Pandemi Korupsi: Mengungkap Penghianatan Kepentingan publik
—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 10.06.2020
#BincangBuku #45
To go against conscience is neither right nor safe. Therefore, I cannot and will not recant. Here I stand.
I can do no other. God help me, amen.
—From the movie Martin Luther (1953)
Were a biological attack to occur, or a naturally arising epidemic, the public would only have one viable direction in which to place its trust: with its local, national, and global public health infrastructure. If such an interlaced system did not exist at a time of grave need it would constitute an egregious betrayal of trust.
To build trust there must be a sense of community. And the community must collectively believe in its own future. At the millennium much of humanity hungered for connectedness and community but lived isolated, even hostile, existences.
— Laurie Garrett (Betrayal of Trust, 2001).
“When government and industry target scientists, the process isn’t random. It tends to target those who have the greatest impact on the scientific community, and public opinion. They’re made examples just because they are so visible. In other words, they want to send the strongest signal possible to anyone else who may be contemplating publishing information that may threaten certain government policies or industry practices.”
—David L. Lewis. “Science for Sale,” 2014.
Act, before disease becomes persistent through long delays.
—Ovid, 43 B.C. to A.D. 17
Hanya dalam waktu hampir enam bulan sejak pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Propinsi Huei, Cina, 31 Desember 2019, Virus Corona telah menjangkiti 7 juta orang dan membunuh 400 000 nyawa di seluruh dunia. Mengapa dunia begitu rentan dan gagal mengantisipasi dengan baik sejak dini? Padahal pandemi serupa itu bukan hal pertama kali dialami dunia dan ummat manusia.
Christian W. McMillen dalam bukunya Pandemics A Very Short Introduction (2016) menuliskan sejarah pendemi ini. Wabah adalah penyakit yang kita kenal sekarang disebabkan oleh bacillus, Yersinia pestis, ditularkan oleh gigitan seekor kutu yang terinfeksi — kutu yang mencari inang manusia setelah inang binatangnya meninggal. Pertama kali muncul pada abad keenam M ketika pertama kali Pandemik diidentifikasi terjadi selama Kekaisaran Bizantium. Disebut Wabah Justinianus mengambil nama Kaisar Justinian dari Romawi Timur. Pertama kali muncul di catatan sejarah pada 541 di kota pelabuhan Pelusium Mesir. Dua tahun kemudian merembet ke Persia di timur dan Kepulauan Inggris di utara (p. 8).
Sejarawan Yunani Procopius mencatat wabah itu telah merenggut puluhan ribu nyawa dalam sehari di Constantinople pada 542. Hampir semua musnah. Bahkan Evagrius, seorang pengamat, memperkirakan wabah itu telah membunuh ratusan ribu penduduk di Ibukota Byzantine.
Mulai 541 berkembang menjadi pandemi yang yang timbul tenggelam berlanjut selama dua abad hingga 740-an. Inilah wabah epidemi pertama yang memiliki bukti substansial. Selama 540-an dan 550-an, wabah menghantam daerah-daerah dari Mesir ke Konstantinopel ke Roma dan diperparah
dengan kelaparan (Yaron Ayalon: Natural Disasters in the Ottoman Empire Plague, Famine, and Other Misfortunes (2015).
Ketika wabah itu mencapai daratan Inggris pada pertengahan abad ketujuh, Bede, dalam History Ecclesiastical-nya, wabah itu secara tiba-tiba memorakporandakan dan kehancuran seluruh penjuru Inggris. Selama lebih dari dua ratus tahun, dimulai dengan Wabah Justinianus, lebih dari selusin epidemi terpisah mengunjungi bagian-bagian Eropa dan Timur Dekat. Barulah pada akhir abad kedelapan wabah itu pergi, mungkin sudah tidak lagi dapat menemukan manusia yang rentan atau inang tikus.
Eropa bebas wabah hingga 1347 yang telah memusnahkan sampai setengah populasi benua itu. Gelombang pandemi kedua datang pada tahun 1353. Sejak 1347 itu wabah secara teratur muncul di sebagian besar Eropa dan dunia Islam. Di Eropa wabah terakhir terjadi di Rusia pada 1770.
Bencana wabah kembali terjadi di London pada 1660-an, jenis wabah yang berbeda yang tak satu pun memahaminya seperti pandemi pertama. Tidak ada seorang pun siap; tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Wabah ini baru dan sangat unik dan mematikan. Itu adalah the Black Death (McMillen, p. 10).
Wabah pandemi muncul kembali pada tahun 1890-an. Pandemi terbukti tidak hilang. Pandemi gelombang ketiga dimulai di daratan Cina bagian selatan pada tahun 1890. Tahun itu, wabah menyebar di sepanjang Sungai Canton, mencapai Guangdong dan kemudian kota perdagangan terbesar Tiongkok selatan, Guangzhou. Dari sana ia menempuh jarak pendek ke Hong Kong dan sekitarnya. Selama sisa dasawarsa pandemi ketiga itu mengjangkiti ke sebagian besar dunia, sebagian besar terkonsentrasi di kota pelabuhan. Cape Town, Sydney, Honolulu, dan San Francisco semuanya
mengalami wabah. Begitu pula Rio de Janeiro dan Buenos Aires (McMillen, p. 24).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dunia bebas cacar pada tahun 1980, setelah menjadi penyakit endemik dan pandemi selama sebagian besar milenium terakhir, dan mungkin lebih lama. Merenggut ratusan juta manusia.
Pandemi lainnya Malaria, Kolera, Tuberkulosis, Influensa, HIV/AIDS, Ebola, Zika, Sars…..
Mengapa kita gagal mencegah pandemi? Mengapa kita tidak pernah belajar dengan baik dari sejarah?
#BincangBuku #45 kali ini, saya akan berbagi bacaan atas tiga buku yang satu sama lain diterbitkan pada masa yang berbeda tetapi mempunyai kegelisahan yang serupa: pelayanan publik. Buku pertama, Science for sale: how the US government uses powerful corporations and leading universities to support government policies, silence top scientists, jeopardize our health, and protect corporate profits. Buku yang diterbitkan tahun 2014 ini memaparkan tentang kolusi antara pemerintah Amerika Serikat dengan perguruan tinggi, ilmuwan ternama dan perusahaan-perusahaan besar, dan mengabaikan kepentingan publik demi menangguk keuntungan yang luar biasa. Penulis buku ini, David L. Lewis, PhD adalah mantan seorang ahli mikrobiologi pada EPA’s Office of Research & Development selama tiga puluh dua tahun, dan seorang ilmuwan tamu dan anggota pengajar pada sekolah pascasarjana di Universitas Georgia. Dia dianugerahi EPA’s Science Achievement Award untuk penelitiannya yang pertama kali diterbitkan di Nature mengenai efek perubahan lingkungan utama pada kegigihan polutan lingkungan.
Buku kedua adalah ________ tentang serangan pandemi yang bertubi-tubi dan dunia tidak siap menghadapinya karena kegagalan bersatu untuk membangun kebersamaan dalam menghadapi bahaya bersama. Judulnya: Betrayal of Trust, The collapse of global public health. Ditulis oleh Laurie Garrett 2001. Laurie Garrett adalah seorang jurnalis dan penulis sains Amerika. Dia dianugerahi the Pulitzer Prize for Explanatory Journalism pada tahun 1996 untuk serangkaian karya yang diterbitkan di Newsday, mencatat dan melaporkan perkembangan wabah virus Ebola di Zaire. Orang menyebut Garrett sebagai Cassandra—nubuat mitologi Yunani yang ditakdirkan untuk mengeluarkan peringatan yang tidak diindahkan. Apa yang Garrett peringatkan dengan sangat gamblang – dalam buku terlarisnya tahun 1994, “The Coming Plague,” dan dalam buku-buku serta pidato-pidato berikutnya, termasuk TED Talks – adalah pandemi seperti yang terjadi sekarang: Covid-19. Dia pernah menjadi fellow di Harvard School of Public Health, dan menjadi anggota Dewan Hubungan Luar Negeri dan penasihat pada film “Contagion,” 2011. “Vaksin untuk Covid-19 mungkin sulit diwujudkan. Bakal baru muncul sekitar 36 bulan yang akan datang. Itu skenarion terbaik yang saya bayangkan,” kata Garrett pada Frank Bruni, The New York Times (2 Mei 2020).
Buku ketiga adalah buku yang ditulis Judy Mikovits dan Kent Heckenlively, Plague of Corruption: Restoring Faith in the Promise of Science” (2020). Hidup kita makin dikuasai oleh segelintir kepentingan. Hidup yg dikuasai oleh kepentingan profit. Profit yg memenjarakan kebebasan ilmiah, profit yg membungkam dissenting opinion, profit yg menguasai kebenaran di dunia.
Dokter Mikovits adalah intelektual medis yg berani berdiri di depan memegang dengan teguh kebenaran janjinya sebagai manusia yang dididik untuk menegakkan kepentingan umum atas kepentingan pribadi dan keuntungan. Dia menyuarakan apa yang dia yakini sebagai kebenaran. Tetapi betapa sulitnya merawat dan meneriakkan kebenaran ketika kekuasaan korporasi dan pemerintahan bersatu. Menguasai kebenaran. Dan hanya segala yang berasal dari mereka adalah yang benar.
Dokter Mikovits, mungkin pandangan yang berbeda dengan mainstream soal virus, ia ditangkap, dipenjarakan tanpa kesalahan apapun. Dan itu terjadi di Amerika, sebauh negeri yang menjunjung kebebasan individual sebagai hak konstitusional. Tetapi tidak bagi Mikovits.
Reporter pada Jurnal Science membantah klaim-klaim yang dibuat Mikovits, termasuk klaim yang dibuat dalam sebuah video yang beredar luas (8 Mei 2020, juga Kompas, 15 Mei 2020).
Buku ini memberi kita gagasan alternatif atas sebuah pandangan dominan yang dipropagandakan dan menguasai sebagian besar kanal-kanal pengetahuan dan informasi publik. Pada dunia yang dikuasai hanya 1% powerful entity, suara kecil seperti dokter Mikovits ini adalah sebuah oase. Sebuah cahaya yg memandu kita dalam gulita dunia. Anda boleh tidak percaya pada sebuah cahaya kecil. Tetapi jangan menutup mata padanya.
Munculnya Covid-19 tak bisa membuat Mikovits diam. Buku Plague of Corruption yang baru diterbitkan itu menegaskan kecurigaannya atas adanya ‘kesengajaan’ dalam pandemi yang paling hebat abad 21 ini. Secara alamiah virus yang menimbulkan pandemik itu mempunyai siklus yang panjang, sekitar 800 tahun—sesuatu yang tidak semua ahli bersepakat. Catatan sejarah, yang sebagian saya kutip pada bagian awal tulisan ini, memberi gambaran rentang waktu dari satu pandemik ke pandemik lainnya. Tidak ada yang secepat virus ‘modern’ dalam beberapa dekade terakhir ini.
Mengapa itu bisa terjadi? “…we discovered corruption in many areas of science was widespread….,” tulis Mikovits, mungkin dengan geram tetapi tetap tegar (p. 17). Dalam dunia sains sekalipun, mengungkap kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah bukan jaminan untuk bisa diterima dengan lapang dada. Padahal mengungkap kebenaran adalah salah satu tugas dan mandat penting. “…. science tells the truth and finds answers. Even when that truth is a dark one, we must find a way to bring it into the light,” (p. 74).
Penelitiannya tentang retrovirus dan pandangannya yang berbeda telah membuat Mikovits dalam sorotan. Baik pada komunitas ilmiah maupun kalangan pemerintah dan pihak-pihak swasta yang terlibat dan berkepentingan terhadap ekonomi politik virus.
Dia menolak bersekongkol bahkan dengan orang-orang yang pernah menjadi teman dekatnya. Ia tidak setuju mengikuti arahan mereka untuk menjadi bagian dari apa yang dianggap tindakan tidak etis dan ilegal. Ia melawan untuk membunuh harapan dan nyala dari apa yang dikerjakan untuk orang-orang yang membutuhkan pengobatan. Dan dia diteror.
Tetapi sebagai seorang dokter yang memahami apa yang dilakukan dan menghabiskan sebagian besar kehidupan profesional dengan sejawat yang punya idealisme yang sama, Mikovits menantang dogma yang berkuasa ketika lensa mikroskop menceritakan kisah yang berbeda. Tetapi sisi kelam kemanusiaan, lanskap ketakutan dan kebohongan adalah pelajaran yang amat berharga. Ia sama sekali tidak perlu mengapresiasi orang-orang yang mempunyai kekuatan untuk menciptakan ketakukan dan kebohongan dan terampil.
Mikovits menegaskan di dunia nyata terdapat banyak perusahaan, baik perusahaan farmasi, pertanian, perminyakan, atau kimia, yang memiliki miliaran dolar yang dipertaruhkan dalam karya ilmuwan. Jika seseorang memiliki miliaran dolar, ia dapat menggunakan seni persuasi yang gelap untuk menyewa perusahaan hubungan masyarakat untuk mempromosikan produk Anda, menabur benih keraguan tentang mereka yang mempertanyakan produk Anda, membeli iklan di jaringan berita sehingga mereka tidak mempublikasikan cerita negatif. Kecuali mereka tidak punya pilihan lain, dan menyumbang untuk politisi dari semua ideologi. Kemudian, begitu para politisi itu terpilih, mereka dapat menulis undang-undang untuk kepentingan donor mereka yang dermawan. Seperti yang dikatakan dengan sangat fasih pada abad ketujuh belas oleh seorang anggota terkemuka dari pengadilan Ratu Elizabeth, “If it prospers, none dare call it treason.” Jika itu berhasil dan menyejahterakan, barangkali memang tidak ada yang berani menyebutnya pengkhianatan.”
“Sains sedang dikorupsi oleh pengaruh uang perusahaan. Korupsi ini mengarah langsung ke kesehatan kita yang buruk, apakah itu epidemi obesitas; penyakit neurologis seperti autisme, Alzheimer, Parkinson, dan multiple sclerosis; ledakan kanker; atau masalah mental di kalangan anak muda, termasuk penembak sekolah di Amerika Serikat. Ada beberapa yang mengklaim ini mengarah pada pemusnahan, jika bukan kepunahan massal, umat manusia,” tulis Mikovits (p. 87).
Dan dia tidak sendiri. Apa yang dituliskan dalam buku setebal 744 halaman ini, sebetulnya juga telah diteriakkan oleh David L. Lewis dalam buku “Science for Sale,” (2014). “Ketika pemerintah dan industri menargetkan ilmuwan, prosesnya tidak acak. Tetapi dengan penuh perhitungan. Ilmuwan yang ditargetkan adalah mereka yang memiliki dampak terbesar pada komunitas ilmiah, dan opini publik. Mereka membuat target itu sebagai contoh hanya karena sangat mudah terlihat. Dengan kata lain, mereka ingin mengirim sinyal sekuat mungkin kepada siapa pun yang mungkin mengungkapkan informasi yang dapat mengancam kebijakan pemerintah atau praktik industri tertentu,” (Lewis, p. 505).
Diungkapkan dalam sebuah event, seperti dicatat dalam buku itu (p. 204), ketika Pembicara Newt Gingrich menyambut Dr. David Lewis di kantornya (1996) yang menghadap ke National Mall, dia memandang Dr. Lewis dan berkata, “Anda tahu Anda akan dipecat karena ini, bukan?” “Saya tahu,” jawab Dr. Lewis, “Saya hanya berharap untuk tidak keluar dari penjara.” Gingrich baru saja membaca komentar Dr. Lewis di Nature, berjudul “EPA Science: Casualty of Election Politics.” Itu tentang “the politicization of science at EPA,” sesuatu yang bukan hal aneh di belantara lembaga-lembaga pemerintah di Indonesa. Tiga tahun kemudian, dan tiga puluh tahun setelah Dr. Lewis mulai bekerja di EPA, ia kembali ke Washington untuk menerima Penghargaan Prestasi Sains dari Administrator Carol Browner untuk artikel keduanya di Nature. Pada saat itu, EPA telah memindahkan Dr. Lewis ke Universitas Georgia untuk menunggu penghentian — satu-satunya ilmuwan Agensi yang pernah menjadi penulis utama pada makalah yang diterbitkan di Nature and Lancet. Lewis dipecat dari EPA pada saat ulang tahun ke-55, 2003.
Menurut Lewis, pemerintah mempekerjakan ilmuwan untuk mendukung kebijakannya; industri mempekerjakan mereka untuk mendukung bisnisnya; dan universitas mempekerjakan mereka untuk membawa hibah yang diberikan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan praktik industri. Organisasi yang berurusan dengan integritas ilmiah dirancang hanya untuk menyingkirkan mereka yang melakukan penipuan di belakang punggung institusi tempat mereka bekerja. Ancaman terbesar dari semua adalah korupsi yang disengaja dari entitas ilmiah oleh institusi itu sendiri. Ilmu/sains yang mereka ciptakan seringkali hanya ilusi, yang dirancang untuk menipu; dan para ilmuwan yang mereka hancurkan untuk melindungi ilusi itu sering kali merupakan yang terbaik bagi kita. Buku ini adalah dimulainya pengalaman Dr. Lewis dalam menjualbelikan sains, dan berakhir dengan kisah Dr. Andrew Wakefield, ilmuwan sejawat yang juga mendapatkan teror dan tuduhan-tuduhan atas hasil karyanya yang dianggap bertentangan dengan kemauan perusahaan penyokong dan kebijakan pemerintah.
Seperti halnya Mikovits, Lewis juga mendapatkan tekanan-tekanan. Karena teguh memegang kaidah-kaidah ilmiah dan menyampaikan temuan apa adanya, menolak kompromi dengan penguasa dan perusahaan donor penelitian-penelitiannya. Menurut Robert Kuehn yang dikutip Lewis dalam bukunya,
terdapat sejarah panjang serangan terhadap para ilmuwan. Selama Inkuisisi, Gereja Katolik Roma menuntut Galileo karena dianggap ajaran sesat dan, setelah dipenjara dan diancam penyiksaan, memaksanya untuk meninggalkan teorinya bahwa matahari, bukan bumi, adalah pusat alam semesta. Galileo menolak meski bertaruh nyawa. Pada tahun 1950-an, para politisi berusaha membungkam para ilmuwan yang diduga memiliki pandangan politik yang simpatik kepada kaum Komunis. Dalam beberapa tahun terakhir, hasil penelitian, bukan agama atau politik ilmuwan, telah memotivasi serangan terhadap para ilmuwan.
Ini mengingatkan kita pada perjuangan Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia yang melawan sistem WHO yang tidak adil dalam pengembangan dan penjualan vaksin pandemi Flu Burung pada negara berkembang. Ia berhasil mereformasi sistem yang korup dalam jaringan global bisnis vaksin. Dan ia harus membayar mahal atas sikapnya: penjara. “Siti Fadilah Supari telah membawa dan mengingatkan kita betapa besar tanggung-jawab para ilmuwan dalam mencari dan menegakkan kebenaran bagi peradaban makhluk hidup di muka bumi ini,” tulis Prof. Yayat Dhahiyat, PhD, Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Keanekaragaman Hayati, Lembaga Penelitian, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Di ujung bukunya, Lewis memperingatkan bahwa suatu sistem yang secara selektif mendanai para ilmuwan yang mendukung kebijakan pemerintah dan praktik industri sambil menyingkirkan mereka yang tidak mendukung, boleh jadi tidak akan menghancurkan dunia secepat perang nuklir. Tetapi ia berpotensi merusak kesehatan masyarakat/publik dan lingkungan dalam skala global. Vaksin, obat-obatan, pupuk, dan sejumlah produk komersial lainnya yang menggerakkan perekonomian dunia ,dapat menyelamatkan jutaan jiwa – atau dengan mudah diubah menjadi senjata pemusnah massal. Dan, seperti perang nuklir, melepaskan kehancuran massal oleh sains yang salah di lembaga-lembaga penelitian ilmiah dunia mungkin lebih cenderung tidak disengaja daripada disengaja. Manipulasi kolaboratif dari penelitian ilmiah oleh pemerintah, industri, dan akademisi semakin membelokkan arah ilmu pengetahuan secara keseluruhan untuk mendukung kebijakan pemerintah dan praktik industri.
Kalau ingin lebih lengkap lagi bagaimana sains dan lembaga-lembaga dikorupsi, bisa menelusuri lembar demi lembar buku Janine R. Wedel, “UNACCOUNTABLE: How Elite Power Brokers Corrupt Our Finances, Freedom, and Security,” (2014).
Karena itu membaca Mikovits dan memperhatikan kegaduhan global Covid-19 bisa jadi yang terjadi adalah pandemi korupsi. Kekacauan kebijakan menangani retrovirus ini baik pada tingkat global maupun nasional karena virus korupsi menggerogoti lembaga-lembaga publik. Laurie Garrett dalam buku Betrayal of Trust membuktikan itu juga. India, Soviet, bahkan Amerika. Kegagalan dan kekacauaan penanganan virus Ebola di Zaire juga menuding korupsi adalah salah satu faktor pentingnya.
Salah satu koran lokal populer, Salongo, seperti dikutip Garrett, dengan berani bertanya dengan judul yang tebal, ‘EBOLA VIRUS. DIARRHEA BERDARAH. SIAPA YANG SALAH?” Jawaban retoris headline itu: MOBUTU. Yang dimaksud adalah Mobutu Sese Seko Kuku Ngbendu Wa Za Banga yang merupakan politisi dan militer Kongo yang menjadi Presiden Zaire dari 1965 hingga 1997.
Buku Garrett ini mencatat bahwa epidemi ‘tidak ada keraguan ini merupakan ‘buruknya aspek sosial dan lingkungan yang dibawa oleh ‘demagog’ di pemerintahan yang berpegang teguh ‘pada orde lama’ dan menghalangi demokrasi. Ketika epidemi itu terjadi, para ilmuwan bekerja keras di daerah terjangkit
dan menyimpulkan bahwa etiologi epidemi Zaire setidaknya sama banyak dengan politik dan ekonomi sebagaimana faktor biologis. Otoriterisme dan korupsi mungkin tidak menelurkan virus Ebola, tetapi mereka pasti membuat tanah yang subur untuk penyebarannya.
Tiga buku itu memberi benang merah yang tebal: betapa korupsi telah melumpuhkan pelayanan dan kepentingan publik. Dominasi dan cengkeraman yang kuat kalangan swasta, ditambah kolusi pemerintah untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan profit dan politik mengancam sains dan ilmuwan yang mengawalnya. Diperlukan keberanian, keteguhan dan pengorbnan yang luar biasa untuk memenangkan pertarungan itu. “The plague of corruption is enormous and encompasses many areas of our scientific, medical, and daily political existence. The pharmaceutical companies have corrupted the laws regarding vaccinations, and a corrupt media has poisoned the mind of the public.”
Menjadi renungan bersama apa yang dikatakan Garrett: Jika terjadi serangan biologis, atau epidemi yang muncul secara alami, publik hanya akan memiliki satu arah yang dapat digunakan untuk menempatkan kepercayaannya: dengan infrastruktur kesehatan publik lokal, nasional, dan global. Jika sistem yang saling terkait seperti itu tidak ada pada saat dibutuhkan, itu akan menjadi pengkhianatan kepercayaan publik yang mengerikan. Untuk membangun kepercayaan harus ada rasa kebersamaan. Dan masyarakat harus secara kolektif percaya pada masa depannya sendiri. Pada era milenium ini, banyak manusia yang haus dan mengidamkan keterhubungan dan komunitas yang kuat di tengah hidup dalam keterasingan, bahkan permusuhan.
Konteks tiga buku itu adalah bumi Amerika Serikat. Apakah napasnya juga terasa seperti terjadi di Indonesia?
Kita di Indonesia juga bertanya-tanya. Mengapa penanganan Covid-19 nampak kacau? COVID-19 Regional Safety Assessment: Big Data Analysis of 200 Countries and Regions COVID-19 Safety Ranking
and Risk Assessment yang dikeluarkan oleh Deep Knowledge Group (2020) menempatkan Indonesia pada urutan 97. Diapit oleh Peru (96) dan Kamboja (98). Dan ditinggal jauh oleh Singapura (4), Jepang (5), Selandia Baru (9), Taiwan (16), Vietnam (20), Thailand (47), Malaysia (30), Filipina (55). Dan diantara negara-negara G-20, Indonesia menduduki posisi terburuk dalam keamanan mengelola Covid-19.
Apakah ada kontribusi korupsi dalam bentuk apapun di dalamnya? Apakah lahirnya UU Minerba di tengah keprihatinan dan perjuangan untuk selamat dari wabah ini juga merupakan korupsi kebijakan publik yang efektif? Apakah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 yang sudah disahkan menjadi UU ini juga berpotensi koruptif. Mengapa dalam Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19 itu mengandung klausul penegakan hak dilemahkan dan memberikan ‘imunitas sempurna’ untuk pejabat yang memiliki kewenang (Pasal 27 ayat 2 dan 3). Mengapa menutup hak rakyat untuk memperkarakan negara? Apakah ini cara yang tepat untuk lepas dari tanggungjawab dan tanggunggugat pejabat publik?