halaman drm #37
Handala: Melintas Samudra ke Gaza
Dwi R. Muhtaman
“Handala tak akan berbalik sampai Palestina merdeka.
Kapal ini pun tak akan berhenti berlayar
sampai blokade Gaza runtuh.”
— Pernyataan koalisi Freedom Flotilla.
Daftar Isi
Di sebuah kamp pengungsi di Lebanon pada tahun 1969, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun berdiri membelakangi dunia. Rambutnya acak-acakan. Bajunya compang-camping. Kakinya telanjang. Ia tak pernah menampakkan wajahnya. Selalu membelakangi. Tak pernah berbalik menghadapkan wajahnya. Tetapi sikapnya berbicara lebih keras dari teriakan—sebuah sikap perlawanan yang bisu. Anak ini adalah Handala. Karakter ikonik yang lahir dari pena kartunis Palestina Naji al-Ali. Handala hidup dalam sanubari dan ingatan rakyat Palestina, bertahun-tahun, dekade demi dekade. Handala adalah simbol perlawanan yang tak kan pernah terhapuskan. Ia adalah jiwa dan semangat perjuangan. Ia api yang menyala dimana-mana.
Kini, namanya diabadikan pada kapal Freedom Flotilla yang berlayar menembus blokade Gaza. Hari ini adalah hari kedua layar Handala terkembang. Mengangkat sauh dari tempat yang jauh, Siracusa, Italia menuju Gallipoli untuk selanjutkan menerjang ombak lautan menuju Gaza.
Koalisi Freedom Flotilla (FFC) mengumumkan bahwa kapal bantuan sipil mereka, Handala, telah resmi berlayar menuju Gaza. Handala meninggalkan pelabuhan Siracuse pada 13 Juli 2025 dan menjadi bagian dari upaya berani untuk menentang blokade ilegal dan mematikan yang diterapkan Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza. Kapal ini membawa bantuan kemanusiaan penyelamat nyawa serta pesan solidaritas dari masyarakat dunia yang menolak berdiam diri melihat Gaza dilanda kelaparan, pemboman, dan terkubur reruntuhan. Sejumlah 15 aktifis berlayar bersama Handala.
Misi ini diluncurkan hanya beberapa pekan setelah serangan ilegal Israel terhadap kapal Madleen, salah satu kapal Freedom Flotilla lainnya, yang diserang secara brutal di perairan internasional. Dua belas warga sipil tidak bersenjata—termasuk seorang Anggota Parlemen Eropa, dokter, jurnalis, dan pembela HAM—diculik oleh pasukan komando Israel dan dibawa secara paksa ke Israel, tempat mereka diinterogasi, disiksa, lalu dideportasi. “Kejahatan” mereka? Berusaha membawa makanan, obat-obatan, dan solidaritas untuk warga Palestina yang terkepung.
“Kami tidak akan mundur,” kata siaran pers dari FFC1
Handala berlayar di tengah bayangan kekejaman massal yang masih berlangsung. Sejak 18 Maret 2025, ketika Israel melanggar gencatan senjata dan melanjutkan serangan ke Gaza, setidaknya 6.572 warga Palestina tewas dan lebih dari 23.000 luka-luka (menurut Kementerian Kesehatan Gaza). Di antara korban, lebih dari 700 orang ditembak mati saat mengantri makanan di pos distribusi yang dikendalikan oleh “Gaza Humanitarian Foundation” (GHF)—sebuah skema bantuan palsu yang didukung AS dan Israel, yang justru menjadi perangkap maut dan alat kontrol untuk mendukung genosida Israel.
Handala adalah bagian dari Freedom Flotilla Coalition, jaringan akar rumput internasional yang telah berlayar melawan blokade sejak 2010. Di atas kapal ini, relawan terdiri dari tenaga medis, pengacara, aktivis keadilan sosial, jurnalis, dan penggerak masyarakat. Kami bukan pemerintah. Kami adalah rakyat biasa, yang bertindak ketika institusi gagal.
Untuk Anak-Anak Gaza
Dinamai Handala—karikatur anak pengungsi Palestina yang telanjang kaki dan membelakangi ketidakadilan, bersumpah tidak akan berbalik sampai Palestina merdeka—kapal ini membawa semangatnya dan semangat setiap anak Gaza yang dirampas keselamatan, martabat, dan kebahagiaannya. Pada 2023-2024, Handala berlayar ke berbagai pelabuhan di Eropa dan Inggris, menerobos blokade media, mengedukasi publik, dan membangun solidaritas melalui acara pers, instalasi seni, dan pendidikan politik di setiap pelabuhan yang disinggahi.
Anak-anak Gaza—yang mencakup lebih dari separuh populasi—telah hidup di bawah blokade dan pengepungan brutal sepanjang hidup mereka. Sejak Oktober 2023, lebih dari 50.000 anak tewas atau terluka, puluhan ribu menjadi yatim piatu, dan hampir satu juta orang terusir secara paksa dan kehilangan rumah. Mereka kini menghadapi kelaparan, penyakit, dan trauma yang sulit dibayangkan.
Misi ini untuk mereka.
Kelahiran Sebuah Simbol Perlawanan
Naji al-Ali menciptakan Handala pertama kali di koran Kuwait Al-Siyasa pada tahun 1969. Saat itu, al-Ali sendiri adalah seorang pengungsi Palestina yang terusir dari desanya, Al-Shajara, saat Nakba 1948.2 Dalam wawancara sebelum kematiannya, ia bercerita: “Handala adalah aku pada usia 10 tahun, saat aku dipaksa meninggalkan Palestina. Aku menggambarnya tanpa wajah karena dia adalah setiap anak Palestina. Dia sengaja tak berbalik, karena dia tak akan menunjukkan wajahnya sampai tanah airnya merdeka.”
Itulah ciri khas Handala: Selalu membelakangi pembaca, kecuali dalam beberapa sketsa langka saat ia menatap penggusuran atau pembantaian. Kaki telanjang sebagai simbol kemiskinan dan keterusiran. Tangan terkepal di belakang, tanda penolakan terhadap solusi palsu dan kompromi.
Naji al-Ali adalah seorang kartunis dan seniman Palestina yang dikenal karena ketajaman politiknya serta kreativitasnya yang tak tertandingi. Karyanya dari tahun 1960-an hingga 1980-an menggambarkan perjuangan rakyat Palestina dan mengkritik tindakan Israel serta Amerika Serikat. Melalui kartun-kartunnya yang kuat dan menggugah, Naji al-Ali dengan berani menantang status quo dan mengungkap ketidakadilan serta ketimpangan yang dialami oleh rakyat Palestina. Ia dengan cepat menjadi simbol perlawanan dan harapan bagi komunitasnya dan dunia. Barangkali inilah yang membuat Pablo Neruda (Penyair Chili, Aktivis Politik) relevan:
“Seniman harus memilih: menjadi budak atau pemberontak. Di dunia yang penuh ketidakadilan, diam adalah pengkhianatan.” 3
Al-Ali adalah pelopor dalam bidang kartun politik. Ia menggunakan seninya untuk menyuarakan kebenaran kepada penguasa dan dengan gigih membela hak-hak rakyat Palestina. Meski menghadapi banyak ancaman, ia melintasi batas-batas dalam dunia aktivisme politik, jurnalisme, dan kartun dengan tetap teguh pada komitmennya untuk menggunakan seni sebagai alat perlawanan dan perubahan sosial. Gambar-gambar yang diciptakan al-Ali begitu kuat sehingga beberapa di antaranya menjadi ikonik dan masih digunakan hingga hari ini.4
Dalam perjalanan gelombang sejarah Palestina Handala bukan sekadar karakter komik—ia adalah saksi bisu dari setiap tragedi Palestina: Pada 1970-an (Black September), Handala muncul di koran-koran Arab, mengamati pembantaian pengungsi Palestina di Yordania.
Ketika terjadi pembantaian Sabra-Shatila (1982), Naji al-Ali menggambar Handala menangis di atas tumpukan mayat, kali ini dengan wajah yang samar-samar terlihat.5 Dan pada 1987 (Intifada Pertama), gambar Handala melemparkan batu menjadi simbol perlawanan anak-anak Palestina.
Naji al-Ali tewas dibunuh di London pada 1987—pelakunya tak pernah terungkap. Tapi Handala hidup lebih lama dari penciptanya.
Hidup di Pengasingan
Nama lengkapnya Naji Salim al-Ali. Masa kecil seperti akar pahit yang menumbuhkan perlawanan. Ia lahir pada 1937 di desa Al-Shajara, Galilea (Palestina utara). Saat itu, Palestina masih di bawah mandat Inggris. Keluarganya berasal dari desa Al-Shajara atau Ashadra di wilayah Galilea, di Palestina utara.
Ketika usianya baru 10 tahun, hidupnya berubah selamanya. Pada 1948, pasukan Zionis menyerbu desanya dalam peristiwa Nakba (“bencana”), memaksa keluarganya mengungsi ke kamp pengungsi Ain al-Hilweh di Lebanon. “Aku ingat betul bagaimana ibuku menggenggam tanganku erat-erat saat kami lari. Kami pikir ini hanya sementara. Tapi ternyata, kami tak pernah bisa pulang.”
— Naji al-Ali dalam wawancara terakhirnya.
Mereka terpaksa mengungsi saat Nakba (Malapetaka) 1948, ketika milisi Zionis mengusir lebih dari 700.000 warga Palestina dari tanah mereka. Al-Ali dan keluarganya melarikan diri ke kamp pengungsi dan akhirnya menetap di kamp pengungsi Ain al-Hilweh di Lebanon selatan, hidup dalam kemiskinan. Usianya pada saat itu 10 tahun di tahun 1948 ketika al-Ali dan keluarganya diusir paksa dari desa mereka, Ashadra.
Pengalamannya sebagai pengungsi selamanya membentuk seninya dan memengaruhi pandangannya terhadap politik Arab dan Barat. Meski demikian, ia menunjukkan bakat menggambar sejak kecil dan didukung keluarganya untuk menekuni seni. Pada usia 12 tahun, ia mulai bekerja serabutan di Beirut untuk membantu ekonomi keluarga, namun tetap terus menggambar.
Dalam diaspora Palestina inilah Naji al-Ali tumbuh.
Pada 1960-an, sebagai pemuda, al-Ali bekerja untuk berbagai surat kabar dan majalah Arab. Kartun-kartunnya dikenal karena kecerdasan dan komentar politiknya yang tajam, dan dengan cepat mendapatkan banyak penggemar di kalangan pembaca Arab. Dalam banyak karyanya, ia menggambarkan perjuangan warga Palestina yang hidup di bawah pendudukan Israel, menyoroti kekerasan dan diskriminasi yang mereka alami. Naji al-Ali mengungkap apa yang ia yakini sebagai “selimut kebohongan” yang menyelimuti dunia. Hal ini mengubah cara orang memandang perjuangan Palestina. Seperti kata Arundhati Roy (Penulis India, Aktivis) pada pidato di World Social Forum, 2003: “Tugas seniman adalah menyampaikan apa yang tidak bisa diucapkan oleh korban. Ketika hukum membungkam, seni harus berteriak.” 6
Di kamp pengungsi, Naji kecil bekerja serabutan—dari buruh tani hingga penjaja teh—sambil menyaksikan langsung penderitaan bangsanya. Pengalaman inilah yang kelak membentuk karakternya: keras, jujur, dan tak mau kompromi.
Mengapa Kapal Freedom Flotilla dinamai Handala? Pada Mei 2024, aktivis kemanusiaan mengumumkan kapal terbaru Freedom Flotilla dinamai “Handala.” Alasannya: Spirit yang sama. Seperti Handala, flotilla ini adalah simbol perlawanan tanpa kekerasan terhadap blokade Gaza.
Anak-anak sebagai korban: 40% korban di Gaza adalah anak-anak—generasi Handala masa kini.
Pesan politik: Kapal ini menantang dunia untuk tidak membelakangi penderitaan Gaza, persis seperti prinsip Handala.
“Handala tak akan berbalik sampai Palestina merdeka. Kapal ini pun tak akan berhenti berlayar sampai blokade Gaza runtuh.”
— Pernyataan koalisi Freedom Flotilla.
Handala Hari Ini: Dari Komik ke Realitas
Handala kini bukan sekedar komik atau tokoh imajinatif. Ia telah berubah menjadi simbol perlawanan. Menjadi street art dan grafiti yang menghiasi tembok-tembok di Tepi Barat, Beirut, bahkan Berlin. Handala menjadi simbol global yang dipakai di poster-poster protes dari London hingga Jakarta. Ia muncul di serial “The Looming Tower” (Hulu) dan novel grafis “Palestine” karya Joe Sacco.7 Sebagai sebuah simbol perlawanan maka ia membakar semangat. Membangun solidaritas. Menyentuh hati nurani. Dan menggerakkan langkah untuk bertindak dengan segala kemampuan, seperti seorang anak yang melakukan apapun semampunya untuk mencapai tujuan.
Tapi yang paling menyentuh adalah kisah nyata di baliknya: Pada 2018, seorang anak Gaza menggambar Handala di reruntuhan rumahnya yang dibom Israel. Di bawahnya ia menulis:
“Aku masih di sini, dan aku masih membelakangi mereka.”
Handala diciptakan sebagai anak 10 tahun, dan ia akan tetap seperti itu—abadi dalam usia, tetapi terus bertumbuh dalam makna. Kini, ketika kapal Handala berlayar mengarungi Mediterania, ia membawa pesan yang sama seperti karakter komiknya: “Kami mungkin kecil, kami mungkin telanjang, tapi kami tak akan pergi. Dan suatu hari, kami akan berbalik—untuk menunjukkan wajah kemenangan.”
“Handala bukan milik Palestina saja. Dia milik setiap orang yang menolak tunduk.”
—Mahmoud Darwish.
Awal karier Naji al-Ali adalah buruh migran. Bakat dari kegemarannya menggambar menjadikannya ia seorang seniman. Hidupnya yang berada dalam lingkungan dan kondisi pendudukan dan penjajahan membuatnya ia belajar tentang revolusi. Dan ia menjelma menjadi seniman revolusi. Seniman yang menjadi suara palestina, hingga tetesan darah terakhir
Pada 1950-an Naji muda bekerja di Beirut sebagai buruh bengkel, tapi bakat menggambarnya terlihat. Seorang guru seni di kamp pengungsi, Fatima al-Husseini, memberinya krayon dan kertas bekas. Ia ditangkap pada 1960 karena kartun kritiknya terhadap pemerintah Lebanon yang korup. Di penjara, ia justru bertemu aktivis Palestina yang memperkenalkannya pada gerakan pembebasan. Pada 1963 bergabung dengan koran Kuwait Al-Siyasa, di mana gaya satirnya mulai dikenal.
Pada 1969, Naji menciptakan Handala—bocah pengungsi berambut kusut yang selalu membelakangi pembaca. Karakter ini adalah alter ego-nya: “Handala adalah aku di usia 10 tahun, saat aku diusir dari Palestina. Dia tak akan berbalik sampai tanah airnya merdeka. Kakinya telanjang karena kami miskin, tapi kepalanya tegak karena kami tak mau dikasihani.” Handala menjadi simbol rakyat Palestina yang tak bisa dibungkam.
Dan simbol-simbol dalam Karya al-Ali inilah yang memberi kekuatan pada kartun Handala.
Simbol yang sering muncul dalam kartun al-Ali adalah kunci, yang melambangkan hak warga Palestina untuk kembali ke tanah air mereka. Kunci ini sering digambarkan di tangan Fatima, karakter yang melambangkan tanah air Palestina. Di sisi lain, karakter penindas dalam kartun al-Ali sering digambarkan sebagai sosok kaya dan berkuasa, mewakili kekuatan yang berusaha mengontrol dan mengeksploitasi orang-orang yang tertindas. Karakter ini sering digambarkan dikendalikan oleh kekuatan Barat.
Simbol lain yang muncul dalam kartun al-Ali termasuk Bunga sebagai simbol ketahanan.
Pohon zaitun sebagai simbol akar yang dalam dari warga Palestina di tanah leluhur mereka.
Kartun-kartun al-Ali dibuat untuk orang biasa—setiap orang bisa memahaminya. Dan itulah kekuatannya. Al-Ali mampu menyampaikan isu-isu kompleks dan bernuansa tentang Timur Tengah dan dunia secara keseluruhan melalui kartun sederhana. Kejeniusannya terletak pada kemampuannya menggunakan simbol untuk menyampaikan pesan.
Aktivisme: Kartun sebagai Senjata
Naji al-Ali bukan sekadar kartunis. Ia adalah pejuang pena yang mengkritik rezim Arab. Ia mengejek pemimpin Arab yang “berpura-pura mendukung Palestina” sambil berbisnis dengan Israel. Naji juga menyerang imperialisme AS. Dalam satu kartun, ia menggambar Patung Liberty memegang senapan. Tetapi yang pebih penting lagi adalah aksi-aksi kartun pada dasarnya menunjukkan sikap tegasnya membela rakyat kecil. Kartun-kartunnya selalu berpihak pada petani, buruh, dan anak-anak Palestina.
Karena sikap kritis itulah ia diusir dari Kuwait pada 1985 karena kartun anti-monarki. Ia diancam mati oleh Israel, rezim Arab, bahkan kelompok Palestina yang tak suka kritiknya.
Pada suatu hari, 22 Juli 1987, Naji al-Ali seperti biasa pergi ke kantor koran Al-Qabas di London, tempat ia berkarya dan mempublikasikan kartun-kartunnya. Di depan kantor itulah Ia ditembak di leher. Ia tewas 5 minggu kemudian tanpa pernah sadarkan diri.
Pelakunya tak pernah tertangkap. Spekulasi kuat mengarah ke Mossad (Israel) atau agen Arab yang merasa terancam. Sebelum tewas, ia menggambar kartun terakhir: Handala menatap kuburan dengan tulisan “Palestina”.
“Aku akan mati, tapi Handala akan hidup.”
— Pesan terakhir Naji kepada temannya.
Mengapa Handala menjadi fenomenal dan mendapatkan tempat terhormat baik dalam media populer maupun dunia perlawanan atas penjajahan? Handala memang bukan sekedar kartun. Ia adalah pesan dan prinsip. Jujur pada Prinsip: Naji menolak sogokan dan tawaran jabatan. “Lebih baik mati daripada jadi budak rezim,” katanya. Seni untuk Rakyat: Kartunnya sengaja dibuat sederhana agar dimengerti petani dan anak-anak. Kritik tanpa rasa takut: Ia mengkritik semua pihak—Israel, AS, PLO, bahkan Arab Saudi—tanpa memihak.
Spirit Handala:
“Kami mungkin kecil dan telanjang, tapi kami tak akan pergi.”
Handala kini jadi simbol global perlawanan, dari tembok Gaza hingga mural di Chile.
Setiap tahun, ribuan seniman memperingati kematiannya dengan pameran “Art Under Occupation.” Kisah hidupnya difilmkan dalam “Naji al-Ali: An Artist with Vision” (Al Jazeera).8
Naji al-Ali mengajarkan kita bahwa “Kebenaran tak butuh senjata. Sebuah gambar bisa lebih menakutkan dari peluru, dan lebih abadi dari rezim mana pun.”
Sepanjang hidupnya, al-Ali terus berusaha mengungkap kemunafikan dan menantang status quo. Ia mengubah cara dunia memandang kartun, Palestina, dan peran seni dalam masyarakat.
Victor Navasky menulis dalam bukunya The Art of Controversy: “Tidak ada subjek yang ditulis dengan lebih penuh gairah, kepahitan, dan bias selain Palestina dan Israel, Arab dan Yahudi. Namun, sulit memikirkan jurnalis cetak lain yang meliput topik itu lalu dibunuh atau diserang karena tulisannya.” Hidup al-Ali dipersingkat ketika ia dibunuh pada 1987. Ia sedang dalam perjalanan ke kantor berita Al-Qabas di Knightsbridge, London, ketika ditembak di belakang leher. Ia baru berusia 52 tahun.
Dalam sebuah wawancara dengan putranya, Khalid al-Ali, ia berkata: “Naji membayar harga karena jujur kepada pembacanya.” Al-Ali memegang kekuasaan melalui penanya dan melampaui batas dalam kartun politik dan aktivisme sosial. Sebab seperti tulis Edward Said (Intelektual Palestina): “Musik, sastra, dan film adalah medan pertempuran budaya. Di sinilah kami melawan stereotip yang menjajah pikiran.” (Culture and Imperialism, 1993).
Pada 2017, polisi London membuka kembali kasus pembunuhannya, tetapi hingga kini pembunuhnya belum ditemukan. Namun, warisan al-Ali sebagai tokoh yang dihormati dalam keadilan sosial dan hak asasi manusia tetap hidup melalui seninya.
Banyak orang menganggapnya sebagai syahid karena ia mampu memberikan suara kepada yang tak bersuara dan kekuatan kepada yang lemah.
Karya-Karya Naji al-Ali: Kartun yang Menjadi Senjata Perlawanan
Naji al-Ali menghasilkan lebih dari 40.000 kartun politik selama hidupnya, yang sebagian besar belum dibukukan. Namun, beberapa koleksi penting karyanya telah diarsipkan dan diterbitkan. Berikut beberapa karya beserta analisisnya.
Koleksi kartun terkenal antara lain “A Child in Palestine: The Cartoons of Naji al-Ali” (2009). Ini merupakan kumpulan 100+ kartun orisinal yang menggambarkan penderitaan Palestina dari 1969–1987.9“Naji al-Ali: The Symbol of Resistance” (2017, Arabic). Koleksi langka kartun yang mengecam korupsi pemimpin Arab. Kartun berjudul “Pemimpin Arab dan Boneka Israel” (1978) digambarkan dengan Raja dan presiden Arab menari di atas peta Palestina sambil menggendong boneka Zionis. Pesan: “Mereka menjual Palestina untuk jabatan.”
Disamping kartun Naji al-Ali juga menulis esai dan puisi. Esai dan catatan harian yang jarang dipublikasikan. Beberapa kutipan terkenal: Catatan dari Penjara (1960): “Mereka mengurungku di sel sempit, tapi mereka tak bisa mengurung pikiranku. Aku menggambar di dinding dengan arang: wajah-wajah anak Palestina yang mereka bunuh.”
Surat untuk Handala (1985): “Handala, kau dan aku tahu: kebenaran itu seperti matahari. Mereka bisa menutup matamu, tapi tak bisa menghentikan terbitnya.”
Mengapa karyanya masih relevan? Kritiknya tentang apartheid Israel mirip dengan laporan Amnesty International 2022. Gambaran korupsi pemimpin Arab terlihat dalam skandal “Palestine Papers” (Al Jazeera, 2011). Handala menjadi simbol global untuk gerakan seperti BDS (Boycott, Divestment, Sanctions).
“Naji al-Ali membuktikan: pena bisa lebih tajam dari pedang, dan kartun bisa lebih berbahaya dari bom.”
— Rashid Khalidi, sejarawan Palestina.
Ketika banyak seniman dunia bersuara lantang menentang apartheid Israel, ketika para artis menyuarakan keberpihakannya pada Palestina yang tertindas, maka seni bukan lagi hanya sebuah media kreasi. Ia telah menjadi ruang bagi para seniman untuk membela kebenaran. Berpihak pada jalan sejarah yang benar. Melawan segala kedholiman. Melawan pendudukan dan penjajajah. Melawan penghinaan terhadap kemanusiaan.
Para seniman itu menggunakan platform yang dikuasainya untuk bersuara. Bersuara dengan lantang dan tegas. Meski mereka tahu risiko yang dihadapi. Tetapi mereka paham setiap perjuangan adalah jalan terjal penuh batu tajam.
“Kolonialisme merampas bahasa kami,” tulis Penulis Kenya, Ngũgĩ wa Thiong’o, “tapi seni adalah alat untuk merebutnya kembali. Setiap tarian, setiap lukisan, adalah deklarasi kemerdekaan.” (Decolonising the Mind, 1986).
***
Desa Tidung Pale, Kabupaten Tana Tidung,
Kalimantan Utara,
15 Juli 2025
1 https://freedomflotilla.org/2025/07/13/ffcs-handala-begins-its-journey-to-gaza-to-break-the-blockade-for-the-children-of-gaza/
2 Ada beberapa video dokumenter yang bisa dirujuk tentang Naji al Ali. Bebeerapa tautan ini bisa dijadikan tontonan awal: https://www.youtube.com/watch?v=832IY3o0gZI; https://www.youtube.com/watch?v=9jSEqXWnLBI; https://www.youtube.com/watch?v=bA62i33GtBk
3 Neruda, P. (1974). Memoirs (H. St. Martin, Trans.). New York, NY: Farrar, Straus and Giroux. (Original work published 1974). Kutipan dari Pablo Neruda dalam Memoirs (1974). Terjemahan bebas: “Seniman harus memilih: menjadi budak atau pemberontak. Di dunia yang penuh ketidakadilan, diam adalah pengkhianatan.”
4 https://www.youtube.com/results?search_query=Dokumenter+%22Naji+al-Ali%3A+An+Artist+with+Vision
5 Naji al-Ali, A Child in Palestine: The Cartoons of Naji al-Ali (2009); Dokumenter “Naji al-Ali: An Artist with Vision” (Al Jazeera, 2017).
6 “Resistance is never futile” – Le Monde diplomatique, Maret 2003 (kutipan dari pidato Arundhati Roy pada World Social Forum di Porto Alegre, Januari 2003). https://mondediplo.com/2003/03/14resistance
7 Joe Sacco, Palestine (1996).
8 Dokumenter “Naji al-Ali: Palestine’s Resistance Cartoonist” (Middle East Eye).
9 Contoh Kartun & Maknanya:
- “Handala dan Kunci” (1983):
Gambar: Handala kecil memegang kunci rumah tua, simbol hak kembali pengungsi Palestina.
Pesan: “Kami menyimpan kunci ini, meski rezim dunia ingin kami melupakannya.”
- “Patung Liberty dengan Senapan” (1982):
Gambar: Patung Liberty memegang senapan, dengan tulisan “Demokrasi Made in USA”.
Pesan: Kritik terhadap kebijakan AS yang mendukung Israel.