tajam. Memandang dengan awas tiap detak jantung kehidupan yang di bangun manusia. Tapi sekaligus memandang dengan penuh iba atas kelemahan manusia itu. Mengamati manusia yang hiruk pikuk menghirup kehidupan: kenikmatan sekaligus ancaman yang mengerikan.
Tapi itulah “sinar mata Tuhan” yang selalu memperingatkan hambanya dengan mengirim tanda-tanda. Tanda-tanda yang hanya dipahami oleh manusia yang mau berpikir.
Lubang ozon yang menganga lebar, sepertinya membawa sebuah pesan pada kehidupan di bumi, pada manusia: “ Bahwa alam bukanlah obyek yang dieksploitir belaka. Kita mesti hidup harmonis. Memandang kemajuan dan pembangunan dalam perspektif lingkungan hidup dan teknologi. Dan semua itu yang kita hadapi sebenarnya bukanlah siapa-siapa. Melainkan diri manusia sendirilah. Kita berhadapan dengan kita sendiri. Sebagai musuh atau saudara.
Betapa tidak. Keputusan kita membangun “industri kotor lingkungan” lah yang menyebabkan kita menderita. Keputusan salah yang dibuat manusia akan merusak rantai keharmonisan hidup.
Atau kita mendengar seorang pelestari satwa liar di Afrika, George Adamson meninggal bukan karena diterkam hewan piaraannya yang disayanginya. Ia justru pergi karena mesiu yang bersarang ditubuh dari senapan pemburu liar. Dari senapan seorang manusia. Kita memang berhadapan dengan diri kita sendiri.
Lubang ozon hanya sebuah isyarat bahwa kita mesti membersihkan diri dari polutan-polutan yang membungkusi jiwa-jiwa kita. Kita mesti membersihkan mata, telinga, hidung, rasa, cara berpikir, hati dan jiwa. Menyapu polutan jiwa dan biarkan ozon melayang-layang dalam prosesinya sendiri.
Daratan binasa,
perairanpun binasa
akibat perbuatan manusia
(QS: AR-Rum : 41)
Dan Bila dikatakan kepada mereka:
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi”
Mereka menjawab:
“Sesungguhnya kami sedang membangun.”
Ingatlah, sebenarnya mereka itu sedang membuat kerusakan,
tetapi mereka tidak sadar
(QS: Al Baqarah : 11-12)
Dan semoga kita sadar bahwa kita membangun kehidupan dengan sungguh-sungguh membangun.
Bogor, 25 September 1989
diperbarui November 2024
Dwi Rahmad Muhtaman