Industri perkebunan seperti kelapa sawit dan hutan tanaman penghasil pulp dan kertas seringkali menjadi sorotan dalam hal perusakan lingkungan, deforestasi, atau perebutan lahan dengan masyarakat. Padahal, perkebunan adalah komoditas andalan penghasil devisa bagi Indonesia sejak jaman nenek moyang. Misalnya untuk produksi kelapa sawit, Indonesia merupakan penghasil sawit terbesar di dunia, menurut Palm Oil Production by Country. Kelapa sawit yang dihasilkan yaitu 43,5 juta ton menggeser posisi Malaysia yang menghasilkan 19,3 juta ton kelapa sawit. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 2019, 38,26% kelapa sawit yang dihasilkan berasal dari perkebunan rakyat, 56% berasal dari perusahaan perkebunan swasta, dan 5,74% berasal dari perusahaan perkebunan negara. Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap industri perkebunan kelapa sawit yang sangat tinggi, sehingga mustahil untuk melarang perkembangan bisnis kelapa sawit.
Hal yang sama berlaku untuk hutan tanaman industri pulp dan kertas. Indonesia menempati posisi ke-sepuluh penghasil pulp terbesar di dunia dan peringkat ke-enam untuk penghasil kertas di dunia (IDN Times). Isu lingkungan yang sering diberitakan terkait kerusakan habitat satwa langka seperti Orangutan, Harimau, dan Gajah menjadi salah satu tantangan bagi perusahaan perkebunan untuk terus beroperasi.
Untuk menyeimbangkan antara keberadaan perkebunan sebagai sumber penghasil devisa yang sudah menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat dan meminimalisir kerusakan yang dihasilkan dari proses pembangunan perkebunan, maka lahirlah skema sertifikasi yang menjamin kelestarian nilai-nilai konservasi yang berada di dalam atau di sekitar kawasan perkebunan. Perusahaan-perusahaan besar seperti Sinarmas Agribusiness and Food dan PT Toba Pulp Lestari dari APRIL Grup termasuk yang berkomitmen terhadap skema sertifikasi dari masing-masing industri. Untuk kelapa sawit skema yang diikuti adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan untuk hutan tanaman industri skema yang diikuti adalah Forest Stewardship Council (FSC).
Skema sertifikasi ini mensyaratkan daftar panjang yang harus dipenuhi oleh perusahaan, mencakup jasa lingkungan, komitmen terhadap masyarakat, tenaga kerja, dan rantai pasok. Salah satu yang paling menjadi sorotan yaitu kawasan bernilai konservasi tinggi atau High Conservation Value (HCV) yang harus ditentukan terlebih dahulu sebelum proses pembukaan lahan berlangsung. Penentuan area bernilai konservasi tinggi ini dipertimbangkan dari enam aspek; keragaman hayati, ekosistem unik, keterhubungan lanskap, jasa lingkungan, jaminan terhadap ekonomi masyarakat, dan pelestarian tradisi budaya.
Tantangan selanjutnya adalah ketika suatu area ditetapkan mengandung nilai konservasi tinggi (HCV) dan dikeluarkan dari rencana pembangunan perkebunan untuk dipertahankan kelestariannya, maka apa yang dilakukan perusahaan terhadap area tersebut? Apakah dibiarkan begitu saja? Bagaimana cara pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan, dan bagaimana seharusnya pengelolaan area HCV yang baik dan benar menurut buku panduan?
Asia Institute of Knowledge (AiKnow) by Remark Asia telah rutin mengadakan serial diskusi online mencakup aspek-aspek sustainability di bidang industri perkebunan. Sesi kali ini merupakan sesi ke-sepuluh yang akan membahas mengenai pengelolaan dan pemantauan area HCV berdasarkan pengalaman dari unit manajemen perkebunan. Dari industri Kelapa Sawit akan diwakili oleh Sandy Puspoyo (HCV ALS Lead Assessor) selaku Forest Conservation Officer dari Sinarmas Agribusiness and Food, dan dari Hutan Tanaman Industri akan diwakili oleh Oryza Sativa Simanjuntak (HCS Registered Practitioner) selaku Strategic Planning Manager PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) APRIL Grup. Keduanya merupakan alumni dari Asia Institute of Knowledge yang telah mengikuti pelatihan HCV ALS Lead Assessor dan High Carbon Stock Training. Remark Asia selaku perusahaan konsultan yang bergerak di bidang sustainability juga akan memberikan pandangan terhadap pengelolaan dan pemantauan yang seharusnya dilakukan berdasarkan panduan yang ada, dan akan diwakili oleh Cecep Saepulloh Direktur dan Founder PT Remark Asia.
Acara akan diadakan pada Kamis, 22 Oktober 2020 melalui Zoom App, pukul 10.00 – 12.00 WIB. Tersedia e-certificate bagi peserta yang dapat menjawab tiga pertanyaan dengan benar pada akhir acara. Klik tombol di bawah ini untuk mengisi formulir pendaftaran atau klik pada gambar.
See you online!
Sustaining Sustainability
(HSL).
Hal yang sama berlaku untuk hutan tanaman industri pulp dan kertas. Indonesia menempati posisi ke-sepuluh penghasil pulp terbesar di dunia dan peringkat ke-enam untuk penghasil kertas di dunia (IDN Times). Isu lingkungan yang sering diberitakan terkait kerusakan habitat satwa langka seperti Orangutan, Harimau, dan Gajah menjadi salah satu tantangan bagi perusahaan perkebunan untuk terus beroperasi.
Untuk menyeimbangkan antara keberadaan perkebunan sebagai sumber penghasil devisa yang sudah menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat dan meminimalisir kerusakan yang dihasilkan dari proses pembangunan perkebunan, maka lahirlah skema sertifikasi yang menjamin kelestarian nilai-nilai konservasi yang berada di dalam atau di sekitar kawasan perkebunan. Perusahaan-perusahaan besar seperti Sinarmas Agribusiness and Food dan PT Toba Pulp Lestari dari APRIL Grup termasuk yang berkomitmen terhadap skema sertifikasi dari masing-masing industri. Untuk kelapa sawit skema yang diikuti adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan untuk hutan tanaman industri skema yang diikuti adalah Forest Stewardship Council (FSC).
Skema sertifikasi ini mensyaratkan daftar panjang yang harus dipenuhi oleh perusahaan, mencakup jasa lingkungan, komitmen terhadap masyarakat, tenaga kerja, dan rantai pasok. Salah satu yang paling menjadi sorotan yaitu kawasan bernilai konservasi tinggi atau High Conservation Value (HCV) yang harus ditentukan terlebih dahulu sebelum proses pembukaan lahan berlangsung. Penentuan area bernilai konservasi tinggi ini dipertimbangkan dari enam aspek; keragaman hayati, ekosistem unik, keterhubungan lanskap, jasa lingkungan, jaminan terhadap ekonomi masyarakat, dan pelestarian tradisi budaya.
Tantangan selanjutnya adalah ketika suatu area ditetapkan mengandung nilai konservasi tinggi (HCV) dan dikeluarkan dari rencana pembangunan perkebunan untuk dipertahankan kelestariannya, maka apa yang dilakukan perusahaan terhadap area tersebut? Apakah dibiarkan begitu saja? Bagaimana cara pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan, dan bagaimana seharusnya pengelolaan area HCV yang baik dan benar menurut buku panduan?
Asia Institute of Knowledge (AiKnow) by Remark Asia telah rutin mengadakan serial diskusi online mencakup aspek-aspek sustainability di bidang industri perkebunan. Sesi kali ini merupakan sesi ke-sepuluh yang akan membahas mengenai pengelolaan dan pemantauan area HCV berdasarkan pengalaman dari unit manajemen perkebunan. Dari industri Kelapa Sawit akan diwakili oleh Sandy Puspoyo (HCV ALS Lead Assessor) selaku Forest Conservation Officer dari Sinarmas Agribusiness and Food, dan dari Hutan Tanaman Industri akan diwakili oleh Oryza Sativa Simanjuntak (HCS Registered Practitioner) selaku Strategic Planning Manager PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) APRIL Grup. Keduanya merupakan alumni dari Asia Institute of Knowledge yang telah mengikuti pelatihan HCV ALS Lead Assessor dan High Carbon Stock Training. Remark Asia selaku perusahaan konsultan yang bergerak di bidang sustainability juga akan memberikan pandangan terhadap pengelolaan dan pemantauan yang seharusnya dilakukan berdasarkan panduan yang ada, dan akan diwakili oleh Cecep Saepulloh Direktur dan Founder PT Remark Asia.
Acara akan diadakan pada Kamis, 22 Oktober 2020 melalui Zoom App, pukul 10.00 – 12.00 WIB. Tersedia e-certificate bagi peserta yang dapat menjawab tiga pertanyaan dengan benar pada akhir acara. Klik tombol di bawah ini untuk mengisi formulir pendaftaran atau klik pada gambar.
See you online!
Sustaining Sustainability
(HSL).