halaman drm #50
Doha: Evolusi Kampung Menjelma Kota Global
Dwi R. Muhtaman
Dua dunia bertemu di ruang bandara ini –
Satu melesat maju, satu tertambat dalam,
Keduanya menghirup udara ber-AC yang sama.
…
— Brian Aldiss
“A Book of Places” (Littlewood Press, 2015).
Matahari telah menyelinap pergi. Jam menunjukkan pukul 22.15 waktu setempat. Dalam beberapa menit pesawat akan segera mendarat. Lampu-lampu nampak menguasai malam. Bintang dan bulan tak lagi mampu menaklukkan. Dari jauh, pada 4.000 kaki, kerlap-kerlip menyambut kedatangan para pengembara. Kerlap-kerlip seperti mutiara yang dulu menjadi tumpuan nelayan-nelayan desa pada dasar dalam di tepian lautan. Inilah Doha.
Doha terletak di sebuah teluk semi-terlindung di pantai timur Semenanjung Qatar. Wilayah ini didominasi oleh gurun yang gersang, tandus, dan iklim yang sangat keras dengan suhu musim panas yang sering melampaui 40°C dan kelembapan tinggi. Sumber daya air tawar hampir tidak ada. Itulah yang membuat kehidupan tradisional bergantung pada laut. Kondisi alam yang keras inilah yang membentuk karakter masyarakatnya yang tangguh dan berdaya tahan. Pada Abad ke-19 – 1930an hanyalah sebuah perkampungan yang bertumpu pada dua pilar ekonomi: perburuan mutiara dan perdagangan maritim.
Sebelum menjadi kota metropolitan, Doha adalah sebuah permukiman kecil yang dikenal sebagai Al-Bida. Pada abad ke-19 suku-suku Bedouin dari pedalaman dan keluarga-keluarga pedagang dari pantai Persia pindah ke kawasan teluk tersebut. Mereka mencari peluang dari industri mutiara yang tengah booming. Pada 1825, kota Doha secara resmi didirikan.
Doha, bersama dengan kota-kota lain di Teluk, menjadi pusat perdagangan mutiara alam.1 Perahu-perahu tradisional yang disebu dhow 2 akan berlayar selama berbulan-bulan di musim panas, dengan para penyelam (al-ghaws) yang menyelam tanpa alat bantu pernapasan ke dasar laut untuk mengambil tiram, tiram yang mengandung mutiara. Ekonomi ini sangat bergantung pada sistem pekerjaan yang mirip perbudakan. Para penyelam dan awak kapal sering kali terjerat dalam hutang yang tidak mungkin dilunasi kepada para pedagang dan pemilik kapal (nukhada), sebuah sistem yang dikenal sebagai “debt bondage.” Mereka bekerja dalam kondisi yang sangat berbahaya, menghadapi risiko tenggelam, serangan hiu, dan masalah kesehatan jangka panjang.
“Para penyelam adalah budak dari laut dan hutang. Jiwa mereka tergadai kepada sang nakhoda sebelum mereka bahkan menyentuh air.” — Sejarawan anonim tentang Teluk Persia, menggambarkan sistem ekonomi mutiara. Kemunduran industri ini dimulai pada 1930-an dengan ditemukannya mutiara budidaya oleh Jepang dan Depresi Besar global, yang menghancurkan ekonomi Doha dan membawa Qatar ke ambang kehancuran. Mutiara-mutiara alami tidak mampu bersaing dengan produksi hasil budidaya yang menggempur pasar mutiata dunia. Perlahan tetapi pasti penghidupan menyelam dan mecari mutiara alam ditinggalkan.
Namun nasib baik telah berpihak pada Qatar dan beberapa negara di sekitarnya. Penemuan minyak bumi di Dukhan (1940) dan kemudian ladang gas laut North Field (1971) mengubah takdir Qatar secara radikal. Pendapatan dari minyak mulai mengalir, dan Doha menjadi pusat administrasi dan investasi. Namun, transformasi awal ini relatif lambat dibandingkan dengan tetangganya. Di bawah kepemimpinan Emir Khalifa bin Hamad Al Thani, Qatar mulai membangun infrastruktur dasar. Kota tua dengan rumah-rumah batu karang dan menara angin mulai perlahan digantikan oleh bangunan beton modern. Dimana-mana di penjuru kota corak modern dan sebagian futuristik didirikan. “Kami mengambil sebuah masyarakat suku dari abad pertengahan dan membawanya langsung ke abad ke-21, dalam satu langkah,” kata Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, Emir sebelumnya, menggambarkan transformasi Qatar yang dramatis.
Pembangun insfrastruktur yang besar-besaran memaksa otoritas setempat memburu tenaga-tenaga kerja dari negara lain. Maka mengalirlah para tenaga kerja imigran.
Dan itu revolusi sesungguhnya. Utamnya ketika Emir Hamad bin Khalifa Al Thani mengambil alih kekuasaan pada 1995. Beliau meluncurkan visi ambisius untuk mengubah Doha menjadi pusat ekonomi dan budaya global. Inilah era ledakan konstruksi yang spektakuler.
Proyek-proyek raksasa dimulai:
- The Pearl-Qatar: Sebuah pulau reklamasi seluas 4 juta m².
- West Bay: Distrik pencakar langit yang menjadi pusat bisnis.
- Hamad International Airport: Bandara berteknologi tinggi.
- Stadion-stadion Piala Dunia FIFA 2022.
- Museum of Islamic Art dan National Museum of Qatar.
Untuk mewujudkan visi ini, Qatar membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar. Tenaga kerja ini tidak datang dari warga lokal, yang populasinya kecil, melainkan dari jutaan pekerja migran dari Asia Selatan (terutama Nepal, India, Bangladesh), Asia Tenggara (Filipina, Indonesia), dan sebagian Afrika.
Mereka direkrut melalui sistem Kafala, yang memberikan kendali besar kepada pemberi kerja (sponsor) atas pekerja migran. Dalam praktiknya selama bertahun-tahun, sistem ini mencipta-kan kondisi yang oleh banyak LSM digambarkan sebagai “perbudakan modern.” Paspor pekerja sering kali disita, dibayar rendah, dan bekerja dalam kondisi yang sangat berbahaya di tengah teriknya gurun Qatar, dengan sedikit perlindungan hukum. Perlakuan seperti ini bertentangan dengan konvensi ILO yang melindungi hak-hak pekerja.
Korban jiwa selama pembangunan infrastruktur ini, terutama untuk Piala Dunia 2022, sangat kontroversial. The Guardian melaporkan pada 2021 bahwa sejak Qatar terpilih sebagai tuan rumah, telah terjadi 6.500 kematian pekerja migran dari Asia Selatan saja. Meskipun pemerintah Qatar berargumen bahwa angka ini sebanding dengan rata-rata demografis dan tidak semuanya terkait konstruksi, angka ini tetap menjadi gambaran betapa besarnya biaya manusia dari transformasi Doha.3
Sebuah laporan Amnesty International tentang kondisi pekerja migran menyebutkan, “Langit Doha dijahit oleh siluet crane, tetapi fondasinya dibangun oleh impian yang patah dan keringat yang tidak terhitung.”4
Dampak Sosial dan Budaya: Masyarakat yang Tergantikan
Ledakan pembangunan Doha memiliki dampak budaya dan sosial yang mendalam. Untuk membangun distrik baru seperti West Bay dan The Pearl, permukiman tradisional tua, souqs, dan bahkan kawasan pantai dihancurkan. Jejak fisik sejarah Doha hampir seluruhnya terhapus, kecuali yang sengaja dilestarikan sebagai simbol (seperti Souq Waqif yang sebenarnya merupakan proyek restorasi).
Selama lebih dari 15.000 tahun kota-kota selalu didirikan di atas serakan tulang belulang. Mereka yang meninggalkan tulang belulang itulah yang membangun dan menjadi fondasi kota. Mereka tak pernah disebut dan dicatat namanya. Hanya tulang mereka yang tersisa meski terkubur di bawah gemerlap kota. Itulah yang diungkap dalam buku Built on Bones karya Dr. Brenna Hassett.5
Hassett menggunakan bukti tulang manusia (skeletal biology / bioarchaeology) sebagai “arsip sosial” untuk membaca kondisi kehidupan masyarakat masa lalu: kesehatan, diet, penyakit menular, kekerasan, ketidakadilan sosial, pola migrasi, dan praktik ritual. Dari fragmen tulang dan gigi, ia membangun narasi panjang tentang bagaimana munculnya permukiman terpadu/urbanisasi, industrialisasi awal, dan struktur sosial memengaruhi dan sering memperburuk kualitas hidup manusia. Dengan kata lain: peradaban besar sering dibangun di atas tubuh — dalam arti literal (pekerja yang sakit/meninggal, kondisi kerja buruk) dan dalam arti simbolis (pengorbanan ritual, pengecualian sosial).
Buku ini menjelaskan metode bioarkeologi: pengukuran tulang (tinggi, penyakit degeneratif), penanda kesehatan masa kecil pada gigi (enamel hypoplasia), analisis isotop untuk diet dan migrasi, paleopatologi (tanda infeksi), serta konteks penguburan (temuan makam, posisi jenazah, pemakaman massal). Hassett menekankan cara sains tulang “membaca” pengalaman tubuh yang tak tercatat dalam dokumen tertulis—terutama bagi orang-orang biasa: buruh, budak, perempuan, anak-anak.
Berdasarkan analisis itu Hassett berhasil mengungkapkan bahwa kepadatan, sanitasi buruk, dan interaksi dekat memfasilitasi munculnya penyakit menular; bukti cedera dan malnutrisi meningkat pada populasi yang beralih ke kehidupan kota. Peralihan dari pola berburu-mengumpul ke pertanian/urban membawa diet lebih berbasis karbohidrat, kurang variasi, sehingga muncul tanda-tanda kekurangan gizi dan penyakit kronis. Elit lebih sering menunjukkan tanda-tanda nutrisi lebih baik dan penyakit degeneratif terkait usia (indikator hidup lebih panjang), sementara kelas pekerja memperlihatkan lebih banyak trauma, penyakit akibat kerja, dan kematian dini. Luka tembus, patah tulang yang tidak sembuh, serta makam massal memberi bukti nyata soal konflik, penindasan atau praktik ritual pengorbanan di beberapa budaya. Cara sebuah masyarakat memperlakukan jenazah — apakah dikubur rapi, dibakar, atau diabadikan — memberi informasi tentang nilai moral, struktur kelas, dan identitas kolektif.
Hassett menulis secara naratif dan populer (ditulis untuk audiens luas) namun berakar pada bukti ilmiah. Tujuannya bukan sekadar menceritakan fakta-fakta osteologis, tetapi membuat pembaca melihat hubungan antara tubuh manusia dan struktur politik-ekonomi yang membentuk kehidupan — pesan etis: pembangunan/kemajuan sering menimpa tubuh manusia yang lemah.
Pembangunan Doha (Qatar) dan perlakuan tenaga kerja migran bisa kita analisis dengan kacamatan Hassett, mengaitkan dengan tema Built on Bones.
Percepatan pembangunan infrastruktur besar (stadion, jalan, apartemen, fasilitas transportasi) di Doha dan Qatar menjelang Piala Dunia FIFA 2022 menempatkan jutaan tenaga kerja migran (utama dari India, Nepal, Bangladesh, Pakistan, Filipina, dll.) dalam peran kunci. Laporan-laporan investigatif dan NGO menyoroti kondisi kerja yang buruk: upah tertunda/baixo, perumahan padat, jam kerja panjang, paparan cuaca ekstrem tanpa perlindungan, kurang akses layanan kesehatan, dan dalam banyak kasus praktik terkait sistem sponsor (kafala) yang melemahkan kebebasan pekerja. Hasil tragis: ratusan hingga ribuan kematian pekerja terkait kecelakaan kerja, penyakit dan kondisi kerja yang buruk — angka pasti tetap menjadi subjek perdebatan, namun laporan organisasi HAM dan media menunjukkan pola konsisten eksploitasi. (Laporan-laporan Amnesty International, Human Rights Watch, artikel investigasi media besar, serta data ILO / WHO menempatkan konteks ini secara dokumenter.)
Menanggapi tekanan internasional, Qatar mengumumkan beberapa reformasi pada 2019–2021: penghapusan beberapa aspek sistem kafala (mis. pembatasan exit permit, kemudahan ganti kerja), pengenalan upah minimum nasional, sistem pembayaran upah elektronik (wage protection). Organisasi internasional seperti ILO terlibat dalam proses. Namun organisasi HAM melaporkan bahwa reformasi seringkali tidak cukup atau tidak diberlakukan secara konsisten; masalah struktural seperti perekrutan melalui agen, potongan biaya rekrutmen di negara asal, perumahan kumuh, dan penegakan hukum lemah masih menyisakan pelanggaran.
Metafora utama Hassett — bahwa peradaban besar “ditulis” pada tubuh-benda (tulang) manusia — sangat relevan secara etis dan analitis untuk kasus Doha: kota/mega-proyek modern dapat dilihat dibangun di atas tubuh pekerja migran. Sama seperti bukti osteologis mengungkapkan korban tersembunyi dari urbanisasi awal, data kematian, cedera dan narasi pekerja migran modern mengungkap biaya manusia dari pembangunan cepat. Sejarah panjang menunjukkan pola: ketika akumulasi kekayaan dan pembangunan berjalan cepat (dari kota kuno sampai pusat-pusat ekonomi modern), tubuh kaum yang paling lemah sering menjadi “biaya” yang disembunyikan oleh narasi kemajuan.
Kenapa penting untuk dibaca bersama
Membaca Hassett memberi kerangka reflektif: bukan hanya mengutuk, tetapi memahami mekanisme struktural (kapital, aturan tenaga kerja, pembagian kelas) yang membuat eksploitasi terus berulang. Kasus Doha adalah contoh modern dari apa yang bioarkeolog mengamati di masa lalu: pembangunan besar mengandung bekas tubuh-badan yang menderita — dan bukti itu tetap ada, baik dalam catatan kematian, saksi hidup, maupun jejak fisik lingkungan kerja.
Brenna Hassett mengingatkan kita bahwa catatan paling jujur tentang harga pembangunan sering tercetak pada tubuh manusia sendiri; kasus Doha hari ini adalah versi kontemporer dari pola historis itu. Memahami bukti-bukti masa lalu lewat Built on Bones memperkaya pembacaan kita terhadap cerita-cerita pekerja migran masa kini: kedua hal tersebut menuntut tanggung jawab politik, perubahan struktural, serta ingatan moral terhadap mereka yang “membawa” pembangunan di pundak mereka.
Masyarakat asli Doha menjadi minoritas di kota mereka sendiri, hidup dalam gelembung kemakmuran yang terpisah dari mayoritas penduduk yang adalah pekerja migran. Terjadi pergeseran budaya yang masif, dari masyarakat Teluk yang homogen menjadi kota kosmopolitan yang kompleks, di mana bahasa Inggris dan Tagalog lebih umum terdengar daripada bahasa Arab di tempat-tempat tertentu. Doha adalah kota yang memakai dua wajah: satu dihiasi mutiara dan emas, yang lain menyembunyikan debu dan luka dari mereka yang membangunnya.
Seorang intelektual Qatar memberi komentar tentang hilangnya warisan arsitektur dan budaya lama Doha: “Di sini, masa lalu bukanlah sebuah fondasi, melainkan sebuah dekorasi. Masa depan dibangun di atasnya dengan kecepatan cahaya, seringkali melupakan jiwa yang menghuninya.”
Warisan dari periode ini adalah kota global yang cemerlang namun memiliki paradoks: kemewahan dan inovasi yang berdiri di atas tenaga kerja migran yang rentan, dan sebuah identitas nasional yang sedang berusaha menemukan keseimbangan antara warisan tradisionalnya dan ambisi globalnya yang futuristik.6 Termasuk keseimbangan soal jurnalistik antara suara Barat dan suara Dunia Arab. Dan beruntung Emir yang sama, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani, pada 1 November 1996, di Doha, Qatar mendirikan Al Jazeera. Keputusan strategis untuk membangun pengaruh Qatar di panggung global. Saat itu, dunia media Arab didominasi oleh penyiaran negara yang kaku dan penuh sensor. Emir Hamad ingin menciptakan alternatif yang menawarkan kebebasan berpendapat dan debat terbuka yang belum pernah terjadi sebelumnya di kawasan tersebut. “Suara untuk yang Tak Bersuara”: Al Jazeera mengadopsi slogan “الرأي والرأي الآخر” (al-ra’y wa al-ra’y al-akhar) yang berarti “Pendapat, dan Pendapat Lainnya”. Ini merevolusi jurnalisme Arab dengan menyajikan berbagai sudut pandang, termasuk wawancara dengan para oposisi, kritik terhadap pemerintah Arab, dan topik-topik yang sebelumnya dianggap tabu.7
“Doha adalah sebuah mimpi yang dibeli dengan minyak dan dirajut oleh tangan-tangan dari seluruh dunia. Tapi apakah setiap tangan itu mendapat bagian yang adil dari mimpi itu?”
— Sophia Al-Maria, seniman dan penulis Qatar, dalam tulisannya tentang “Gulf Futurism.”8
Inilah Doha. Sebuah evolusi kampung menjelma kota global.
Hamad International Airport,Doha-Madrid, 25 Oktober 2025.
1 Fromherz, Allen J. (2012). Qatar: A Modern History. Georgetown University Press. Buku ini merupakan sumber akademis utama yang membahas sejarah Qatar dari era pra-minyak hingga modern.
2 Dhow adalah sebutan umum untuk berbagai jenis kapal layar tradisional yang telah digunakan selama berabad-abad di perairan Laut Merah dan Samudra Hindia, terutama di kawasan Arab, Persia, India, dan Afrika Timur. Perahu ini adalah tulang punggung perdagangan, penangkapan ikan, dan industri mutiara di kawasan Teluk Arab, termasuk Qatar. Karakteristik paling khas dari dhow adalah bentuk layarnya yang segitiga (lateen sail). Layar ini memungkinkan kapal berlayar sangat efektif melawan angin, sebuah keunggulan teknologi yang membuatnya mendominasi rute pelayaran kuno. Sejarah dhow sangat panjang dan terkait erat dengan perdagangan maritim. Asal-Usul Kuno: Bukti arkeologis dan historis menunjukkan bahwa dhow telah digunakan sejak sebelum masa Islam. Kapal-kapal serupa digunakan oleh peradaban Mesopotamia kuno dan peradaban Lembah Indus. Mereka adalah kendaraan utama untuk perdagangan rempah-rempah, kayu, tekstil, dan mutiara. Zaman Keemasan Islam: Pada abad ke-8 hingga ke-13 M, dhow memainkan peran penting dalam jaringan perdagangan Muslim yang membentang dari Timur Jauh hingga Afrika. Pelabuhan seperti Basra, Siraf, dan Hormuz menjadi pusat maritim yang ramai. Pada Era Mutiara Qatar dhow adalah jantung dari industri mutiara Qatar. Setiap musim panas, armada dhow akan berlayar ke karang mutiara di perairan Teluk. Para penyelam (ghais) akan menghabiskan berbulan-bulan di laut, menyelam tanpa alat bantu pernapasan untuk mengumpulkan tiram mutiara. Kehidupan dan perekonomian masyarakat pesisir Qatar bergantung sepenuhnya pada pelayaran ini.
Dhow memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari kapal layar lainnya: Layar Lateen (Segitiga): Ini adalah fitur paling ikonik. Layar yang besar dan berbentuk segitiga ini dipasang pada tiang panjang yang miring, memberikan kemampuan manuver dan kecepatan yang sangat baik, terutama dalam pelayaran melintasi angin.
Konstruksi “Tongue and Groove”: Tradisionalnya, lambung dhow dibangun dengan teknik menjahit papan-papan kayu menggunakan tali yang terbuat dari serat kelapa atau kurma. Namun, teknik yang lebih umum dan canggih adalah sistem “tongue and groove” (lidah dan alur), di mana papan-papan disambungkan dengan pasak kayu, menciptakan struktur yang kuat dan fleksibel tanpa menggunakan paku besi.
Bentuk Haluan dan Buritan: Haluan seringkali runcing dan melengkung. Buritan biasanya persegi dan miring, sebuah desain yang khas untuk dhow jenis tertentu seperti “Boom”. Material: Kayu yang digunakan biasanya diimpor, seperti kayu jati dari India atau kayu sal dari Afrika, karena kayu lokal di kawasan Teluk sangat terbatas. Fungsionalitas: Desainnya sederhana namun tangguh, dibuat untuk bertahan dari kondisi laut yang keras di Teluk selama berbulan-bulan. Secara tradisional, dhow memiliki tiga fungsi utama: Perdagangan: Mengangkut barang-barang seperti kurma, kayu, rempah-rempah, emas, gading, dan budak melintasi Samudra Hindia. Pencarian Mutiara: Ini adalah penggunaan yang paling terkait dengan Qatar. Jenis dhow yang digunakan untuk ini disebut “Jalboot” – sebuah dhow berukuran lebih kecil dan lincah yang khusus dirancang untuk industri mutiara. Penangkapan Ikan: Digunakan oleh komunitas pesisir untuk menangkap ikan dengan jaring atau pancing.
Dengan runtuhnya industri mutiara akibat budidaya mutiara di Jepang dan ditemukannya minyak pada pertengahan abad ke-20, fungsi ekonomi tradisional dhow punah. Namun, dhow tidak menghilang. Ia mengalami transformasi makna dan fungsi: Simbol Budaya dan Nasional: Dhow sekarang adalah simbol kebanggaan nasional, warisan maritim, dan identitas bagi negara-negara Teluk seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Kuwait. Dhow sering ditampilkan dalam logo, pada uang kertas, dan dalam seni.
Pariwisata: Dhow telah dilahirkan kembali sebagai kapal pesiar wisata. Di Doha, Anda dapat menaiki “Dhow Cruise” untuk berkeliling Corniche, menikmati pemandangan kota modern sambil merasakan nuansa tradisional. Tur makan malam di atas dhow adalah atraksi wisata yang sangat populer.
Olahraga dan Perlombaan: Balap dhow adalah olahraga tradisional yang masih sangat hidup. Negara-negara Teluk menyelenggarakan perlombaan dhow bergengsi, seperti “The Annual Traditional Dhow Race” di Qatar. Yang unik, banyak dhow balap modern yang tetap mempertahankan desain tradisional tetapi dibangun dengan teknologi modern seperti fiberglass.
Pelestarian: Pemerintah dan individu terus membangun dhow baru, baik untuk tujuan komersial (pariwisata) maupun untuk melestarikan keterampilan tradisional pembuatan kapal. Sebuah galangan kapal dhow tradisional masih dapat ditemukan di beberapa lokasi, seperti di Al Khor, Qatar.
Referensi
Agius, D. A. (2005). Seafaring in the Arabian Gulf and Oman: The People of the Dhow. Routledge. Buku ini diakui secara akademis sebagai salah satu sumber paling komprehensif tentang sejarah dan budaya dhow di kawasan Teluk.
Al-Hijji, Y. (2001). The Art of Dhow Building in Kuwait. The Centre for Research and Studies on Kuwait. Meski fokus pada Kuwait, buku ini memberikan wawasan mendalam tentang teknik dan seni membangun dhow yang juga diterapkan di Qatar dan negara Teluk lainnya.
Museum Nasional Qatar (National Museum of Qatar). Pameran di museum ini memiliki bagian khusus yang mendetail tentang industri mutiara dan peran sentral dhow dalam sejarah Qatar. Informasi dapat diakses melalui situs web resmi mereka.
UNESCO. Dhow dan pengetahuan terkait telah didokumentasikan dan diakui sebagai bagian dari Warisan Budaya Takbenda di beberapa negara.
3 The Guardian. (2021). Revealed: 6,500 migrant workers have died in Qatar since World Cup awarded.
Laporan jurnalistik yang mengungkap skala korban jiwa di antara pekerja migran.
4 Amnesty International. (2016). The Ugly Side of the Beautiful Game: Exploitation of Migrant Workers on a Qatar 2022 World Cup Site. Laporan investigasi mendetail tentang kondisi kerja di proyek-proyek konstruksi besar.
5 Hassett, B. — Built on Bones
6 Museum Nasional Qatar (Doha). Arsitektur dan pamerannya menceritakan narasi resmi sejarah Qatar, dari zaman prasejarah hingga era modern.
7 Miles, Hugh. (2005). Al-Jazeera: The Inside Story of the Arab News Channel That is Challenging the West. Grove Press; El-Nawawy, Mohammed & Iskandar, Adel. (2002). Al-Jazeera: How the Free Arab News Network Scooped the World and Changed the Middle East. Westview Press; Situs web resmi Al Jazeera: www.aljazeera.com/about/
8 Al-Maria, Sophia. (2012). The Girl Who Fell to Earth: A Memoir. Harper Perennial. Memoar yang memberikan perspektif personal yang unik tentang transformasi Qatar dan Doha.






