halaman drm #26
–bagian 1 dari 3 bagian–
Ilmuwan Muslim: Persembahan Peradaban Baru
Dwi R. Muhtaman
semua ilmuwan muslim menekuni
beragam keilmuwan.
lingkungan dan pemerintahan/penguasa
yang mendukung.
kesungguhan dan kreatifitas.
Dr. Mulyadhi Kartanegara,
Mozaik Khazanah Islam, 2000.
Bayangkan Anda berada di abad ke-7. Abad itu sebagian besar Eropa mengalami kemunduran dalam periode panjang stagnasi intelektual. Tetapi pada waktu yang sama sebuah revolusi akademik yang tenang namun kuat tengah meletus di sudut lain dunia: Dunia Muslim. Dan selama berabad-abad berikutnya, para jenius dalam peradaban Muslim akan mendorong batas-batas pengetahuan hingga ke tingkat yang begitu luar biasa. Sehingga inovasi mereka masih membentuk peradaban hingga hari ini. Pencapaian luar biasa para pria dan wanita cerdikpandai dari berbagai keilmuwan ini berpengaruh besar terhadap perkembangan matematika, sains, teknik, dan kedokteran modern.
Misalnya Al-Farabi.1 Ia dikenal sebagai filsuf besar abad ke-10. Mengembangkan logika Aristotelian dalam tradisi Islam dan menulis tentang kebahagiaan negara. Pemikirannya kemudian menjadi inspirasi bagi Thomas Aquinas sekitar 300 tahun kemudian dalam merumuskan filsafat politik dan teologi di Eropa.
Al-Farâbi dikenal sebagai “Guru Kedua” (al-Mu’allim al- Tsâni) setelah Aristoteles, sang “Guru Pertama” (al-Mu’allim al-Awwal). Sebagai “Guru Kedua” ia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikir-pemikir terkenal lainnya yang tergabung dalam Farâbisme, yaitu: Yahyâ b. ‘Adi, Abû Sulaymân al-Sijistâni, Abû al-Hasan al- Âmiri, dan Abû Hayyân al-Tawhidi. Selain itu berdasarkan kesaksian dari Ibn Sinâ bahwa al-Farâbilah yang membantu Ibn Sinâ memahami ajaran metafisika Aristoteles.
Gambar 1. Robot Pelayan Makanan dan Minuman
Nama lengkap al-Farâbi adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhân al-Farâbi, seorang ahli logika dan metafisika. Dalam kalangan pemikir Latin Ia dikenal sebagai Abû Nashr atau Abunaser. Sedikit sekali yang diketahui tentang riwayat hidupnya, karena ia sendiri tidak pernah menulis kisah hidupnya. Sebagaimana halnya Ibn Sinâ, demikian juga murid-muridnya tidak ada yang punya minat secara khusus untuk mengumpulkan informasi biografisnya. Oleh karena itu informasi yang diterima sering masih bercampur antara realitas dan legenda. Dikatakan bahwa ia lahir pada tahun 257/870 di desa Wasij, wilayah Farab, Transoxiana. Ia dari keluarga militer. Ayahnya adalah seorang Letnan Persia yang berasal dari Turki, sedangkan al-Farâbi sendiri bekerja sebagai hakim.
Pada usia mudanya al-Farâbi menempuh pendidikan tradisional. Pertama ia belajar ilmu-ilmu agama seperti, figh, hadîts, dan al-Qur’ân, dan ilmu-ilmu linguistik, bahasa Arab, Turki dan Persia. Kemudian ia belajar ilmu-ilmu rasional, seperti matematika dan filsafat. Sekalipun pada saat itu minatnya terhadap ilmu-ilmu rasional tersebut belumlah sebesar seperti masa-masa berikutnya. Namun, tidak seperti filosof yang lain, al-Farâbi tidak menaruh minat pada kedokteran. Ketika minatnya terhadap ilmu-ilmu rasional meningkat, ia merasa tidak puas dengan yang ada. Sehingga untuk memenuhi keingintahuan intelektualnya ia meninggalkan negerinya. Mengembara ke beberapa negeri. Menuntut ilmu yang diminatinya.
Kota pertama yang dikunjunginya adalah Baghdad. Saat itu Baghdad merupakan pusat ilmu pengetahuan terbesar yang pesonanya tidak bisa ditolak oleh mereka yang haus ilmu dan kebenaran. Di kota itu ia merasa berbahagia karena bisa berjumpa dengan para sarjana dan penerjemah ilmu yang terkenal.
Di pusat ilmu ini al-Farâbi belajar logika dengan ahli-ahli logika yang sangat dikenal di kota ini, antara lain sarjana Kristen Yuhanna b. Haylân. Kemudian dengan ahli logika lainnya yang ternama Bisyr Mattâ b. Yûnus. Al-Farâbi hanya beberapa saat saja belajar dengan mereka, karena segera ia mengungguli guru-gurunya itu dan ahli-ahli logika lainnya. la memperbaiki studi logika, meluaskan dan menyempurnakan aspek-aspek yang lebih rumit dan rinci yang dilewatkan oleh pendahulunya, al-Kindi. Di kota Baghdad ini ia menghabiskan waktunya sekitar 20 tahun, dan menuliskan sebagian besar karyanya. Salah seorang muridnya yang terkemuka adalah Yahyâ b. ‘Adi.
Sekalipun di Baghdad ia mendapat nama yang gemilang sebagai penulis dan pemikir. Tetapi hal itu tidak mencegahnya untuk mengembara ke dunia Arab lainnya. la pergi ke Mesir. Meski tidak begitu lama kemudian, ia pergi ke Damaskus, di mana ia bekerja sebagai tukang kebun di siang hari. Malamnya ia gunakan untuk membaca buku di bawah sinar lampu jaga.
Dari Damaskus kemudian ia pindah ke Harran, lalu ke Aleppo, pusat ilmu pengetahuan lainnya, di bawah pimpinan Pangeran Hamadâni, Sayf al-Dawlâh. Yang terakhir senang menghimpun para penyair, ahli bahasa, filosof dan sarjana-sarjana lainnya.
Dan al-Farâbi pun bergabung dengannya dalam lingkungan istana. Dalam istana tersebut, al-Farâbi hidup terutama sebagai sarjana dan pencari kebenaran. Kehidupan glamor dan kemegahan kehidupan istana tidak pernah memikat hatinya. Dikatakan bahwa di istana ia sering mengenakan pakaian seorang sufi yang sangat sederhana dan mendisiplin dirinya demikian keras baik sebagai sarjana maupun seorang guru.
Pangeran Hamadâni sebenarnya sangat menghormatinya. Tapi karena ada beberapa tindakannya yang tidak disukai sang Pangeran, persahabatannya tidak bertahan lama.
Ada cerita yang menarik antara al-Farâbi yang mencintai musik dan menulis karya besarnya dalam bidang itu, Kitâb al-Musiq al-Kabir (the Great Book of Music), dengan Pangeran Sayf al-Dawlâh: “Sayf al-Dawlâh menyuruh keluar mereka (ulama yang lain) dan hanya berdua saja dengan al-Farâbi. Kemudian ia berkata: ‘Apakah anda mau makan?’ Al-Farâbi menjawab: ‘tidak’. Sayf al-Dawlâh bertanya lagi: ‘Apa anda mau mendengar musik?’ Al-Farâbi jawab: ‘Ya’. Dengan begitu Sayf al-Dawlâh memerintahkan untuk menampilkan para biduannya dan musisi-musisinya dengan seperangkat alat musik yang ada. Namun, setiap kali salah seorang dari mereka memainkan alatnya, al-Farâbi menemukan kesalahan, seraya berkata: ‘Kamu telah melakukan kesalahan!’ Sayf al-Dawlâh berkata kepadanya: ‘Apakah anda mempunyai keahlian di bidang ini?’ Al-Farâbi berkata: ‘Ya’. Kemudian ia mengambil tas kulit kharita) dari punggungnya dan membukanya. Lalu ia mengambil dari dalamnya beberapa seruling (idan), yang ia rakit bersama. Tak lama kemudian, ia memainkannya, maka semua hadirin tertawa. Di-pisah-pisahkannya lagi seruling-seruling tadi dan dirakit lagi sedemikian rupa sehingga waktu ia mainkan, para hadirin menangis. la pisah-pisahkan dan rakit kembali seruling-seruling itu, lalu ia mainkan. Kini para hadirin dan juga para penjaga pintunya tertidur, dan al-Farabi pergi meninggalkan mereka.”
Demikianlah kisah yang semata-mata melukiskan kebesaran al-Farâbi sebagai ahli musik yang pandai juga memainkannya.
Menjelang akhir hidupnya, ia mengunjungi Mesir dan Syria, sampai suatu saat ia dipanggil ke hadirat Allah pada tahun 950. Acara pemakamannya dihadiri oleh Amir Sayf al-Dawlâh sendiri sebagai penghormatan kepada almarhum, sang sarjana. Namun menurut laporan lain, ia dibunuh oleh para perampok jalanan ketika ia menuju Damaskus pada tahun 950.
Buku 1001 Inventions: The Enduring Legacy of Muslim Civilization menyoroti kembali era keemasan yang selama ini banyak dilupakan dan merayakan warisan yang kita nikmati hingga kini. Membuka kembali sejarah yang terlupakan serta inovasi dari para ilmuwan yang membantu membuka jalan bagi Renaisans Eropa dan dunia modern seperti yang kita kenal saat ini. Salah satu ilustrasi dari Kitab al-Hiyal karya Al-Jazari menggambarkan sebuah robot yang menyajikan minuman. Tulisan di sebelah kanan menjelaskan cara kerja perangkat tersebut (Gambar 1).
Periode seribu tahun yang dimulai pada abad kelima sering disebut sebagai Abad Kegelapan di dunia Barat. Namun, dalam masyarakat Islam, era ini sama sekali tidak gelap. Justru, sejak abad ke-7, ketika dunia lainnya mengalami stagnasi, bahasa internasional ilmu pengetahuan adalah bahasa Arab. Ribuan pencapaian sosial, ilmiah, dan teknologi lahir dari pria dan wanita dengan berbagai latar belakang agama dan budaya yang hidup dalam peradaban Muslim.
Buku 1001 Inventions: The Enduring Legacy of Muslim Civilization ini mengajak kita mengikuti perjalanan menakjubkan melintasi waktu untuk menemukan bagaimana kemajuan dalam bidang kedokteran, optik, matematika, astronomi, teknik, kartografi, dan bahkan dasar-dasar penerbangan dapat ditelusuri kembali ke pemikir-pemikir besar dari masa lalu. Pelajari rahasia di balik cara kita menulis angka saat ini… kapan pertama kali ilmuwan menemukan bagaimana kita dapat melihat… siapa yang menggambar peta tertua yang masih ada tentang benua yang kelak menjadi Amerika… dan makna tersembunyi di balik Jam Gajah abad ke-13.
Selain mempelajari berbagai penemuan, Anda juga akan mendapatkan wawasan baru tentang kehidupan sehari-hari dalam peradaban Muslim dan bagaimana perkembangannya berkaitan dengan pertumbuhan dunia Barat.
Dilengkapi dengan garis waktu dan peta yang mengilustrasikan berbagai penemuan serta penemuan-penemuan tersebut di seluruh dunia—dan menampilkan foto-foto luar biasa serta ilustrasi kaya dari dokumen sejarah, gambar, dan artefak, 1001 Inventions secara cermat menggambarkan tidak hanya warisan ilmiah peradaban Muslim tetapi juga warisan yang kita semua miliki bersama.
Dalam halaman-halaman ini tersembunyi kisah yang terlupakan tentang keilmuan, imajinasi, dan penemuan di suatu masa dan tempat di mana keyakinan, gender, dan ras menjadi hal sekunder dibandingkan dengan kemajuan. Laki-laki bekerja bersama perempuan, Muslim berdampingan dengan non-Muslim. Semuanya dalam nama kemajuan bagi umat manusia. Ini adalah kisah tentang tujuan bersama, mimpi bersama, dan keinginan bersama untuk mencapai hal-hal yang tampaknya mustahil. Mungkin, pandangan baru tentang masa lalu ini dapat menjadi cetak biru untuk merancang masa depan yang lebih cerah.
Peristiwa 9/11 pada 11 September 2001 terhadap World Trade Center di New York dan Pentagon langsung membuat tegang hubungan hubungan antara dunia Muslim dan Barat. Tetapi ada yang cukup mengejutkan. Pidato berani yang disampaikan hanya dua minggu kemudian oleh pengusaha perempuan dan sejarawan: Carly Fiorina. Saat itu ia menjabat sebagai CEO Hewlett-Packard Corporation. Dalam sebuah pertemuan seluruh manajer perusahaan dari seluruh dunia pada 26 September 2001, Carly Fiorina menyatakan:
“Pernah ada sebuah peradaban yang merupakan yang terbesar di dunia. Ia mampu membentuk sebuah negara adidaya kontinental yang membentang dari samudra ke samudra dan dari wilayah utara hingga ke daerah tropis dan gurun. Di bawah kekuasaannya hidup ratusan juta orang, dengan keyakinan dan asal-usul etnis yang berbeda-beda.
Salah satu bahasanya menjadi bahasa universal di sebagian besar dunia, menjadi jembatan antarbangsa dari ratusan negeri. Pasukannya terdiri dari berbagai kebangsaan, dan perlindungan militernya memungkinkan terciptanya perdamaian dan kemakmuran yang belum pernah ada sebelumnya. Jangkauan perdagangan peradaban ini meluas dari Amerika Latin hingga Tiongkok, dan ke seluruh wilayah di antaranya.
Dan peradaban ini digerakkan terutama oleh penemuan. Para arsiteknya merancang bangunan yang menentang gravitasi. Para matematikawannya menciptakan aljabar dan algoritma yang memungkinkan pembangunan komputer dan penciptaan enkripsi. Para dokternya mempelajari tubuh manusia dan menemukan obat-obatan baru untuk penyakit. Para astronomnya menatap langit, menamai bintang-bintang, dan membuka jalan bagi perjalanan dan penjelajahan luar angkasa. Para penulisnya menciptakan ribuan kisah—kisah tentang keberanian, romansa, dan keajaiban. Para penyairnya menulis tentang cinta, pada saat bangsa-bangsa lain terlalu tenggelam dalam ketakutan untuk membayangkan hal semacam itu.
Saat bangsa lain takut akan ide-ide, peradaban ini tumbuh subur karena ide, dan menjaga ide-ide itu tetap hidup. Saat para sensor mengancam untuk menghapus pengetahuan dari peradaban sebelumnya, peradaban ini justru melestarikan pengetahuan itu dan mewariskannya kepada yang lain.
Meskipun peradaban Barat modern memiliki banyak ciri serupa, peradaban yang saya maksud adalah dunia Islam pada tahun 800 hingga 1600, yang mencakup Kekaisaran Ottoman dan istana-istana di Baghdad, Damaskus, dan Kairo, serta para penguasa tercerahkan seperti Suleyman yang Agung.
Meskipun kita sering tidak menyadari betapa besarnya utang kita kepada peradaban ini, sumbangsihnya sebenarnya merupakan bagian penting dari warisan kita. Industri teknologi tidak akan pernah ada tanpa kontribusi dari para matematikawan Arab.”
Beberapa rekan, yang sudah mapan dalam bidang ini, memulai kampanye ceramah di Inggris, Eropa, dan di berbagai negara lainnya. Banyak orang dari berbagai latar belakang menikmati dan mendapatkan inspirasi dari pengetahuan ini. Presentasi kepada generasi muda—terutama yang saya sampaikan kepada LSM Pemuda di Parlemen Eropa di Brussels—menyulut minat besar terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya terhadap kehidupan para pelopor Muslim di bidang kimia, fisika, kedokteran, biologi, aljabar, teknik, arsitektur, seni, pertanian, dan berbagai industri manufaktur yang memberikan dampak sangat positif terhadap peradaban modern kita. Jelas bahwa topik yang selama ini kurang dihargai ini akhirnya mulai mendapat perhatian yang layak.
Entah disengaja atau tidak, sejarah dan asal usul pengetahuan yang bersumber pada kegemilangan kaum cerdikpandai muslim tidak banyak diungkapkan dan dituliskan. Cenderung dilupakan dan diabaikan. Bahkan terkesan menyembunyikan fakta sejarah itu. Tidak banyak orang, ilmuwan Barat yang terpesona dan penasaran dengan sejarah pengetahuan yang berasal dari dunia muslim. Seolah-olah pengetahuan dan kemajuan yang dicapai saat ini adalah hasil karya semata ilmuwan Barat.
Kecuali Lord B. V. Bowden.
Dalam pengantar buku 1001 Inventions itu Professor Salim T. S. al-Hassani menceritakan bahwa pada tahun 1975, saat ia menjabat sebagai rektor University of Manchester Institute of Science and Technology (UMIST), terpesona oleh cara kaum Muslim mengelola wilayah yang membentang dari Tiongkok hingga Spanyol selama berabad-abad. Yang menarik perhatiannya secara khusus adalah bagaimana mereka memperkenalkan konsep “indeksasi” untuk mengatasi inflasi yang merajalela di Kekaisaran Romawi. Ia mengumumkan di House of Lords bahwa, untuk membimbing perekonomian Britania Raya yang saat itu dilanda inflasi, kita seharusnya belajar dari pengalaman kaum Muslim dan mempertimbangkan prinsip-prinsip ekonomi yang telah ditetapkan sekitar 1.400 tahun yang lalu dalam Al-Qur’an, sebagaimana diwahyukan kepada Nabi Muhammad (saw).
Lord Bowden kemudian mendirikan Institut Sejarah Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Perdagangan Muslim, merekrut Professor Salim T. S. al-Hassani Chief Editor and Chairman, FSTC serta beberapa profesor dari UMIST dan Victoria University of Manchester, yang kemudian diperkuat oleh beberapa tokoh terkemuka. Meskipun inisiatif ini tidak bertahan lama, hal ini memberi Professor Salim kesempatan untuk berinteraksi dengan sejarawan dan cendekiawan di luar disiplin tekniknya. Yang lebih signifikan lagi, pengalaman ini mengungkapkan betapa mengerikannya tingkat ketidaktahuan mereka terhadap tradisi dan kepercayaan budaya lain. Lord Bowden wafat pada tahun 1989, dan bersamanya pula institut tersebut lenyap.
Kemudian, pada tahun 1993, Profesor Donald Cardwell, kepala Departemen Sejarah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta pendiri Museum Sains dan Industri di Manchester, menantang Professor Salim. Dengan semangat yang sama seperti Lord Bowden, ia berkata:
“Salim, Anda pasti sudah mengetahui bahwa ada seribu tahun yang hilang dalam sejarah teknik, periode yang kita sebut Abad Kegelapan. Sebagian besar pengetahuan yang hilang itu sebenarnya terdapat dalam manuskrip Arab yang memenuhi ruang bawah tanah banyak perpustakaan terkenal. Anda adalah seorang profesor teknik yang terkemuka di universitas bergengsi dan juga memahami bahasa Arab. Oleh karena itu, Anda adalah orang yang paling tepat untuk mengisi kesenjangan ini.”
Panggilan kesadaran itu mendorongnya untuk menempuh jalur penelitian yang akhirnya mengubah hidupnya. Saat itulah kisah buku ini dimulai.
Namun, sebelum menerima tantangan tersebut, Professor Salim menelusuri berbagai buku dan jurnal serta berkonsultasi dengan banyak teman. Buku demi buku, jurnal demi jurnal, semuanya menunjukkan adanya kesenjangan luar biasa ini. Ambil contoh sebuah buku populer saat itu: Scientists and Inventors: The People Who Made Technology from Earliest Times to Present Day karya Anthony Feldman dan Peter Ford, yang diterbitkan pada tahun 1979. Para penulis menjelaskan bahwa buku tersebut menyajikan kemajuan ilmiah dan teknologi manusia secara kronologis, dari penemuan mesin cetak hingga penemuan penisilin. Mereka menyusun daftar nama para penemu besar dalam urutan kronologis: Empedocles (sekitar 490-430 SM), Democritus (460-370 SM), Hippocrates (460-377 SM), Aristoteles (383-322 SM), Archimedes (287-212 SM), kemudian melompat langsung ke Johannes Gutenberg (1400-1468 M), diikuti oleh tokoh-tokoh seperti Da Vinci.
Lompatan luar biasa selama 1.600 tahun dari masa Archimedes ke Gutenberg ini benar-benar mengejutkan dan mengganggu pikiran Professor Salim.
Bacaan lebih lanjut dari berbagai buku mengungkapkan bahwa seluruh periode 450-1492 M benar-benar dilewatkan begitu saja sebagai Abad Kegelapan. Periode ini diabaikan sepenuhnya dalam hal ilmu pengetahuan dan peradaban, disebut dengan berbagai istilah seperti “zaman pertengahan,” “periode peralihan,” “blok seragam,” “abad vulgar,” dan yang paling mengkhawatirkan, “zaman yang samar.” Beberapa buku menyebutkan sedikit lebih banyak tentang Romawi, tetapi tetap saja melompati lebih dari seribu tahun. Yang lebih mengganggu adalah kesenjangan dalam buku-buku pelajaran sekolah dan sumber pembelajaran lainnya, yang membentuk pandangan dan persepsi para siswa tentang budaya lain selain budaya mereka sendiri.
…..
Bersambung pada Bagian 2 dari 3 Bagian
Cirebon-Lumajang-Jogjakarta, 30 Maret-10 April 2025
Dwi Rahmad Muhtaman
Karya-karyanya
1. Di Bidang Logika
- Komentar terhadap Analytica-Posteria
- Komentar terhadap Analytica-Priora
- Komentar terhadap Isagoge
- Komentar terhadap Topica
- Komentar terhadap Sphistica
- Komentar terhadap De Interpretatione
- Komentar terhadap De Categoriae®
- Risalah tentang Premis-premis Yang Niscaya dan Eksistential.
- Risalah tentang Proposisi dan Sillogisme Yang Digunakan Dalam Semua Ilmu Pengetahuan
2. Di Bidang Filsafat
- Filsafat Plato: Bagian-bagian dan Struktur Bagian-bagiannya tersebut.
- Filsafat Aristoteles: yang dimulai dengan diskusi tentang sifat-sifat kebahagiaan manusia dan cara di mana “Pengetahuan Ilmiah” merupakan bagian yang niscaya dari kehidupan yang baik yang harus dicari manusia. Karya ini selanjutnya menye-lidiki seluruh jajaran filsafat Aristoteles, mulai dengan logika dan berakhir dengan Metafisika. Katalog IImu Pengetahuan (Ibsâ’ al-Ulûm). Karya ini memuat dis-kusi tentang apa yang dipercayanya dapat diketahui, lingkup dan sumber-sumber ilmu pengetahuan. Mendamaikan Dua Bijaksanawan, di mana al-Farâbi berusaha men-damaikan pandangan-pandangan yang nampak bertentangan dari dua filosof besar Yunani, Plato dan Aristoteles, yang menurut hematnya hanya bertentangan lahirnya saja, tetapi esensinya tetap sama.
- Di Bidang Musik
Al-Farâbi menulis karya besarnya di bidang musik dengan judul, seperti yang telah disinggung, Buku Besar Tentang Musik (Kitâb al-Mûsig al-Kabir). Di sini ia menjelaskan bukan saja tentang teori musik, tetapi juga petunjuk-petunjuk terhadap praktik musik, dan ia sendiri ahli dalam memainkan alat-alat musik.
4. Di Bidang Politik
Tulisannya di bidang politik, sebenarnya sulit dipisah dari bidang filsafat, karena pandangan-pandangan politiknya sebenarnya merupakan aplikasi pandangan filsafatnya. Tapi berbeda dengan filosof sebelumnya, al-Farâbi memang menekankan pentingnya ini adalah:
menyusun sebuah filsafat politik. Karya-karyanya dalam bidang 1. Pendapat Penduduk Kota Utama (Ârâ’ Abl al-Madinah al-Fadlilah).
Di sini al-Farâbi mendiskusikan bagaimana membangun nega-ra yang utama, siapa yang harus menjadi pemimpinnya, siapa penduduknya, dan lain-lain. Selain itu ia juga menjabarkan bermacam-macam jenis negara yang berada di bawah krite-ria negara utama.
Buku Tentang Politik Kenegaraan (Kitâb al-Siyâsah al-Madaniyah), adalah karya politik yang menjelaskan lebih dalam bagaima-na sebuah negara ideal harus dibentuk.
Menggapai Kebahagiaan (Kitâb Tabshil al-Sa’âdah), buku ini mem-bahas tentang bagaimana caranya kita memperoleh kebahagiaan yang diidamkan. Berbeda dengan Aristoteles, al-Farâbi mene-kankan pentingnya pencapaian kebahagiaan bukan hanya de-ngan mengenal pengetahuan teoretis saja, tetapi juga aplikasi dari pengetahuan teoretis tersebut.
5. Kitab lain yang serupa dengan yang di atas adalah Kitâb al-Tanbih ‘alâ al-Sabil al-Sa’âdab (Nasehat Menuju Jalan Kebahagiaan)