#22 Rubarubu i
The CEO Activist:
Menguji dan Mengawal Keberpihakan
Di tengah puncak pencapaian kariernya sebagai CEO perusahaan teknologi terkemuka, Alexander mengalami titik balik yang tak terduga. Suatu sore, sambil menelusuri data operasional, ia menemukan dokumen internal yang mengungkap bagaimana perusahaannya secara sistematis mematikan usaha kecil ribuan pengrajin tradisional melalui algoritma yang diskriminatif. Malam itu, di balik kaca gedung pencakar langitnya, ia melihat cahaya lilin para pengrajin yang berjuang mempertahankan warisan turun-temurun mereka. “Kekuatan sejati bukanlah tentang seberapa tinggi kita berdiri,” bisik hatinya, “tetapi seberapa dalam kita membungkuk untuk mengangkat mereka yang terjatuh.”
Keesokan harinya, dengan risiko kehilangan segalanya, Alexander menggelar konferensi pers yang menggetarkan dunia korporat—ia membongkar praktik tidak adil perusahaannya sendiri, mengumumkan pengunduran diri, dan mendeklarasikan perang melawan ketidakadilan sistemik. “Hari ini,” ujarnya dengan suara lantang, “saya memilih untuk berdiri di sisi sejarah yang benar, meski harus berdiri sendirian.” Langkah heroiknya bagai riak kecil yang memicu gelombang perubahan, menginspirasi puluhan eksekutif lain untuk berpihak pada yang tertindas, membuktikan bahwa di era dimana banyak pemimpin memperjuangkan tahta, masih ada pahlawan yang memilih memperjuangkan hati nurani.
CEO juga adalah manusia. Dan CEO juga ada yang menjadi aktifis. Leila McKenzie-Delis (2024) dalam buku The CEO Activist: Putting the ‘S’ in ESG (2024) mengisahkan CEO yang tegak berdiri pada jalan sejarah yang benar. Membela mereka yang terjajah dan tertindas, merawat dan mengawal aspek S dalam gelembung hiruk pikuk ESG.
Buku “The CEO Activist” karya Leila McKenzie-Delis merepresentasikan evolusi fundamental dalam peran eksekutif perusahaan dari sekadar pengelola bisnis menjadi katalis perubahan sosial. Konsep CEO Aktivis yang diusungnya mendefinisikan ulang tanggung jawab kepemimpinan korporat di abad ke-21, di mana keberhasilan tidak lagi diukur semata-mata melalui metrik finansial tradisional. Leila McKenzie-Delis memperkenalkan evolusi peran CEO dari yang sekadar pemimpin korporat menjadi agen perubahan sosial. Seorang “CEO Aktivis” secara sengaja menggunakan pengaruh dan platformnya untuk memperjuangkan isu-isu yang lebih luas, melampaui laba semata.
“The CEO Activist is not a rebel without a cause, but a leader with a profound responsibility to shape a better world through their business,” tegas McKenzie-Delis. Filsuf Stoic Romawi, Seneca, dalam surat-surat moralnya menyatakan, “No man can live happily who regards himself alone… You must live for others if you wish to live for yourself,” prinsip yang menemukan resonansi kontemporernya dalam filosofi CEO Aktivis yang memahami simbiosis antara keberhasilan bisnis dan kontribusi sosial. yang memahami bahwa keberlanjutan bisnis itu sendiri bergantung pada keberlanjutan komunitas tempat mereka beroperasi. Inilah kelahiran paradigma baru kepemimpinan korporat.
Buku ini secara khusus menyoroti bagaimana aspek ‘S’ (Social) dalam kerangka ESG sering kali menjadi anak tiri dibandingkan Environmental (Lingkungan) dan Governance (Tata Kelola). Ia mendekonstruksi kritis terhadap kerangka ESG yang berlaku, dengan menunjuk pada pengabaian sistematis terhadap elemen ‘S’ (Social) yang justru menjadi fondasi hakiki keberlanjutan. McKenzie-Delis membangun argumen persuasif bahwa aspek sosial—meliputi keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan manusia—merupakan prasyarat fundamental bagi tercapainya kemajuan dalam dimensi lingkungan dan tata kelola. McKenzie-Delis berargumen bahwa ‘S’ adalah fondasi yang menopang kedua aspek lainnya. Ia menegaskan, “Without a genuine commitment to the ‘S’, the ‘E’ and ‘G’ are built on shaky ground. You cannot have environmental justice without social justice.” Ia mengkritik perusahaan yang hanya fokus pada pelaporan metrik lingkungan dan tata kelola yang kaku, sambil mengabaikan kesejahteraan karyawan, kesetaraan, dan hubungan dengan komunitas.
Pemikir Muslim dan ilmuwan abad ke-14, Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, telah menekankan pentingnya kohesi sosial (asabiyyah) bagi kemakmuran sebuah peradaban. Ia menyatakan, “Kesejahteraan masyarakat tidak mungkin tercapai tanpa keadilan, karena ketidakadilan menghancurkan mereka.” Hal ini sejalan dengan pesan buku bahwa menguatkan ‘S’ adalah prasyarat untuk membangun bisnis yang benar-benar tangguh dan berkelanjutan.
Melalui analisis mendalam terhadap lanskap bisnis kontemporer, McKenzie-Delis menyajikan imperatif ganda—strategis dan moral—bagi CEO untuk mengadopsi pendekatan aktivis. McKenzie-Delis tidak hanya mendeskripsikan fenomena ini, tetapi juga memberikan imperatif moral dan bisnis mengapa seorang CEO harus menjadi aktivis. Dia berpendapat bahwa dalam era transparansi, konsumen dan talenta terbaik akan berpaling dari perusahaan yang diam terhadap ketidakadilan.
Di era transparansi digital, diam terhadap ketidakadilan bukan lagi merupakan posisi netral tetapi bentuk persekongkolan diam-diam. “Silence is no longer neutral; silence is complicity,” serunya. The modern CEO must be a beacon of their company’s values,” tulisnya. Penyair dan aktivis Amerika Maya Angelou mengamati, “People will never forget how you made them feel,” kebenaran psikologis yang dioperasionalkan oleh CEO Aktivis melalui pembangunan merek yang dikenang karena nilai-nilai kemanusiaannya, bukan semata produk atau layanannya.
Kepemimpinan semacam ini membangun kepercayaan (trust) yang merupakan mata uang baru dalam ekonomi modern. Penyair Amerika, Maya Angelou, pernah berkata, “I’ve learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.” Seorang CEO Aktivis memahami kekuatan emosi ini; mereka membangun merek yang tidak hanya dikenang karena produknya, tetapi karena perasaan hormat dan tujuan mulia yang mereka wakili, yang pada akhirnya mendorong loyalitas dan kinerja jangka panjang. Aktifisme bagi CEO merupakan imperatif strategis dan moral kepemimpinan aktivis.
Masa depan ESG, menurut buku ini, sangat bergantung pada diadopsinya mentalitas aktivis oleh para pemimpin bisnis. McKenzie-Delis memproyeksikan bahwa CEO Aktivis akan mendorong pendekatan ESG yang lebih terintegrasi, otentik, dan berdampak nyata. McKenzie-Delis menantang paradigma konvensional dengan menekankan bahwa masa depan bisnis berkelanjutan terletak pada kepemimpinan berani, bukan pada penyempurnaan teknis pelaporan. “CEO Activism is the engine that will move ESG from a compliance exercise to a core driver of innovation,”deklarasinya.
Ia menyatakan, “The future of ESG is not in more sophisticated reporting, but in more courageous leadership. CEO Activism is the engine that will move ESG from a compliance exercise to a core driver of innovation and value creation.” Dalam konteks ini, Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat dalam Islam, memberikan nasihat kepemimpinan yang relevan: “Pimpinlah rakyatmu dengan merendahkan dirimu kepada mereka. Hiasilah dirimu dengan kerendahan hati dan berlemah lembutlah terhadap mereka.”Prinsip kepemimpinan melayani (servant leadership) ini adalah jiwa dari CEO Aktivis yang sukses, di mana nilai-nilai sosial tidak hanya diucapkan, tetapi dihayati dan dipraktikkan dari puncak piramida organisasi. Jiwa kepemimpinan CEO Aktivis sejati. CEO Aktifis merekonfigurasi masa depan bisnis berkelanjutan.
Melampaui retorika visioner, buku ini menyajikan kerangka kerja operasional yang konkret untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip CEO Aktivis dalam praktik bisnis sehari-hari. McKenzie-Delis memetakan strategi untuk mengintegrasikan pertimbangan sosial dalam proses pengambilan keputusan korporat, dari kebijakan sumber daya manusia hingga strategi rantai pasokan. “Activism must be woven into the very fabric of corporate decision-making, not treated as a separate initiative,” sarannya. Ekonom dan filsuf India Amartya Sen dalam karyanya tentang pembangunan sebagai kebebasan berargumen, “Kemajuan sosial harus diukur terutama oleh peningkatan kebebasan nyata yang dinikmati manusia,” perspektif yang menginformasi pendekatan holistik CEO Aktivis terhadap pembangunan berkelanjutan.
Buku ini mengartikulasi pentingnya membangun ekosistem stakeholder yang kolaboratif untuk memperkuat dampak kepemimpinan aktivis. McKenzie-Delis menunjukkan bagaimana CEO Aktivis berfungsi sebagai jembatan antara kepentingan bisnis, masyarakat sipil, dan pembuat kebijakan, menciptakan aliansi strategis untuk perubahan sistemik. “The activist CEO understands that complex social challenges require collective action beyond any single organization’s capacity,“jelasnya. Cendekiawan Muslim kontemporer Tariq Ramadan menekankan, “Perubahan yang berkelanjutan membutuhkan kolaborasi otentik melampaui batas-batas sektoral,” menegaskan perlunya pendekatan ekosistem dalam mengatasi tantangan sosial-lingkungan. CEO Aktifis akan menciptakan ekosistem stakeholder untuk perubahan transformasional.
Menjawab kritik tentang sulitnya mengukur dampak kepemimpinan aktivis, buku ini memperkenalkan kerangka metrik inovatif yang menangkap nilai penciptaan sosial bersama dengan kinerja finansial. McKenzie-Delis menantang konvensi akuntansi tradisional dengan mengusulkan indikator yang mengkuantifikasi kontribusi bisnis terhadap kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. “We need new accounting principles that capture the full spectrum of value creation, including social capital,” desaknya. Filsuf Amerika John Dewey berpendapat, “Apa yang tidak terukur tidak berarti tidak penting,” mengingatkan kita bahwa aspek kualitatif kemajuan sosial memerlukan metode evaluasi yang sama inovatifnya dengan pendekatan bisnis itu sendiri.
Catatan Akhir
Bagian penutup buku ini mengartikulasikan visi tentang warisan kepemimpinan yang melampaui pencapaian kuartalan untuk mencakup kontribusi terhadap keadilan antargenerasi. McKenzie-Delis mendorong para pemimpin bisnis untuk mengadopsi perspektif jangka panjang yang memprioritaskan kesehatan sosial dan ekologis untuk generasi mendatang. “The true legacy of a CEO Activist is measured not in quarterly reports but in intergenerational impact,” simpulnya.
Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis menegaskan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain,” prinsip etis yang menjadi inti dari kepemimpinan CEO Aktivis yang bertujuan menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjut-an bagi semua pemangku kepentingan. Kutipan ini, bersama dengan semangat buku McKenzie-Delis, merangkum inti dari CEO Aktivis: seorang pemimpin yang menyadari bahwa kesuksesan sejati diukur tidak hanya oleh kekayaan yang dihasilkan, tetapi oleh manfaat dan keadilan yang disebarkannya bagi seluruh pemangku kepentingan, sehingga membentuk sebuah warisan yang abadi dan transformatif. Warisan kepemimpinan untuk keadilan antargenerasi.
The CEO Activist adalah sebuah panggilan untuk bertindak dan sebuah cetak biru untuk meninggalkan warisan yang bermakna. McKenzie-Delis mendorong para pemimpin untuk berani mengambil sikap, memimpin dengan empati, dan menempatkan kemanusiaan di pusat setiap keputusan bisnis. Buku ini menyimpulkan bahwa dengan memperkuat ‘S’, bisnis tidak hanya memperbaiki dunia tetapi juga mengamankan masa depan mereka sendiri.
Panama-Istanbul, 2 November 2025.
Dwi Rahmad Muhtaman
Referensi:
McKenzie-Delis, L. (2024). The CEO activist: Putting the ‘S’ in ESG. Penguin Business.
i Ruang Baca Ruang Buku (Rubarubu) adalah sebuah prakarsa yang mempunyai misi untuk menyebarkan ilmu dan pengetahuan lewat bacaan dan buku. Merangsang para pembaca Rubarubu untuk membaca lebih dalam pada buku asal yang diringkas, mendorong percakapan untuk membincangkan buku-buku yang telah diringkas dan juga meningkatkan gairah untuk menulis pengalaman baca dan berbagi dengan khalayak. Prakarsa Rubarubu adalah bagian dari prakarsa ReADD (Remark Asia Dialogue and Documentation), sebuah program untuk menjembatani praktik dan gagasan — agar pengalaman lapangan dapat berubah menjadi narasi yang inspiratif, dokumentasi yang bermakna, dan percakapan yang menggerakkan.
ReADD mendukung penulisan, penerbitan, dan dialog pengetahuan agar Remark Asia memperluas perannya bukan hanya sebagai pelaksana program, tetapi juga sebagai rumah gagasan tentang masa depan berkelanjutan.
ReADD (Remark Asia Dialogue and Documentation) lahir dari kesadaran bahwa keberlanjutan tidak hanya dibangun melalui proyek dan kebijakan, tetapi juga melalui gagasan, refleksi, dan narasi yang menumbuhkan kesadaran kolektif. Buku, diskusi, dan dokumentasi menjadi medium untuk menyemai dan menyerbuk silang pengetahuan, membangun imajinasi masa depan, serta memperkuat hubungan antara manusia, budaya, dan bumi.
Dengan kemajuan teknologi kita juga bisa memanfaatkan kecanggihannya untuk meringkas buku-buku yang ingin kita baca singkat. Rubarubu memanfaatkan teknologi intelegensia buatan untuk meringkas dan mengupas buku-buku dan dijadikan bacaan ringkas. Penyuntingan tetap dilakukan dengan intelegensia asli untuk memastikan akurasinya dan kenyamanan membaca. Karena itu tetap ada disclaimer bahwa setiap artikel Rubarubu tidak menjamin 100% akurat berasal dari seluruhnya buku yang dikupas. Penulisan artikel dilakukan dengan sejumlah improvisasi, olahan dari sumber lain dan pandangan/interpretasi pribadi penulis. Pembaca disarankan tetap membaca sumber aslinya untuk mendapatkan pengalaman dan jaminan akurasi langsung.






