Apatis Politik
—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 03.06.2023
#BincangBuku #49
“…many citizens want to care about people, but do not want to care about politics,”
and so they try to limit their concerns to issues to which they feel
they can realistically make a difference,
issues that are “small, local, and unpolitical” (Eliasoph 1998, 12–13).
Kevin J. Elliott, Democracy for Busy People, 2023.
“Politics is not only activism. It’s awareness,
it’s keeping ourselves informed, it’s caring for the facts.
Hajer Syarif, Aktifis.
Perbincangan Tanpa Politik
Apakah demokrasi lebih baik jika beberapa orang menjauh dari politik? Bisakah demokrasi mendapat manfaat dari sikap apatis sebagian warganya? Ilmuwan politik dan ahli teori telah lama berpikir demikian. Di pertengahan abad ke-20, Bernard Berelson dan rekan-rekannya di Columbia School berpendapat bahwa sikap apatis di antara beberapa warga memperkuat mekanisme stabilitas demokrasi yang kuat. Baru-baru ini, Jason Brennan berpendapat bahwa kualitas pengambilan keputusan yang demokratis dirugikan oleh inklusi, karena pengambilan keputusan yang inklusif memperhitungkan masukan dari warga negara yang kurang mendapat informasi dan bermotivasi buruk, sebagai bentuk keberpihakan yang merusak. Demokrasi lebih baik tanpa mereka, kata Brennan seperti dikutip Elliott (2023) .
BincangBuku #49 ini akan mengupas buku yang ditulis oleh Kevin J. Elliott, Democracy for Busy People (Chicago: The University of Chicago Press, 2023). Buku ini membahas tentang aneka ragam jenis partisipasi warga dalam politik dan demokrasi. Seberapa penting partisipasi warga dalam proses demokrasi? Apakah apatis politik bermanfaat bagi demokrasi? Bagaimana partisipasi politik bagi orang-orang sibuk yang kadang tidak sempat meluangkan waktu untuk pergi ke kotak suara atau membincangkan tentang pilihan politik? Inovasi demokrasi perlu dilakukan. Agar warga biasa yang miskin atau warga sibuk yang kaya tetapi tidak cukup waktu untuk berpartisipasi dalam politik tetap semua bisa terlibat dalam politik. Inovasi demokrasi agar warga berpartisipasi sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dengan mengutip beberapa referensi Elliott menuliskan bawah ketika kita mempersulit partisipasi, dengan cara apa pun kita melakukannya, kita mengunci orang-orang sibuk dari demokrasi. Bentuk-bentuk partisipasi yang menuntut, dan lembaga-lembaga partisipatif yang membutuhkannya, menciptakan pola pengucilan yang halus namun efektif. Ini adalah masalah karena banyak alasan yang dipahami dengan baik. Misalnya, inklusi membantu kualitas pengambilan keputusan yang demokratis dengan memperkenalkan keragaman ide dan informasi yang lebih besar ke dalam proses. Penting juga bahwa orang-orang hadir dalam politik atau jika tidak, suara dan kepentingan mereka memiliki peluang untuk diabaikan dan diabaikan.
Demokrasi adalah sesuatu yang rapuh. Optimisme milenarian tentang demokrasi, setelah runtuhnya komunisme, telah lama memudar menjadi ketakutan akan masa depan yang tidak diketahui. Masa depan meredup sebagian besar karena resesi demokrasi di banyak bagian dunia selama dekade pertama abad kedua puluh satu. Namun gelombang terbaru dari dekonsolidasi demokrasi sebagian besar tidak terjadi melalui drama kudeta militer atau penggulingan rejim demokratik secara revolusioner. Alih-alih, itu mengambil bentuk pemerintah terpilih yang menulis ulang aturan teknis permainan politik yang sering tidak terlihat untuk mempertahankan kekuasaan mereka (Levitsky dan Ziblatt 2018 dalam Elliott, 2023).
Kita memahami bahwa setiap orang mempunyai kesibukannya masing-masing yang tidak sama. Dan ini menghasilkan ketidaksetaraan demokrasi karena warga negara yang lebih sibuk secara efektif dikecualikan dari partisipasi. Ketidakberdayaan orang-orang sibuk, pada gilirannya, diperparah ketika partisipasi dibuat berat dan menuntut, seperti yang terjadi dalam banyak inovasi demokrasi yang paling terkenal saat ini. Menurut Elliott dalam buku Democracy for Busy People (2023) yang kita bincangkan ini jika kita menyadari pentingnya inklusi dalam demokrasi, kita harus mencari arah yang berbeda dari reformasi demokrasi, yang memprioritaskan memobilisasi institusi yang menjangkau warga di mana mereka berada dan yang membuat partisipasi sesederhana dan semudah mungkin. Ditekankan oleh Elliott misalnya satu cara khusus untuk membuat partisipasi sederhana dan mudah yang telah hampir seluruhnya diabaikan dalam ilmu politik dan teori demokrasi: membuat partisipasi secara kognitif dapat dilakukan oleh warga negara yang sibuk. Ini berarti penyederhanaan partisipasi dan pilihan-pilihan yang dihadapi warga negara, serta unsur-unsur sistem politik itu sendiri. Institusi demokrasi dapat dirancang dengan cara yang mengharapkan lebih banyak atau lebih sedikit dari warga negara dalam hal upaya dan partisipasi. Kekuasaan kemudian dapat dipusatkan pada institusi yang mudah bagi warga untuk terlibat, atau pada institusi yang kurang dapat diakses (hal. 8).
Buku yang kita bahas ini juga mengupas perdebatan soal Apatis Politik. Tetapi sebelum mengupas lebih lanjut buku ini, kita mulai dengan kisah pelajaran politik dari Hajer Syarif, pemudi aktifis dari Libya, yang mendirikan ‘Man Nabneeha’ (Together we Build it) sebuah organisasi akar rumput yang memperjuangkan hak-hak perempuan dalam politik, khususnya di Libya.
Setiap orang harus berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan politik — dan itu dimulai dari rumah, kata aktivis Hajer Sharief. Dia memperkenalkan ide yang sederhana namun transformatif: bahwa orang tua dapat mengajari anak-anak mereka tentang agensi politik dengan memberi mereka suara tentang bagaimana rumah tangga mereka dijalankan, dalam bentuk pertemuan keluarga yang jujur di mana setiap orang dapat mengungkapkan pendapat, bernegosiasi, dan berkompromi. “Kita perlu mengajari orang-orang bahwa urusan politik, nasional, dan global sama relevannya dengan urusan pribadi dan keluarga,” katanya. “Bisakah Anda benar-benar mampu untuk tidak tertarik atau tidak berpartisipasi dalam politik?” Dan tidak banyak orang atau keluarga atau kelompok yang menjadikan perbincangan politik bagian dari bahan perbincangan sehari-hari. Apalagi jika dalam lingkungan itu ada keragaman aliran, pandangan atau latarbelakang.
Dalam platform digital perbicangann sosial (kecuali platform yang dibuat khusus untuk urusan politik) misalnya selalu ada anggota yang mengingatkan agar tidak membawa informasi atau agenda perbincangan politik dalam kelompok perbincangan itu. Jika ada yang terpeleset mengirimkan berita, grafis atau artikel tentang politik maka sertamerta akan dikeroyok agar tidak melanjutkannya. Membicarakan politik pada kelompok perbincanngan yang non-politik menjadi aib dan tabu. Maka gagasan, pembelajaran dan perbincangan tentang politik hanya dibatasi pada tempat-tempat yang khusus untuk itu. Politik dilarang masuk wilayah non politik.
Kita simak pengalaman Hajer Sharief, seorang aktifis politik, dalam keluarganya:
Dua puluh tahun yang lalu, keluarganya memperkenalkan sistem yang disebut “Friday Democracy Meetings” (Pertemuan Demokrasi Jumat). Setiap hari Jumat pukul 7 malam, keluarga Syarif berkumpul untuk pertemuan resmi membahas urusan keluarga saat itu. Pertemuan ini difasilitasi oleh salah satu orang tuanya. Bahkan mereka memilih seorang pencatat.
Pertemuan ini memiliki dua aturan. Pertama, semua yang hadir diperbolehkan berbicara secara terbuka dan bebas. Syarif dan anak-anak lainnya diizinkan untuk mengkritik orang tua tanpa dianggap tidak sopan atau kasar. Aturan kedua adalah “the Chatham House rule” (aturan Rumah Chatham), artinya apa pun yang dikatakan dalam rapat tetap ada dalam rapat. Tidak dibicarakan di luar rapat itu. Ini memetik pengalaman dari tradisi yang diperkenalkan di the Chatam House, Inggris yang digunakan hingga kini.
Topik yang dibahas dalam pertemuan ini bervariasi dari satu pekan ke pekan lainnya. Suatu pekan, mereka akan berbicara tentang makanan apa yang ingin dimakan, jam berapa anak-anak harus tidur dan bagaimana memperbaiki keadaan sebagai keluarga, sementara pertemuan lain membahas cukup banyak kejadian yang terjadi di sekolah dan bagaimana menyelesaikan perselisihan antar saudara, pertarungan nyata. Di akhir setiap pertemuan, akan dibuat keputusan dan kesepakatan untuk dilaksnakan setidaknya hingga pertemuan berikutnya.
Syarif dibesarkan sebagai politikus. Pada usia enam atau tujuh tahun, ia menguasai politik. Ia dilatih untuk bernegosiasi, berkompromi, membangun aliansi dengan aktor politik lainnya, dalam republik keluarganya. Termasuk pernah mencoba membahayakan proses politik.
Pertemuan-pertemuan rutin setiap pekan itu nampak terdengar sangat damai, penuh kekeluargaan dan demokratis, bukan? Tapi hal demikain tidak selalu terjadi. Karena ruang yang terbuka dan bebas untuk berbicara, berdiskusi, dan mengkritik ini, terkadang membuat situasi sangat panas. Pernah hal buruk dialami Syarif.
Waktu itu ia berusia sekitar 10 tahun. Ia melakukan sesuatu yang sangat buruk di sekolah, dan tidak diceritakan pada pertemuan rutin itu. Tetapi saudara laki-lakinya memutuskan untuk membicarakannya dalam rapat. Syarif tidak bisa membela diri. Ia memutuskan untuk mundur dari pertemuan dan memboikot seluruh sistem. Ia menulis surat resmi dan menyerahkannya kepada ayahnya. Dan mengumumkan bahwa ia memboikot.
Dengan melakukan boikot itu ia berpikir sistem akan runtuh. Nyatanya keluarga tetap melanjutkan “Friday Democracy Meetings.” Dan mereka justru sering membuat keputusan yang tidak disukai Syarif. Tetapi ia tidak dapat menentang keputusan ini, karena ia tidak menghadiri pertemuan, dan karena itu tidak berhak untuk menentangnya.
Ironisnya, ketika ia berusia sekitar 13 tahun, ia akhirnya kembali menghadiri salah satu pertemuan ini lagi, setelah memboikotnya untuk waktu yang lama. Karena ada masalah yang hanya mempengaruhinya, dan tidak ada anggota keluarga lain yang mengungkitnya. Masalahnya adalah setelah setiap makan malam, ia selalu menjadi satu-satunya yang diminta untuk mencuci piring, sementara saudara laki-lakinya tidak perlu melakukan apa-apa. entu saja ia merasa diperlakukan dengan tidak adil dan diskriminatif. Ia ingin membicarakannya dalam rapat. Dan membawa agenda atau platform untuk menentang kebijakan cuci piring yang tidak adil itu. Dalam pertemuan tersebut, saudara laki-lakinya berpendapat bahwa tidak ada anak laki-laki yang mencuci piring. Jadi mengapa mesti keluarga ini harus berbeda? Tetapi orang tua setuju dengan Syarif dan memutuskan bahwa saudara laki-lakinya harus membantu Syarif mencuci piring. Namun, mereka tidak bisa memaksa, sehingga masalah terus berlanjut.
Melihat tidak ada solusi untuk masalah ini, Syarif memutuskan untuk menghadiri pertemuan lain dan mengusulkan sistem baru yang adil bagi semua orang. Jadi saya menyarankan daripada satu orang mencuci semua piring yang digunakan oleh semua anggota keluarga, maka setiap anggota keluarga harus mencuci piringnya sendiri. Dan sebagai tanda itikad baik, Syarif menambahkan ia akan mencuci panci juga. Dengan cara ini, saudara laki-lakinya tidak dapat lagi membantah bahwa bukan tanggung jawab mereka sebagai anak laki-laki atau laki-laki untuk mencuci piring dan membersihkan lingkungan keluarga, karena sistem yang diusulkan adalah setiap anggota keluarga membersihkan dan merawat diri mereka sendiri.
Semua orang menyetujui proposal ini, dan selama bertahun-tahun, itulah sistem cuci piring yang dijalankan.
Kisah di atas diceritakan Syarif pada TEDTalk. Sebuah kisah keluarga, tetapi ini murni politik. Setiap bagian dari politik mencakup pengambilan keputusan, dan idealnya, proses pengambilan keputusan harus melibatkan orang-orang dari berbagai latar belakang, minat, pendapat, jenis kelamin, kepercayaan, ras, etnis, usia, dan sebagainya. Dan mereka semua harus memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan dan mempengaruhi keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kisah Syarif, ia merasa sulit untuk memahami ketika mendengar orang muda berkata, “Saya terlalu muda untuk terlibat dalam politik atau bahkan memiliki pendapat politik.” Demikian pula, ketika mendengar beberapa wanita berkata, “Politik adalah dunia kotor yang tidak ingin saya tangani.” Ada kekhawtiran Syarif dan juga sebagian khalayak bahwa gagasan politik dan keterlibatan politik telah menjadi begitu terpolarisasi di banyak bagian dunia sehingga orang biasa merasa, agar mereka dapat berpartisipasi dalam politik, mereka harus menjadi aktivis yang vokal, dan itu tidak benar. Pertanyaannya adalah: Bisakah kita benar-benar mampu untuk tidak tertarik atau tidak berpartisipasi dalam politik?
Bagi Syarif politik bukan hanya aktivisme. Ini adalah kesadaran. Menjaga diri kita tetap terinformasi, memperhatikan fakta. Jika memungkinkan, terlibat memberikan suara. Politik adalah alat yang kita gunakan untuk menyusun diri kita sebagai kelompok dan masyarakat. Politik mengatur setiap aspek kehidupan, dan dengan tidak berpartisipasi di dalamnya, Anda benar-benar membiarkan orang lain memutuskan apa yang dapat Anda makan, kenakan, apakah dapat mengakses perawatan kesehatan, pendidikan gratis, berapa banyak pajak yang Anda bayar, kapan bisa pensiun, berapa pensiun Anda. Orang lain juga memutuskan apakah ras dan etnis Anda cukup untuk menganggap Anda seorang kriminal, atau apakah agama dan kebangsaan Anda cukup untuk memasukkan ke dalam daftar teroris. Dan jika masih berpikir Anda adalah manusia yang kuat dan mandiri yang tidak terpengaruh oleh politik, pikirkan masak-masak. And if you still think you are a strong, independent human being unaffected by politics, then think twice.
Hajer Syarif adalah seorang wanita muda dari Libya, sebuah negara yang berada di tengah perang saudara. Setelah lebih dari 40 tahun pemerintahan otoriter, dan bukanlah tempat di mana keterlibatan politik oleh perempuan dan kaum muda bisa dilakukan. Hampir semua dialog politik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, bahkan yang dilakukan oleh kekuatan asing, hanya dilakukan oleh pria paruh baya. Tetapi di tempat-tempat dengan sistem politik yang rusak seperti Libya, atau di tempat-tempat yang tampaknya berfungsi, termasuk organisasi internasional, sistem yang kita miliki saat ini untuk pengambilan keputusan politik bukanlah dari rakyat untuk rakyat, tetapi telah didirikan oleh segelintir orang untuk rakyat. Itulah kaum elit. Dan beberapa orang ini secara historis hampir seluruhnya laki-laki, dan mereka telah menghasilkan undang-undang, kebijakan, mekanisme partisipasi politik yang didasarkan pada pendapat, kepercayaan, pandangan dunia, impian, aspirasi dari satu kelompok orang ini, sementara yang lainnya dijauhkan. Lagi pula, kita semua pernah mendengar beberapa versi dari kalimat ini: “Apa yang dipahami seorang wanita, apalagi seorang pemuda, yang berkulit coklat, tentang politik?” demikian Syarif menceritakan tentang politik dan keterlibatan pemuda dan perempuan dalam politik.
Saat Anda masih muda — dan di banyak belahan dunia, seorang wanita — sering mendengar politisi berpengalaman berkata, “Tapi Anda kurang pengalaman politik.” Dan ketika Syarif mendengarnya, ia bertanya-tanya pengalaman seperti apa yang mereka maksud? Pengalaman sistem politik yang korup? Atau mengobarkan perang? Atau apakah mereka mengacu pada pengalaman menempatkan kepentingan keuntungan ekonomi di atas kepentingan lingkungan? Karena jika ini adalah pengalaman politik, ya –kami, sebagai perempuan dan anak muda, sama sekali tidak punya pengalaman politik.
Sekarang, politisi mungkin bukan satu-satunya yang harus disalahkan, karena orang biasa, dan juga banyak anak muda, tidak peduli dengan politik. Dan bahkan mereka yang peduli tidak tahu bagaimana cara berpartisipasi.
Ini harus berubah, dan inilah proposal yang diajukan Syarif. Kita perlu mengajari orang sejak usia dini tentang pengambilan keputusan dan bagaimana menjadi bagian darinya. Setiap keluarga memiliki sistem politik mininya sendiri yang biasanya tidak demokratis, karena orang tua membuat keputusan yang mempengaruhi semua anggota keluarga, sementara anak tidak banyak bicara. Demikian pula, politisi membuat keputusan yang memengaruhi seluruh bangsa, sementara rakyat hanya memiliki sedikit suara di dalamnya.
Kita perlu mengubah ini. Dan untuk mencapai perubahan ini secara sistematis, maka perlu mengajari orang-orang bahwa urusan politik, nasional, dan global sama relevannya dengan urusan pribadi dan keluarga. Jadi kalau kita ingin mencapai ini, usulan dan saran yang dilontarkan Syarif adalah, cobalah sistem the Family Democracy Meeting, Rapat Demokrasi Keluarga. Karena itu akan memungkinkan anak-anak Anda menjalankan hak pilihan dan pengambilan keputusan mereka sejak usia sangat dini.
Politik adalah tentang melakukan percakapan, termasuk percakapan yang sulit, yang mengarah pada keputusan. Dan untuk melakukan percakapan, Anda harus berpartisipasi, tidak keluar seperti yang dilakukan Syarif ketika masih kecil dan kemudian mempelajari pelajaran dengan cara yang sulit dan harus kembali lagi. Jika Anda menyertakan anak-anak dalam percakapan keluarga, mereka akan tumbuh dewasa dan tahu cara berpartisipasi dalam percakapan politik. Dan yang terpenting, yang terpenting, mereka akan membantu orang lain terlibat.
Apa itu sikap apatis politik?
Penting untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan “apatis” di sini. Menjadi apatis menurut Elliott berarti sama sekali tidak memperhatikan politik; menahan diri untuk tidak memberikan ruang apa pun kepada politik dalam pikiran atau kesadaran seseorang. Artinya tidak hanya menahan diri dari partisipasi politik, tetapi juga menahan diri dari aktivitas seseorang yang memiliki kebiasaan terlibat politik seperti “secara teratur membaca opini, menonton berita dan debat, mempelajari ilmu sosial dan filsafat politik, mengambil langkah-langkah untuk mengurangi bias partisan, menghadiri aksi unjuk rasa, berdiskusi dan menautkan artikel politik di Facebook” (Freiman 2021, 135 seperti dikutip Ellliott). Sama seperti sebagian besar dari kita tidak menyadari perkembangan, katakanlah, dunia kerajinan merajut, orang-orang yang apatis secara politik sama sekali tidak menyadari, dan tidak tertarik pada, apa yang terjadi dalam politik. Sibuk dengan urusan soal merajut.
Oleh karena itu, apatis yang tidak tercakup sebagai apatis adalah penolakan sadar atau reflektif untuk berpartisipasi dalam politik, penolakan yang mungkin atau mungkin tidak tepat dalam perhatian pada politik. Orientasi politik yang sinis seperti itu sering diklasifikasikan sebagai spesies apatis. Menurut Elliott ini tidak benar. Karena banyak individu dalam posisi ini sangat peduli dengan perkembangan politik, tetapi, untuk alasan apa pun, tidak menemukan jalan partisipasi politik yang bermanfaat. Jadi, sikap apatis tidak sama dengan sikap pasif, karena sikap pasif mencakup kelompok yang lebih luas dan mencakup mereka yang tidak apatis. Memilih untuk mengamati politik tetapi tidak berpartisipasi tidak membuat seseorang menjadi apatis. Hanya tidak peduli politik. Antara tahun 1948 dan 2008, rata-rata 13 persen orang Amerika, atau sekitar satu dari delapan, melaporkan tingkat minat sangat rendah dalam urusan publik (Studi Pemilihan Nasional Amerika 2021). Elliott berpandangan sikap apatis ini adalah fenomena kecil tapi tidak sepele.
Sikap apatis politik mengacu pada keadaan ketidaktertarikan, ketidakpedulian, atau kurangnya keterlibatan terhadap masalah politik atau proses politik. Hal ini ditandai dengan kurangnya motivasi atau kepedulian terhadap isu-isu politik, pemilu, kebijakan pemerintah, dan partisipasi masyarakat. Individu yang mengalami sikap apatis politik mungkin merasa terputus atau kecewa dengan sistem politik, menganggapnya tidak efektif atau tidak tanggap terhadap kebutuhan dan kepentingan mereka. Mereka mungkin menunjukkan minat minimal dalam acara politik, menahan diri dari pemungutan suara atau berpartisipasi dalam kegiatan politik, dan mungkin secara umum bersikap apatis atau pasrah terhadap politik. Sikap apatis politik dapat memiliki implikasi yang signifikan terhadap demokrasi dan keterlibatan masyarakat, karena dapat mengakibatkan warga negara yang tidak terlibat dan mengurangi partisipasi publik dalam membentuk hasil politik.
Meskipun ada beragam pandangan soal apatis politik, Elliott berpendapat sikap apatis politik pada umumnya dianggap tidak menguntungkan bagi demokrasi. Sikap apatis dapat menyebabkan warga negara yang tidak terlibat, mengakibatkan rendahnya partisipasi pemilih, berkurangnya partisipasi masyarakat, dan kurangnya keterlibatan publik dalam proses politik. Dan ini akan mengurangi legitimasi siapapun yang bakal berkuasa. karena apatis politik dapat merusak prinsip pemerintahan demokratis, yang mengandalkan warga negara yang aktif dan terinformasi untuk meminta pertanggungjawaban pejabat terpilih dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Ketika warga negara apatis terhadap politik, mereka cenderung tidak menyuarakan keprihatinan mereka, menggunakan hak mereka, dan berpartisipasi dalam kegiatan politik penting seperti pemungutan suara, advokasi, dan gerakan akar rumput. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan antara pemerintah dan yang diperintah, yang berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan dan legitimasi publik terhadap lembaga-lembaga demokrasi. Demokrasi tumbuh subur ketika warga negara secara aktif terlibat, terinformasi, dan berpartisipasi dalam membentuk hasil politik. Partisipasi yang kuat, termasuk pemungutan suara, aktivisme, dan keterlibatan sipil, membantu memastikan beragam perspektif dipertimbangkan, mendorong akuntabilitas, dan membantu mempertahankan pemerintahan yang responsif dan representatif.
Namun, penting untuk mengakui bahwa sikap apatis politik dapat berasal dari berbagai faktor, seperti kekecewaan terhadap sistem politik, kurangnya kepercayaan pada pemimpin politik, atau akses informasi yang terbatas. Mengatasi penyebab mendasar ini dan mempromosikan pendidikan politik, transparansi, dan keterlibatan warga negara yang berarti sangat penting untuk memerangi sikap apatis politik dan memperkuat demokrasi.
Dalam Democracy’s Floor: The Case against Apathy (Bab 2), Elliott seorang political theorist dan assistant professor of political science at Murray State University, berpendapat bahwa pandangan apatis yang sudah lama ada ini membingungkan, dan salah—sangat berbahaya—paling buruk. Sikap apatis tidak baik untuk demokrasi, warga negara yang demokratis juga tidak memiliki hak untuk bersikap apatis secara politik. Sesuatu yang dituntut dari kita semua sebagai warga negara yang demokratis.
Jadi, mengapa individu yang hidup dalam masyarakat demokratis harus memperhatikan politik sejak awal? Bagaimanapun juga, ciri inti dari praktik demokrasi liberal saat ini adalah bahwa keputusan apakah akan berpartisipasi diserahkan sepenuhnya kepada individu. Memang, keberatan terhadap bentuk paling umum dari partisipasi politik wajib—pemungutan suara wajib—seringkali dibingkai dalam bentuk pelanggaran hak untuk menahan masukan seseorang dari kontes elektoral (Lever 2010 dalam Elliott). Hal ini menunjukkan bahwa ada keyakinan implisit yang tersebar luas bahwa terserah pada individu apakah akan memperhatikan politik sama sekali. Ini, pada gilirannya, tampaknya menunjukkan sikap apatis politik, yang dipahami sebagai
tidak memikirkan atau mempedulikan politik, adalah bentuk kewarganegaraan demokratis yang sah. Oleh karena itu, tersirat dalam praktik demokrasi liberal yang ada, adalah sesuatu seperti “hak untuk apatis,” di mana individu dapat memilih untuk tidak terlibat atau mengabaikan politik demokrasi mereka dan tidak memainkan peran apa pun di dalamnya, bahkan sebagai pengamat pasif. Setidaknya satu filsuf baru-baru ini berpendapat bahwa warga negara harus “mengabaikan politik,” secara efektif mempertahankan hak untuk apatis (Freiman 2021 dikutip Elliott, hal 28.
Dalam penutup bukunya, Elliott menyatakan dengan jelas posisinya tentang apakah boleh ada terlalu banyak demokrasi. Ada sejumlah karya dalam beberapa tahun terakhir yang menyatakan bahwa ada terlalu banyak demokrasi. Pada saat yang sama, ada banyak orang yang menganggap memaksimalkan demokrasi dalam satu dimensi atau lainnya, dalam satu atau bentuk lain, adalah obat untuk semua penyakit yang kita alami dengan demokrasi. Menariknya, baik mereka yang mengkhawatirkan terlalu banyak demokrasi maupun mereka yang ingin memaksimalkannya terlihat mengganti struktur demokrasi yang ada dengan beberapa alternatif. Berpikir bahwa memiliki terlalu banyak demokrasi berarti kita harus memiliki lebih sedikit atau kita tidak akan pernah memiliki terlalu banyak. Elliott tidak bersepakat. Ia khawatir demokrasi akan berlebihan karena keinginan untuk melihatnya bertahan dan berkembang. seperti banyak tujuan, berlari membabi buta ke arah itu bisa membuat kita tersandung atau terpeleset ke selokan. Kita harus mensurvei bentang alam yang kita lalui, memperhatikan jurang dan rawa-rawanya. Ternyata, kita harus mewaspadai terlalu banyak demokrasi dan tidak cukup. Jadi, menanyakan secara sederhana apakah ada terlalu banyak demokrasi berarti mengajukan pertanyaan yang bentuknya buruk. Kita perlu terus mencari, kemudian, untuk menemukan jumlah demokrasi yang tepat, dari jenis yang tepat.
Dengan demikian menjadi apatis politik tidak memberi kontribusi yang baik dalam pencarian demokrasi yang diimpikan.