Rubarubu #21
Humanocracy: Memanusiakan Organisasi
Kisah Sebuah Pabrik yang Bangkit dari Keterpurukan
Di Haier, sebuah perusahaan elektronik raksasa China, ada sebuah cerita tentang mesin cuci. Di pedesaan China, banyak petani menggunakan mesin cuci Haier bukan untuk mencuci pakaian, tetapi untuk membersihkan umbi-umbian seperti ubi dan kentang dari lumpur. Alih-alih melarang penyalahgunaan ini atau mengabaikannya, seorang karyawan di lini depan Haier melihat peluang. Dia mengusulkan modifikasi sederhana pada mesin cuci—menambahkan saringan yang lebih besar dan mengubah saluran pembuangan—untuk membuatnya lebih cocok untuk tugas ini.
Dalam perusahaan tradisional yang birokratis, ide seperti ini mungkin akan tenggelam dalam formulir permintaan perubahan, melewati beberapa lapisan manajemen, dan akhirnya ditolak karena tidak sesuai dengan “tujuan utama” produk. Namun di Haier, yang telah membongkar struktur piramida tradisionalnya, karyawan tersebut memiliki wewenang dan sumber daya untuk bertindak. Dia membentuk tim kecil, memodifikasi produk, dan meluncurkannya ke pasar. Hasilnya? Haier membuka pasar baru yang menguntungkan dan menjual ribuan “mesin cuci kentang” [1].
Kisah ini adalah esensi dari “Humanocracy: Creating Organizations as Amazing as the People Inside Them” oleh Gary Hamel & Michele Zanini (2020). Buku ini adalah sebuah manifesto dan seruan untuk membongkar birokrasi yang mencekik dan membangun organisasi yang memberdayakan manusia—organisasi yang sehebat orang-orang di dalamnya. “Bureaucracy is humanity’s worst invention. It crushes initiative, slows innovation, and saps motivation. In an age of upheaval, it is a catastrophic liability.” (Hamel & Zanini, 2020, p. 12) [2].
Hamel dan Zanini berargumen bahwa untuk bertahan dan berkembang di abad ke-21, kita membutuhkan sebuah revolusi organisasi—sebuah peralihan dari birokrasi ke humanokrasi.
Membongkar Birokrasi, Membangun Humanokrasi
Buku ini dibangun di atas dua pilar utama: diagnosis mendalam tentang “penyakit” birokrasi, dan resep untuk membangun alternatifnya.
Bagian 1: Birokrasi—”The Godzilla” yang Mencekik Potensi Manusia
Penulis tidak tanggung-tanggung dalam menyerang birokrasi. Mereka menyebutnya sebagai “Godzilla” yang telah menjadi “model operasi default” untuk organisasi selama lebih dari seabad. Birokrasi, menurut mereka, dirancang untuk mencapai lima tujuan: keteraturan, kepatuhan, kontrol, efisiensi, dan keterprediksian. Dan dalam mencapai tujuan itu, birokrasi sangat sukses—tetapi dengan mengorbankan hal-hal lain yang lebih penting di era modern.
Biaya Tersembunyi Birokrasi:
- Biaya Kompetensi: Birokrasi membuat orang menjadi pasif dan tidak bertanggung jawab. Aturan dan prosedur yang kaku membunuh inisiatif dan pemikiran kritis.
- Biaya Inovasi: Proses yang berbelit-belit, anggaran yang kaku, dan ketakutan akan kegagalan mencekik eksperimen dan ide-ide baru.
- Biaya Agility: Hierarki yang tebal dan silo fungsional memperlambat pengambilan keputusan hingga membuat organisasi tidak bisa merespons perubahan dengan cepat.
- Biaya Kebanggaan: Bekerja dalam sistem yang tidak manusiawi, di mana individu hanya dianggap sebagai “roda gigi” dalam mesin raksasa, menghilangkan makna dan kebanggaan dalam bekerja.
Kutipan Kunci: “In a bureaucracy, the ‘how’ trumps the ‘why.’ Following the rules is more important than achieving the mission. This inversion of means and ends is the original sin of bureaucracy.” (Hamel & Zanini, 2020, p. 45) [2].
Mengapa Harus Berani Mengusik Sarang Lebah Birokrasi?
Bagian pembuka buku ini berfungsi sebagai “surat dakwaan” terhadap birokrasi. Hamel dan Zanini memulai dengan pertanyaan yang provokatif: Mengapa kita harus repot-repot melaku-kan perubahan radikal yang pasti akan menghadapi perlawanan sengit? Mengapa “mengusik sarang lebah birokrasi” yang telah menjadi tempat yang nyaman bagi begitu banyak orang selama puluhan tahun?
Jawabannya, menurut mereka, adalah karena biaya dari status quo (birokrasi) telah menjadi begitu tinggi hingga tidak lagi dapat ditoleransi. Keterikatannya pada model organisasi abad ke-20 bukan lagi sekadar ketidakefisienan; itu adalah ancaman eksistensial bagi organisasi di abad ke-21. “Bureaucracy is the technology of control. It is a set of beliefs and assumptions about how to organize human effort, and it is deeply encoded in our management practices. And it is failing us.” (Hamel & Zanini, 2020, p. 15).
Tabel di bawah ini merangkum perbedaan mendasar antara dua paradigma organisasi yang diperkenalkan dalam bagian ini, menjelaskan mengapa “sarang lebah” itu harus diusik.
Tabel Perbandingan: Birokrasi vs. Humanokrasi – Sebuah Kontras Fondasional
| Aspek Dasar | Paradigma Birokrasi (The Incumbent) | Paradigma Humanokrasi (The Alternative) | Dampak & Implikasi |
| 1. Tujuan Utama | Kontrol & Keterprediksian. Dirancang untuk meminimalkan variasi dan risiko, memastikan organisasi berjalan seperti mesin yang terprediksi. | Inovasi & Adaptasi. Dirancang untuk memaksimalkan kontribusi, kreativitas, dan kemampuan setiap individu untuk merespons perubahan. | Birokrasi mengutamakan stabilitas; Humanokrasi mengutamakan ketahanan dan relevansi. |
| 2. Sumber Nilai | Skala & Efisiensi. Nilai diciptakan melalui standardisasi, spesialisasi, dan konsolidasi sumber daya. | Kreativitas & Inisiatif. Nilai diciptakan melalui kebijaksanaan, semangat, dan kapabilitas setiap anggota organisasi. | Di ekonomi pengetahuan, nilai berpindah dari efisiensi fisik ke inovasi intelektual, yang tidak bisa diperas dari birokrasi. |
| 3. Prinsip Operasi | Kepatuhan & Aturan. “Tugasmu adalah mengikuti prosedur.” Kepatuhan lebih dihargai daripada kecerdikan. | Kepemilikan & Prinsip. “Tugasmu adalah mencapai hasil.” Prinsip dan tujuan bersama menjadi pemandu, bukan aturan kaku. | Aturan membatasi respons terhadap keadaan yang tak terduga; prinsip memberdayakannya. |
| 4. Struktur Kekuasaan | Hierarkis & Terkonsentrasi. Kekuasaan mengalir dari atas ke bawah. Posisi menentukan wewenang. | Terdistribusi & Berbasis Kontribusi.Pengaruh sebanding dengan keahlian, inisiatif, dan hasil yang dicapai. | Struktur piramida lambat dan membuang “IQ kolektif” organisasi. Jaringan yang dinamis lebih cepat dan lebih cerdas. |
| 5. Peran Individu | “Karyawan” / “Roda Gigi”. Individu adalah sumber daya yang dapat diganti, yang menjalankan tugas yang telah ditentukan. | “Pemilik” / “Pengusaha”. Setiap individu adalah mitra yang bertanggung jawab dan berkontribusi pada misi bersama. | Mentalitas “karyawan” mematikan gairah dan akuntabilitas; mentalitas “pemilik” membangkitkannya. |
| 6. Pengambilan Keputusan | Lambat & Terpusat. Keputusan penting naik ke puncak, menunggu persetujuan, lalu turun kembali sebagai perintah. | Cepat & Terdesentralisasi. Keputusan dibuat oleh mereka yang paling dekat dengan informasi dan dampaknya. | Kecepatan adalah senjata kompetitif baru. Birokrasi secara struktural tidak mampu untuk cepat. |
| 7. Pengelolaan Risiko | Menghindari Kegagalan. Kegagalan ditekan dan dihukum. Eksperimen dilihat sebagai ancaman terhadap keteraturan. | Belajar dari Kegagalan. Eksperimen yang terkelola adalah sumber pembelajaran. Kegagalan yang “cerdas” dapat diterima. | Inovasi tidak mungkin tanpa toleransi terhadap kegagalan. Birokrasi, pada dasarnya, adalah anti-inovasi. |
Mengusik Sarang Lebah
Bagian ini membangun kasusnya dengan menjelaskan mengapa birokrasi bukan lagi sekadar gangguan, tetapi sebuah darurat operasi.
1. Birokrasi adalah “Pembunuh Senyap” Inovasi dan Ketangkasan
Hamel dan Zanini berargumen bahwa di dunia yang ditandai dengan disrupsi teknologi dan ketidakpastian, kemampuan untuk berinovasi dan beradaptasi adalah yang terpenting. Namun, birokrasi dirancang untuk hal yang sebaliknya.
- Proses Penganggaran yang Kaku: Ide baru harus bersaing untuk mendapatkan dana dalam siklus anggaran tahunan, bukan berdasarkan kelayakannya.
- Silo Fungsional: Departemen yang terpisah-pisah menghambat kolaborasi yang diperlukan untuk inovasi yang gesit.
- Ketakutan akan Kegagalan: Dalam budaya yang menghukum kesalahan, tidak ada yang berani mengambil risiko.
Kutipan Kunci: “In a bureaucracy, the quest for predictability systematically extinguishes the spark of creativity.” (Hamel & Zanini, 2020, p. 28).
2. Birokrasi Menciptakan “Apati Organisasi” yang Meluas
Birokrasi secara sistematis melucuti rasa kepemilikan dan tanggung jawab dari para anggotanya. Ketika orang-orang hanya diharapkan untuk “menjalankan perintah”, mereka berhenti untuk berpikir, berinisiatif, dan peduli.
- Dampak pada Keterlibatan: Penulis menyebutkan data Gallup yang menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil karyawan yang benar-benar terlibat secara emosional dalam pekerjaan mereka. Birokrasi adalah akar dari masalah ini.
- Pemborosan Bakat: Organisasi hanya memanfaatkan sebagian kecil dari kapasitas, kreativitas, dan energi yang dimiliki oleh orang-orangnya. Ini adalah pemborosan sumber daya manusia yang terbesar.
3. Biaya Kompetitif yang Tidak Terpikulkan
Biaya birokrasi tidak hanya terlihat dalam anggaran untuk “manajer yang tidak diperlukan”, tetapi dalam peluang yang hilang:
- Peluang Inovasi yang Terlewat.
- Keputusan Pelan yang Menghilangkan Pangsa Pasar.
- Biaya untuk merekrut dan mempertahankan talenta terbaik yang meninggalkan organisasi yang tidak inspiratif.
Mereka berargumen bahwa dalam lomba antara “hirarki yang lamban” dan “jaringan yang lincah”, tidak ada keraguan tentang siapa pemenangnya. Perusahaan-perusahaan seperti Haier, Nucor, dan Buurtzorg (yang mereka juluki “pemberontak”) adalah bukti bahwa model Humanokrasi bukan hanya mungkin, tetapi juga lebih unggul secara kompetitif.
Ini adalah sebuah pilihan yang tidak dapat dihindari. Mengusik sarang lebah birokrasi bukanlah sebuah pilihan; itu adalah sebuah keharusan. “The ultimate cost of bureaucracy is irrelevance. In a world that is changing faster than ever, organizations that are incapable of change are doomed. The question is not if we should dismantle bureaucracy, but how and how fast we can do it.” (Hamel & Zanini, 2020, p. 41).
Dengan demikian, “The Case for Humanocracy” berhasil membangun momentum yang kuat. Ini bukan lagi tentang “apakah kita perlu berubah?” tetapi tentang “mengapa kita masih menunggu?”. Humanocracy adalah sebuah panggilan bangkit bagi para pemimpin dan setiap individu dalam organisasi untuk menyadari bahwa mereka tidak terjebak dalam birokrasi—mereka adalah penjaga dari status quo yang sudah usang. Dan hanya merekalah yang dapat memilih untuk mengubahnya.
Bagian 2: Humanokrasi—Prinsip dan Praktik untuk Organisasi yang Manusiawi
Humanokrasi bukan sekadar “pemberdayaan” atau “menghapus lapisan manajemen”. Ini adalah paradigma baru yang dibangun di atas tujuh prinsip inti:
1. Kepemilikan (Ownership): Dari “Karyawan” ke “Pemilik Mitra”
Prinsip ini adalah tentang menciptakan akuntabilitas emosional. Dalam birokrasi, orang bertanggung jawab atas tugas. Dalam Humanokrasi, mereka bertanggung jawab atas hasil. Ini mengubah dinamika kekuasaan secara fundamental. Seorang “pemilik” tidak menunggu perintah; mereka mengidentifikasi masalah dan peluang, lalu bertindak.
- Kutipan Kunci: “Ownership is the antidote to apathy. When people feel they own the result, they bring their full intelligence and passion to the challenge.” (Hamel & Zanini, 2020, p. 112).
Mengganti mentalitas “karyawan” dengan mentalitas “pemilik”. Setiap individu harus merasa memiliki tanggung jawab penuh atas kesuksesan organisasi.
- Praktik: Laba dan rugi transparan untuk semua unit, sistem kompensasi yang terkait dengan nilai yang diciptakan, bukan hierarki.
2. Pasar (Markets): Dari Perencanaan Pusat ke Ekosistem Internal
Prinsip ini memanfaatkan kecerdasan dan disiplin pasar untuk mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien daripada proses anggaran tahunan yang politis. Jika sebuah tim dapat memberikan nilai terbaik, mereka akan mendapatkan bisnis dan sumber daya. Jika tidak, mereka harus berimprovisasi atau bubar. Ini menciptakan disiplin yang objektif dan berpusat pada pelanggan.
Memanfaatkan dinamika pasar di dalam organisasi untuk mengalokasikan sumber daya, bukan melalui proses penganggaran dan perencanaan terpusat yang kaku.
- Praktik: Tim dapat “menjual” layanan mereka ke tim lain di dalam perusahaan, menciptakan kompetisi internal yang sehat untuk kualitas dan efisiensi.
3. Meritosis (Meritocracy): Dari Kekuasaan Posisi ke Kekuasaan Gagasan
Ini adalah jantung dari desentralisasi kekuasaan. Dalam birokrasi, “bos” yang memutuskan. Dalam meritokrasi Humanokratis, ide terbaiklah yang menang. Proses seperti penganggaran sejawat (di mana karyawan memilih bagaimana mengalokasikan dana inovasi) memastikan bahwa sumber daya mengalir ke proposal paling meyakinkan, bukan proposal dari orang yang paling berkuasa.
Gagasan bahwa pengaruh harus sebanding dengan kontribusi, bukan dengan jabatan. Setiap orang harus memiliki suara, dan ide terbaik yang menang, terlepas dari asalnya.
- Praktik: Penganggaran berbasis rekan (peer-based budgeting), di mana para eksekutor memutuskan bagaimana mengalokasikan sumber daya untuk inisiatif baru, bukan manajer puncak.
4. Komunitas (Community): Dari Kontrol ke Koneksi
Prinsip ini mengakui bahwa manusia termotivasi oleh rasa memiliki dan tujuan bersama. Aturan dan pengawasan eksternal tidak pernah bisa mencapai tingkat komitmen dan koordinasi yang dihasilkan oleh nilai-nilai yang dibagikan dan rasa saling percaya. Komunitas yang kuat adalah “perekat sosial” yang memungkinkan organisasi berfungsi tanpa hierarki yang kaku.
- Kaitannya dengan Gotong Royong: Prinsip ini sangat selaras dengan filosofi Indonesia “Gotong Royong”. Seperti dalam gotong royong, sebuah komunitas Humanokratis disatukan oleh tujuan bersama dan keinginan untuk saling membantu mencapai tujuan tersebut, bukan oleh paksaan.
Misi, nilai, dan rasa saling memiliki—bukan aturan dan perintah—yang menyatukan organisasi.
- Praktik: Nilai-nilai yang hidup dan dipraktikkan, bukan hanya tertulis di dinding. Fokus pada tujuan bersama yang lebih besar.
5. Keterbukaan (Openness): Dari Informasi sebagai Senjata ke Informasi sebagai Pembebas
Birokrasi mempertahankan kekuasaan dengan mengontrol informasi. Humanokrasi mendistribusikan kekuasaan dengan membagikannya secara radikal. Ketika setiap orang memiliki akses ke informasi yang sama tentang kinerja, strategi, dan tantangan, mereka dapat membuat keputusan yang lebih cerdas dan selaras dengan tujuan organisasi.
Informasi terbuka untuk semua, dan setiap orang bebas mengakses pengetahuan dan data yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang baik.
- Praktik: “Wiki” internal di mana semua informasi—dari strategi hingga data keuangan—tersedia untuk setiap karyawan.
6. Percobaan (Experimentation): Dari Menghindari Kegagalan ke Belajar dari Kegagalan
Prinsip ini mengubah kegagalan dari sebuah dosa menjadi sebuah data. Dengan secara aktif mendorong eksperimen yang terkelola, organisasi Humanokratis mengakui bahwa dalam dunia yang kompleks, tidak ada yang bisa merencanakan kesuksesan; kita hanya bisa bereksperimen untuk mencapainya.
Organisasi harus merangkul eksperimen dan melihat kegagalan sebagai harga yang harus dibayar untuk pembelajaran, bukan sesuatu yang harus dihukum.
- Praktik: Mengalokasikan sebagian waktu atau anggaran untuk proyek-proyek eksperimental tanpa persetujuan atasan.
7. Paradox (Paradox) : Dari Pemikiran Dikotomis ke Pemikiran Sintesis
Ini adalah prinsip meta-kognitif. Birokrasi cenderung menyederhanakan dunia menjadi pilihan-pilihan dikotomis (misalnya, “kita harus memangkas biaya ATAU berinvestasi dalam inovasi”). Humanokrasi mengajak kita untuk berpikir secara paradoks—untuk mencari cara agar bisa melakukan keduanya. Pemecahan paradox inilah yang seringkali melahirkan terobosan strategis yang paling powerful.
Humanokrasi adalah sebuah sistem yang saling terkait. Kekuatan dari ketujuh prinsip ini tidak terletak pada penerapannya satu per satu, tetapi pada bagaimana mereka saling memperkuat.
- Keterbukaan memungkinkan Meritosis yang adil.
- Pasar menciptakan disiplin yang memperkuat Kepemilikan.
- Percobaan didorong oleh budaya Komunitas yang aman.
- Kemampuan untuk menyelesaikan Paradox adalah hasil dari memiliki semua prinsip di atas.
Bersama-sama, prinsip-prinsip ini membentuk sebuah sistem operasi organisasi yang baru—sebuah DNA yang secara inheren memberdayakan manusia, mendorong inovasi, dan membangun ketahanan. Mereka adalah jawaban konkret terhadap pertanyaan: “Jika bukan birokrasi, lalu apa?”
Mendorong pemikiran “baik… dan…” alih-alih “atau…”. Misalnya, bagaimana menjadi sangat efisien dan sangat adaptif? Menghargasi stabilitas dan perubahan?
- Praktik: Mempertanyakan asumsi dan trade-off tradisional secara konstan.
Kutipan Kunci: “In a humanocracy, every employee is a trailblazer, a businessperson, and an architect of change. The organization is a marketplace of ideas, a community of builders, and a platform for human achievement.” (Hamel & Zanini, 2020, p. 112) [2].
DNA untuk Organisasi yang Manusiawi:
Kisah-Kisah Pembuktian
Buku ini tidak hanya teoritis. Penulis memberikan studi kasus mendalam tentang organisasi yang telah menerapkan prinsip-prinsip Humanokrasi dengan sukses pada Bagian 3, seperti:
- Haier: Dengan struktur “micro-enterprises” di mana tim kecil beroperasi sebagai perusahaan mandiri.
- Nucor: Perusahaan baja yang mendesentralisasikan kekuasaan ke tingkat pabrik dan memberikan bonus kinerja yang besar kepada semua karyawan.
- Buurtzorg: Organisasi perawat Belanda yang menghilangkan manajer menengah dan mengandalkan tim perawat yang mengatur diri sendiri.
Setelah Bagian Satu membuat kasus mengapa birokrasi harus digulingkan dan Bagian Dua menunjukkan bukti bahwa alternatif itu ada dan berhasil, Bagian Tiga adalah inti dari buku ini. Di sinilah Hamel dan Zanini menjawab pertanyaan mendasar: “Seperti apa sebenarnya ‘DNA’ dari organisasi yang berpusat pada manusia itu?” Dituangkan dalam judul: The Principles of Humanocracy: What’s the DNA of a Human-Centric Organization?
Mereka berargumen bahwa membongkar birokrasi tidak cukup. Kita membutuhkan cetak biru positif untuk membangun sesuatu yang baru. Cetak biru itu terdiri dari tujuh prinsip dasar yang saling terkait dan saling memperkuat seperti dipaparkan di atas. Prinsip-prinsip ini adalah kode genetik yang, ketika diterapkan, secara alami menghasilkan organisasi yang lebih gesit, inovatif, dan manusiawi. “Humanocracy isn’t a single intervention or a ‘program.’ It is a new organizational paradigm, built on a foundation of robust, human-centric principles. These principles are the antidote to the toxic assumptions of bureaucracy.” (Hamel & Zanini, 2020, p. 105).
Tabel di bawah ini merangkum ketujuh prinsip inti tersebut, menjelaskan apa yang mereka gantikan dari birokrasi dan bagaimana mereka memanifestasikan dalam praktik.
Tabel Perbandingan: Prinsip-Prinsip DNA Humanokrasi
| Prinsip DNA Humanokrasi | Lawannya dalam Birokrasi | Filosofi Inti | Manifestasi dalam Praktik (Contoh) | |
| 1. Kepemilikan (Ownership) | Ketergantungan & Keterasing-an | Setiap individu harus merasa seperti pemilik misi dan hasil, bukan sekadar karyawanyang melakukan tugas. | – Laba & rugi transparan untuk unit kecil. – Sistem bonus yang terkait langsung dengan kinerja tim. – Kebebasan untuk mengelola anggaran dan sumber daya sendiri. | |
| 2. Pasar (Markets) | Perencana-an & Perintah Terpusat | Dinamika pasar adalah pengalokasi sumber daya yang lebih efisien dan adil daripada birokrasi. | – Tim internal “menjual” jasanya ke tim lain. – Mekanisme internal bidding untuk proyek dan sumber daya. – Harga transfer internal yang mencerminkan nilai nyata. | |
| 3. Meritosis (Meritocracy) | Hierarki & Politik Kekuasaan | Pengaruh harus sebanding dengan kontribusi dan keahlian, bukan dengan jabatan atau senioritas. | – Penganggaran berbasis peer-review. – Proyek dipimpin oleh mereka yang paling kompeten, bukan yang paling tinggi jabatannya. – Sistem reputasi internal yang transparan. | |
| 4. Komunitas (Community) | Kepatuhan & Kontrol | Nilai-nilai bersama, rasa saling percaya, dan tujuan mulia—bukan aturan dan pengawasan—adalah perekat terkuat. | – Misi organisasi yang inspiratif dan autentik. – Ritual dan tradisi yang memperkuat ikatan. – Rekrutmen berdasarkan keselarasan nilai, bukan hanya keterampilan. | |
| 5. Keterbukaan (Openness) | Rahasia & Silo | Informasi adalah kekuatan, dan kekuatan harus didistribusikan. Setiap orang berhak mengakses informasi yang mereka butuhkan. | – Wiki internal dengan semua data keuangan dan strategis. – Forum diskusi terbuka untuk semua kebijakan. – Tidak ada informasi “rahasia” yang hanya untuk manajemen puncak. | |
| 6. Percobaan (Experimentation) | Kepatuhan & Peng-hindaran Risiko | Organisasi adalah laboratorium hidup. Inovasi membutuhkan hak untuk gagal dan bereksperimen. | – Waktu dan anggaran yang dialokasikan khusus untuk eksperimen. – “Pesta kegagalan” untuk membagikan pelajaran. – Proses persetujuan yang dipercepat untuk ide-ide baru. | |
| 7. Paradox (Paradox) | Pemikiran “Either/Or” | Keunggulan datang dari merangkul dan menyintesis tension yang kreatif, bukan memilih satu sisi. | – Berfokus pada menjadi efisien dan adaptif. – Menghargai stabilitas dan perubahan. – Mendorong kolaborasi dan kompetisi internal yang sehat. | |
Dari Visi ke Aksi – Sebuah Perjalanan Revolusioner
Bagian Empat: “The Path to Humanocracy – How Do We Get There?” adalah penutup operasional dari buku Humanocracy. Setelah membangun kasus yang menggugah melawan birokrasi (Bagian Satu) dan memberikan cetak biru prinsip-prinsip alternatifnya (Bagian Tiga), Hamel dan Zanini kini menghadapi pertanyaan yang paling praktis dan menantang: “Bagaimana kita benar-benar melakukan transformasi ini?”
Mereka dengan jujur mengakui bahwa mengubah organisasi yang mapan menuju Humanokrasi bukanlah sebuah “proyek perubahan” biasa. Ini adalah sebuah revolusi—pergeseran kekuasaan yang mendasar. Oleh karena itu, pendekatannya tidak bisa bersifat top-down, linear, atau seperti resep masakan. Sebaliknya, penulis menawarkan sebuah proses yang bersifat emergent, iteratif, dan partisipatif. “The journey to humanocracy cannot be a program driven from the top. It has to be a movement that is built from the inside out and the bottom up. It’s a grassroots revolution.”(Hamel & Zanini, 2020, p. 275).
Tabel di bawah ini merangkum perbedaan mendasar dalam filosofi dan metode untuk mengelola transformasi, yang menjadi inti dari “Jalan Menuju Humanokrasi”.
Tabel Perbandingan: Pendekatan Birokrasi vs. Pendekatan Humanokrasi untuk Perubahan
| Aspek Transformasi | Pendekatan Birokrasi Tradisional (Program Perubahan “Top-Down”) | Pendekatan Humanokrasi (Gerakan “Bottom-Up”) | Rasional & Implikasi |
| 1. Sumber Inisiatif | Dari Puncak Hierarki. Diluncurkan oleh CEO dan tim eksekutif. | Dari Mana Saja. Dimulai oleh siapa saja yang memiliki energi dan ide untuk perubahan. | Perubahan yang dipaksakan dari atas akan selalu ditolak. Perubahan yang dimulai oleh para pelaku itu sendiri memiliki energi dan keberlanjutan yang alami. |
| 2. Strategi Perubahan | “Big Bang” & Perencanaan Master. Rencana detail dengan roadmap, milestone, dan target yang ditetapkan di awal. | Eksperimen & Percontohan (Pilot Projects).Memulai dengan proyek percontohan kecil untuk membuktikan konsep dan belajar. | Dalam sistem yang kompleks, kita tidak bisa memprediksi semua langkah. Kita harus “merasakan dan merespons” (sense and respond). |
| 3. Peran Manajemen Puncak | Pengendali & Sponsor. Menyetujui rencana, mengalokasikan sumber daya, dan meminta laporan kemajuan. | Fasilitator & Penjaga Gerbang. Menciptakan “ruang aman” untuk eksperimen, menghilangkan hambatan birokrasi, dan melindungi para inovator. | Peran pemimpin berubah dari “pengarah chessboard” menjadi “tukang kebun” yang menyiapkan tanah dan menghilangkan gulma. |
| 4. Peran Karyawan | Penerima & Sasaran Perubahan. Diharapkan untuk mengadopsi dan mematuhi program baru. | Pencipta & Pemilik Perubahan. Secara aktif merancang dan mengimplementasikan solusi baru untuk masalah yang mereka hadapi. | Ini adalah prinsip Kepemilikan (Ownership)yang diterapkan pada proses perubahan itu sendiri. |
| 5. Sumber Daya | Anggaran Proyek yang Disediakan. Dana khusus yang dialokasikan dari atas untuk “program transformasi”. | Sumber Daya yang Ditemukan & Disediakan oleh Peer. Menggunakan kelonggaran dalam anggaran yang ada, waktu sukarela, dan dana yang diperoleh melalui mekanisme internal (prinsip Pasar). | Perubahan yang bergantung pada anggaran khusus yang besar itu rapuh. Perubahan yang didanai secara organik oleh mereka yang percaya padanya lebih tangguh. |
| 6. Pengukuran Keberhasilan | Kepatuhan terhadap Rencana & Metrik KPI. Apakah proyek berjalan sesuai jadwal dan anggaran? | Bukti Nyata & Pembelajaran. Apakah pilot project menciptakan hasil yang lebih baik? Apa yang dapat kita pelajari darinya? | Tujuannya bukan untuk “memenuhi rencana”, tetapi untuk belajar apa yang bekerja dalam konteks organisasi tertentu. |
| 7. Tujuan Akhir | Implementasi Sebuah Model. Menerapkan “cara baru yang benar” ke seluruh organisasi. | Pembudayaan Kemampuan Berubah.Membangun kapasitas organisasi untuk terus beradaptasi dan memperbarui diri. | Humanokrasi bukanlah keadaan akhir, tetapi sebuah perjalanan terus-menerus menuju pemberdayaan dan adaptasi yang lebih besar. |
Jalan Menuju Humanokrasi
Bagian ini memberikan kerangka aksi yang dapat ditindaklanjuti, yang dibangun di atas prinsip-prinsip Humanokrasi itu sendiri.
1. Mulailah dengan sebuah Koalisi yang Bersemangat, Bukan dengan sebuah Rencana
Langkah pertama bukanlah membuat presentasi PowerPoint yang meyakinkan untuk CEO, melainkan menemukan orang-orang di seluruh organisasi yang juga merasakan “rasa sakit” birokrasi dan memiliki energi untuk mencoba sesuatu yang baru. Koalisi sukarela inilah—bukan tim tugas resmi—yang akan menjadi mesin perubahan.
2. Identifikasi “Rasa Sakit” yang Nyata, Bukan “Peluang” yang Abstrak
Perubahan harus dimulai dari masalah nyata yang dialami orang setiap hari. Daripada mencoba “mengubah budaya,” mulailah dengan pertanyaan spesifik seperti: “Proses pengajuan pengeluaran kita sangat menyakitkan dan memakan waktu 2 minggu. Bisakah kita membuatnya selesai dalam 2 jam?” Menyelesaikan “rasa sakit” yang nyata menciptakan momentum dan bukti nyata.
3. Jalankan Proyek Percontohan, Bukan Perencanaan Skala Besar
Penulis menekankan kekuatan “proof-of-concept” pilots. Pilih satu tim, satu pabrik, atau satu proses di mana koalisi Anda memiliki energi dan sedikit kebebasan untuk bereksperimen.
- Contoh: Sebuah tim di pabrik dapat diberi wewenang untuk mengatur jadwalnya sendiri, memesan suku cadangnya sendiri, dan berbagi dalam penghematan yang mereka hasilkan.
Kutipan Kunci: “Don’t try to boil the ocean. Start with a single, simmering pot. A successful pilot is worth a thousand PowerPoint slides.” (Hamel & Zanini, 2020, p. 289).
4. Ciptakan “Ruang Aman” untuk Ketidakpatuhan yang Konstruktif
Manajemen puncak memiliki peran kritis: melindungi para perintis ini dari “sistem kekebalan” birokrasi. Ini berarti secara sengaja menangguhkan aturan, prosedur, dan kontrol yang biasa untuk sementara waktu, sehingga pilot project memiliki ruang untuk bernapas dan berhasil.
5. Ukur Apa yang Penting: Hasil, Bukan Kepatuhan
Keberhasilan pilot project harus dinilai berdasarkan hasil bisnis yang nyata—apakah itu peningkatan produktivitas, kepuasan pelanggan, waktu siklus yang lebih cepat, atau peningkatan inovasi. Bukan berdasarkan apakah mereka mengikuti “buku aturan” perubahan.
6. Bagikan Kisah Sukses dan “Jangkiti” Organisasi
Setelah sebuah pilot project berhasil, tugas selanjutnya adalah “menjangkiti” orang lain dengan antusiasme dan pembelajaran. Ini dilakukan dengan:
- Kisah yang Menarik: Bercerita tentang bagaimana sebuah tim kecil mengatasi birokrasi dan mencapai hasil yang luar biasa.
- Mentorship: Anggota tim pilot menjadi mentor dan konsultan bagi area lain yang ingin mencoba.
- Prasarana (Platform): Membuat tool, template, dan proses yang memudahkan area lain untuk mengadopsi praktik baru.
7. Tumbuhkan Gerakan, Jangan Paksakan Program
Pada akhirnya, tujuan dari semua langkah ini adalah untuk menumbuhkan sebuah gerakan yang tak terhentikan dari dalam. Ketika cukup banyak pilot project yang berhasil, ketika cukup banyak orang yang merasakan manfaatnya, dan ketika kisah suksesnya tersebar luas, titik kritis akan tercapai. Perubahan akan berhenti menjadi “proyek” dan mulai menjadi “cara kita melakukan bisnis di sini.”
Relevansi dengan Dunia Saat Ini dan Masa Depan
- Menghadapi Kompleksitas dan Perubahan: Di dunia VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous), organisasi yang kaku dan lamban akan punah. Hanya organisasi yang lincah, adaptif, dan inovatif—karakteristik Humanokrasi—yang akan bertahan.
- Krisis Keterlibatan Karyawan: Gallup secara konsisten melaporkan bahwa sebagian besar karyawan tidak terlibat [3]. Humanokrasi secara langsung menangani akar penyebabnya: kurangnya otonomi, mastery, dan purpose.
- Perang Talenta: Generasi masa depan menginginkan lebih dari sekadar gaji; mereka menginginkan makna, dampak, dan kebebasan. Organasi Humanokratis akan menjadi magnet bagi talenta terbaik.
Relevansi dengan Konteks Indonesia
Menerapkan Humanokrasi di Indonesia adalah sebuah proposisi yang menarik penuh tantangan dan peluang.
Tantangan:
- Budaya Hierarkis yang Kuat (High Power Distance): Budaya “Bapakisme” dan rasa sungkan untuk menyampaikan ide kepada atasan bertentangan langsung dengan prinsip meritosis dan keterbukaan.
- Mentalitas “Nrimo” dan Menunggu Perintah: Dalam beberapa konteks, budaya pasrah dan menunggu instruksi dapat menghambat prinsip kepemilikan dan eksperimen.
- Birokrasi Pemerintah yang Masif: Birokrasi pemerintahan Indonesia adalah contoh sempurna dari model lama, dan reformasinya sangat lambat, memberikan contoh yang tidak ideal bagi sektor swasta.
Peluang:
- Semangat Gotong Royong: Prinsip “Komunitas” dalam Humanokrasi sangat selaras dengan nilai gotong royong—bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
- Kewirausahaan (Entrepreneurship) Alami: Jiwa wirausaha masyarakat Indonesia, yang tercermin dalam banyaknya UMKM, adalah fondasi yang sempurna untuk prinsip “Kepemilikan”. Yang dibutuhkan adalah menyalurkannya ke dalam organisasi yang lebih besar.
- Demografi Muda: Generasi muda Indonesia yang melek digital dan seringkali lebih kritis terhadap struktur otoriter tradisional mungkin justru lebih siap menerima model Humanokrasi.
Kritik dan Apresiasi
- Apresiasi: Buku ini dipuji karena argumennya yang persuasif dan penuh gairah melawan birokrasi. Sebuah ulasan di Forbes menyebutnya “sebuah buku yang penting dan tepat waktu… sebuah peta jalan yang jelas untuk membebaskan potensi manusia di tempat kerja.” [4]. Penelitian yang mendalam dan contoh dunia nyata membuat argumennya sangat meyakinkan.
- Kritik:
- Keterlaluan dan Sulit Diterapkan: Kritik utama adalah bahwa transformasi semacam ini sangat sulit dan mengganggu untuk organisasi besar yang mapan. Mengubah budaya dan struktur yang telah mengakar selama puluhan tahun adalah tugas Herkulean.
- Mengabaikan Peran Manajemen Menengah: Buku ini sering menggambarkan manajer menengah sebagai penghalang, tetapi sedikit membahas bagaimana mereka yang terampil dan bermaksud baik dapat ditransisikan perannya dalam model baru.
- Potensi Kekacauan: Tanpa struktur hierarkis sama sekali, beberapa pengamat khawatir organisasi bisa jatuh ke dalam kekacauan atau “anarki yang teratur” yang hanya cocok untuk jenis orang dan industri tertentu.
Catatan Akhir: Pemberdayaan Radikal
“Humanocracy” pada akhirnya adalah lebih dari sekadar buku manajemen; ini adalah sebuah traktat moral tentang martabat manusia di tempat kerja. Ini adalah seruan untuk memberontak terhadap mesin tanpa jiwa yang telah kita bangun dan memperjuangkan organisasi yang menghargai kebijaksanaan, kreativitas, dan semangat setiap individu.
Buku ini mengajak kita untuk percaya bahwa manusia pada dasarnya adalah kreatif, bertanggung jawab, dan ingin berkontribusi. Tugas kita adalah membangun organisasi yang mencerminkan keyakinan itu. Sebagaimana dikatakan penyair dan filsuf Amerika, Ralph Waldo Emerson: “Ini adalah salah satu berkasiah terindah persahabatan, – untuk memahami dan dipahami.” [5]. Sebuah organisasi Humanokratis berusaha untuk memahami dan memercayai orang-orang di dalamnya, dan pada gilirannya, mendapatkan pemahaman dan kepercayaan mereka.
Catatan ini ditutup dengan pesan yang memberdayakan. Jalan menuju Humanokrasi tidak dimulai di suite eksekutif. Itu dimulai dengan Anda. Andalah perubahannya. “The battle against bureaucracy will be won by heretics, not by hierarchs. It will be won by those who are more committed to the mission than to the rules, who are more passionate about progress than about protocol… The question is not whether your organization is ready for humanocracy. The question is whether you are.” (Hamel & Zanini, 2020, p. 315).
Dengan demikian, “The Path to Humanocracy” adalah sebuah undangan sekaligus tantangan bagi setiap pembaca. Ini adalah peta untuk sebuah perjalanan yang tidak mudah tetapi sangat penting, yang menuntut keberanian, ketekunan, dan keyakinan bahwa organisasi yang lebih manusiawi bukan hanya sebuah impian, tetapi sebuah pilihan yang dapat kita wujudkan, satu langkah percobaan pada satu waktu.
Untuk Indonesia, yang sedang berjuang dengan inefisiensi birokrasi dan berusaha mengejar inovasi, pesan Humanokrasi bukanlah sebuah kemewahan, tetapi sebuah kebutuhan. Dengan memberdayakan semangat gotong royong dan kewirausahaan warganya, Indonesia dapat membangun organisasi yang tidak hanya sukses secara ekonomi, tetapi juga menjadi kebanggaan kolektif—organisasi yang benar-benar sehebat orang-orangnya.
Cirebon, 26 November 2025
Dwi Rahmad Muhtaman
Referensi
[1] Hamel, G., & Zanini, M. (2020). Humanocracy: Creating Organizations as Amazing as the People Inside Them. Harvard Business Review Press.
[2] Ibid.
[3] Gallup. (2022). State of the Global Workplace Report. Retrieved from https://www.gallup.com/workplace/349484/state-of-the-global-workplace.aspx
[4] Coster, H. (2020, August 18). Review: ‘Humanocracy’ Makes The Case For Dismantling Bureaucracy. Forbes. Retrieved from https://www.forbes.com/sites/helencoster/2020/08/18/review-humanocracy-makes-the-case-for-dismantling-bureaucracy/
[5] Emerson, R. W. (1841). Essays: First Series. “Friendship”.






