Suara sunyi, Suara Hati
—Dwi R. Muhtaman—
Desa Manding, Pinoh Utara, Kabupaten Melawi, 22.01.2020
#BincangBuku #39
“There is a love no one remembers.”
—Jon Fosse, penyair, sastrawan, Norwegia dikutip dari Erling Kagge. “Silence.” 2017.
“The silence that lives in the grass
on the underside of each blade
and in the blue space between the stones.”
—Rolf Jacobsen, penyair, dalam: “In The Silence That Follows” dikutip dari Erling Kagge. “Silence.” 2017.
Pernahkah kita dengan sengaja pergi ke suatu tempat, menepi. Menyingkir dari hiruk pikuk yang selalu mengepung kita. Beranjak ke sebuah ruang, sebuah pojok. Pergi menjauh dari segala suara. Berjalan dalam sunyi. Melangkah pada suatu tempat tanpa bunyi yang biasa. Menyepi.
Mungkin sangat jarang kita melakukannya.
Karena kita membiasakan hidup dan bergaul dalam segala bunyi, kesunyian menjadi asing. Karena kita menyerahkan hidup kita pada keramaian dan kegaduhan maka sunyi adalah keganjilan. Sunyi adalah asing. Menuju kesunyian penuh keraguan. Kesunyian adalah ketakutan. Dalam sunyi kita merasa terlempar, merasa kehilangan. Terjerambab. Tersudut. Karena sunyi kita anggap bukan bagian dari keseharian. Bukan bagian dari kehidupan. Kesunyian adalah kegagalan kita tenggelam dalam kehidupan modern. Kesunyian menjadi sesuatu yang sama sekali harus dihindari karena ia tidak menyimpan bunyi-bunyi apapun. Kesunyian harus kita jauhkan dari segala agenda perjalanan kita. Dalam sunyi kita kehilangan kehidupan. Sunyi yang mencekam. Sunyi adalah kesia-siaan.
“….And that is most likely why many are afraid of silence (and why there is music everywhere, everywhere),” tulis penyair Norwegia, Jon Fosse seperti dikutip Erling Kagge dalam “Silence.” 2017. Kita kerap menjadi takut dalam sunyi. Cemas dalam sepi. Karena itulah bunyi kita ciptakan. Bunyi apapun agar sunyi hilang dari bagian kita. Kita ciptakan suara agar sepi tidak menerpa. Kita dengarkan musik, kita ceburkan kita di tengah-tengah yang mengandung bunyi. Kita ciptakan apapun yang bisa melahirkan suara. Dan itu akan menjauhkan kita dari segala yang sunyi.
Blaise Pascal, filosof dan seorang teorist yang membosankan, pernah menulis, pada masa yang jauh, 1600an: “All of humanity’s problems stem from man’s inability to sit quietly in a room alone.” Semua masalah kemanusiaan muncul dari ketidakmampuan manusia untuk duduk termenung dalam sunyi dalam sebuah ruang sendirian. Perasaan seperti itu—kegagalan diam dalam sunyi— ada jauh sebelum ditemukannya radio, apalagi televisi—sebuah penemuan hebat manusia dan efektif untuk menghapus sunyi dalam ruang individu, keluarga dan publik. Radio dan televisi telah merebut dan menguasai kesunyian dari pengalaman dan kebiasaan manusia. Dan juga, kini: ponsel cerdas. Sempurnalah kita menutup sunyi dari keseharian kita.
Sementara itu interupsi terjadi terus menerus dalam paruh akhir abad duapuluhsatu ini dan akan terus makin meningkat secara dramatis. Pencarian sunyi akan menghadapi lautan dan badai interupsi yang tak akan pernah henti. Manusia kini pudar konsentrasinya setelah delapan detik. Padahal pada tahun 2.000 masih mampu konsentrasi selama 12 detik, tanpa ada interupsi. Dengan ponsel pintar kita sering berharap ada bunyi yang menyapa dari ponsel. Dan manusia berkali-kali dalam setiap kurang dari tiga menit memeriksa layar ponsel. Layar ponsel dan keyboard telah menjadikan pengguna ketagihan atas panggilan bunyi.
Itulah yang membuat keprihatinan Kagge, penulis buku dan petualang alama bebas dari Norwegia ini. Kagge menyoroti soal mudahnya manusia kini diganggu oleh beragam gadget dan setumpuk aplikasinya. Makin banyak kita dibanjiri oleh interupsi itu makin banyak pula kita ketagihan untuk digoda, diganggu, distracted. Itulah dopamine loop. Dopamine adalah substansi kimia yang mengantarkan sinyal dari satu sel otak ke sel otak lainnya. dopamine menuruti kemauan dan nafsu seseorang. Kita tidak sertamerta tahu terdapat email, pesan atau notifikasi dalam media sosial komunikasi karena itu kita selalu memeriksa email, ponsel terus menerus. Dopamine tidak diprogram untuk menimbulkan perasaan puas karena telah mencapai apa yang diinginkan. Karena itu tidak akan pernah terpuaskan. Ketagihan.
“We live in the age of noise. Silence is almost extinct,” kata Kagge.
Sunyi mungkin tinggal sebuah cara pelarian. Kita mencari sunyi hanya karena ingin melupakan sesuatu yang luka. Sunyi sekedar jalan—mungkin satu-satunya—menghapus luka. Selebihnya, sunyi tidaklah penting.
Suatu waktu pada musim semi 1986, Erling Kagge, penulis buku “Silence” (2017) yang sedang kita bincangkan ini, berlayar seorang diri melintasi Samudra Pasifik menuju Cape Horn dari ujung lepas pantai Chile. Dalam perjalanannya, pada dini hari antara tengah malam dan jam 4 pagi, ketika seorang diri menatap ombak laut berdansa, ia mendengar suara yang nampak seperti suara yang meraung panjang, napas yang dalam pada sisi barat perahunya. Dia sama sekali tidak tahu suara apa itu. Ketika dengan sigap ia belokkan tubuhnya sembilanpuluh derajat, barulah ia sadar: fin whale, paus abu-abu sepanjang duapuluh meter, sepanjang perahu yang ditumpanginya.
Layar sudah rapih, perahu meluncur dengan sendirinya. Dia cuma menonton ikan paus itu. Langsing, ramping, agak mirip torpedo, dengan tulang punggung hitam keabu-abuan. Umumnya untuk paus sebesar itu maka beratnya sekitar enam puluh ton. Dia berenang berdampingan di samping kapal. Selama beberapa menit Kagge, dalam catatannya menceritakan, melakukan perjalanan yang sama, paus dan dia. Di lautan. Di atas deck perahu.
Beberapa kali lagi ia mendengar suara yang dalam datang dari lubang semburan di punggungnya, perlahan-lahan masuk dan keluar dari paru-paru, sebelum paus akhirnya menghilang ke laut. Dunia tidak selalu persis sama, kata Kagge. Ia tetap berdiri di sana, di atas perahu dengan tangan di kemudi. Mendengarkan dan memandang bayangan gelap dengan sirip tunggal itu pergi. Dan ia tak pernah melihatnya lagi.
Di tengah laut sunyi adalah segalanya. Suara samudra. Hembusan angin. Derap gelombang. Debur ombak. Gemercik air. Percakapan dalam diam adalah kesunyian yang mengalun. Tetapi dunia modern memberi suara yang berbeda. Ketika tiba di kantor, pada sebuah pagi terdengar suara: penyedot debu yang mendesing. Suara samudra adalah suara yang membebaskan. Sementara suara penyedot debu adalah suara yang mengingatkan pada tugas-tugas yang normal dan esensial dunia kini: sesuatu untuk menghilangkan debu di kantor. Dan segala kesibukan dengan suara.
“Diam bisa membosankan,” ungkap Kagge yang memang menyukai tempat-tempat sunyi dalam perjalanan hidupnya. Setiap orang mengalami cara-cara di mana keheningan dapat dianggap eksklusif, tidak nyaman, dan kadang-kadang bahkan menakutkan. Di lain waktu itu adalah tanda kesepian. Atau kesedihan. Keheningan yang mengikutinya terasa berat.
Namun, diam juga bisa menjadi teman. Kenyamanan dan sumber kekayaan yang lebih dalam. Dalam The Silence That Follows, penyair Rolf Jacobsen menulis, seperti dikutip Kagge:
The silence that lives in the grass
on the underside of each blade
and in the blue space between the stones.
(Keheningan yang hidup di rerumputan
pada bawah tiap helai
dan di ruang sunyi di antara batu-batu).
Keheningan yang bersemayam seperti anak burung di telapak tangan. Sangat mudah untuk melihat diri sendiri dalam pengalaman Rolf Jacobsen. Sendiri di lautan, kita bisa mendengar air; di hutan, mendengar sungai yang mengoceh atau cabang-cabang yang bergoyang tertiup angin; di gunung, bergemeretak gerakan kecil di antara batu dan lumut. Pengalaman itu adalah saat-saat ketika keheningan terasa begitu dalam. Tiada suara lain selain suara alam. Dalam suara alam itulah kita mencari dan mungkin menemukan sesuatu di dalam diri kita. Dari menit ke menit. Dari detak ke detak.
Menutup dari dunia sejenak bukan berarti memalingkan diri dari lingkungan, tetapi sebaliknya: melihat dunia sedikit lebih jelas, merawat tetap berada pada jalur perjalanan yang diyakini dan mencoba untuk mencintai hidup yang telah dinikmati.
Bagi Kagge dalam renungannya, diam itu sendiri adalah sebuah kekayaan. Eksklusif dan mewah. Kunci untuk membuka cara berpikir baru. Bukan pelepasan atau sesuatu yang spiritual, melainkan sebagai sumber daya praktis untuk menjalani kehidupan yang lebih kaya. Atau, dengan kata lain dalam istilah yang lebih biasa, sebagai bentuk pengalaman hidup yang lebih dalam daripada hanya sekedar menyalakan TV dan menonton berita, lagi. Atau mendengar panggilan dari benda-benda dalam genggaman yang menjengkelkan.
“Di satu sisi, keheningan adalah kebalikan dari semua hal dalam kehidupan modern ini. Suara adalah seperti udara. Ini tentang merasuk ke dalam apa yang Anda lakukan. Mengalami dengan lebih dalam daripada terlalu banyak berpikir. Membiarkan setiap momen menjadi berarti. Tidak hidup melalui orang lain dan hal-hal lain. Pupuskan dunia dan ciptakan keheningan Anda sendiri setiap kali Anda berlari, memasak makanan, bercinta, belajar, mengobrol, bekerja, pikirkan ide baru, baca atau menari” (halaman 66). “Menurut Marina Abramović, kebalikan dari keheningan adalah otak yang bekerja. Berpikir. Jika Anda ingin menemukan kedamaian, Anda harus berhenti berpikir. Tidak melakukan apapun. Diam adalah alat yang membantu kita melarikan diri dari dunia sekitarnya. Jika Anda mengelolanya, itu menjadi seperti “air terjun di otak Anda,” katanya. Listrik di udara berubah ketika dunia padam. Ini bisa bertahan lama, atau hanya sepersekian detik. “Time stands still.” Waktu hanya diam, seperti yang ditemukan Søren Kierkegaard, seorang filsuf Denmark, teolog, penyair, kritik sosial dan penulis soal keagamaan yang secara luas dianggap sebagai filsuf eksistensialis pertama.
“Silence is about rediscovering, through pausing, the things that bring us joy,” tulis Kagge pada Bagian 15, halaman 91. Diam adalah tentang menemukan kembali, melalui jeda, hal-hal yang membawa kita sukacita. Sebab, lanjutnya, “Semua orang adalah sesuatu yang lain, tidak ada yang semata adalah diri mereka sendiri,” tulis Martin Heidegger. “Sunyi adalah sebuah jalan yang tersedia kapanpun kita gunakan. Kapan saja kita berjuang untuk menemukan diri sendiri. “Dalam mengenal diri sendiri, Anda tahu orang lain,” tulis Kegga dengan batin (halaman 103). Elon Musk, seorang enterpreneur yang ‘tidak ada matinya’ pun, kadangkala mengaku perlu menyepi, diam dalam kesunyian dan menutup pintu dari dunianya agar bisa mengingat pikiran-pikirannya. Ada saat-saat kompilasi Musk lebih banyak mendengar ruang kesunyian dalam dirinya dan dipertimbangkan lebih utama dalam pengambilan keputusan dariapada mendengarkan nasihat konsultan atau timnya.
Dunia yang begitu bergegas membuat kita tak lagi merasa memiliki diri sendiri seperti kata Heidgger. Karena itu kita perlu jeda. Menjauh dari kesibukan. Menjemput sunyi. Karena dalam kesunyian kita menemukan arah.
“For thousands of years, individuals who lived in close quarters with no one but themselves around—monks on mountaintops, hermits, sailors, shepherds and explorers on their voyage home—have been convinced that the answer to life’s mysteries can be found in silence. That is the point. You sail out across the sea, but it’s when you make your return that you may discover what you have been seeking is in fact inside yourself.”
Selama ribuan tahun, orang-orang yang tinggal sendiri, menyepi pada suatu tempat tanpa siapa pun kecuali diri mereka sendiri — biku di puncak gunung, pertapa, pelaut dan nelayan, penggembala, petani di wilayah terpencil, dan penjelajah dalam perjalanan pulang mereka — begitu yakin bahwa jawaban atas misteri kehidupan dapat ditemukan dalam keheningan. Itu intinya. Anda berlayar melintasi laut, tetapi ketika Anda kembali, Anda mungkin menemukan apa yang Anda cari sebenarnya ada di dalam diri Anda.
Kesunyian, keheningan, silence, bisa ditemukan dimanapun. Setiap orang mempunya ruang kesunyiannya sendiri. “The silence you experience is different from that which others experience. Everyone possesses their own.” (halaman 123). Hanya dialah yang mengerti. Dalam buku Kagge yang lebih merupakan catatan renungan perjalanan hidupnya ini, diungkapkan bahwa Mark Juncosa, salah satu otak dari program antariksa Elon Musk, menemukan ide untuk merevolusi industri roket justru ketika dia menutup pintu dalam dunia kesehariannya. Menemukan ide-ide itu ketika pergi olahraga, ketika surfing, ketika mandi atau saat duduk manis di toilet. “That’s when new solutions surface.”
Dimanakah ditemukan sunyi? Dalam Islam, kesunyian ada pada tiga-per-empat malam, saat terbaik ketika kita mendengar suara hati, saat ketika sunyi terdengar begitu keras, saat ketika percakapan paling suci mengalir deras. Dalam Hindu kita kenal Nyepi.
Nyepi
Aku membayangkan sebuah sunyi
dari abad 78 masehi:
menghimpit di balik pintu, terkunci
suara hampa, cahaya padam,
bunyi hanya diam, di pojok.
Sendiri.
Tahun saka berdetak dalam
penuh sepi.
Melepas semua bunyi.
Memeras seluruh hingga sunyi.
Mengurai kata demi kata tanpa suara.
Sepi.
Membiarkan tilem kesanga menjelang, datang dari tengah samudra,
senyap bergelombang,
berombak sunyi,
mengalunkan amerta air kehidupan, basuh segala rusuh,
usap debu seluruh
Menyuci Bhuana Alit, membersih Bhuana Agung
Hari yang sunyi
menyambut waktu, menutup pintu dunia
merayakan Catur Brata Penyepian:
—amati geni
—amati karya
—amati lelungan
—amati lelanguan
laku dalam tapa, brata, yoga, dan semadhi.
Menyambut matahari dari tenggelamnya,
memulai terang dari gelapnya.
Probolinggo, 7 Maret 2019
—Dwi R. Muhtaman
Buku Kagge yang 175 halaman ini lebih merupakan renungan filosofis dari seorang pecinta alam. Ia pada tahuan 1984 dan 1986 pernah melayari Samudra Pasifik, pada tahun 1990 bersama seorang kawannya menjelajahi Kutub Utara dan beberapa tahun kemudian seorang diri melakukan hal yang sama ke Kutub Selatan. Pengalaman-pengalaman itulah—termasuk pengalaman gilanya ketika pada suatu malam Desember 2010, ia nekad memanjat jembatan di New York, the Williamsburg Bridge, jembatan yang menghubungkan Manhattan, Queens dan Brooklyn, lalu menyusuri terowongan bawah tanah tempat limbah mengalir dan dibuang, dan segala keperluan New Yorkers bawah tanah itu, dimulai dari terowongan di bawah 242nd Street dan Broadway di Bronx, bergerak ke Harlem dan terus menyusuri Manhattan menuju the Atlantic Ocean — yang memberi inspirasi penulisan buku ini. Dari perjalanan yang sunyi itu, Kagge belajar mendengarkan sunyi dan mendengarkan suara dari tempat yang jauh, sepi. Mendengar suara hatinya. Mendengar dirinya lebih dalam.
Dan hidup ini akan lebih mengagumkan dan menyenangkan ketika emosi diberi ruang untuk memainkan perannya. Perannya dalam sunyi.
“Life is long, if we listen to ourselves often enough, and look up.”