Mencari dan Merawat Kebahagiaan Cara Denmark
—Dwi R. Muhtaman—
Cilimus, Caracas, Kab. Kuningan 11.01.2020
#BincangBuku #37
“An unshared happiness is not happiness.”
—Boris Pasternak, Sastrawan, Pemenang Nobel Bidang Sastra, 1958.
“Junk mail is the mail that gives me the greatest pleasure in the world, because I know immediately what to do with it.
—Roald Hoffmann, Ilmuwan, Pemenang Nobel Bidang Kimia, 1981.
“GDP measures everything, in short, except that which makes life worthwhile.”
—Robert F. Kennedy
Carilah ilmu kebahagiaan hingga ke Denmark. Pepatah itulah barangkali yang cocok jika Anda ingin belajar tentang kebahagiaan. Denmark adalah negara yang menawan soal kebahagiaan, happiness—disamping tentu saja untuk soal-soal lainnya. Berdasarkan World Happiness Report (2013, 2015, 2016) Denmark merupakan negara paling bahagia di dunia. Pada tahun 2017 menduduki peringkat kedua di bawah Finlandia; 2018 merosot menjadi nomor tiga disalip oleh Finlandia dan Norwegia pada posisi masing-masing pertama dan kedua. World Happiness Report 2019 peringkat satu, dua dan tiga diduduki masing-masing oleh Finlandia, Denmark dan Norwegia. Jika dipukul rata nilai Happiness dari World Happines Report 2013-2017 maka berturut-turut peringkatnya adalah Denmark (skor 7,57 dari nilai 10), Switzerlan (7,56) dan Norwegia (7,55). Sementara itu Copenhagen, ibukota Denmark, diganjar sebagai kota ibukota terbahagia di dunia. Namun demikian menurut Wiking: “The keys to happiness are buried around the world, and it is our job to gather them up.” Kebahagiaan itu terpendam ada dimana-mana di seluruh dunia. Bukan semata ada di Denmark. Tugas kita adalah menemukannya.
Helen Russell dalam bukunya “The Atlas of Happiness: The Global Secrets of How to Be Happy (2018),” memaparkan ekspresi kehabagian dari 30 negara (Indonesia tidak masuk di dalamnya). Keadaan dunia nampak terlalu banyak dikesankan buruk. Manusia kadang merasa tidak ada harapan. Ketika banyak hal faktanya baik, tak banyak orang mengapresiasi atau membuatnya viral. Kita mengenal apa yang disebut Negativity Bias. Negativity bias berarti bahwa, sebagai manusia, kita mengalami peristiwa-peristiwa “buruk” lebih intens daripada kita melakukan “kebaikan” – dan kita juga lebih mudah mengingat yang buruk. Tetapi itu tidak berarti bahwa “buruk” adalah segalanya. Kita harus berusaha untuk secara sadar mengingat “yang baik” dan tetap berharap — atau kita tidak bisa membuat segalanya menjadi lebih baik.
Bagi Helen Russell kesan dan pandangan yang buruk tidak bisa terus dibiarkan menguasai kehidupan. Jika ada masalah maka harus dipecahkan. Tantangan, harus dijawab. Kita menyadari ada yang buruk, tetapi pada saat yang sama memikirkan untuk membuatnya lebih baik. Ada orang-orang di seluruh dunia yang menemukan kebahagiaan setiap hari, baik di negara-negara yang menduduki puncak survei kebahagiaan global maupun yang tidak. Dengan mempelajari tentang mereka, kita dapat menemukan lebih banyak cara untuk bahagia dan membantu satu sama lain. “Empati sangat penting,” kata Rusell. “.. dan belajar tentang apa yang penting bagi orang-orang di belahan dunia lain membantu kita semua. Memahami bagaimana berbagai negara memandang kebahagiaan dapat memengaruhi cara kita berinteraksi satu sama lain di masa mendatang.”
Bagi Russell—seorang jurnalis yang tulisannya kerap muncul di The Times, The Observer, Grazia, Stylist, the Independent dan The Wall Street Journal ini— buku the Atlas of Happiness bukan ringkasan soal kebahagiaan dari negara-negara paling bahagia di dunia; alih-alih, itu adalah buku tentang cara komunitas melihat konsep yang membuat orang lebih bahagia di tempat yang berbeda. Karena jika kita melihat secara eksklusif pada negara-negara yang berada di urutan teratas dalam jajak pendapat kebahagiaan, kita kehilangan banyak ide dan pengetahuan dari budaya yang mungkin kurang kita kenal.
“Tidak ada tempat yang sempurna,” kata Russell dengan bersahaja. “Setiap negara memiliki kesalahan.” Halaman-halaman pada bukunya itu catatan apa adanya yang merayakan bagian terbaik dari budaya suatu negara serta karakteristik nasional yang terbaik — karena itulah yang harus kita tuju semua. Menurut Russell, kata-kata kecil dapat memiliki dampak besar dan ide-ide sederhana yang tampaknya dapat mengubah cara kita memandang dunia. Tidak ada yang mengira hygge—kosa kata dan khas budaya Denmark yang menggambarkan kualitas kesenangan dan kenyamanan yang menimbulkan perasaan puas atau sejahtera—akan dikenang. Dan menjadi fenomena global.
Di Copenhagen pula terdapat lembaga penelitian yang serius mempelajari tentang kebahagiaan—tepatnya well-being: the Happiness Research Institute— sebuah lembaga think tank independen yang mengeksplorasi mengapa beberapa masyarakat lebih bahagia daripada yang lain.
Misi Lembaga Penelitian ini adalah untuk memberi masukan pada para pembuat kebijakan tentang sebab dan akibat kebahagiaan manusia, menjadikan kesejahteraan subjektif dari debat kebijakan publik, dan meningkatkan kualitas hidup warga negara di seluruh dunia. Lembaga ini menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif untuk mengungkap tingkat kesejahteraan, kebahagiaan, dan kualitas hidup. Baik mengukur kebahagiaan, kesejahteraan, atau kualitas hidup, pada dasarnya kita menghadapi tantangan yang sama. Konsep mengukur kebahagiaan adalah yang kompleks. Karena itu, Lembaga itu menganalisis berbagai komponen.
Apakah bahagia itu? Bagaimanakah seseorang bisa disebut bahagia? Adakah cara yang membahagiakan untuk mengukur bahagia? Kita seringkali tidak lagi merasa perlu untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Yang penting kita bisa merasakannya. Seseorang kerap harus jungkirbalik agar bisa mengumpulkan sebanyak mungkin kekayaan. Apakah kekayaan itu lantas membuatnya bahagia? Seseorang berpacu sengit meniti karir dan mengerahkan segala upaya untuk menggapainya. Apakah kemudian karir yang dicapai itu membuatnya bahagia? Mungkin saja. Bahagia. Mungkin saja tidak. Seseorang yang berjalan jauh setiap pagi membawa barang dagangannya keliling dari kampung ke kampung, menjajakan dari pintu ke pintu, dari pagi hingga sore? Apakah dia merasa bahagia? Mungkin saja bahagia. Pada sebuah pagi yang tenang, di teras belakang, kita duduk menghadap hamparan sawah yang menghijau, secangkir kopi kita teguk, udara segar membelai wajah kita. Pagi yang membahagiakan bukan?
Pada April 2012 sebuah buku penting diterbitkan pertama kalinya: World Happines Report. Laporan ini diterbitkan dalam rangka untuk mendukung Pertemuan Tingkat Tinggi PBB yang bertajuk: “Wellbeing and Happiness: Defining a New Economic Paradigm”. Laporan ini menyajikan data global tentang Kebahagiaan Nasional dan tinjauan bukti-bukti yang berkaitan dengan kebahagiaan dari pengetahuan baru tentang kabahagiaan yang menunjukkan bahwa kualitas hidup seseorang dapat diukur secara utuh, dapat diandalkan dan valid dengan beragam ukuran well-being subyektif yang kemudian secara luas disebut sebagai happiness, kebahagiaan.
Psycholog professor Sonja Lyubomirsky dari University of California dalam buku hasil risetnya soal kebahagiaan: The How of Happiness (2007) mengungkapkan bahwa bahagia yang disebabkan oleh keadaan kehidupan kita cuma 10% saja. Sisanya yang 90% kebahagiaan kita berasal dari cara kita memandang dunia, cara kita merespon apa yang terjadi pada kita, intentional activities. Karena itu kebahagiaan itu bisa diukur dan kita bisa meningkatkan kebahagiaan yang kita rasakan.
Saya akan mengupas buku menarik soal happiness dalam #BincangBuku #37 ini. Buku yang ditulis dari pengalaman penulis mengelola kebahagiaan ini berjudul: “The little book of lykke: the Danish search for the world’s happiest people” ditulis oleh Meik Wiking (2017). Lykke (Baca: Luuh-kah) adalah kata dalam bahasa Denmark untuk ‘kebahagiaan’, tetapi Anda mungkin menyebutnya sebagai felicidad jika Anda orang Spanyol, atau Glück atau bonheur jika Anda orang Jerman atau Prancis. Penulis buku ini adalah CEO dari the Happiness Research Institute yang berbasis di Copenhagen, Denmark. Wiking adalah salah satu pakar kebahagiaan terkemuka dunia. Buku ini seperti ditulis Wiking dimaksudkan: “..to take you treasure hunting; to go in pursuit of happiness; to find the good that does exist in this world – and to bring this into the light so that, together, we can help it spread. Books are wonderful idea-spreaders.” Sebelumnya Wiking juga telah menulis buku: The Little Book of Hygge, shared the Danish concept of everyday happiness with the world. Buku yang satu ini mendorong para pembacanya untuk fokus pada kesenangan sederhana dalam hidup. Sejak diterbitkan, Wiking banyak menerima surat-surat pujian dari seluruh dunia.
Jika kita melihat pada World Happiness Report, ada empat titik kesenjangan kebahagiaan antara negara-negara yang paling bahagia dan tidak bahagia, dan tiga poin dari empat ini dijelaskan oleh enam faktor: kebersamaan atau rasa kebersamaan, uang, kesehatan, kebebasan, kepercayaan dan kebaikan. Buku ini menguraikan enam faktor ini dalam masing-masing Bab. Dalam setiap penjelasan itu Wiking dengan bahasanya yang lugas dan santai mengeksplorasi mengapa hal-hal ini memengaruhi kesejahteraan, pelajaran kebahagiaan apa yang bisa diambil dari orang-orang dari seluruh dunia. Bagin-bagian itu mengungkap cara-cara di mana kita sendiri dapat menjadi lebih bahagia. – dan, pada akhirnya, bagaimana kita bisa menyatukan faktor-faktor ini menjadi peta kekayaan kita untuk mencapai kebahagiaan.
Dalam sebuah komunitas tidak ada yang semua orang berbahagia. Selalu saja ada mereka yang bahagia dan ada yang tidak merasa bahagia. Baik itu di Denmark, di Togo, di Tunisia atau Costa Rica. Lingkungan, kebijakan negara dan cara kita memandang dunia akan menentukan tingkat kebahagiaan.
Dengan demikian, apa yang menjadi denominator umum di antara orang-orang paling bahagia di dunia, apa yang bisa dipelajari dari negara-negara di seluruh dunia ketika berbicara soal kebahagiaan dan tindakan apa yang dapat diambil untuk membuat diri kita lebih bahagia? Inilah beberapa pertanyaan yang ingin dijawab oleh buku ini. Bagi Wiking buku ini akan mengungkap rahasia orang-orang yang paling bahagia di dunia dan mencari hal-hal baik yang ada di dunia.
Menurut Wiking, kebahagiaan bagi setiap orang bisa merupakan hal yang berbeda. Anda mungkin memiliki satu persepsi tentang apa itu kebahagiaan, saya memiliki pengertian yang lain. Karena tiap orang mempunyai konsep yang berbeda tentang kebahagian maka secara ilmiah menjadi tantangan tersendiri. Karena itu bagi Wiking dan tim risetnya hal pertama yang dilakukan adalah mengurai konsep kebahagiaan menjadi berbagai bagian.
Pelajaran pertama dalam penelitian kebahagiaan adalah membedakan antara bahagia saat ini dan menjadi bahagia secara keseluruhan. Ada dimensi afektif dan dimensi kognitif. Dimensi afektif – atau hedonis – menguji emosi yang dialami orang setiap hari. Jika Anda melihat kemarin, apakah Anda tertekan, sedih, cemas, khawatir? Apakah kamu tertawa? Apakah kamu merasa bahagia? Apakah Anda merasa dicintai? “
Dalam buku 525 halaman ini, untuk melihat dimensi kognitif, orang harus mengambil langkah mundur dan mengevaluasi hidup mereka. Seberapa puaskah Anda dengan hidup Anda secara keseluruhan? Seberapa bahagia Anda secara umum? Pikirkan kehidupan terbaik yang bisa Anda jalani, dan mungkin yang terburuk. Bagaimana yang Anda rasakan sekarang? Bagi Anda, kehidupan terbaik yang bisa dibayangkan mungkin melibatkan ketenaran dan kekayaan, atau itu mungkin berarti tinggal di rumah untuk belajar bersama anak-anak Anda. Ketika mencoba mengevaluasi kebahagiaan, informasi penting adalah apa impian Anda dan seberapa dekat Anda merasakannya. Karena pada akhirnya kebahagiaan itu yang paling bisa merasakan adalah diri sendiri. Tentu saja, dimensi afektif dan kognitif saling terhubung, dan bisa tumpang tindih sampai batas tertentu. Jika hari-hari Anda dipenuhi dengan emosi positif, Anda cenderung melaporkan tingkat kepuasan hidup keseluruhan yang lebih tinggi. Sama halnya, kita dapat memiliki pagi yang buruk dan masih merasa kita memiliki kehidupan yang indah secara keseluruhan. Dimensi kognitif berfokus pada kepuasan hidup secara keseluruhan dan merupakan indikator, yang merupakan dasar bagi banyak peringkat internasional seperti World Happiness Report. Dimensi afektif lebih berfokus pada jenis emosi apa – baik positif maupun negatif – yang dialami orang setiap hari seperti kegembiraan, kekhawatiran, dan stres.
Lebih rumit lagi adalah dimensi ketiga yang disebut eudaimonia. Itu adalah kata Yunani Kuno untuk kebahagiaan, dan didasarkan pada persepsi kebahagiaan Aristoteles. Baginya, kehidupan yang baik adalah kehidupan yang bermakna dan bertujuan. Dalam buku ini, Wiking terutama akan fokus pada kebahagiaan keseluruhan – dimensi kognitif – orang-orang yang merasa memiliki kehidupan yang luar biasa, tetapi kita akan melihat suasana hati kita sehari-hari dan juga tujuan kita.
Tingkat kebahagiaan kita adalah hasil rumit dari hubungan sosial, tujuan, genetika, usia, status pekerjaan, pendapatan absolut dan relatif, perbandingan sosial, harga diri, aspirasi, status kesehatan, otonomi, pola konsumsi, status sipil dan penggunaan waktu – untuk menyebut beberapa saja. Secara garis besar, tiga kategori memengaruhi tingkat kebahagiaan orang. Yang tidak bisa kita ubah (biologi), yang bisa kita ubah seiring waktu (kebijakan), dan yang bisa kita ubah besok (perilaku). Karena dalam penelitian soal kebahagiaan yan gdilakukan Wiking dengan Tim the Happiness Research Institute adalah pada sisi kebijakan dan perilaku.
Jika kita melihat pentingnya kebijakan untuk dimensi kognitif kesejahteraan kita (kepuasan hidup secara keseluruhan), yang sering menjadi dasar untuk peringkat kebahagiaan internasional, saat ini kita dapat menjelaskan 75 persen perbedaan antara 150+ negara dalam the World Happiness Report dengan faktor-faktor yang dipengaruhi oleh kebijakan seperti kesehatan, kebebasan untuk membuat pilihan hidup, PDB per kapita, tata kelola dan perilaku yang baik seperti dukungan sosial dan altruisme. Selama lebih dari seabad, kita telah berbicara tentang ketidaksetaraan ekonomi berkat gagasan ahli statistik Italia Gini pada tahun 1912 – dan kita sekarang tahu ketidaksetaraan menyebabkan kejahatan, kerusuhan sosial, dan bahkan konflik bersenjata.
Sementara itu, World Happiness Report 2016 berpendapat bahwa ketimpangan kesejahteraan memiliki dampak negatif yang lebih kuat pada bagaimana perasaan kita tentang hidup kita daripada ketimpangan pendapatan.
Wiking memberi uraian dan analisis yang ringan tentang hubungan antara enam faktor (kebersamaan/togatherness, uang, kesehatan, kebebasan, kepercayaan/trust, dan kebaikan/kindness) dengan kebahagiaan. Kemudian masing-masing juga disertai dengan tips kebahagian yang mudah dipraktekkan. Misalnya tiga kebiasaan sederhana yang bisa membuat kita bahagia: membaca, tersenyum dan mengadakan acara-acara bersama yang tak memerlukan biaya. Membaca buku fiksi misalnya akan meningkatkan kemampuan kita untuk merenungkan diri kita melalui membaca karakter yang dalam fiksi dalam menghadapi masalah yang mungkin sama dengan yang kita hadapi. Membaca adalah terapi gratis.
Dalam dunia makin sesak ini, Wiking mengajak kita untuk selalu berbagi kebaikan dan kebahagiaan. “If you see something, say something.’ If you see something that increases the happiness of you, your community or the world as a whole, talk about it, write about it, film it, photograph it – and pass it on.”
Meski kebahagiaan itu dirasakan diri sendiri tetapi kebahagiaan itu adalah juga sesuatu yang bisa dirasakan oleh orang lain. Maka berbagilah.