halaman drm #47
Galant, Netanyahu, Dan Pengadilan Kemanusiaan
Dwi R. Muhtaman
Kalian semua mendengar Galant berkata:
“Tanpa makanan, tanpa air, tanpa listrik,
tanpa bahan bakar
—kami berhadapan dengan manusia
yang seperti hewan.” 1
Kata-kata yang menusuk, bukan sekedar retorika,
bukan dari penjajah Romawi kuno,
bukan dari perwira Gestapo,
tapi dari Galant, Menteri Pertahanan Israel,
disiarkan dalam berbagai ruang berita,
proklamasi dari seorang menteri perang
yang menandatangani perintah pemusnahan.
Inilah Galant yang sama yang memerintahkan
pembunuhan Hind Rajab dengan 335 peluru,
anak kecil yang suaranya terperangkap di dalam mobil,
menangis memanggil dunia agar mendengarnya.
–anak kecil yang berteriak dari balik kaca retak,
sendiri mati di pelukan keluarganya yang tak lagi mampu bergerak.
Ia memerintahkan penghancuran roti dan stasiun air,
mencabut denyut kehidupan sehari-hari,
hingga Gaza menjadi eksperimen kelaparan massal.2
Dengan kalimat itu, manusia direndahkan,
kemanusiaan diganti label bestialitas.3
Dunia paham, seperti Frantz Fanon pernah menulis:
“Kolonialisme bukanlah mesin berpikir,
bukan tubuh yang dipandu oleh logika.
Ia adalah kekerasan dalam bentuk paling murni.” 4
Galant membuktikan kata-kata itu.
Ia menandatangani perintah pengeboman,
yang menewaskan lebih dari 680.000 warga sipil,
perempuan, anak-anak dan mereka yang tanpa senjata.5
Setiap kata Galant adalah senjata,
setiap kebijakannya adalah pembantaian.
Inilah Galant yang mengirimkan roket ke dapur,
menghancurkan pusat-pusat pengetahuan,
mengeringkan nadi kehidupan,
dan membiarkan dunia melihat darah
sebagai berita harian.6
Dialah pelayan setia mesin kematian:
setiap kata, setiap gerakannya
adalah peta jalan menuju jurang genosida.
Kalimat itu menyingkap jantung kekuasaan kolonial:
selalu dimulai dengan menghapus kemanusiaan jajahan,
agar darah yang ditumpahkan
bisa dianggap normal dan wajar.
Seperti Andrew Jackson menyebut Indian Amerika
“liar yang harus dipindahkan.” 7
Seperti Hendrik Verwoerd membagi manusia
berdasarkan warna kulit.8
Seperti Nazi menyebut orang Yahudi untermensch.9
Dehumanisasi adalah bahasa universal dari kolonialisme.10
***
Sebelum Palestina, ada kisah lain,
kisah yang mengalir di sungai Mississippi,
di dataran luas Dakota,
dimana suku-suku asli Amerika dihapus dari tanah mereka.
Wounded Knee, 1890—ratusan Lakota Sioux ditembak mati,
dalam operasi militer AS.
Dari mulut Theodore Roosevelt sendiri keluar kalimat:
“I don’t go so far as to think that the only good Indian is the dead Indian,
but I believe nine out of ten are.”
(1886).11
Hari ini, suara itu bergema di Galant,
yang menyebut warga Gaza sebagai “binatang.”
Sebab peradaban kolonial selalu punya satu bahasa:
dehumanisasi.
***
Dan di sebelahnya pada kursi yang lebih tinggi,
lihatlah Netanyahu, di pintu pengadilan ia
lama ditunggu, dan ia berpaling
dan menciptakan kerusakan
dan mengalirkan darah.
Menghindar dari kejaran jeruji penjara.
Dia lahir bukan dari tanah yang dijajah,
tetapi jauh dari seberang, dari tanah Polandia,
Namanya dibersihkan dari debu negeri moyang asli,
menghapus Milikowski menjadi Netanyahu,
nama yang dipoles agar terdengar purba,
seolah sejarah bisa ditutup dengan tinta baru,
namun sesungguhnya adalah topeng
dari seorang pengembara Ashkenazi
yang menjual dirinya sebagai pemilik tanah
yang tidak pernah dikenalnya.12
Seperti kata Edward Said:
“Identitas bukanlah esensi, melainkan narasi.” 13
Narasinya adalah mesin:
politik, militer, ideologis.
Ia tak pernah berbicara Arab,
Dia datang bukan sebagai anak tanah,
tetapi sebagai pewaris ilusi kolonial.
Dia bukan anak Jordan,
bukan penyair Jaffa,
bukan gembala Hebron.
Ia anak Manhattan,
dibesarkan di salon konservatif New York,
disusui khotbah ayahnya, Ben-Zion Netanyahu,
seorang Zionis fanatik yang menulis sejarah
sebagai manifesto kolonial,
dan menulis kolonialisme sebagai doktrin keluarga.14
Netanyahu tidak pernah berbicara Arabic,
tidak pernah berbagi roti dengan seorang Palestina,
namun dengan tangan dingin ia menandatangani
perintah penghancuran Rafah, menjadi tanaman yang dicabut akarnya,
perintah menjadikan Janine kota hantu,
perintah menjadikan Gaza
kuburan anak-anak dunia.
Inilah kolonialisme abad ke-21:
bukan sekadar menduduki tanah,
tetapi menulis ulang sejarah,
mengganti nama untuk menutupi asal-usulnya.
Zionis adalah penipu,
maka segala jejak yang dilaluinya
adalah tipuan belaka.
Baginya kebohongan adalah kebenaran.15
Juga kebohongan genosida
yang dilakukannya.
Raphael Lemkin, pencetus istilah genocide, menulis:
“Genosida adalah sebuah rencana yang terkoordinasi
untuk menghancurkan fondasi esensial dari
kehidupan kelompok nasional,
untuk melenyapkannya.” 16
Dari Indian Amerika, ke Kongo di bawah Belgia,
dari Apartheid Afrika Selatan,
ke Palestina hari ini—
benang merahnya jelas:
penjajahan membutuhkan darah sebagai mata uang,
dan kebohongan sebagai paspor moral.
***
Mereka—Galant dan Netanyahu, juga
para pendukungnya dari rezim di Amerika Serikat,
Kanada, Perancis, Inggris, Selandia Baru, Australia
dan pojok Eropa lainnya
— bukan rakyat, bukan jiwa, bukan penyair.
Mereka mesin politik, militer, ideologi.
Mesin yang berputar dengan minyak darah,
organ-organ yang haus darah,
berderak dengan tulang anak-anak,
yang melumatkan tubuh tak bersalah
dengan alasan keamanan dan kebohongan-kebohongan,
dengan mitos-mitos yang diciptakan.17
Sejatinya ini hanya kolonialisme yang diperluas,
disemangati pendanaan miliaran dolar dari Washington DC.18
Hannah Arendt pernah menulis:
“Kejahatan terbesar bukanlah yang dilakukan oleh penjahat
dan monster tetapi oleh orang-orang yang duduk di meja,
membuat rencana,
menandatangani perintah
dan menyebutnya administrasi.” 19
Galant dan Netanyahu adalah wajah administrasi itu.
Kejahatan mereka bukan sekadar darah,
tetapi banalitas birokrasi pembantaian.
***
B’Tselem menulis:
“Rezim supremasi Yahudi dari Sungai Yordan
hingga Laut Tengah—ini apartheid.” 20
Dan Nelson Mandela pernah berkata:
“Kebebasan tidak bisa diberikan oleh penindas.
Ia harus direbut oleh yang tertindas.” 21
Dari Soweto ke Gaza,
dari Robben Island ke penjara Ofer,
ritme penderitaan itu sama.
Dan ritme perlawanan juga sama:
merdeka atau mati.
Kita ingat Wounded Knee, 1890:
Lakota Sioux dimusnahkan oleh peluru Amerika.
Kita ingat Kongo, ketika Leopold II
menukar karet dengan menebas tangan anak-anak.
Kita ingat Timor-Leste, 1975–1999,
dimana ratusan ribu tewas dalam
cengkeraman tentara Indonesia.
Dan kita lihat Gaza hari ini—
lingkaran sejarah yang berdarah,
diulang dengan wajah baru.
Aimé Césaire menulis:
“Tidak ada kolonialisme yang tidak barbar.” 22
Di Afrika Selatan, ada kata yang lahir
dari penderitaan: apartheid.
Sistem pemisahan, dinding hukum,
dimana kulit menjadi penjara.
Nelson Mandela, yang bertahun-tahun
dipenjara di Robben Island,
pernah menulis:
“Kebebasan tidak pernah bisa diberikan oleh penindas.
Ia harus dituntut oleh yang tertindas.” 23
Hari ini, kata yang sama diucapkan kembali.
Human Rights Watch (2021) menyebut Israel sebagai apartheid state.
B’Tselem, kelompok HAM Israel sendiri, menyatakan hal serupa.
Sebuah gema dari sejarah,
yang membuktikan luka kolonial tidak pernah hilang,
hanya berganti wajah dan bahasa.
Seperti dulu orang kulit hitam dipaksa keluar dari tanahnya,
hari ini orang Palestina diusir dari rumah mereka di Sheikh Jarrah,
dibom di Gaza,
dihancurkan haknya dengan buldoser hukum.
Ratusan desa dan kota dihapus dari ingatan dan sejarah,
dan jalan-jalan peradaban.
***
Chairil Anwar pernah menulis:
“Sekali berarti,
sudah itu mati.” 24
Dan Wiji Thukul mengingatkan:
“Hanya ada satu kata: lawan!”
Di Amerika Latin, Pablo Neruda bersuara:
“Puisi bukanlah monolog.
Ia adalah tindakan perdamaian.”
Di Aljazair, Frantz Fanon menulis:
“Kekerasan kolonial tidak pernah menyerah
kecuali pada kekerasan yang lebih besar.” 25
Dan di Palestina, Mahmoud Darwish membisikkan:
“Di bumi ini ada sesuatu yang layak untuk kehidupan.”
***
Galant, Netanyahu—
nama kalian tercatat dalam arsip darah.
Nama kalian akan tercatat bukan di buku kemenangan,
tetapi di daftar panjang penjahat kemanusiaan.
Kalian bukan pejuang,
kalian adalah algojo sejarah.
Seperti Verwoerd di Pretoria,
seperti Leopold di Brussel,
seperti Andrew Jackson di Washington—
yang memimpin Trail of Tears.
Nama kalian tidak akan dikenang sebagai pahlawan,
tetapi sebagai noda.
***
Di bumi kita sendiri,
suara penyair melawan penjajahan juga pernah bergaung.
Sutardji Calzoum Bachri berteriak:
“Kata adalah senjata.”
Dan Pramoedya Ananta Toer menulis:
“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah.” 26
Puisi dan narasi adalah bukti,
bahwa kolonialisme bisa membunuh tubuh,
tetapi tak bisa memusnahkan ingatan.
***
Tetapi sejarah tidak tidur.
Pengadilan telah menandai dan menyebut mereka: war criminals.27
ICJ dan ICC hanyalah satu ruang sidang,
tetapi sejarah adalah ruang sidang abadi,
dimana saksi adalah puisi,
dan hakim adalah nurani manusia.
Mungkin hari itu keadilan tertunda,
tubuh mereka belum di borgol,
namun setiap tetes darah adalah saksi,
tetapi setiap reruntuhan adalah saksi,
setiap tubuh anak adalah catatan bukti,
setiap luka anak-anak adalah bukti,
setiap reruntuhan adalah pengadilan
yang menunggu mereka.
setiap air mata ibu adalah sidang pengadilan.
Primo Levi menulis dari Auschwitz:
“Monster memang ada,
tetapi mereka terlalu sedikit jumlahnya untuk berbahaya.
Yang lebih berbahaya adalah orang biasa,
yang siap percaya,
siap melaksanakan,
tanpa pernah bertanya.” 28
Galant dan Netanyahu mungkin monster,
tetapi lebih dari itu,
mereka simbol dari mesin besar:
fungsi birokrasi, militer, dan politik
yang menganggap nyawa manusia sebagai angka statistik.
Maka tugas kita bukan hanya menyebut nama mereka,
tetapi menolak menjadi fungsi dari mesin mereka.
***
Hari itu akan tiba:
Galant dan Netanyahu berdiri di kursi kayu pengadilan,
ditatap oleh mata dunia,
dihisab oleh jiwa-jiwa yang mereka kubur.
Tak peduli berapa lama,
kejahatan tidak akan dilupakan.
Maka kami menulis puisi ini sebagai kesaksian,
sebagai dakwaan,
sebagai doa,
bahwa meski mereka menandatangani perintah kematian,
kami menandatangani kehidupan.
***
Seperti kata Aimé Césaire dalam Discourse on Colonialism (1950):
“Tidak ada kolonialisme yang tidak barbar.
Tidak ada peradaban yang kolonialisme bawa selain peradaban palsu.”
Maka puisi ini adalah dakwaan,
bukan hanya terhadap Galant dan Netanyahu,
tetapi terhadap seluruh mesin kolonial yang menopang mereka.
Dan pada akhirnya,
seperti yang dikatakan Mahmoud Darwish:
“Kami telah belajar satu hal: tanah ini layak bagi kehidupan.” 29
Karena pada akhirnya,
penindas bisa membakar rumah,
menghancurkan sekolah,
menggali kubur massal,
tetapi mereka takkan pernah membunuh ingatan.
Ingatan inilah,
yang akan menuntun generasi mendatang
untuk berkata:
Kami telah melihat kejahatan itu,
kami telah menuliskannya,
kami tidak akan pernah lupa.
***
Puisi bukanlah sekadar kata,
ia adalah saksi mata.
Maka puisi ini adalah dakwaan,
puisi ini adalah sidang rakyat,
puisi ini adalah doa dan perlawanan.
Karena meski mereka menandatangani perintah kematian,
kita menandatangani kehidupan.
Hari ini, Gaza adalah Wounded Knee yang baru.
Rafah adalah Soweto yang lain.
Nama yang sama muncul di koran
: korban sipil, anak-anak mati, rumah rata.
Tetapi sejarah tahu,
pada akhirnya penindas akan runtuh.
Dan kita ulang sekali lagi kata Wiji Thukul:
“Apabila rakyat sudah berani menatap,
penguasa akan kehilangan muka.
Apabila rakyat berani melawan,
penguasa hanya bisa lari.” 30
Maka puisi ini adalah tuntutan,
bukan hanya pada Galant dan Netanyahu,
tetapi pada seluruh mesin kolonial yang masih hidup:
mesin yang membakar kota,
yang menutup sekolah,
yang mengubur anak-anak di reruntuhan.
Kami menulis agar dunia tidak lupa.
Kami menulis agar sejarah tidak diam.
Kami menulis agar perlawanan tetap menyala.
Cirebon, 7 Oktober 2025
Dwi Rahmad Muhtaman
Referensi:
Abu-Lughod, I. (Ed.). (1971). The Transformation of Palestine: Essays on the Origin and Development of the Arab-Israeli Conflict. Evanston, IL: Northwestern University Press.
Al-Barghouti, M. (2000). I Saw Ramallah. Cairo: The American University in Cairo Press.
Al-Karmi, H. (2014). In Search of Fatima: A Palestinian Story. London: Verso.
Chomsky, N. (1999). Fateful Triangle: The United States, Israel and the Palestinians. Cambridge, MA: South End Press.
Darwish, M. (2003). Unfortunately, It Was Paradise: Selected Poems. Berkeley: University of California Press.
Harlow, B. (1987). Resistance Literature. New York: Methuen.
Hikmet, N. (2002). Poems of Nazim Hikmet. New York: Persea Books.
Kanafani, G. (1969). Returning to Haifa. Beirut: Institute for Palestine Studies.
Kanafani, G. (1978). Palestine’s Children: Returning to Haifa and Other Stories. Boulder, CO: Lynne Rienner Publishers.
Kanafani, G. (1980). Men in the Sun and Other Palestinian Stories. Boulder, CO: Lynne Rienner Publishers.
Khalidi, R. (1997). Palestinian Identity: The Construction of Modern National Consciousness. New York: Columbia University Press.
Khalidi, R. (2020). The Hundred Years’ War on Palestine: A History of Settler Colonialism and Resistance, 1917–2017. New York: Metropolitan Books.
Neruda, P. (1990). Canto General. Berkeley: University of California Press.
Nusseibeh, S. (2008). Once Upon a Country: A Palestinian Life. New York: Farrar, Straus and Giroux.
1 Reuters, 9 Oktober 2023; Laporan Al Jazeera, 9 Oktober 2023. Reuters, “Israel Defense Minister says complete siege on Gaza,” 9 Okt 2023. Al Jazeera, “Israel’s Defense Minister Gallant calls Palestinians ‘human animals’,” 9 Okt 2023.
2 Human Rights Watch, 2024; Amnesty International, 2024. Amnesty International, Israel/OPT: Evidence of War Crimes in Gaza, 2024.
3 Dalam bait ini, “bestialitas” tidak dipakai dalam arti sempit (hubungan seksual manusia dengan hewan), melainkan dalam arti kiasan atau metaforis. Kata bestialitas berasal dari kata bestial (Latin bestia = binatang). Jadi, maknanya lebih luas:
- menunjuk pada keadaan kebinatangan,
- sifat yang brutal, liar, tanpa akal budi,
- kondisi di mana kemanusiaan dilucuti dan manusia dipandang setara dengan binatang.
Jadi kalimat itu bermaksud: ketika seorang tokoh militer Israel menyebut orang Palestina sebagai “seperti hewan,” ia merendahkan martabat manusia dengan mengganti label kemanusiaan menjadi bestialitas — suatu penggambaran yang meniadakan martabat, akal, dan nilai manusia. beberapa contoh rujukan filosof, penyair, dan pemikir yang pernah memakai gagasan tentang manusia direduksi menjadi “kebinatangan” (bestialitas) atau dehumanisasi:
- Frantz Fanon (dalam The Wretched of the Earth, 1961):
“Colonialism dehumanizes the colonized, it turns them into animals. Colonial violence does not only aim to kill the body, but to erase the very idea of humanity in the native.” (Kolonialisme mendekonstruksi manusia yang dijajah, menjadikannya seperti hewan. Kekerasan kolonial tidak hanya membunuh tubuh, tapi juga menghapus gagasan tentang kemanusiaan dalam diri sang tertindas.) - George Orwell (Animal Farm, 1945):
“All animals are equal, but some animals are more equal than others.” Orwell memakai metafora hewan untuk mengritik bagaimana manusia saling merendahkan, menjatuhkan sesamanya ke level kebinatangan demi kuasa. - Aimé Césaire (dalam Discourse on Colonialism, 1950):
“Colonization works to decivilize the colonizer, to brutalize him in the true sense of the word, to degrade him to the level of a beast.” (Kolonialisme merusak si penjajah sendiri, membiarkannya menjadi brutal dalam arti sesungguhnya, merendahkannya ke tingkat seekor binatang.) - Hannah Arendt (The Origins of Totalitarianism, 1951):
Arendt menulis tentang bagaimana rezim totaliter memandang manusia sebagai superfluous (tak penting), meniadakan individualitasnya, dan mereduksi manusia ke keadaan biologis semata—hampir seperti “makhluk tanpa martabat,” sebuah proses bestialisasi. - Pramoedya Ananta Toer (dalam Bumi Manusia, 1980):
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Walau tidak menyebut bestialitas secara langsung, Pram sering menulis tentang bagaimana kolonialisme Belanda merendahkan bangsa Indonesia “hanya seperti kuli di tanah sendiri.” Itu adalah bentuk bestialisasi: menurunkan manusia menjadi tenaga kasar tanpa martabat. - Albert Memmi (The Colonizer and the Colonized, 1957):
“The colonial relationship tends to dehumanize both parties. The colonizer turns the colonized into an animal, and in doing so, he himself becomes less than human.”
Jadi, “bestialitas” dalam konteks teksmu bisa dipertegas dengan mengaitkannya ke proses dehumanisasi kolonialisme sebagaimana ditulis Fanon, Césaire, Arendt, atau Pram.
4 Fanon, F. (1963). The Wretched of the Earth (R. Philcox, Trans.). New York: Grove Press.
5 Menurut Skewering History: The Odious Politics of Counting Gaza’s Dead karya Dr. Richard Hil dan Dr. Gideon Polya, sebuah laporan tentang jumlah korban jiwa yang diderita rakyat Palestina di Gaza sejauh ini, sekitar 680.000 orang telah terbunuh dalam genosida Gaza, dengan perkiraan 380.000 di antaranya adalah anak-anak.
Sumber: Skewering History: The Odious Politics of Counting Gaza’s Dead, pertama kali diterbitkan di Arena Magazine, 11 Juli 2025.
6 Amnesty International, 2024; Human Rights Watch, 202; Human Rights Watch, Israel/Palestine 2024 Report; Human Rights Watch, A Threshold Crossed: Israeli Authorities and the Crimes of Apartheid and Persecution, 2021.
7 Andrew Jackson dan “liar yang harus dipindahkan”
- Rujukan: Andrew Jackson, Presiden ke-7 Amerika Serikat (1829–1837), dikenal sebagai arsitek Indian Removal Act tahun 1830, undang-undang yang memaksa suku-suku Native American (Cherokee, Choctaw, Creek, Chickasaw, dan Seminole) untuk meninggalkan tanah leluhur mereka di Selatan AS dan pindah ke “Indian Territory” (sekarang Oklahoma).
- Dalam pidato dan kebijakannya, Jackson menggambarkan penduduk asli sebagai “savage” (liar) yang tidak bisa beradab kecuali dipindahkan. Hal ini mengakibatkan Trail of Tears (1831–1850), perjalanan paksa ribuan orang Native yang menewaskan puluhan ribu jiwa.
- Sumber:
- Jackson, A. (1830). Second Annual Message to Congress. Library of Congress.
- Saunt, C. (2020). Unworthy Republic: The Dispossession of Native Americans and the Road to Indian Territory. New York: W.W. Norton.
8 Hendrik Verwoerd dan apartheid
- Rujukan: Hendrik Frensch Verwoerd (1901–1966) adalah Perdana Menteri Afrika Selatan (1958–1966) dan sering disebut arsitek apartheid.
- Ia memperkenalkan sistem apartheid secara resmi—memisahkan orang berdasarkan warna kulit. Dalam pidatonya, Verwoerd menegaskan bahwa orang kulit hitam dan kulit putih tidak bisa hidup setara, sehingga harus dipisahkan dalam pendidikan, pekerjaan, dan wilayah tinggal.
- Sumber:
- Posel, D. (2011). The Apartheid Project, 1948–1970. In Hamilton, C., et al. (Eds.), The Cambridge History of South Africa, Volume 2. Cambridge: Cambridge University Press.
- Giliomee, H. (2003). The Afrikaners: Biography of a People. University of Virginia Press.
9 Nazi dan “Untermensch”
- Rujukan: Istilah Untermensch (“sub-human” / manusia rendahan) digunakan oleh ideologi Nazi Jerman untuk menyebut kelompok yang mereka anggap inferior: Yahudi, Slavia (Polandia, Rusia, dll.), Roma (Gipsi), dan kelompok lain.
- Konsep ini dijadikan dasar rasial untuk melakukan pembantaian massal (Holocaust), penjajahan, dan perbudakan di Eropa Timur.
- Sumber:
- Hitler, A. (1925). Mein Kampf. (khususnya bab tentang teori rasial).
- Kershaw, I. (2008). Hitler: A Biography. New York: W.W. Norton.
- Burleigh, M., & Wippermann, W. (1991). The Racial State: Germany 1933–1945. Cambridge: Cambridge University Press.
10 Tiga bait itu menunjuk pada tiga wajah kolonialisme dan supremasi rasial di abad 19–20:
- Andrew Jackson → kolonialisme pemukim (settler colonialism) di Amerika.
- Hendrik Verwoerd → apartheid di Afrika Selatan.
- Nazi → genosida dan rasisme ekstrem di Eropa.
11 Theodore Roosevelt, pidato 1886 (dikutip dalam Slotkin, Gunfighter Nation, 1992).
12 Shlomo Sand, The Invention of the Jewish People, 2009.
13 Said, E. W. (1994). Culture and Imperialism. New York: Vintage Books; Said, E. W. (1979). Orientalism. New York: Vintage Books; Said, E. W. (1992). The Question of Palestine. New York: Vintage Books.
14 Elhanan Yakira, Kadish on Ben-Zion Netanyahu: Revisionist Zionism. 2020.
15 Pappé, I. (2017). Ten myths about Israel. Brooklyn, NY: Verso Books.
15 Fanon, F. (1963). The Wretched of the Earth (R. Philcox, Trans.). New York: Grove Press.
16 Raphael Lemkin, Axis Rule in Occupied Europe, 1944.
17 Pappé, I. (2017). Ten myths about Israel. Brooklyn, NY: Verso Books.
18 US Congressional Research Service, 2024; US Congressional Research Service, “U.S. Foreign Aid to Israel,” 2024.
19 Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. 1963.
20 B’Tselem, A regime of Jewish supremacy from the Jordan River to the Mediterranean Sea: This is apartheid, 2021.
21 Nelson Mandela, Long Walk to Freedom, 1994.
22 Cesaire, A. (2000). Discourse on Colonialism (J. Pinkham, Trans.). New York: Monthly Review Press; Aimé Césaire, Discourse on Colonialism, 1950.
23 Nelson Mandela, Long Walk to Freedom, 1994.
24 Chairil Anwar, Diponegoro, 1943.
25 Frantz Fanon, The Wretched of the Earth, 1961.
26 Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, 1995.
27 International Criminal Court (ICC), 2024 filings on Israel-Palestine.
28 Primo Levi, If This Is a Man. 1947. “Monsters exist, but they are too few in number to be truly dangerous. More dangerous are the common men, the functionaries ready to believe and to act without asking questions.”
29 Mahmoud Darwish, Memory for Forgetfulness. 1987; Mahmoud Darwish, State of Siege, 2002.
30 Wiji Thukul, Puisi Perlawanan, 1990-an.