halaman drm #41
Kelaparan Gaza dan Kaum Munafikun
Dwi R. Muhtaman
“Mereka membiarkan Gaza kelaparan
dengan presisi yang sama
seperti saat membunuh.”
Soumaya Ghannoushi 1
“Rezaan Abu Zahir meninggal dalam keadaan kelaparan. Usianya baru empat tahun. Ia menghembuskan napas terakhir di lantai sebuah rumah sakit yang runtuh, tulang rusuk mungilnya naik turun seperti sayap yang terlalu rapuh untuk terbang. Suaranya, yang dulu berbisik tawa, telah lama menghilang. Ia tidak mati dengan cepat. Ia mati perlahan-lahan. Ia mati dalam pengawasan: oleh ibunya yang memohon agar ia bertahan, oleh dokter yang tak lagi punya suntikan, tak punya cairan infus, tak punya kata-kata, oleh dunia yang melirik sebentar lalu berpaling. Kematiannya bukan tragedi. Itu adalah hukuman,” tulis Soumaya Ghannoushi yang dibacakan dengan tenang, jelas dan tegas di kanal Middle East Eye.2
Zionis Israel menggunakan strategi dan taktik Nazi sebagai rujukan playbook genosidanya. Termasuk taktik kelaparan sebagai senjata.3 Simak tulisan Soumaya Ghannoushi, seorang penulis dan pakar politik Timur Tengah berkebangsaan Britania-Tunisia, berikut ini.4 “Kematian datang bukan dengan bom, tapi dengan bisikan di perut: kosong, kosong, kosong,” tulisnya. Dan semua ini bukanlah kebetulan. Ini adalah pengulangan sejarah. Tak seorang pun terampuni. Sebab Nazi pun membuat hal yang serupa, kelaparan sebagai cetak biru genosida.
Beberapa pekan sebelum invasi Jerman ke Uni Soviet tahun 1941, Menteri Pangan Reich Richard Darré dan sekretaris negara Herbert Backe merancang Hunger Plan- strategi kelaparan sistematis untuk membunuh warga sipil Soviet dan Yahudi sambil memberi makan pasukan Jerman. Kebijakan ini membunuh setidaknya tujuh juta jiwa, bukan sebagai dampak sampingan, tapi sebagai tujuan utama.
Rezim Nazi menerapkan sistem jatah makanan berbasis ras: 100% untuk warga Jerman, 70% untuk warga Polandia, 30% untuk warga Yunani, 20% untuk warga Yahudi. Di ghetto-ghetto Yahudi, makanan dijadikan senjata. Akses ke daging atau roti dikontrol ketat. Toko-toko sengaja dikosongkan. Kelaparan bukanlah kegagalan – melainkan kebijakan resmi. “Fakta bahwa kami menghukum mati 1,2 juta Yahudi dengan kelaparan hanyalah catatan sampingan,”tulis Hans Frank, gubernur Nazi untuk Polandia yang diduduki, dalam buku hariannya yang dikutip dalam tulisan Ghannoushi.
Gaza 2024, 2025 dan entah hingga kapan adalah cermin sejarah yang kelam. Kini, lebih dari dua juta warga Palestina di Gaza – seluruh populasi wilayah itu – sengaja dipaksa menghadapi kelaparan massal. Bukan satu juta. Bukan sebagian. Semuanya. Perempuan dan laki-laki. Bayi dan orang tua. Tak seorang pun terampuni.
Inilah ironi sejarah yang menyakitkan. Dalam gema sejarah yang terdistorsi, rencana GHF (Gaza Humanitarian Foundation), lembaga yang terafiliasi dengan Zionis, mendapatkan dukungan Amerika Serikat dan sejulah negara Eropa tetapi ditolak PBB, justru mengadopsi hierarki makanan ala Nazi: Hanya akan menjangkau 1,2 juta orang pada fase awal. Mengabaikan sebagian besar populasi. Dan ini tidak boleh menjadi catatan sampingan.
Bahkan jika GHF mencapai targetnya: Rata-rata warga Gaza hanya akan mendapat kurang dari 1.000 kalori/hari. Itu pun setelah memperhitungkan mereka yang sama sekali tak mendapat makanan. Angka ini nyaris sama dengan jatah harian Yahudi di Ghetto Warsawa – gabungan antara ransum resmi dan penyelundupan.
“Rezaan tidak sendirian,” lanjut Soumaya, seorang penulis dan pakar politik Timur Tengah berkebangsaan Britania-Tunisia. “Ia satu dari ribuan korban. Antara Maret hingga Juni, di tengah blokade total, PBB memeriksa lebih dari 74.000 anak di Gaza. Lebih dari 5.500 didiagnosis gizi buruk akut parah. Lebih dari 800 sudah dalam kondisi kritis. Ini terjadi berbulan-bulan setelah makanan dinyatakan sebagai ancaman, setelah tepung menjadi barang selundupan, setelah susu menjadi kenangan.”
“Kini, anak-anak mati di pelukan orang tua mereka. Ibu menggendong bayi yang tak lagi menangis karena menangis membutuhkan terlalu banyak energi. Ayah menggali kubur dengan tangan kosong, membisikkan nina bobo ke dalam debu.”
“Gaza dikepung oleh kelaparan, oleh kematian, oleh pengkhianatan Arab dan kelicinan internasional. Mereka yang tidak tewas oleh bom, mati perlahan oleh kelaparan atau penyakit. Dan di latar belakang, dentuman senjata. Bahkan kelaparan pun tak aman di Gaza. Ini bukan kelaparan biasa. Ini kelaparan yang dijadikan senjata, pembunuhan kehidupan yang disengaja. Israel membombardir toko roti, menembaki konvoi bantuan, meratakan lahan pertanian, memblokir makanan. Mereka membiarkan Gaza kelaparan dengan presisi yang sama seperti saat membunuh.
Ya, sejarah mencatat kelaparan sebagai senjata, tetapi yang terjadi di Gaza belum pernah terjadi sebelumnya.”
Sean Watmore menuliskan dengan tajam, jejak sejarah Irlandia yang serupa Gaza:5
…
Mereka menyebutnya kelaparan di Irlandia juga.6
Ketika sejuta nyawa Irlandia
pelan-pahan meranggas,
dan jutaan lagi
terusir dari tanah kelahiran sendiri.
Tapi itu bukan sekadar kelaparan.
Bukan gagal panen semata—
melainkan nafsu serakah
yang menggiring roti kami
ke meja sang penjajah.
…..
Soumaya melanjutkan: “Belum pernah dalam sejarah populasi sipil dikurung di sepetak tanah berpagar, ditolak makanan, air dan bahan bakar, sementara bom dijatuhkan dari darat, udara dan laut. Ini bukan pengepungan. Ini pemusnahan massal pertama yang disiarkan langsung, kamp konsentrasi di bawah serangan udara tak henti.”
“Di Bosnia, kelaparan memaksa dunia bertindak. Di Amaksa, 700 tahanan mati kelaparan dan disiksa. Di Srebrenica, makanan pun menjadi barang terlarang. Dan sebelum Bosnia, ada rencana kelaparan Nazi yang membunuh tujuh juta orang dengan sengaja. Seperti ditulis sosiolog Martin Shaw, Israel mengikuti pola genosida Nazi yang digambarkan Raphael Lemkin dalam “Axis Rule in Occupied Europe”: perjuangan harian untuk sepotong roti dan bertahan hidup, untuk melumpuhkan pemikiran dalam kerangka kebangsaan. Ini bukan sekadar serangan terhadap tubuh. Ini perang melawan kesadaran, kelaparan yang dimaksudkan untuk membunuh dan menghancurkan keinginan untuk hidup, berpikir, berorganisasi, berharap.”
Dan Watmore melanjutkan kisahnya, mengingat jejak lama yang kelam:
…
Maka pahamlah kami, 7
ini permainan usang.
Kita telah mengenalnya,
dan kau tak perlu hadir di masa itu
untuk merasakan getar jiwa kolektif
yang kini menggugat lebih keras
saat menyaksikan saudara-saudara kelaparan,
kelaparan sampai mati.
Sebab ketika pangan kami dirampok pergi,
untuk mereka, tak ada kapal pengirim beras.
Sebab sang penjajah tahu
dengan kelaparan
kemenangan akan tiba.
….
“Bahkan para jurnalis pun kelaparan,” tulis Soumaya. “Koresponden Al Jazeera berkata, “Kami menyampaikan berita sementara kami sendiri lapar. Sejak kemarin kami tak menemukan sesuap nasi pun.” Ketika pengamat menjadi korban, ketika kelaparan menelan narator, kita tidak lagi berada dalam krisis. Kita berada dalam bencana.”
Kalian mengukur darurat kemanusiaan 8
dalam ton bantuan,
tapi kami menghitungnya
dalam detik antara
ledakan dan tangis terakhir.
…..
“Namun orang Palestina tetap mengantri untuk makanan, sadar itu mungkin antrean terakhir dalam hidup mereka. Mereka berjalan ke zona pembunuhan GHF, titik-titik bantuan yang berubah jadi penyergapan. Kemarin saja, 20 Juli, 115 warga Palestina ditembak mati saat mencari makanan. Sembilan puluh dua di antaranya sedang mengambil bantuan. Sembilan belas adalah anak-anak. Sejak 27 Mei, lebih dari 1.000 tewas dan 5.000 luka-luka di titik distribusi makanan.”
…
Dan saat kami mencuri jagung Trevelyan 9
agar anak-anak kami
bisa melihat fajar esok hari,
ada orang tua Palestina
yang hanya bisa memandang lesu
sementara anak-anaknya bertahan hidup
dengan asa dan udara.
…..
“Seorang ayah kurus, menangis, menggendong tubuh anaknya yang berlumuran darah, terekam kamera setelah mereka ditembak. Ia tidak berteriak. Ia hanya mengayun-ayunkan anak itu di pelukannya sementara tembakan bergema di belakangnya, membisikkan nama anaknya, karena hanya itu yang tersisa. Ini bukan krisis kemanusiaan. Ini pemusnahan melalui kelaparan. Namun dunia tetap menyebutnya perang. Tidak, ini bukan perang. Ini pembasmian, yang dikoreografikan, diperpanjang, dan diizinkan.”
…
Tapi mereka tak akan sanggup. 10
Mereka akan mati
seperti sejuta nyawa Irlandia dahulu.
Mereka menyebutnya kelaparan di Irlandia juga.
Dan itulah mengapa
kita harus menuntut
lebih keras lagi.
“Lalu siapa pelakunya? Ya, Israel yang menjatuhkan bom. Ya, AS yang membiayainya lalu melindunginya dengan veto. Tapi tali yang mencekik kehidupan ini juga dipegang oleh pihak lain. Mari bicara tentang Eropa. Begitu bangga dengan pencerahannya, begitu cepat berteriak “tidak boleh terulang”, begitu bisu ketika mayat-mayat itu adalah orang Palestina. Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar Israel. Mereka menandatangani perjanjian yang menjadikan HAM sebagai syarat perdagangan. Syarat itu kini menjadi kuburan. Bahkan tinjauan internal mereka menemukan Israel melanggar. Dan apa yang Eropa lakukan? Tidak ada.
Lalu, untuk menyelamatkan muka, UE mengklaim terobosan kemanusiaan. Tapi itu sandiwara, blokade tak dicabut, bantuan tak mengalir. Itu tabir asap, isyarat untuk membutakan publik sementara anak-anak kelaparan. Seperti dikatakan Amnesty International: pengkhianatan kejam dan melawan hukum terhadap hukum, terhadap nurani, dan terhadap Eropa sendiri.”
“Bagaimana dengan rezim Arab?” tanya Soumaya dengan nada kecewa dalam amarah. “Mereka yang terdekat. Mereka bicara persaudaraan, tapi sebenarnya mereka adalah sipir, penjara, algojo. Dimulai dari Sisi, presiden jenderal yang naik kursi kekuasaan melalui kudeta berdarah didukung Israel. Ia memerintah Mesir dengan gas air mata dan penjara. Di Sinai, ia membangun zona penyangga untuk mengurung Gaza. Rafah ditutup. Bantuan membusuk di terik matahari. Dokter dan perawat dilarang masuk. Anak-anak sekarat bukan karena tak ada bantuan, tapi karena bantuan diblokir. Aktivis asing ditahan. Jurnalis dideportasi. Kufi dikriminalisasi. Ini bukan keamanan. Ini perbudakan.
Dan Yordania, kerajaan yang memenjarakan warganya sendiri karena mengibarkan bendera, mendirikan tenda, menyebut nama Palestina. Mereka bilang ini tentang Ikhwanul Muslimin. Sebenarnya ini tentang memadamkan setiap percikan solidaritas dengan Gaza. Apa yang dilakukan Sisi dengan pos pemeriksaan, dilakukan Yordania dengan ruang pengadilan. Mereka bukan penonton. Mereka mitra dalam pengepungan, kelaparan, pembantaian.”
Kita bisa menambahkan seperti yang ditulis dan diungkapkan oleh Kareem Dennis atau yang dikenal dengan nama panggung Lowkey, seorang rapper dan aktivis asal London, Inggris. Dalam kanal Double Down News berjudul: Arab Leaders CAUGHT Helping Israel Attack Iran AND Gaza.11
Ketika Israel membombardir Iran tanpa henti, tidak mungkin terjadi tanpa kolaborasi para penguasa Arab di kawasan tersebut. Israel menggunakan wilayah udara Suriah untuk mengisi bahan bakar jet-jetnya saat menyerang Iran. Jet-jet yang meluncur untuk mengisi bahan bakar pesawat Israel lepas landas dari Pangkalan Al-Udeid di Qatar.
Iran dihukum karena dukungannya terhadap perjuangan Palestina. Di kawasan ini hari ini, ada poros perlawanan yang terus-menerus diserang oleh Israel dan Amerika Serikat, dengan bantuan dari apa yang disebut sebagai poros bantuan, the axis of assistance. Iron Dome Arab yang mengelilingi Israel merupakan bagian dari poros bantuan tersebut.
Seperti ditanyakan oleh Soumaya, apa yang pernah dilakukan para penguasa itu untuk perjuangan Palestina? Dan apa peran mereka saat ini dalam genosida di Gaza?
Mesir telah menjadi fasilitator utama blokade genosida Israel terhadap Gaza selama lebih dari satu dekade. Di awal genosida Gaza, Mesir berusaha mengekstraksi uang dalam jumlah besar dari warga Palestina yang mencoba keluar dari Gaza, demi memperkaya seorang pengusaha yang sangat dekat dengan rezim Sisi. Kini, pemerintah Mesir juga menghalangi orang-orang berhati nurani untuk menjangkau Gaza.
“Pernahkah kamu melihat seorang ibu menyusui bayinya yang lemas hingga meninggal karena tubuhnya kekurangan ASI—karena sang ibu juga kelaparan? Demi kemanusiaan, demi cinta kepada Islam, tolong… jangan lakukan ini. Izinkan kami berbaris menuju Gaza,” kata aktifis yang melakukan March ke Gaza dan berhadapan dengan serdadu di perbatasan Mesir itu.
Di Yordania, Raja Abdullah telah melakukan segala hal untuk melindungi Israel. Mulai dari menangkap warga Palestina, memfasilitasi pencegatan drone-drone Iran di wilayah udara mereka agar tidak sampai ke Israel, hingga ambil bagian dalam jembatan darat yang membantu Israel menghindari blokade laut oleh pasukan bersenjata Yaman.
Di seluruh kawasan, para penguasa memimpin miliaran orang yang sangat menentang apa yang dilakukan Israel. Namun para penguasa ini memiliki hubungan bisnis rahasia yang sudah berlangsung lama dengan entitas Zionis yang menjajah Palestina.
Menantu Donald Trump, Jared Kushner, mendirikan sebuah firma investasi bernama Affinity Partners. Ia menyebutnya sebagai koridor investasi Teluk ke Israel. Dari mana dana firma itu berasal? Dua miliar dolar AS dari pemerintah Saudi, dan jutaan lainnya dari pemerintah-pemerintah seperti UEA dan Qatar. Proyek yang didukung Saudi ini, Affinity Partners, membeli kepemilikan perusahaan galangan kapal terbesar di Israel: Schlomo Group. Pasca 7 Oktober, Schlomo Group menyediakan kendaraan militer untuk Unit 5101, unit Shaag yang menyerbu Rumah Sakit Al-Shifa.
Perusahaan ini juga menyediakan sebagian besar kapal untuk Angkatan Laut Israel. Maka sangat mungkin kapal Israel yang menyerbu kapal misi bantuan yang dipimpin Greta Thunberg, dibangun dengan dana Saudi dan Teluk.
Apa lagi yang dilakukan oleh firma Affinity Partners? Mereka juga memiliki sebagian kepemilikan Phoenix Investment Firm, perusahaan Israel yang memegang dua juta saham di perusahaan senjata terbesar Israel: Elbit Systems. Itu artinya, dana dari para penguasa Teluk langsung masuk ke perusahaan senjata Israel.
Lebih dari 85% drone yang digunakan di Tepi Barat dan Gaza diproduksi oleh Elbit Systems. Phoenix Holdings adalah pemegang saham institusional utama Elbit Systems. Phoenix tak hanya mendanai, tetapi juga mengasuransikan pembangunan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Phoenix juga terlibat dalam proyek Adopt a Soldier, yang membantu tentara baru Israel beradaptasi di medan tugas.
Bagaimana dengan UEA, negeri Dubai yang menjadi tujuan jutaan orang, terutama Muslim, untuk menikmati hidup dan berpose di Instagram? UEA secara langsung terlibat dalam infrastruktur militer yang mendukung genosida Israel di Gaza.
Pada 2021, perusahaan senjata milik negara UEA, Edge Group, menandatangani kesepakatan dengan Israel Aerospace Industries untuk mengembangkan drone bersama. Edge Group juga memiliki 30% dari perusahaan kontraktor pertahanan Israel, Third Eye Systems. Sistem “prajurit hantu” yang dikembangkan perusahaan ini membantu operasi darat di sekitar Jalur Gaza.
Selama genosida, nilai Third Eye Systems melonjak 51%. Sebanyak 30% saham perusahaan itu dimiliki oleh Edge Group milik negara UEA. Perusahaan UEA lainnya, G42, dipimpin oleh Penasihat Keamanan Nasional negara itu, memiliki usaha patungan dengan Rafael, perusahaan senjata milik negara Israel. Hubungan militer antara Israel dan UEA begitu erat, hingga Israel mendirikan Elbit Systems Emirates, anak perusahaan langsung dari Elbit yang berbasis di UEA dan memproduksi senjata di sana.
Keterlibatan UEA dalam genosida Gaza tak berhenti sampai di situ. Perusahaan investasi milik negara UEA, Mubadala, memiliki 11% ladang gas Tamar yang dioperasikan Israel di tanah Palestina yang diduduki. Militer Israel tak bisa berfungsi tanpa gas dari ladang itu.
Hubungan antara Israel dan UEA kini begitu erat, hingga Israel Aerospace Industries mengumumkan kolaborasi eksplorasi luar angkasa bersama Emirat. Bersama para mitranya di Teluk dan Timur Tengah, IAI menyatakan komitmennya mengembangkan teknologi inovatif untuk menciptakan masa depan yang “lebih aman” bagi kawasan.
Bertentangan dengan persepsi publik, normalisasi antara Saudi dan Israel sudah terjadi. Pemerintah Saudi telah menggunakan perusahaan intelijen Israel Cellebrite, yang dijalankan oleh mantan anggota Unit 8200, unit intelijen militer Israel. Saudi menggunakan Cellebrite untuk meretas ponsel warga negaranya sendiri.
Jamal Khashoggi, pembangkang Saudi yang dibunuh di Konsulat Saudi di Turki, ponselnya diretas menggunakan spyware Pegasus dari NSO Group, perusahaan intelijen Israel.
Sebuah negara tidak akan menyerahkan fungsi intelijen internal dan eksternalnya kepada negara lain—kecuali jika memiliki hubungan yang sangat dekat dengannya. Hal yang sama terjadi di UEA, yang juga menggunakan Cellebrite untuk meretas ponsel warganya, dalam kesepakatan yang dirancang oleh mantan kepala Mossad, dinas intelijen luar negeri Israel.
Sepanjang genosida di Gaza, senjata telah dikirim dari Pangkalan Al-Udeid milik AS di Qatar ke Pangkalan Nevatim di tanah Palestina yang diduduki, untuk mendukung militer Israel. Ada pula bukti pengiriman senjata langsung dari pangkalan AS di Kuwait ke militer Israel.
Bagaimana mungkin pemerintah-pemerintah ini mengklaim memiliki kedaulatan, jika mereka mengizinkan wilayahnya digunakan untuk melanjutkan genosida ini?
Bagaimana dengan permata dunia Muslim, Turki, di mana Erdoğan kerap menyebut rakyat Palestina dalam doanya? Secara faktual, Turki telah lama melatih pilot-pilot Israel di lapangan tembak Konya, memungkinkan mereka mengasah keterampilan membom rumah-rumah Palestina. Sebagai imbalannya, pilot Turki juga dilatih di Pangkalan Nevatim di Palestina yang diduduki.
Perusahaan Israel, Dorad Energy, memasok listrik langsung ke pangkalan-pangkalan militer Israel. Pemegang saham terbesar kedua Dorad adalah Zorlu Holdings, yang dipimpin oleh sahabat dekat Erdoğan, Ahmet Zorlu. Militer Israel tidak akan berfungsi tanpa minyak dari dua negara Muslim: Azerbaijan dan Turki. Pipa yang mengalir dari Azerbaijan, melewati Turki ke Israel, menyuplai 40% kebutuhan minyak Israel. Pipa ini bisa saja dihentikan kapan saja selama genosida, tetapi tidak dilakukan.
Tercatat pula 4.000 warga Turki bergabung dengan militer Israel dan ikut bertempur dalam genosida Gaza. Di mana pertanggungjawaban hukumnya? Pemerintah Turki sempat mengklaim memutus hubungan dagang senilai $10 miliar per tahun dengan Israel. Namun ternyata ditemukan bahwa dalam satu hari, perdagangan dengan Palestina “melonjak”—kapal-kapal yang katanya menuju Mesir mematikan antena mereka di detik terakhir dan dialihkan ke pelabuhan Israel di Ashdod dan Haifa.
Seorang jurnalis Turki, Matan Shihan, mengklaim bahwa putra Erdoğan, Bilal Erdoğan, terus berdagang dengan Israel sepanjang genosida melalui perusahaan pelayaran miliknya. Pasukan bersenjata Yaman bahkan pernah menyerang kapal Turki yang terhubung dengan partai berkuasa, milik Oras Shipping, perusahaan yang dimiliki oleh Salah Hezeki Sakir, orang dekat partai Erdoğan. Pasukan Yaman memperingatkan “saudara-saudara kami di Turki” agar berhenti berdagang dengan Israel—atau akan diserang lagi.
Semua ini terjadi lebih dari setahun setelah genosida Gaza.
Bagaimana dengan Indonesia, negara Muslim dengan populasi terbesar di dunia? Meskipun pemerintahnya secara resmi mendukung Palestina, beberapa perusahaan intelijen Israel telah menyusup ke dalam sistem keamanan negara ini sejak 2018, termasuk NSO Group, Candiru, Wintego, dan Intellecta—semuanya didirikan oleh mantan personel Unit 8200 Israel.
Bagaimana dengan Pakistan, satu-satunya negara Muslim dengan senjata nuklir? Meskipun secara resmi pro-Palestina, fungsi intelijen internal Pakistan juga dibantu oleh Cellebrite, perusahaan intelijen Israel. Pakistan menggunakan Cellebrite untuk meretas ponsel warganya sendiri.
Semua ini, jika digabungkan, merupakan pengkhianatan besar terhadap perjuangan Palestina dan kolaborasi langsung dengan proyek Israel.
Yang sedang kita bicarakan di sini adalah jaringan intelijen global yang bergantung pada teknologi Israel. Ketergantungan ini membuat pemerintah-pemerintah yang mengendalikannya menjadi sangat rentan terhadap tekanan. Jika Israel berhasil menyusup ke dalam sistem keamanan negara-negara di seluruh dunia, lalu apa artinya itu bagi fungsi institusi-institusi tersebut? Seberapa bebas para politisi itu sebenarnya?
Greta Thunberg, seorang aktivis Swedia non-Muslim, menyatakan bahwa ia bersedia mati demi mengantarkan 100 kilogram tepung ke Gaza. Tanyakanlah pada dirimu sendiri: apa yang telah diberikan oleh para penguasa dunia Muslim untuk Palestina? Meskipun mereka memiliki tentara dan angkatan laut yang besar, mereka tidak bisa melakukan satu tindakan pun yang sebanding dengan Greta Thunberg dan kawan-kawannya. Tanpa gelar, tanpa tentara, tanpa pemerintahan, tanpa uang—hanya hati nurani dan kemanusiaan.
Itulah fakta yang kita hadapi hari ini. Banyak negara yang seolah-olah keras terhadap zionis Israel padahal di belakang layar atau di depan panggung, tetap menjalin kerjasama business as usual. Semua dilakukan tanpa rasa malu, sedikitpun. Mereka ini kaum munafikun. Antara koar-koar mulutnya yang lebar, pada kenyataannya bertindak tidak sejalan bahkan bertentangan. Keras di mulut pada Zionis, manis di tindakan. Seperti besi yang mendidih dalam panas, tetapi meleleh.
“Dan sementara itu,” demikian lanjut Soumaya, “di tengah pembunuhan perlahan dan sandiwara diplomasi, kita disuruh menunggu, bernegosiasi. Tapi dunia macam apa yang menjadikan pemberian makan anak-anak sebagai bahan perdebatan? Diplomasi macam apa yang mengubah roti menjadi alat tawar? Netanyahu memperlakukan makanan sebagai senjata, dan dunia membiarkannya. Ini bukan cuma tidak bermoral. Ini melanggar hukum. Ini menjijikkan. Akses kemanusiaan bukanlah kebaikan hati. Ini kewajiban hukum. Menunda, memperdebatkannya, berarti mengubah kelaparan menjadi senjata dan diplomasi menjadi kaki tangan kejahatan perang.”
“Apa yang terjadi di Gaza bukan sekadar melanggar hukum. Ini menghancurkannya.Ini merobek setiap prinsip yang diklaim manusia sebagai pegangan. Dan ini menunjukkan sesuatu yang lebih gelap lagi. Dunia bukan sekadar gagal melindungi Gaza. Dunia meninggalkannya. Dan dengan begitu, dunia membuka kedoknya sendiri. Gaza bukan sekadar ladang pembantaian. Ia adalah cermin. Dan dalam pantulannya, kita melihat rasa malu kita yang paling polos dan paling dalam,” Soumaya menutup catatannya, dan membiarkan kita memandang dunia hari ini.
Ada sejumlah barisan para pejuang di jalanan. Mengibarkan bendera Palestina, mengenakan kafiyeh. Menyuarakan dengan lantang di parlemen, di pengadilan, di kampus, di ruang-ruang yang menelan teriakan. Ada yang berjuang di lautan, berlayar menembus ombak, menerabas hambatan, menuju Gaza. Ada yang berdiri di atas panggung pertunjukkan, memimpin gema Palestina Merdeka. Ada yang menulis puisi, menyusun kata-kata, menggetarkan penguasa. Ada yang melakukan Long March dengan langkah yang tak pernah lelah. Ada yang memasukkan gandum dalam botol dan menyeberangkan ke lautan berharap ombak akan membawanya ke tepian Mediterania di Pantai Gaza. Ada yang menduduki pusat-pusat produksi benda-benda yang mematikan umat manusia dan segalanya. Dan ada yang sekedar berhenti membeli segala yang bisa menghasilkan darah dan air mata di Palestina.
Berharap perjuangan tetap menyala.
Seperti puisi Watmore:
..
kita harus menuntut
lebih keras lagi.
***
Malinau, 26 Juli 2025.
1 Soumaya Ghannoushi adalah seorang penulis dan pakar politik Timur Tengah berkebangsaan Britania-Tunisia. Karya jurnalistiknya telah diterbitkan di The Guardian, The Independent, Corriere della Sera, aljazeera.net, dan Al Quds. Kumpulan tulisannya dapat ditemukan di: soumayaghannoushi.com dan akun Twitter-nya @SMGhannoushi.
2 Arabs and Europe Are Complicit in Starving Gaza (Arab dan Eropa Bersekongkol dalam Kelaparan Gaza):
https://www.youtube.com/watch?v=VHckWdIcff8
3 https://re-markasia.com/mad-in-germany/
4 https://www.middleeasteye.net/opinion/war-gaza-how-israel-replicating-nazi-starvation-tactics.
Soumaya Ghannoushi adalah seorang penulis dan pakar politik Timur Tengah berkebangsaan Britania-Tunisia. Karya jurnalistiknya telah diterbitkan di The Guardian, The Independent, Corriere della Sera, aljazeera.net, dan Al Quds. Kumpulan tulisannya dapat ditemukan di: soumayaghannoushi.com dan akun Twitter-nya @SMGhannoushi.
5 Sean Watmore: Suara yang Bangkit dari Reruntuhan Kolonial. Dia muncul dari Manchester, Inggris—seorang penyair, aktivis, dan pendongeng yang kata-katanya mengiris seperti pecahan kaca dari jendela sejarah yang pecah. Sean Watmore bukan sekadar penulis; dia adalah living archive bagi yang terpinggirkan. Watmore tumbuh di tengah bekas luka industri Inggris Utara, di mana bayangan kolonialisme masih menghantui lorong-lorong pabrik yang mati. Latar belakangnya sebagai pekerja sosial dan organisator komunitas membentuk sudut pandangnya yang tajam tentang ketidakadilan global—seperti dalam puisi “They Called It a Famine in Ireland Too”, di mana dia menyambungkan titik-titik darah antara kelaparan Irlandia 1845-1849 dan pendudukan Palestina.
Watmore memanggul puisi sebagai senjata. Karyanya sering muncul di The Guardian, Vice, dan platform progresif lain, menggabungkan data sejarah dengan kemarahan yang terukur. Salah satu ciri khasnya: memakai narasi personal untuk membongkar kekerasan struktural. Contohnya, puisi “This Poem is a Grenade” (2019) yang ditulis untuk korban perang Suriah, menggunakan laporan PBB sebagai bahan puisi.
6 Puisi ini berjudul asli: They Called It a Famine in Ireland Too yang ditulis Sean Watmore. Versi bahasa Indonesia diterjemahkan menggunakan platform DeepSeek dengan editorial penulis.
7 Lanjutan puisi They Called It a Famine in Ireland Too
8 Bait-bait ini adalah puisi Sean Watmore dari “This Poem is a Grenade” (2019), (Untuk Gaza dan semua ghetto yang dibom atas nama perdamaian).
9 Lanjutan puisi They Called It a Famine in Ireland Too
10 Lanjutan puisi They Called It a Famine in Ireland Too
11 https://www.youtube.com/watch?v=Heo6QxpGWyQ