Logo-Remark-Asia-WhiteLogo – Re-Mark AsiaLogo-Remark-Asia-WhiteLogo-Remark-Asia-White
  • Home
  • Who we are
    • Brief history
    • Career with us
    • Clients
    • Legalities
    • Networking and partnership
    • Purpose and vision
    • Management
    • Our experience
    • Our Team
  • What we offer
    • Consultancy Services
      • Carbon Stock Assessment
      • Free Prior and Informed Consent
      • High Carbon Stock
      • High Conservation Value
      • Land Use Change Analysis
      • Participatory Mapping
      • Social Impact Assessment
    • Sustainability Audit
    • HCVN ALS Report
  • AiKnow
    • About AiKnow
    • Our Trainers
    • Courses
      • Top Courses
        • HCV ALS Lead Assessor Training
        • High Carbon Stock Training
        • Social Impact Assessment Training (SIAT)
      • HCV Concept Learning
      • HCV + HCS Integrated Lead Assessor Training Course
      • FPIC Concept Learning
      • Facilitator Training
      • In-house Training
    • Training & Activity
      • Training Calendar
      • Training Activity
      • Fieldtrip Activity
      • In-House Training
    • Quarterly Discussion
    • Program Mitra-AiKnow
      • Tokopedia
        • Prakerja
          • Sertifikat
    • Register
    • Contact Us
  • Knowledge
    • Juru Buku
    • Bincang Buku
    • Halaman DRM
    • Membumi Lestari
    • Sustainability 17A
  • Media & news
    • News
    • Galeri
    • Downloads
✕

Sustainability17A #57-Merayakan Kegagalan Merawat Lingkungan

  • Home
  • Media & news
  • News
  • Sustainability 17A
  • Sustainability17A #57-Merayakan Kegagalan Merawat Lingkungan
Published by remarker at Monday June 2nd, 2025
Categories
  • Sustainability 17A
Tags
  • carbon accounting
  • carbon assessment
  • ISCC assessment
  • ISCC technical assistant
  • ISPO
  • ISPO technical assistant
  • konsultan ISPO
  • konsultan SEIA/SIA
  • remark asia
  • remarkasia

Sustainability 17A #57

Merayakan Kegagalan Merawat Lingkungan

Dwi R. Muhtaman, 

Sustainability Partner

“Bumi sedang sakit, anakku.
Lautnya muntah minyak.
Hutannya gundul dan gersang.
Udara tersekat asap pabrik.
Dan manusia saling serang
berebut sisa-sisa kekayaan alam.”

—“Bumi” oleh W.S. Rendra 

***

“Kita adalah pemulung zaman,
mengais-ngais sampah hari ini
untuk bertahan hidup besok.”

—“Kita adalah Pemulung” oleh Joko Pinurbo

Sebentar lagi kita akan merayakan sesuatu yang sering kita rayakan: Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2025.  

World Environment Day 2025 kali ini dirayakan dengan hashtag #BeatPlasticPollution  atau #AtasiPolusiPlastik.  Menurut situs resmi World Environment Day 2025 akan berfokus pada upaya mengakhiri polusi plastik, sebuah upaya yang telah dimulai sejak 2017.  Pada Desember 2017 Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk kelompok ahli untuk mengeksplorasi tindakan global potensial guna mendukung penghapusan jangka panjang sampah laut dan polusi plastik. WWF, bersama kelompok lingkungan lainnya, mengajukan (untuk pertama kalinya) gagasan tentang perjanjian global yang mengikat untuk melawan polusi plastik.1 Pada 2025 Republik Korea akan menjadi tuan rumah perayaan global ini.

Selama beberapa dekade, polusi plastik telah menyusup ke setiap sudut dunia—mencemari air yang kita minum, makanan yang kita konsumsi, bahkan tubuh kita. Meskipun polusi plastik merupakan ancaman serius, ini juga salah satu tantangan lingkungan yang paling mungkin diatasi, dengan beberapa solusi praktis yang sudah tersedia.2

Tahun ini, Hari Lingkungan Hidup Sedunia bergabung dengan kampanye UNEP #AtasiPolusiPlastik untuk menggerakkan masyarakat global dalam menerapkan dan memperjuangkan solusi. Momen ini akan menyoroti bukti-bukti ilmiah yang semakin banyak tentang dampak polusi plastik serta mendorong aksi kolektif untuk menolak, mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang, dan memikirkan ulang penggunaan plastik. Selain itu, hari ini juga akan memperkuat komitmen global yang dibuat pada tahun 2022 untuk mengakhiri polusi plastik melalui perjanjian internasional tentang plastik.

Tulisan pada seri Sustainability 17A #57 kali ini akan menyoroti perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia sebagai pengingat setiap tahun: Apa yang telah kita janjikan, apa yang telah kita rayakan tentang kondisi lingkungan terkini.  Soal plastik akan dikupas pada kesempatan lainnya.  Tulisan lain tentang plastik pernah dibuat dan bisa dibaca pada tautan ini endnote ini.3

Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia, bertepatan dengan hari pertama Konferensi Stockholm tentang Lingkungan Manusia. Pada hari yang sama, resolusi lain yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB mengarah pada pembentukan UNEP (Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa).  Momen yang bersejarah itu digoreskan pada tahun 1972, di Stockholm, Swedia.

Sejak itu perayaan tahunan World Environment Day telah diadakan 53 kali (setiap tahun tanpa jeda sejak 1973, ketika pertama kali diselenggarakan). Tahun 2025 akan menjadi peringatan ke-53 dengan tema #BeatPlasticPollution.  

Setiap tahun kita diingatkan tentang kondisi Planet Bumi dan isinya.  Dan setiap tahun pula kita tahu kondisi Bumi makin memburuk.  

The Living Planet Index (LPI) 2024 (WWF) melaporkan penurunan rata-rata 73% populasi vertebrata liar sejak 1970, dengan penurunan terbesar terjadi di Amerika Latin dan Karibia (95%). Laporan ini menekankan perlunya tindakan kolektif untuk mengatasi krisis iklim dan keanekaragaman hayati.  Kesehatan spesies hewan dan ekosistem planet ini terus memburuk.

Laporan tahunan Indeks Planet Hidup (LPI) ini menilai kelimpahan populasi vertebrata liar. Data menunjukkan bahwa antara 1970-2020, ukuran populasi burung, mamalia, amfibi, ikan dan reptil yang dipantau telah menurun rata-rata 73% secara global. Edisi LPI sebelumnya tahun 2022 melaporkan penurunan 69%. Laporan ini mengungkap besarnya penurunan keanekaragaman hayati dan mengkonfirmasi tren dari edisi sebelumnya.4  

Laporan itu juga menyatakan bakal sulitnya mencapai tujuan-tujuan global yang ambisius.  Negara-negara di dunia telah menetapkan tujuan global untuk masa depan yang berkelanjutan dan sejahtera, termasuk:  Menghentikan dan memulihkan kehilangan keanekaragaman hayati (di bawah Konvensi Keanekaragaman Hayati/CBD), Membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C (sesuai Perjanjian Paris), serta Memberantas kemiskinan dan menjamin kesejahteraan manusia (melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs).

Namun, meskipun ada ambisi global ini, komitmen dan aksi nyata di tingkat nasional masih jauh dari yang dibutuhkan untuk mencapai target 2030 atau mencegah titik kritis (tipping points) yang akan membuat tujuan-tujuan ini mustahil dicapai. Fakta terkini:

  • Lebih dari separuh target SDG 2030 akan terlewat, dengan 30% target stagnan atau memburuk sejak baseline 2015.
  • Komitmen iklim nasional saat ini akan mengakibatkan kenaikan suhu rata-rata global hampir 3°C pada akhir abad ini—memicu berbagai titik kritis katastrofik.
  • Strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati nasional masih tidak memadai dan kekurangan dukungan finansial maupun kelembagaan.

Pendekatan terpisah terhadap tujuan iklim, keanekaragaman hayati, dan pembangunan berisiko menimbulkan konflik antartujuan—misalnya, dalam penggunaan lahan untuk produksi pangan, konservasi biodiversitas, atau energi terbarukan. Sebaliknya, dengan pendekatan terkoordinasi dan inklusif, banyak konflik dapat dihindari serta trade-off diminimalkan dan dikelola. Kolaborasi lintas-sektor justru membuka peluang untuk melestarikan dan memulihkan alam, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta meningkatkan kesejahteraan manusia, secara simultan.  Termasuk penting berkolaborasi untuk mengelola hutan dunia dengan lebih lestari dan adil.

Meskipun banyak kritik atas nasib hutan di dunia, termasuk juga di Indonesia, FOA memberi penilaian yang optimistik.  Data terbaru menunjukkan penurunan signifikan dalam deforestasi di beberapa negara. Sebagai contoh:

  • Deforestasi di Indonesia diperkirakan turun 8,4% pada periode 2021–2022.
  • Di Amazon Legal Brasil, deforestasi berkurang 50% pada tahun 2023.
  • Tingkat kehilangan mangrove global secara kotor (gross loss) menurun 23% antara periode 2000–2010 dan 2010–2020.5

Perubahan iklim meningkatkan kerentanan hutan terhadap tekanan abiotik dan biotik, seperti kebakaran hutan dan serangan hama.  Intensitas dan frekuensi kebakaran hutan terus meningkat. Hutan boreal menyumbang hampir seperempat emisi karbon dioksida dari kebakaran hutan pada 2021. Pada 2023, kebakaran hutan global diperkirakan melepaskan 6.687 megaton karbon dioksida—lebih dari dua kali lipat emisi CO₂ Uni Eropa dari pembakaran bahan bakar fosil tahun itu.  Di Amerika Serikat, 25 juta hektar kawasan hutan diproyeksikan kehilangan >20% luas bidang dasar pohon inang akibat serangga dan penyakit hingga 2027.

Bagaimana dengan kondisi iklim?

Maret 2025 World Meteorological Organization (WMO) mengeluarkan publikasi terbarunya: State of the Global Climate 2024.  Laporan ini menegaskan bahwa tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah, dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55 ± 0,13 °C di atas tingkat pra-industri. Sebelumnya tahun 2023 mencatat rekor hari terpanas selama 116 hari berturut-turut dan menjadi tahun dengan suhu tertinggi dalam catatan sejarah (Poynting & Rivault, 2024).6  Prestasi ini telah dikalahkan pada tahun 2024.

Fenomena ini didorong oleh rekor konsentrasi gas rumah kaca dan peristiwa El Niño yang kuat. Laporan ini juga menyoroti percepatan pencairan gletser, kenaikan permukaan laut, dan peningkatan kejadian cuaca ekstrem yang menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial besar-besaran.7

Menurut Laporan WMO pada tahun 2023, konsentrasi atmosferik karbon dioksida, metana, dan nitro oksida mencapai tingkat tertinggi dalam 800.000 tahun terakhir. Data real-time dari lokasi-lokasi spesifik menunjukkan bahwa tingkat ketiga gas rumah kaca utama ini terus meningkat pada tahun 2024.

Rekor Suhu Global 2024:

  • Suhu permukaan rata-rata global tahun 2024 tercatat 1,55°C ± 0,13°C di atas rata-rata periode 1850–1900 (yang digunakan sebagai representasi kondisi pra-industri).
  • Tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam 175 tahun catatan observasi, melampaui rekor sebelumnya tahun 2023 yang berada di 1,45°C ± 0,12°C di atas rata-rata pra-industri.
  • Setiap tahun dalam dekade terakhir (2015–2024) secara individual merupakan 10 tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah pengukuran suhu global.

Makin runyamnya penanganan perubahan iklim ini juga disebabkan implementasi pengurangan emisi yang gagal.  Per 1 Juni 2024, sebanyak 101 pihak yang mewakili 107 negara dan mencakup sekitar 82% emisi gas rumah kaca (GRK) global telah mengadopsi komitmen net-zero melalui: Instrumen hukum (28 pihak); Dokumen kebijakan seperti NDC atau strategi jangka panjang (56 pihak); Pengumuman pejabat tinggi pemerintah (17 pihak). Bahkan beberapa negara mempunyai Komitmen Net-Zero.  Misalnya seluruh anggota G20 (kecuali Meksiko dan Uni Afrika secara kolektif) telah menetapkan target net-zero.8

Namun, kemajuan dalam implementasi masih terbatas berdasarkan indikator kunci seperti:

Status hukum komitmen, Ketersediaan dan kualitas rencana implementasi, Kesesuaian target jangka pendek dengan tujuan net-zero.

Bahkan the World Economic Forum (WEF, 2024), kejadian cuaca ekstrim menduduki peringkat nomor dua risiko paling kritis dalam dua tahun ke depan.  Tetapi pada 10 tahun ke depan akan menjadi peringkat pertama.  

Laporan WEF ini mencatat bahwa risiko lingkungan terus mendominasi lanskap risiko dalam ketiga kerangka waktu yang dianalisis. Sebanyak dua pertiga responden GRPS (Global Risks Perception Survey) menempatkan Cuaca Ekstrem sebagai risiko utama yang paling mungkin memicu krisis material pada skala global di tahun 2024. Fase pemanasan dari siklus El Niño-Southern Oscillation (ENSO) diproyeksikan menguat dan bertahan hingga Mei tahun ini.

Cuaca ekstrem juga dinilai sebagai risiko terparah kedua dalam kerangka waktu dua tahun. Konsisten dengan peringkat tahun lalu, hampir semua risiko lingkungan masuk dalam 10 besar risiko jangka panjang.

Namun, responden GRPS tidak sependapat mengenai urgensi risiko lingkungan, khususnya:

Hilangnya Keanekaragaman Hayati & Keruntuhan Ekosistem dan Perubahan Kritis pada Sistem Bumi.  Responden yang lebih muda cenderung menempatkan risiko ini lebih tinggi dalam jangka pendek (2 tahun) dibandingkan kelompok usia lebih tua. Keduanya masuk dalam 10 besar risiko prioritas mereka.  Dalam 10 tahun ke depan, risiko seperti Cuaca Ekstrem, Perubahan Kritis Sistem Bumi, Hilangnya Keanekaragaman Hayati, dan Kelangkaan Sumber Daya Alam menjadi isu utama.

Sementara itu sektor swasta menganggap risiko lingkungan sebagai ancaman utama jangka panjang.  LSM dan pemerintah justru memprioritaskan risiko ini dalam kerangka waktu lebih pendek.

Berbagai pihak memprakarsai cara mengukur komitmen dan aksi pihak swasta untuk menghadapi risiko iklim.  Sebab bagaimanapun sektor swasta dengan dukungan lembaga-lembaga keuangan menjadi aktor penting dalam menciptakan krisi iklim dan juga potensi mitigasinya.  

Laporan UNEP Finance Initiative: 2024 Climate Risk Landscape Report menyoroti peran lembaga keuangan ini. Laporan ini menyoroti peran penting sektor keuangan dalam menghadapi risiko iklim, baik fisik maupun transisi. UNEP memberikan panduan bagi institusi keuangan untuk mengintegrasikan risiko terkait iklim ke dalam strategi mereka, termasuk studi kasus dan praktik terbaik.

Lembaga keuangan terpapar risiko iklim melalui portofolio pinjaman, underwriting asuransi, dan aset.  Karena itu otoritas pengawas keuangan mulai menilai ketahanan sistem keuangan terhadap risiko iklim dengan menerapkan uji ketahanan iklim (climate stress tests). Contohnya:

Bank Sentral Eropa (ECB) pada 2022 menguji 104 lembaga keuangan besar dalam uji stres tahunannya, dengan fokus pada:

  1. Perkembangan kerangka uji stres risiko iklim bank,
    1. Kemampuan menghasilkan proyeksi faktor risiko iklim,
    1. Risiko utama yang dihadapi bank (baik risiko transisi menuju ekonomi hijau maupun risiko fisik akut seperti bencana iklim).

Temuan utama dari uji itu: Meski ada peningkatan sejak 2020, bank-bank masih belum memadai dalam mempertimbangkan risiko iklim dalam model internal dan uji stres mereka.9

Menghadapi risiko perubahan iklim itu diperlukan biaya adaptasi. UNEP setiap tahun mengeluarkan Adaptation Gap Report.  Laporan pada tahun 2024 ini mengungkap bahwa pendanaan untuk adaptasi iklim masih jauh dari cukup. Meskipun ada peningkatan pendanaan dari $22 miliar pada 2021 menjadi $28 miliar pada 2022, kenaikan tahun-ke-tahun terbesar sejak Perjanjian Paris, kesenjangan pendanaan adaptasi tetap signifikan, diperkirakan antara $187–359 miliar per tahun.10  Ini merupakan kemajuan menuju Pakta Iklim Glasgow, yang mendorong negara maju untuk minimal menggandakan pendanaan adaptasi untuk negara berkembang (dibandingkan level 2019) pada 2025. Namun, bahkan jika target ini tercapai, jurang pendanaan adaptasi hanya akan berkurang sekitar 5%.

Jurang lebar antara kebutuhan dan realisasi pendanaan adaptasi menunjukkan bahwa dunia gagal beradaptasi dengan dampak iklim saat ini—di mana perencanaan adaptasi melambat dan implementasi tertinggal—apalagi menghadapi dampak yang akan datang jika emisi gas rumah kaca tidak segera dikurangi secara drastis.

Semua orang harus menghadapi kerusakan akibat dampak iklim, tetapi kelompok miskin dan rentanyang paling menderita akibat loss and damage (kerugian dan kerusakan). Oleh karena itu, adaptasi yang didanai memadai, efektif, serta mengedepankan keadilan dan kesetaraan menjadi semakin mendesak.

Berbagai Laporan yang dikutip pada tulisan ini cukup menjelaskan besarnya tantangan yang dihadapi Homo sapiens.  Produksi dan konsumsi yang berlebihan jelas disamping mengancam kelestarian untuk generasi mendatang juga menjadi pemicu penting kerusakan-kerusakan lingkungan.  Laporan UNEP Global Resources Outlook 2024 menegaskan situasi itu.11  Dalam pengantarnya, Janez Potočnik and Izabella Teixeira, IRP (International Resource Panel) Co-Chairs menulis bahwa “Laporan ini menyampaikan pesan yang begitu gamblang: Saat ini, pertanyaannya bukan lagi tentang perlunya transformasi menuju pola konsumsi dan produksi sumber daya global yang berkelanjutan, melainkan bagaimana kita harus segera mewujudkannya.”

Lebih lanjut disebutkan dampak yang ditimbulkan dari cara kita mengekstraksi dan mengolah sumber daya untuk kebutuhan ekonomi global sungguh mencengangkan. Lebih dari 55 persen emisi gas rumah kaca yang mengantarkan kita ke ambang bencana iklim bersumber dari aktivitas ini. Tak hanya itu, hingga 40 persen dampak kesehatan akibat partikel polutan menyebabkan hilangnya lebih dari 200 juta tahun hidup sehat setiap tahunnya. Di sisi lain, alih fungsi lahan yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya turut bertanggung jawab atas lebih dari 90 persen kehilangan keanekaragaman hayati—fondasi yang menopang kelangsungan ekosistem dan kehidupan di Bumi.

Jika dibiarkan, dampak eksploitasi sumber daya ini akan menghancurkan segala harapan untuk memenuhi komitmen berbagai Perjanjian Lingkungan Multilateral, mulai dari Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, Konvensi PBB untuk Memerangi Desertifikasi, hingga Konvensi Keanekaragaman Hayati.

Yang lebih mengkhawatirkan, nafsu kita akan sumber daya terus membesar. Dalam lima puluh tahun terakhir, konsumsi global terhadap material-material ini telah meningkat tiga kali lipat. Seiring dengan pesatnya urbanisasi, industrialisasi, dan meluasnya kelas menengah dunia, kebutuhan akan material, produksi limbah, emisi, serta konsumsi air dan lahan juga terus meroket. Tanpa perubahan berarti, proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2060, penggunaan sumber daya global bisa melonjak hingga 60 persen dibanding tingkat tahun 2020.

Sistem produksi dan konsumsi kita yang selama ini jauh dari prinsip keberlanjutan, jika terus dipertahankan, akan berakumulasi menjadi dampak-dampak katastrofik. Bukan hanya sistem Bumi yang akan terganggu, tetapi juga proses-proses ekologis yang menjadi tulang punggung kesejahteraan manusia dan keberagaman kehidupan di planet ini. Krisis ini bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan kenyataan yang harus segera kita hadapi dengan tindakan nyata.

Karena itu dalam rangka merayakan World Environment Day 2025 kita ingin merayakan kegembiraan.  Bukan merayakan kegagalan merawat lingkungan seperti judul artikel ini.  Maka kita perlu mebaca dengan cermat dan mengambil tindakan yang sangat diperlukan dari apa yang disampaikan oleh Global Resources Outlook 2024.

Pertama, mengingat tren peningkatan penggunaan sumber daya global saat ini dan proyeksinya beserta dampaknya, peralihan menuju model pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya berkelanjutan menjadi hal yang mutlak diperlukan. Pola pemanfaatan sumber daya saat ini justru:

  • Memicu  tiga krisis keplanetan (triple planetary crisis),
  • Menghambat pencapaian SDGs,
  • Memperparah ketimpangan distribusi biaya dan manfaat.

Kedua, jalan menuju pencapaian SDGs harus melibatkan transformasi mendasar dalam pemanfaatan sumber daya. Skenario Transisi Berkelanjutan membuktikan hal ini mungkin, tetapi jalannya semakin curam dan sempit akibat kegagalan memenuhi tujuan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan selama beberapa dekade.

Ketiga, Skenario Transisi Berkelanjutan bertumpu pada serangkaian asumsi yang membutuhkan: Perubahan signifikan dalam sistem penyediaan sumber daya saat ini; Penyesuaian fungsi ekonomi global serta implikasinya di tingkat sektoral dan lokal; Perubahan semacam ini hanya bisa terwujud melalui: Keputusan tegas dan terencana di sektor publik dan privat; Implementasi dalam skala dan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Keempat, perlunya jenis kebijakan yang memicu transisi. Meski tidak bersifat preskriptif, kebijakan yang lemah, parsial, terfragmentasi, atau lambat jelas tidak akan efektif.

Penyatuan dimensi sumber daya secara kuat ke dalam agenda lingkungan, iklim, dan kesehatan—serta prioritas pada aspek keadilan dan kesetaraan—memerlukan:

  • Keberanian politik untuk dimasukkan dalam agenda kebijakan,
  • Langkah lebih berani lagi dalam implementasinya.

Kita tidak ingin meninggalkan bumi yang sakit, laut yang muntah minyak. Kita tidak ingin menyisakan hutan yang gundul dan gersang. Udara tersekat asap pabrik. Dan manusia saling serang berebut sisa-sisa kekayaan alam.

Kita tidak ingin jadi pemulung zaman, mengais-ngais sampah hari ini untuk bertahan hidup besok.



1 https://www.worldwildlife.org/pages/global-plastics-treaty
2 https://www.worldenvironmentday.global/2025-updates
3 https://re-markasia.com/sustainability-17a-24-plastik-politik-material-dan-bagaimana-membunuhnya/
4 Vox+3Le Monde.fr+3World Wildlife Fund+3
5 https://openknowledge.fao.org/server/api/core/bitstreams/bf9ac694-29f7-466c-9187-a24d432e0ccb/content
6 https://www.unepfi.org/themes/climate-change/2024-climate-risk-landscape
7 https://library.wmo.int/records/item/69455-state-of-the-global-climate-2024
8 United Nations Environment Programme (2024). Emissions Gap Report 2024: No more hot air … please! With a massive gap between rhetoric and reality, countries draft new climate commitments. Nairobi. https://doi.org/10.59117/20.500.11822/46404.
9 https://www.unepfi.org/themes/climate-change/2024-climate-risk-landscape
 10 UNEP – UN Environment Programme
11 United Nations Environment Programme (2024): Global Resources Outlook 2024: Bend the Trend – Pathways to a liveable planet as resource use spikes. International Resource Panel. Nairobi. https://wedocs.unep.org/20.500.11822/44901

Share
1

Related posts

Wednesday August 13th, 2025

Sustainability17A #64- Merawat Alam dari Meja Belajar HCV-HCS Integrated training


Read more

Fishing on the lake at sunset. Fishing background.

Monday August 11th, 2025

Sustainability17A #63-Memancing: dan Waktupun Diam


Read more
Tuesday August 5th, 2025

Sustainability17A #62-Menjalin Kembali Kekuatan Kolaborasi Ekspedisi LATIN ke Kuningan dan Garut Sebuah Catatan Ekspedisi


Read more
Tuesday August 5th, 2025

Sustainability17A #61-Kopi, Social Forestry dan Karbon di Indonesia


Read more
© Copyright 2023 - Re-Mark Asia | All Rights Reserved
      Next June 2, 2025
      Sustainability17A #58-Sekelumit Kisah Berselancar di Atas Plastik

      Sustainability 17A #58 Sekelumit Kisah Berselancar di Atas Plastik Dwi R. Muhtaman,  Sustainability Partner "Perjuangan melawan polusi plastik adalah  pertempuran…

      Previous April 4, 2025
      Sustainability17A #56-Label Naratif dalam Ekonomi Naratif

      Sustainability 17A #56 Label Naratif dalam Ekonomi Naratif Dwi R. Muhtaman sustainability partner "Persepsi tentang 'kekuatan ekonomi' dari waktu ke…

      Random February 13, 2021
      Bincang Buku 17 - Leadership matters. It matters a great deal.

      Leadership matters. It matters a great deal.   —Dwi R. Muhtaman— Bogor, 0511-10122018 #BincangBuku #17     Something ignited in…