Menyerap Pelajaran Melalui Blame Game
—Dwi R. Muhtaman—
Bogor, 03.01.2020
#BincangBuku #36
“At all costs try to avoid granting yourself the status of the victim . . . No matter how abominable your condition may be, try not to blame anything or anybody.”
(Bagaimanapun caranya, cobalah untuk tidak menjadikan dirimu sebagai korban. . . Tidak peduli seberapa buruk kondisi Anda, cobalah untuk tidak menyalahkan apa pun atau siapa pun)
–Joseph Brodsky, Nobel laureates untuk bidang LITERATURE, 1987-
“A person who does not know the history of the last 3,000 years wanders in the darkness of ignorance, unable to make sense of the reality around him”
–Johann Wolfgang von Goethe, sastrawan Jerman–
Pada 20 September 2018, sebuah kecelakaan mengerikan terjadi di Oss, North Brabant, Belanda. Seorang karyawan dari pusat penitipan anak menggunakan mobil wagon listrik (yang dikenal sebagai stint) untuk mengangkut anak-anak dari fasilitas penitipan ke sekolah dasar. Menggunakan stint ini populer di pusat penitipan anak Belanda karena memudahkan transportasi anak-anak. Pada hari yang sial itu, stint yang mungil warna-warni dengan kapasitas muat delapan anak-anak dengan satu pengendara yang berdiri di belakang, bertabrakan dengan kereta api, menewaskan empat anak dan melukai seorang anak dan karyawan yang mengendarai stint itu.
Tragedi yang mengejutkan ini dengan cepat bergema di seluruh negeri. Sebagai tanggapan atas tragedi ini, Menteri Infrastruktur dan Manajemen Air Van Nieuwenhuizen mengumumkan bahwa wagon itu tidak lagi diizinkan untuk digunakan—sesuatu yang mencemaskan pusat penitipan anak yang sangat bergantung pada gerobak listrik pengangkut anak-anak itu. Sayangnya keputusan menteri yang tiba-tiba itu tidak didasarkan pada keinginan untuk memastikan keamanan publik. Sebaliknya, keputusan melarang penggunaannya, tampaknya, untuk mengalihkan perhatian dari Menteri, Kementerian, dan Lembaga Inspeksi (Inspectie Leefomgeving en Transport (ILT)) yang seharusnya mengawasi ini sebagai kendaraan transportasi tetapi gagal melakukannya. Dengan mengklaim bahwa stint itu tidak aman, sehingga kereta transportasi tersebut bisa dilarang meskipun di waktu keputusan itu dibuat, tidak ada bukti nyata yang mendukung klaim ini. Aktor-aktor yang berkaitan dengan peristiwa itu membuat pernyataan-pernyataan beragam yang masing-masing berusaha ingin menegaskan posisinya terbebas dari kesalahan. Siklus blame game (mencari kambing hitam, saling menyalahkan) dimulai.
Sandra L. Resodihardjo dalam buku terbarunya: Crises, Inquiries and the Politics of Blame (Palgrave Macmillan, 2020) menganalisis blame game dari tiga tragedi yang terjadi di Eropa. Salah satunya adalah kecelakaan stint di Belanda itu. Resodihardjo mengupas satu demi satu proses terjadinya blame game mulai dari aktor yang terlibat, peringkat blame (kesalahan yang saling disangkakan pada masing-masing mereka), respon terhadap sangkaan itu dan akhir dari blame game.
Tiga kasus blame game dalam buku ini memberi pemahaman yang detil tentang tahap, proses, dan hasil dari sebuah peristiwa ditinjau dari pisau blame game. Sandra Resodihardjo mengeksplorasi mengapa dan bagaimana blame game mulai, berkembang dan kemudian aktor-aktor saling mempengaruhi. Buku ini adalah bacaan yang menarik dan membuka tabir yang menyingkap pada setiap peristiwa publik yang krisis dan kemudian kita saksikan para aktor-aktornya saling melempar tanggung jawab, mencari kambing hitam menyeret aktor-aktor dibalik layar hingga semuanya makin rumit. Seringkali dalam peristiwa publik krisis seperti itu masing-masing pihak membingkai peristiwa itu dalam agenda mereka sendiri. Mencari jalan selamat sendiri.
Dalam seluruh proses blame game fase pertanggungjawaban adalah sangat penting karena menentukan apakah blame game ini bisa menjadi alat untuk memperbaiki situasi dan mencegah terulangnya peristiwa publik yang buruk. Dan menemukan penjahat (siapa yang menyebabkan dan/atau berkontribusi pada krisis ini?). Dalam blame game para aktor tampil ke hadapan publik untuk menerima (atau menyanggah) dan merespons kesalahan. Namun, penulis mengingatkan bahwa terlalu banyak fokus pada blame game, bisa mengarah pada fase akuntabilitas yang tidak seimbang karena orang-orang cenderung untuk tidak berbagi apa yang mereka ketahui tentang apa yang terjadi karena ketakutan dan mengambil jalan pintas, misalnya, pengunduran diri. Kurangnya informasi ini menghambat proses pembelajaran setelah krisis.
Dalam beberapa tahun terakhir, blame game telah menjadi lebih menonjol dalam fase akuntabilitas pengelolaan krisis. Saat ini, media, politisi, dan publik cepat marah, dan begitu panik mencari seseorang yang bisa disalahkan atas sebuah kejadian dan menuntut pengunduran diri seseorang dengan mudah. Fokus pada menemukan pelaku yang disalahkan dapat merugikan proses pembelajaran dari tahap akuntabilitas karena orang akan kurang mau terbuka jika pernyataannya bisa digunakan untuk melawan balik diri sendiri. Bagaimanapun, belajar membutuhkan keterbukaan. Dibutuhkan kesediaan untuk berbagi informasi tentang kesalahan yang telah terjadi— kesalahan yang mungkin menyebabkan atau berkontribusi pada krisis. Tapi jika membocorkan informasi apa pun mengarah pada tuntutan pengunduran diri, maka orang tidak akan bersedia untuk berbagi informasi — informasi yang sangat penting
memahami bagaimana krisis muncul dan bagaimana hal itu dapat dicegah di masa depan (halaman 6).
Blame game dalam setiap krisis atau tragedi selalu menampilkan semua elemen klasik saling menyalahkan: aktor-aktor mencoba mengalihkan kesalahan ke pihak yang menyelenggarakan acara yang berubah menjadi bencana (kecelakaan), adanya perselisihan awal soal siapa yang bertanggungjawab dari sisi pemerintah, argumen-argumen yang dilontarkan untuk menyanggah sangkaan, termasuk keterbatasan anggaran untuk melakukan pencegahan, kurangnya kordinasi antar instansi pemerintah hingga permintaan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut soal sebab-sebab terjadinya krisis atau bencana.
Menurut Resodihardjo, blame game bukanlah hal baru. Setiap ada kejadian yang buruk, oleh organisasi apapun akan memunculkan siklus blame game. Apalagi jika ada hubungannya dengan kepentingan publik. Krisis sering diikuti oleh pertanyaan tentang apa yang terjadi dan bagaimana ini bisa terjadi serta apakah ada yang bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Fase akuntabilitas dalam sebuah krisis terdiri dari dua elemen: pertama, memahami apa terjadi sehingga seseorang dapat belajar dari krisis untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut, dan kedua, menentukan apakah ada yang harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi. Pembelajaran ini sering bisa diungkap pada saat ada penyelidikan yang bertujuan meneliti peristiwa, menunjukkan apa yang salah, dan memberikan daftar rekomendasi untuk menghindari krisis serupa terjadi lagi. Idealnya, penyelidikan menyeluruh dan melihat penyebab yang mendasari krisis dan pelajaran dan rekomendasi dari penyelidikan itu diimplementasikan sebagai bagian penting penyelesaian masalah. Elemen kedua ini difokuskan pada menentukan apakah seseorang harus disalahkan dan, jika demikian, siapa yang akan bertanggungjawab. Proses inilah yang membuat blame game bermanfaat jika dikelola dengan tepat dan benar.
Blame game menyangkut juga soal persepsi, demikian tulis Resodihardjo. Ketika sampai pada persepsi dan blame game, bias negatif dan risiko, dan persepsi soal sebab musabab dari sebuah kejadian memainkan peran penting. Itu karena persepsi memengaruhi cara orang-orang memroses informasi yang diterima dan dengan demikian sampai pada titik tertentu memengaruhi perspektif tentang realitas. Bias negatif, misalnya, memengaruhi tipe informasi (positif atau negatif) yang akan lebih diperhatikan orang. Penelitian psikologis telah menunjukkan bahwa orang lebih mementingkan hal negatif daripada kejadian positif. Itu pada dasarnya berarti jika ada sesuatu buruk terjadi, orang akan cenderung melupakan berita positif yang mereka terima tentang organisasi atau orang yang terlibat sejauh ini.
Paul Hart, Universitas Utrecht, Belanda menyatakan apresiasinya pada terbitnya buku yang menarik ini. “Studi ini menyelidiki secara mendalam dinamika blame game yang tampaknya sekarang telah menjadi bagian yang tak terhindarkan dari tanggapan masyarakat maju terhadap peristiwa negatif.” Lebih lanjut disebutkan, analisis forensik Resodihardjo tentang bagaimana peristiwa-peristiwa negatif semacam itu dibingkai, diselidiki dan dipertanggungjawabkan secara signifikan meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana insiden dan krisis mempengaruhi reputasi dan modal politik otoritas publik, dan bagaimana mereka dapat mendorong tetapi juga secara signifikan menghambat pembelajaran institusional.
Bagi Arjen Boin, Leiden University, Belanda, krisis seringkali bahkan belum berakhir sebelum lumpur mulai beterbangan. Permata kecil buku ini menguraikan sebab dan akibat dari blame game. Dalam buku 134 halaman ini memang penulis yang merupakan Assistant Professor of Public Administration at the Institute for Management Research, Radboud University, the Netherlands ini menawarkan strategi menghadapi blame game. Misalnya aktor yang terlibat dalam blame game harus memahami faktor-faktor yang memengaruhi jalannya blame game.
Faktor-faktor yang memengaruhi blame game dimulai dari kontestasi framing (hal. 124): apakah sebuah insiden itu krisis, apa penyebabnya, dan apakah krisis ini adalah peristiwa satu kali atau tidak. Siapa yang akan disalahkan dan berapa banyak kesalahan yang akan ditimpakan pada aktor ini dan kemampuan menerimanya akan tergantung pada strategi pencegahan (di mana mereka berada pada saat kejadian dan sedang melakukan apa?), serta sejauh mana seseorang bertanggung jawab, apa reputasi aktor ini sebelum krisis (aktor dengan reputasi yang lemah akan mudah menjadi sasaran tembak), apakah krisis serupa telah terjadi sebelumnya (jika demikian, maka ini akan menyebabkan lebih banyak kesalahan ditimpakan), dan tingkat bahaya yang dapat dihindari (semakin tinggi levelnya, semakin banyak kesalahan akan dijejalkan).
Apa yang harus dilakukan seseorang yang masuk dalam arena blame game? Menurut Resodihardjo sekali blame game bergulir maka strategi presentasi dapat digunakan untuk membingkai, mengelola, atau memengaruhi tingkat kesalahan yang dihadapi seseorang. Meskipun jika tidak berhati-hati strategi presentasi ini bisa menjadi senjata makan tuan. Cara lainnya adalah dengan mengikuti ritual (halaman 126). Strategi presentasi ditujukan untuk mengubah persepsi publik tentang situasinya: mungkin kejadiannya tidak terlalu buruk, mungkin aktor lain lebih bertanggungjawab daripada yang saat ini disalahkan, atau mungkin aktor yang bertanggungjawab telah mengambil tindakan perbaikan yang cukup sehingga tidak pantas untuk disalahkan. Ini hanya beberapa contoh tentang bagaimana strategi presentasi dapat memengaruhi persepsi publik.
Ritual dapat memengaruhi persepsi publik juga. Tetapi menurut Resodihardjo bukan itu alasan utama mengapa aktor melakukan ritual — atau setidaknya orang bisa berharap begitu. Sebaliknya, ritual adalah tentang sikap menunjukkan empati dan kasih sayang, menawarkan simpati, memastikan bahwa para korban dan yang berduka merasa bahwa mereka sedang berada bersama mereka, mendengar, dan menghubungkan tokoh-tokoh publik (seperti walikota, politisi, dan gubernur, presiden, menteri) dengan warganya. Tidak menyelenggarakan ritual atau tidak menghadiri seseorang dapat mengakibatkan aktor menghadapi banyak kritik.
Dalam literatur blame game, asumsinya adalah bahwa respon yang memadai atas kesalahan yang ditimpakan akan menghasilkan berkurangnya kesalahan — respon yang memadai berarti strategi presentasi yang cocok harus berkesesuaian dengan tingkat kesalahan yang dihadapi. Tingkat kesalahan yang rendah dapat ditangani dengan menggunakan strategi presentasi yang cukup defensif sedangkan tingkat kesalahan yang tinggi membutuhkan strategi presentasi yang lebih akomodatif (halaman 125).
Apakah blame game itu buruk? Blame game, kata Resodihardjo yang juga telah mempublikasikan monograph berjudul Crisis and Change in the British and Dutch Prison Services. Understanding Crisis-Reform Processes (Ashgate, 2009) dan kontribusi dalam The Palgrave Handbook of Public Administration and Management in Europe (Palgrave, 2018), bukanlah sesuatu yang buruk. Persepsinya memang negatif.
Blame game adalah proses framing yang rumit di mana debat dalam masyarakat mengarah pada hal yang commonly shared definition dari sebuah kejadian yang secara bersama dianggap sebuah krisis dan publik juga berpendapat kejadian tersebut adalah krisis yang seharusnya bisa dihindari. Pandangan atau definisi masalah publik ini akan mencakup penyebab krisis dan kemudian juga apakah ada orang atau organisasi yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi.
Aktor yang disalahkan ini kemudian bisa menerima, membelokkan, menggeser/mengalihkan, atau meminimalkan kesalahan yang dihadapi. Tergantung bagaimana masyarakat menerima tanggapan atas tuduhan kesalahan ini (baik atau tidak), blame game akan sampai pada suatu kesimpulan dan berhenti atau berlanjut pada tahap berikutnya. Konsep blame game karenanya tidak hanya merujuk pada titik waktu tertentu ketika aktor berusaha untuk menyalahkan orang lain. Ini juga mengacu pada kontes framing yang menentukan, misalnya, apakah kesalahan itu harus ditujukan pada pihak tertentu dan apakah kesalahan itu dapat diberikan kepada seorang aktor atau apakah kita berurusan dengan kehendak Tuhan belaka — dalam hal yang manapun blame game akan selesai. Karena meskipun ada kesan negatif atas konsep blame game ini sebaiknya kita memahami keseluruhan proses dari awal hingga berakhir. Gambaran besar ini akan memberi perspektif lengkap bahwa blame game pada akhirnya haruslah dianggap sebuah upaya untuk membangun tindakan yang mencegah terulangnya kejadian krisis yang merugikan publik.
Mudah-mudahan, pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana blame game bekerja akan mengarah pada blame game yang terkelola lebih baik yang, pada gilirannya, akan menghasilkan fase akuntabilitas yang lebih seimbang di mana ada banyak ruang untuk belajar dari peristiwa tragis.
Buku ini menambah pemahaman kita tentang apa yang terjadi selama blame game setelah krisis dengan melihat teori dan praktik. Teori tentang blame game membantu menjawab pertanyaan seperti siapa yang disalahkan dan mengapa? Berapa banyak kesalahan yang diterima orang ini dan mengapa? Bagaimana orang ini merespons? Dan mengapa respons ini kadang tidak berhasil? Satu respons khusus untuk menyalahkan (meminta untuk penyelidikan) dapat berdampak cukup besar pada blame game. Tiga kasus yang dianalisis dalam buku ini menunjukkan bahwa respon terhadap kesalahan dapat menjadi bumerang dan bahwa ritual, konteks, dan sub-blame games dapat berdampak pada bagaimana blame games berkembang.
Membaca buku ini kita bisa bercermin dan mereka-reka siapa saja aktor blame game dalam bencana banjir di Jakarta dan sekitarnya, bagaimana respon masing-masing, bagaimana blame game banjir akan berakhir, pelajaran apa yang bisa diserap dari kejadian dan blame game ini? Dari jauh barangkali Goethe hanya bergumam, betapa sial bagi orang-orang yang tak mampu mengambil pelajaran hingga dari 3.000 tahun silam. Bagaimana blame game dengan bencana Jiwasraya? Apakah hilang dan tenggelam dalam banjir Jakarta?