Politik Rumput dan Nafsu Kekuasaan
—Dwi R. Muhtaman—
Cirebon-Bogor, 07.07.2023
#BincangBuku #51
It is no well-hidden secret that
stadiums are political spaces.
–Başak Alpan and Bora Tanıl
There are places I’ll remember
all my life, though some have changed.
Some forever, not for better,
Some have gone, and some remain.
—John Lennon/Paul McCartney, 1965
Sebuah foto beredar luas. Foto itu menangkap momentum sekerumunan orang di sebidang lapangan rumput. Ada beberapa orang yang nampak serius mengamati rumput. Seseorang nampak mengupas bidang tanah tempat rumput tumbuh. Memeriksa akarnya. Menunjukkannya pada yang ada di situ. Semua sambil jongkok. Dalam foto itu para wartawan foto juga tidak kalah seriusnya: membidikkan kamera. Berebut mendapatkan sudut foto terbaiknya. Pada foto lainnya nampak sosok yang serius itu: vendor pengelola rumput yang membongkar rumput pinggir lapangan bola. Lalu disaksikan oleh Erick Thohir, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, dan Pj Gubernur DKI Heru Budi. Mereka sedang memeriksa rumput lapangan bola Jakarta International Stadium (JIS). Meneliti seperti ilmuwan rumput.
Kegaduhan soal rumput lapangan bola ini menarik perhatian Katarzyna Herd, jauh sebelum rumput JIS digoyang-goyang. Ia melakukan penelitian dengan pendekatan naratif etnografi yang kemudian menuangkan hasil penelitiannya dengan judul: Pitch Fever: Swedish Football and the Politics of Grass. Di Swedia, seperti di tempat lain di dunia, lapangan sepak bola memiliki desain yang dapat dikenali dengan bentuk, garis putih, dan corak rumput hijau, yang harus disetujui oleh asosiasi sepak bola nasional. UEFA mengeluarkan pedoman standar rumput yang akan muncul di stadion. Musim sepak bola di Swedia adalah dari musim semi hingga musim gugur, tidak seperti kebanyakan negara Eropa yang bermain dari musim gugur hingga musim semi. Bulan-bulan awal musim semi di Swedia dipenuhi dengan diskusi tentang kesesuaian lapangan, kualitas, dan warnanya. Banyak waktu dan energi dihabiskan setiap tahun tidak hanya untuk kualitas rumput, tetapi juga jenisnya — rumput alami, buatan, dan hibrida—natural, artificial and hybrid grass. Sebuah kehebohan yang mirip dengan apa yang terjadi di Jakarta, JIS, meski yang di sini urusannya jauh lebih dahsyat.
Menurut Herd, kesesuaian lapangan sebagai elemen penting dari permainan yang terjalin dalam banyak narasi seputar sepak bola. Berdasarkan penelitian di liga sepak bola papan atas Swedia, bernama Allsvenskan, dia menyajikan wacana yang saling bertentangan yang muncul setiap kali rumput akan diperbarui. Di Swedia diskusi rumput sering masuk wilayah politik yang lebih luas dan mencerminkan sikap terhadap perkembangan sepak bola modern. Di Jakarta, rumput bukan menjadi diskusi, tetapi menjelma jadi alat politik untuk menjatuhkan lawannya. Bedanya lagi masalah diskusi rumput di Swedia berkaitan dengan pertarungan ideologis antara sepak bola tradisional yang menggunakan rumput alami melawan musuhnya: sepakbola modern yang menggunakan lapangan dengan rumput artifisial dan itu dianggap berbahaya oleh banyak orang bagi sepak bola Swedia.
Di Jakarta narasi rumput bisa menjadi senjata politik. Terjadi silang pendapat. Bantah membantah terkait politik. Karena itu di arena publik urusan rumput hiruk pikuk dipersepsikan berkaitan erat dengan Pemilu 2024. Ini bukan soal memeriksa mutu rumput. Tetapi lebih pada memeriksa rumput-rumput pada lapangan perbincangan politik. Dan politik pada era post-truth ini lebih mudah memanipulasi kebenaran daripada menyembunyikan kebohongan.
“Di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, sejarah sepak bola yang dimulai pada akhir abad ke-19 dikaitkan dengan beberapa fenomena sosial dan politik termasuk kolonialisme, nasionalisme, gerakan buruh, gerakan perempuan, urbanisasi, industrialisasi, pembuatan negara, globalisasi dan pemberontakan politik,” tulis Burak Özçetin dan Ömer Turan (2023). Hal yang tidak jauh beda dengan apa yang terjadi di Indonesia soal peran sepakbola dan stadion. Dalam banyak kasus, demikian Özçetin dan Turan menjelaskan, sepak bola (dan stadion) berubah menjadi lingkungan di mana protes politik, ekonomi, sosial, etnis, dan nasional diekspresikan. Dan stadion berfungsi sebagai, apa yang disebut Negt dan Kluge (1993 yang dikutip Özçetin dan Turan) sebagai ‘ruang kontra-publik’. Dalam situasi anti-demokrasi ‘sepak bola tetap menjadi salah satu dari sedikit jika bukan satu-satunya arena yang terbuka untuk pemaparan identitas sosial dan politik, dan arena sepak bola adalah tempat pesan-pesan politik pertama kali disampaikan. – berkomunikasi dan berjuang dengan pihak berwenang dimulai’. Begitulah peran-peran tersembunyi dari apapun yang terjadi di arena stadion. Rumput bisa menjadi alat politik. Stadion bisa menjadi arena nafsu kekuasaan. Menarik simpati pendukung dan memojokkan lawan. Tentu selalu ada aspek-aspek tehnis sebagai bagian yang tak terbantahkan.
BincangBuku #51 akan membincangkan buku tentang stadion dimana rumput tumbuh, dimana rumput bisa menjadi alat yang berbeda.
“Apa itu stadion sepak bola?” tulis Başak Alpan, Katarzyna Herd, dan Albrecht Sonntag, dalam buku suntingan mereka: The Political Football Stadium: Identity Discourses and Power Struggles. (Palgrave MacMillan, 2023) yang kita bicangkan kali ini. Stadion itu, tulis mereka dalam buku yang terdiri dari lima bagian dan 14 artikel ini, cuma sebuah struktur yang sebagian besar kosong dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi meledak dengan energi besar pada hari pertandingan atau ada event lain yang menggunakannya. Konstruksi dan pemeliharaannya menghabiskan banyak uang, ia menempati banyak ruang kota yang berharga dan tampaknya paling sering memfasilitasi perilaku yang tidak diinginkan, seperti melepaskan suar dan bom asap, melempar kursi atau botol air, menyalahgunakan dan menghajar lawan dengan cara apa pun yang dapat dibayangkan.
Tapi bagi pendukung, alasan keberadaan stadion sangatlah sakral. Stadion tidak pernah kosong. Ia menyimpan kenangan individu dan kolektif, emosi, identitas, sejarah yang terbuat dari kemenangan dan trauma. Alpan dkk. mencatat, misalnya, pada 2013, klub Swedia dari Stockholm, AIK, pindah dari stadion lama mereka yang sudah usang Råsunda ke arena nasional baru yang modern dan cerah yang terletak di area yang sama. Perpindahan ini telah lama direncanakan dan dipersiapkan, lapangan dasar Råsunda yang ikonik sejak tahun 1930-an akan digunakan untuk perumahan baru, stadion baru memenuhi standar UEFA, besar, nyaman dan beratap. Kemewahan murni. Namun, rasa kehilangan, pengkhianatan, dan kehampaan yang sangat besar terus melekat pada penggemar AIK. Pendukung berbicara tentang ‘luka terbuka’, bisikan politisi korup, negosiasi rahasia untuk menghancurkan stadion mereka.
Seorang karyawan dari Museum Kota Stockholm mengatakan bahwa telah ada diskusi untuk menyelamatkan sedikit Råsunda, tetapi rencana tersebut dibatalkan. Karena itu ‘hanya sebuah stadion’. Putranya, saking cintanya pada nilai ikonik stadion lama itu, berhasil mengambil satu kursi dan sepetak rumput dari sana. Sayangnya, rumput mulai membusuk dan harus dibuang. Patah hati. Memori Råsunda sekarang ada pada para pendukung. Ada spanduk dan T-shirt, ada tato dari struktur yang sekarang sudah musnah. Ada sebuah buku dengan gambar arena yang perlahan menghilang. Untuk waktu yang lama, sebuah pesan disemprot ditampilkan di lorong bawah tanah dekat bekas stadion: ‘Burn in hell you Råsunda’s murderer!’ ‘Bakar di neraka kau pembunuh Råsunda!’
Pada kenyataannya, sebuah stadion tidak pernah ‘hanya sebuah stadion.’ Råsunda adalah titik referensi selama beberapa generasi dan kematiannya adalah kisah yang mungkin terdengar akrab di banyak kota di seluruh Eropa, kata Alpan dkk., dalam buku setebal 304, kontribusi dari 19 penulis ini. Ruang sepakbola tercinta dikorbankan di altar modernisasi atau pembangunan perkotaan. Namun, stadion adalah tempat keajaiban terjadi. Tempat sejarah ditulis. Dan kenangan terukir. Di sinilah para pahlawan dari para pecandu sepakbola dielu-elukan, dan yang lainnya dihukum. Di sinilah mitos lama dapat dibangkitkan. Di mana Daud dapat membunuh Goliat berulang kali. Di sinilah kita merasakan emosi puncak, bergerak dari keputusasaan total ke ekstasi gembira dan kembali dalam beberapa menit. Dan arena sepak bola juga merupakan tempat warga negara dapat menghadapi negara. Tempat mereka yang tidak memiliki uang atau pengaruh dapat membuat diri mereka didengar. Tempat ketertiban dapat ditentang, dan hantu-hantu tua dipanggil kembali untuk menghantui masyarakat modern.
Tiga penyunting buku ini aktif menulis artikel dan penelitian tentang bola. Başak Alpan adalah profesor dan Dosen Politik Eropa dan Sosiologi Politik di Departemen Ilmu Politik dan Administrasi Publik di Universitas Teknik Timur Tengah, Ankara, Turki. Dia meraih gelar PhD dari University of Birmingham dengan penelitiannya tentang wacana Turki tentang “Eropa” pada periode pasca-1999. Dia melakukan penelitian dan banyak menulis tentang sepak bola dan identitas. Alpan menulis artikel “Hegemonic Masculinity in Times of Crisis: 15 July Coup Attempt and Turkish Football” (2019). Disamping berbagai kesibukan Alpan bekerja di FREE (Football Research in an Enlarged Europe).
Katarzyna Herd menerima gelar PhD di bidang Etnologi di Departemen Studi Seni dan Budaya dari Universitas Lund, Swedia, pada 2018. Disertasinya berjudul “We Can Make New History Here: Rituals of Producing History in Swedish Football Clubs”. Herd melakukan proyek menyangkut klub sepak bola berbahasa Swedia di Finlandia. Herd juga melakukan proyek tentang pola transfer di sepak bola Swedia. Herd bekerja sebagai dosen dan peneliti di Universitas Lund, Swedia. Sementara itu Albrecht Sonntag adalah Profesor Studi Eropa di ESSCA School of Management, Angers, Prancis. Dia memegang gelar doktor dalam sosiologi, dan telah menerbitkan secara ekstensif tentang berbagai aspek sepak bola internasional selama beberapa dekade terakhir, baik di media akademik maupun media umum. Albrecht juga salah satu editor dari seri buku the “Football in an Enlarged Europe.”
Bagaimanapun stadion adalah sebuah ruang sosial yang menjadi bagian penting kehidupan warga negara. Seperti kata sosiolog Prancis Henri Lefebvre (1909-1991) yang dikutip Alpan tentang produksi ruang sosial: Bukan pekerjaan sesaat bagi masyarakat untuk menghasilkan ruang sosial yang sesuai di mana ia dapat mencapai suatu bentuk melalui presentasi diri dan representasi diri — ruang sosial yang tidak identik dengan masyarakat itu, dan yang memang makamnya sekaligus buaiannya. Tindakan penciptaan ini sebenarnya adalah sebuah proses. Agar hal itu terjadi, adalah perlu (…) bagi kemampuan praktis masyarakat dan kekuatan berdaulat untuk memiliki tempat-tempat khusus yang dapat mereka gunakan: tempat-tempat keagamaan dan politik. (…) tempat-tempat seperti itu diperlukan untuk penyatuan …, sebagai tempat di mana prinsip kesuburan (Ibu) dapat mengalami pembaharuan dan di mana ayah, kepala suku, raja, pendeta, dan kadang-kadang dewa dapat dihukum mati. Dengan demikian, ruang muncul dengan konsekrasi—namun pada saat yang sama terlindung dari kekuatan baik dan jahat: ia mempertahankan aspek kekuatan tersebut yang memfasilitasi kesinambungan sosial, tetapi tidak meninggalkan jejak sisi lain yang berbahaya.
Lebih lanjut disebutkan stadion sepak bola bukan hanya konstruksi fungsional yang dirancang untuk menjadi tuan rumah pertandingan bola secara berkala, tetapi tempat di mana ‘komunitas yang dibayangkan’ (‘imagined communities’)—sebuah konsep yang paling banyak dikutip dalam penelitian sepak bola internasional—bersatu kembali untuk memverifikasi dan memastikan keberadaan mereka. Di puncak yang menjanjikan dari emosi kolektif yang dibagikan secara masif—’ritual intensitas’—stadion sepak bola menyediakan ruang bagi individu saat ini di mana mereka bisa menghilangkan individualitas mereka dan memenuhi kebutuhan akan rasa memiliki tanpa komitmen atau konsekuensi abadi pada kehidupan sehari-hari mereka. Di luar stadion, hidup ‘biasa’ lagi, dan norma sosial serta pola perilaku kembali ke tempatnya.
Apa yang terjadi di stadion sepak bola penuh teka-teki, tak terduga, beraneka segi. Ada motivasi tak sadar dan mekanisme yang mendasari kerumunan besar — sebuah fenomena yang pada dasarnya modern , tidak dapat dipisahkan dari industrialisasi dan urbanisasi (Gellner, 1983 yang dikutip Alpan). Sepak bola—pengalaman fusi yang hampir secara fisik tetap menjadi misteri. Interaksi antara stadion dan penonton memiliki dimensi budaya dan antropologis, sosial dan psikologis, ekonomi dan politik yang simultan; dan sementara satu pendekatan disiplin tunggal dapat memberikan pemahaman analitis dari satu aspek, itu tidak dapat berlaku adil terhadap kompleksitas seluruh pengalaman.
Stadion memiliki sejarah panjang yang berasal dari zaman kuno. Konsep stadion berasal dari Yunani kuno. Stadion Yunani kuno yang paling terkenal adalah Stadion Panathenaic di Athena, yang terutama digunakan untuk kompetisi atletik selama Panathenaic Games. Stadion ini adalah bangunan terbuka dengan bentuk persegi panjang dan area tempat duduk untuk penonton. Tujuan stadion Yunani kuno adalah untuk menjadi tuan rumah berbagai acara olahraga, terutama perlombaan kaki, dan itu melambangkan pentingnya kecakapan fisik dan persaingan dalam masyarakat Yunani. Pembangunan stadion ini mencerminkan filosofi Yunani dalam menyeimbangkan aspek fisik dan intelektual kehidupan manusia.
Bangunan serupa juga dibuat pada Jaman Romawi. Meskipun bukan hanya stadion, amfiteater Romawi memainkan peran penting dalam menyelenggarakan berbagai tontonan, termasuk kontes gladiator, perburuan hewan, dan pertunjukan teater. Struktur melingkar atau oval ini memiliki tempat duduk berjenjang di sekitar area pertunjukan pusat. Amfiteater Romawi berfungsi sebagai tempat hiburan, pertemuan publik, dan menampilkan kekuatan dan kemegahan Kekaisaran Romawi. Konstruksi mereka mencerminkan filosofi Romawi dalam menyediakan hiburan publik dan menumbuhkan rasa kebersamaan dan kendali atas penduduk.
Selama Abad Pertengahan dan Renaisans, stadion atau ruang terbuka besar yang disebut “lapangan” digunakan untuk pertemuan publik, turnamen, dan kompetisi jousting– olahraga yang melibatkan dua orang atau lebih, biasanya kesatria atau prajurit yang berkuda, saling berhadapan dalam pertarungan tunggal menggunakan tombak atau senjata lainnya. Tempat-tempat ini sering kali memiliki area tempat duduk untuk bangsawan dan rakyat jelata, dengan tujuan untuk menunjukkan kesopanan, keberanian, dan keterampilan dalam pertempuran. Pembangunan stadion ini mencerminkan nilai-nilai sosial feodalisme, ksatria, dan cinta keraton.
Konsep stadion olahraga modern seperti yang kita kenal sekarang muncul pada abad ke-19, bertepatan dengan kebangkitan olahraga terorganisir dan revolusi industri. Stadion ini adalah struktur yang dibangun khusus yang dirancang untuk menampung banyak orang dan menyediakan fasilitas untuk berbagai acara olahraga, seperti sepak bola, bisbol, kriket, dan atletik. Stadion modern menggabungkan fitur seperti tingkat tempat duduk, lapangan bermain, ruang loker, konsesi, dan fasilitas canggih. Konstruksi mereka mencerminkan filosofi mempromosikan sportivitas, kompetisi yang sehat, dan keterlibatan masyarakat.
Filosofi di balik pembangunan stadion telah berkembang dari waktu ke waktu. Mereka telah berfungsi sebagai tempat berkumpulnya komunitas, tempat kompetisi, dan simbol identitas budaya, sosial, dan nasional. Stadion seringkali mewakili nilai dan aspirasi masyarakat, apakah itu mengejar kesempurnaan fisik, hiburan publik, menunjukkan kekuatan, atau memupuk rasa persatuan dan rasa memiliki.
Stadion berfungsi sebagai ruang publik yang melampaui struktur fisiknya. Mereka memiliki kekuatan untuk menyatukan komunitas, menyelenggarakan acara budaya, merangsang ekonomi lokal, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan, melambangkan identitas, dan mendorong kohesi sosial. Apresiasi publik terhadap stadion melampaui penampilannya hingga pengalaman dan interaksi bermakna yang dimungkinkannya. Namun demikian stadion sering berfungsi sebagai tempat untuk rapat umum politik dan acara kampanye. Kandidat politik memanfaatkan stadion untuk menyapa audiens dalam jumlah besar, berbagi platform, dan memobilisasi dukungan. Peristiwa ini memberikan kesempatan kepada publik untuk terlibat dengan tokoh politik, mengekspresikan pandangan politik mereka, dan berpartisipasi dalam proses demokrasi. Gerakan sosial dan protes juga memanfaatkan stadion, di mana publik berkumpul untuk mengekspresikan pendapat politik mereka dan menuntut perubahan sosial. Contoh bersejarah termasuk Gerakan Hak Sipil di Amerika Serikat atau gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan, di mana stadion menjadi ruang bagi para aktivis untuk menyuarakan keluhan mereka dan mendorong reformasi politik. Di Indonesia lapangan terbuka menjadi arena protes, baik pada jaman kerajaan (aksi Tapa Pepe), pada jaman perjuangan kemerdekaan hingga jaman modern yakni dengan demonstrasi mengerahan masa yang terbuka.
Stadion, sebagai ruang publik, dapat menyediakan platform untuk dialog dan wacana tentang isu-isu politik. Forum publik, debat, atau konferensi yang diadakan di stadion dapat memfasilitasi diskusi tentang topik yang menjadi perhatian publik, memungkinkan warga untuk terlibat dalam percakapan kritis dan membentuk narasi politik. Peristiwa ini berkontribusi pada wacana publik yang lebih terinformasi dan partisipatif. Stadion dapat bersinggungan dengan kehidupan dan wacana politik dengan berfungsi sebagai platform untuk demonstrasi politik, melambangkan identitas nasional, menjadi tuan rumah gerakan sosial, menyediakan ruang untuk dialog dan wacana, dan dipengaruhi oleh keputusan politik terkait pendanaan dan pembangunan. Mereka berfungsi sebagai ruang di mana ekspresi politik, keterlibatan, dan opini publik dapat dibentuk dan dimobilisasi.
“Bukan rahasia lagi bahwa stadion adalah ruang politik,” tegas Alpan dan Tanil. Dengan dimulainya sepak bola modern di abad kesembilan belas, stadion telah menjadi tempat lahirnya ideologi seperti nasionalisme dangkal dan area di mana banyak identitas politik tidak hanya tercermin tetapi juga dibangun. Alasan utama asosiasi antara politik dan sepak bola adalah kekuatan yang terakhir untuk memobilisasi banyak orang. Maka tidak mengherankan dalam konteks soal rumput JIS aktor-aktor digerakkan untuk memanfaatkan stadion sebagai arena politik karena kemampuannya yang besar dalam dampak narasi dan propaganda opini. ‘Sebagai olahraga paling populer, dan bentuk budaya populer dengan daya tarik terbesar di seluruh dunia, sepak bola disebut sebagai “senjata pengalih perhatian massa”’–“weapon of mass distraction”’ (Tuastad 2014 seperti dikutip Alpan dan Tanil).
Seperti yang sudah berulang kali ditunjukkan, sepanjang sejarah, sepak bola telah digunakan untuk mengontrol massa dan menarik pemilih dan pendukung politik yang bersangkutan. Politisi telah melekat pada aspek-aspek sepak bola yang populer dan berpotensi menyatukan sambil menjauhkan diri dari aspek-aspek yang lebih partisan. Alpan dan Tanil juga mengutip beberapa rujukan yan gmenegaskan berbagai kepentingan politik bis ahadir dalam ruang publik yang disebut stadion itu. Politisi menggiring suara puluhan ribu penonton yang hadir di stadion. Termasuk juga di beberapa negara Eropa sepak bola telah digunakan sebagai alat propaganda politik (sebagai perpanjangan dari ‘perang ideologi’ yang sudah ada) sejak tahun-tahun pasca-Perang Dunia Pertama hingga akhir Perang Dingin.
Buku ini juga memberi contoh event penting antara lain di Piala Dunia 1954, kekalahan Hungaria oleh Jerman Barat di final dimaknai sebagai kemenangan kapitalisme melawan sosialisme. ‘Triple-F’ diktator Portugis Salazar yang terkenal untuk mempertahankan kediktatorannya—fado, football and Fatima— (fado-musik, sepak bola, dan perempuan)—telah menjadi formula yang disukai banyak tokoh politik di seluruh dunia, seperti Franco di Spanyol. Penggunaan sepak bola oleh Franco dan Real Madrid khususnya sebagai alat politik untuk mengkonsolidasikan kekuatan rezim baik di dalam negeri maupun internasional tidak dapat diduga. Setelah Perang Saudara, rezim Franco berusaha mengubah stadion sepak bola menjadi “gereja patriotik”, tempat bangsa Spanyol dan nilai-nilainya dapat dirayakan. Jadi, para pemain diperintahkan untuk memberi hormat fasis dan menyanyikan lagu Falangis Cara al sol sebelum pertandingan dimulai.
Sementara itu dari sebuah sudut stadion yang megah, Jakarta International Stadium, rumput digoyang-goyang, dibongkar akarnya, dibangun sejumlah narasi, dan berharap kapitalisasi dampak politik yang diimajinasikan. Dan dari situ, nampaknya, lapangan bola kita akan segera mati. Menyusul ratusan nama yang tenggelam dari Kanjuruhan.
Haruskah seperti itu? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.