Bogor, 20 Februari 2025 – Sejak diadopsinya Remedy Framework oleh Forest Stewardship Council (FSC) pada 2023, Indonesia menjadi salah satu negara yang aktif dalam mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan ini. Remedy Framework merupakan instrumen penting bagi perusahaan yang telah terdisasosiasi dari FSC untuk kembali berasosiasi, dengan syarat mereka menjalankan pemulihan lingkungan dan sosial secara menyeluruh.
Sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat implementasi kebijakan ini, anggota FSC Indonesia menginisiasi diskusi strategis pada 20 Februari 2025 di Botani International Convention Center, Bogor. Forum ini membahas perkembangan pelaksanaan Remedy Framework di Indonesia, tantangan yang dihadapi, serta persiapan side event dalam General Assembly (GA) FSC yang akan berlangsung pada Oktober 2025. Hartono A. Prabowo, Country Manager FSC Indonesia membuka acara dengan memaparkan kebijakan baru FSC berkaitan dengan Remedy Framework.
Langkah Implementasi Remedy Framework di Indonesia
Sejak kebijakan ini diperkenalkan dalam General Assembly FSC 2022 di Bali, FSC telah mengembangkan berbagai perangkat implementasi, termasuk prosedur dan panduan teknis untuk memastikan efektivitas Remedy Framework. Di Indonesia, kolaborasi antara Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan FSC Indonesia telah menghasilkan serangkaian sosialisasi dan roadshow yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Salah satu inisiatif pertama yang menerapkan framework ini adalah APRIL Group, yang menggelar APRIL Stakeholder Forum pada 19-20 Juni 2024 di IPB Convention Center, Bogor. Forum tersebut bertujuan membangun pemahaman bersama dan mengumpulkan masukan dari 90 pemangku kepentingan, termasuk perwakilan FSC International, WWF Indonesia, Forest Peoples Programme (FPP), masyarakat adat, LSM, akademisi, dan pemerintah.
Dalam forum itu, APRIL menyatakan komitmennya untuk menjalankan program perbaikan berdasarkan Remedy Framework, termasuk penilaian dampak lingkungan dan sosial oleh penilai independen terhadap aktivitas perusahaan sejak 1994 hingga 2020. Namun, tantangan utama yang disoroti dalam forum ini adalah transparansi metodologi penilaian, keterlibatan masyarakat dalam proses perbaikan, dan perlunya peningkatan kapasitas masyarakat serta LSM dalam mengawasi implementasi program perbaikan.
Peran FKKM dan Auriga Nusantara dalam Penguatan Implementasi
Selain langkah-langkah yang dilakukan oleh sektor swasta, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) turut berperan dalam mengembangkan interpretasi nasional Remedy Framework, terutama dalam aspek sosial. Pada 13 Desember 2024, FKKM dan APHI menggelar konsultasi multi-pihak di Bogor, membahas Panduan Teknis Penerapan Kerangka Kerja Perbaikan Sosial FSC. Panduan ini dirancang berdasarkan studi di Jambi, Riau, dan Kalimantan Barat, dengan tujuan memastikan bahwa implementasi framework ini mempertimbangkan aspek sosial-budaya lokal.
Di sisi lain, Auriga Nusantara berkontribusi dalam aspek perbaikan lingkungan dengan menggelar seminar bertajuk “Menghitung Deforestasi dan Kepunahan Spesies pada Konsesi Kebun Kayu” pada 4 Februari 2025 di Jakarta. Seminar ini membahas metodologi ilmiah dalam menghitung dampak deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati akibat praktik kehutanan yang tidak bertanggung jawab. Transparansi dalam metodologi ini menjadi krusial untuk memastikan remediasi yang kredibel dan berbasis ilmiah.
Forum Diskusi Anggota FSC Indonesia: Menyusun Langkah Strategis ke Depan
Diskusi yang digelar pada 20 Februari 2025 di Bogor menjadi langkah penting dalam evaluasi dan penguatan implementasi Remedy Framework di Indonesia. Acara ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk Purwadi Soeprihanto, Sekretaris Jenderal APHI.
Sebagai fasilitator diskusi, Dwi Rahmad Muhtaman dari Remark Asia menekankan pentingnya forum semacam ini untuk mendorong pelaksanaan Remedy Framework yang produktif, kredibel, dan berdampak nyata.
“Forum diskusi seperti ini harus lebih sering dilakukan agar ada ruang bagi pemangku kepentingan untuk bertukar gagasan dan memastikan bahwa Remedy Framework benar-benar memberikan solusi atas persoalan sosial dan lingkungan yang dihadapi,” ujar Dwi.
Diskusi ini menghasilkan kesepakatan untuk menyiapkan proposal konsep side event yang akan diajukan ke Sekretariat FSC dalam rangka General Assembly FSC Oktober 2025. Topik utama yang diusulkan seputar “Pelaksanaan Remedy Framework di Indonesia: Tantangan dan Peluang”. Putera Parthama, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2013, mengusulkan “Lesson Learned From the Forest Step.” Peserta diskusi sepakat memberikan mandat kepada Dwi Rahmad Muhtaman untuk mengoordinasikan persiapan acara tersebut.
Komitmen Bersama untuk Perbaikan yang Berkelanjutan
Dengan adanya berbagai inisiatif dan forum diskusi yang melibatkan multi-pihak, implementasi Remedy Framework di Indonesia semakin menunjukkan kemajuan. Keberhasilan framework ini tidak hanya bergantung pada perusahaan yang menjalankan remediasi, tetapi juga pada keterlibatan masyarakat, LSM, akademisi, serta transparansi dalam setiap proses perbaikannya.
Diskusi yang berlangsung di Bogor menegaskan pentingnya kolaborasi dan komunikasi yang intensif dalam mengawal penerapan Remedy Framework, sehingga Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara lain dalam mengelola kehutanan secara berkelanjutan, adil, dan bertanggung jawab.