Bijak dengan Medsos: Dampak pada Otak dan Privasi
—Dwi R. Muhtaman—
Bogor-Cilimus, Kuningan-Cirebon, 15092019
#BincangBuku #34
“Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” “Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
-QS. Al-Baqarah: 11-12-
“Recent research suggests that use of social networking sites can be addictive for some individuals.”
-Journal of Behavioral Addictions. Dikutip dari Guy P. Harrison. “Think Before You Like: Social Media’s Effect on the Brain and the Tools You Need to Navigate Your Newsfeed.” 2017-
“The Internet is the first thing humanity has invented that humanity doesn’t understand”.
—Eric Schmidt, former Google executive”
Tristan Harris mestinya bisa hidup nyaman. Bekerja pada perusahaan yang menjadi impian banyak orang. Menyandang peran yang sangat keren: Product Philosopher di Google. Harris bertanggung jawab untuk mempelajari bagaimana teknologi memengaruhi perhatian, kenyamanan, dan perilaku orang. Dia melakukan tugas itu dengan sangat serius. Dan membuatnya berhenti. Pasalnya, Harris sangat khawatir dengan terlalu banyaknya industri, termasuk Google, tempat dia bekerja itu, membuat ketergantungan orang pada aplikasi dan perangkat kerasnya— dengan cara apa pun yang diperlukan — agar orang terus menerus terpaku pada layar mungil dawai cerdas hanya untuk menangguk data dan menjual iklan.
Industri itu melakukannya dengan mengorbankan apa yang bisa dan seharusnya dilakukan: bekerja untuk membuat teknologi lebih bermanfaat dan lebih mampu meningkatkan kehidupan kita. Dia menyaksikan sekelilingnya pada hari ini, melihat orang-orang di mana-mana menatap telepon genggam, dan khawatir bahwa kita mungkin telah mengambil jalan yang salah.
Itulah sekelumit kisah betapa drama soal efek media sosial dalam peradaban baru umat manusia cukup mencemaskan (Halaman 250). Harris tidak sendiri dalam kekhawatirannya terhadap peran media sosial. Sherry Turkle, juga menuliskan buku Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (2011). Profesor yang dikenal keahliannya pada Social Studies of Science and Technology pada the Abby Rockefeller Mauzéini di Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini mencurahkan sebagian hidupnya untuk mengamati perkembangan teknologi cerdas (robot, smartphone, internet) dan dampaknya terhadap relasi sosial manusia. Sherry Turkle yang mendapatkan Ph.D pada bidang Sociology and Personality Psychology di Harvard University juga menulis Reclaiming Conversation (2015) dan tidak kurang dari sepuluh buku telah ditulisnya dengan subyek sosial dan teknologi.
Menurut Guy P. Harrison yang bukunya berjudul “Think Before You Like: Social Media’s Effect on the Brain and the Tools You Need to Navigate Your Newsfeed” (2017) kita kupas kali ini bahwa ketergantungan kita terhadap dawai cerdas ini sudah pada level adiktif, ketagihan (Halaman 242). Sebuah studi yang dilakukan tahun 2016 oleh dscouts, sebuah firma riset di Chicago, pengguna smartphone mengetuk (tap), mengklik (click), dan menggeser (swipe) rata-rata sebanyak 2.617 kali per hari. Pengguna terberat melakukannya dua kali lipat hingga mencapai 5.427 sentuhan harian. Ini sama dengan sekitar satu juta sentuhan per tahun, dua juta untuk pengguna paling aktif. Rata-rata pengguna ‘menggauli’ teleponnya dalam tujuh puluh enam sesi per hari. Sepuluh persen pengguna teratas rata-rata 132 sesi sehari. “Checking your likes is the new smoking,” kata komedian Bill Maher, seperti dikutip Harrison (Halaman 253).
Yang juga sangat mencemaskan, medsos mampu mengubah perilaku seseorang hingga seperti bermain judi dengan menggunakan mesin judi (slot machine). Harrison menuangkan kisahnya dengan merujuk pada fasilitas judi “the Las Vegas Hilton” dan pada hampir satu juta slot machines di Amerika Serikat hingga 2017 atau dua kali lebih banyak daripada ketersediaan ATM. Orang Amerika menghabiskan lebih banyak uang dengan bermain mesin judi daripada gabungan nonton bioskop, baseball, dan arena bermain lainnya.
Jika Anda sebagai apps, bagaimana Anda membuat orang ketagihan? Ubah diri Anda menjadi mesin judi. Jika rata-rata orang memeriksa ponsel 150 kali sehari. Mengapa kita melakukan ini? Apakah kita membuat 150 pilihan sadar? Seberapa sering Anda memeriksa email Anda per hari? Salah satu alasan utamanya adalah bahwa kandungan utama psikologis di mesin judi itu: imbalan variabel yang kadangkala. Ada rangsangan mendapat hadiah tetapi tidak ada kepastian. Tetapi Anda dibuat penasaran untuk mengejar hadiah itu. Jika Anda ingin memaksimalkan kecanduan, yang harus dilakukan oleh perancang teknologi adalah menautkan tindakan pengguna, seperti menarik tuas, dengan hadiah variabel. Anda menarik sebuah pengungkit dan segera menerima hadiah yang memikat — jika cocok, dapat hadiah! —Atau apa pun. Kecanduan dimaksimalkan ketika tingkat hadiah paling bervariasi (Halaman 251). Dan Anda terus menerus dibuat ketagihan. Otak kita kecanduan. Yang menjadi target adalah molekul dopamin di otak yang membantu kita merasakan keinginan dan kesenangan. Para ahli coding komputer menggunakan teknologi untuk merangsang dan memprovokasi respon neurologis yang bisa mengaktifkan dopamin.
Ritual keintiman kita dengan ponsel sudah tidak diragukan lagi. Ketika kita mengeluarkan ponsel dari saku, kita seperti memainkan mesin judi untuk melihat notifikasi apa yang masuk. Saat kita mengambilnya untuk periksa email, kita memainkan mesin judi untuk melihat email baru apa yang datang. Saat kita menggeser jari ke bawah untuk menggulirkan feed Instagram, kita memainkan mesin judi untuk melihat foto apa yang akan muncul berikutnya. Saat kita menggeser wajah ke kiri/kanan pada aplikasi kencan seperti Tinder, kita memainkan mesin slot untuk melihat apakah ada seseorang yang cocok. Ketika kita mengetuk # pemberitahuan merah, kita memainkan mesin slot untuk apa yang ada di bawahnya. Aplikasi dan situs web menaburkan beragam hadiah variabel beruntun di seluruh produk mereka karena bagus untuk bisnis.
Mari kita lihat statistik ini. Orang Amerika rata-rata memeriksa ponsel mereka, hampir lima puluh kali sehari. Mereka yang berusia delapan belas hingga dua puluh empat tahun melakukannya delapan puluh dua kali sehari, rata-rata. Dalam lima menit setelah bangun pagi, lebih dari 40 persen orang sudah melihat ponsel mereka untuk pertama kalinya dalam sehari. Lebih dari 30 persen pemilik ponsel pintar memeriksanya lima menit sebelum tidur. Dan sekitar setengah dari semua pemilik smartphone kadang mengintipnya di tengah malam. Secara kolektif, mata orang Amerika terpaku dengan layar kecil itu sekitar delapan miliar kali per hari. Apa yang terjadi di Amerika dengan ponsel mereka bakal dengan mudah terjadi juga di negara lain, termasuk Indonesia.
Keasyikan yang mencandu ini membuat seseorang yang terbenam dalam dunia layar mungil tidak peduli pada apa yang terjadi di sekitarnya. Yang dekat menjadi jauh. Yang jauh menjadi dekat. Harrison melakukan pengamatan sederhana di sebuah kafe—sesuatu yang dengan mudah pula kita temukan hampir di setiap kedai kopi, restoran, ruang tunggu bandara, stasiun. Dimanapun. Ini terasa sangat aneh. Tetapi telah menjadi The New Normal.
Dia sedang duduk di sebuah pojok yang nyaman di sebuah kedai kopi lokal. Menulis buku dan menyelesaikan urusan kantornya. Lalu terdengar seseorang memasuki kedai. Dua wanita muda masuk dan duduk di dekatnya. Dari gayanya mereka nampak seperti dua orang sahabat. Sebelum Harrison kembali menuliskan kalimat berikutnya untuk bukunya, ia memperhatikan sesuatu yang dianggap aneh, misterius, dan bahkan dunia lain yang berbeda jika itu terjadi beberapa dekade yang lalu. Kedua wanita itu, yang jelas-jelas berteman, seperti yang ditunjukkan oleh perilaku mereka sebelumnya di konter, tidak berbicara. Mereka tidak saling bertatap pandang dan berbincang satu sama lain. Sekitar sepuluh menit berikutnya, mereka membisu. Sebaliknya mereka saling menatap ponsel masing-masing dan menyibukkan diri menyentuh dan menggesek layar sentuh yang sangat kecil dalam keheningan sama sekali.
Kita membayangkan salah seorang diantara mereka menelepon — mungkin mengirim pesan— untuk bertemu dan minum kopi sambil mengobrol. Faktanya ketika tiba di dalam kedai kopi itu mereka tidak pernah berbicara atau bahkan saling memandang. Tidak satu kata pun. Sepi dalam dunia layar ponsel. Apakah medsos telah membuat kita a-sosial? Pengamat teknologi, termasuk Harrison mengamininya. Dan perusahaan-perusahaan teknologi dan pengembang platform sosmed adalah biang semua itu. Mereka berlomba “…to the bottom of the brain stem, to get people’s attention at all costs.” Apple, Google, Facebook, Instagram, Snapchat, dan sejumlah perusahaan lainnya “….gaming us, erecting a stealth casino around us and selling us pocket-sized gambling machines,” kata Tristan Harris yang menjadi saksi perjalanan Google dan sekarang menjadi co-founder dari Time Well Spent movement dan juga Direktur dan co-founder dari the Center for Humane Technology, sebuah organisasi nirlaba dan gerakan dengan misi “reverse human downgrading by realigning technology with our humanity.”
Perusahaan-perusahaan itu membajak otak kita, menciptakan kebiasaan dan membentuk kebiasaan penggunanya. Silicon Valley tidak hanya membuat program apps. “They are programming people. There’s always this narrative that technology’s neutral. And it’s up to us to choose how we use it. This is just not true,” kata Harris dalam wawancara dengan CBSNews.com (9 April 2017).
Keterhubungan jaringan manusia ini bukan hal yang baru di bumi. Manusia saja yang terlambat. Hanya dalam beberapa dekade belakangan ini kita terhubung satu dengan yang lain memalui medsos.
Harrison yang merupakan seorang jurnalis, bekerja sebagai editorial writer, world-news editor, sports editor, reporter, feature writer, dan juga kolumnis ini mengungkapkan bahwa banyak bentuk kehidupan yang kita miliki bersama di planet ini telah menggunakan dan mengandalkan jaringan sosial mereka yang rumit dan luas selama jutaan tahun. Bakteri, misalnya, umumnya dianggap sebagai salah satu bentuk kehidupan yang paling sederhana, tidak begitu sederhana sehingga mereka tidak menggunakan kuorum sensing. Ini adalah semacam jaringan aksi media sosial yang memungkinkan mereka melacak banyak “teman” mereka yang ada di dekatnya. Makhluk terkecil ini mengirim sinyal satu sama lain dalam bentuk molekul yang disebut autoinducers.
Tidak hanya beberapa bakteri berkomunikasi satu sama lain dan mempertahankan ikatan sosial, mereka juga “menyelesaikan konflik” dalam jaringan mereka dan bahkan mengirim “permintaan berteman” kepada bakteri yang berada di luar lingkaran sosial mereka. “Studi kami menunjukkan bahwa bakteri yang hidup dalam komunitas biofilm melakukan sesuatu yang mirip dengan mengirim pesan elektronik kepada teman-temannya,” kata Jacqueline Humphries, seorang peneliti UC San Diego yang dikutip dalam buku Guy Harrison ini. “Kami menemukan bahwa bakteri dari satu spesies dapat mengirim sinyal listrik jarak jauh yang akan mengarah untuk perekrutan anggota baru dari spesies lain.”
Demikian juga tanaman yang mempunyai kemampuan seperti internet. Harrison mendeskripsikan soal ini (Halaman 20). Internet mereka telah ada selama jutaan tahun. Ini terdiri dari serat tipis panjang yang disebut miselium, dan melaluinya tanaman mampu berbagi informasi dan nutrisi, termasuk karbon. Sama seperti Internet kita, hal-hal buruk dapat terjadi di “wood wide web,” juga. Beberapa tanaman menggunakan konektivitasnya untuk mencuri nutrisi dari tanaman lain. Beberapa mengirim racun melalui miselium untuk melukai saingannya. Tumbuhan bahkan memiliki masalah privasi seperti kita.
Buku Think Before You Like yang terdiri dari enam bagian ini bukan berarti mengajak kita menolak sosmed dan melupakan dawai cerdas kita. Harrison yang buku-bukunya sangat diapresiasi oleh pembaca dan kritikus buku karena sikap kritisnya ini menegaskan pentingnya bersikap kritis terhadap penggunaan dawai cerdas dan sosmed. Bijak dan penuh kesadaran atas apa yang dilakukan sebagai pengguna. Belum lagi soal hilangnya privasi bagi pengguna ponsel dan semua perangkat internet. Setiap pengguna ponsel dan terhubung dengan internet maka ada pihak lain yang menguntit dan mengamati penggunaan kita tanpa kita sadari. Mereka menghimpun data kita dan membangun profil kita. Mereka bahkan lebih mengetahui tentang kita daripada kita sendiri. Profil ini, baik akurat atau tidak, de fakto akan menjadi ID card kita (Halaman 577).
Bagi Anda yang ingin meminimalkan pembajakan profil on-line silakan kunjungi website myshadow.org yang menawarkan beberapa opsi praktis gratis. Fitur menarik yang bisa dicoba adalah siapa yang mengintip dan melacak Anda ketika Anda berselancar di internet. Kemana saja potensi data Anda akan menyebar dan mengalir. Semua jaringan itu bisa kita ketahui.
“Suatu kali,’ tulis Harrison pada bagian penghujung bukunya yang berjumlah 721 halaman ini dalam renungan yang dalam, “kami adalah bayang-bayang keberadaan yang mikroskopis, bukan apa-apa. Kita tidak serupa apapun yang bisa diukur sebagai sesuatu yang hidup. Tapi kemudian kami hidup.
Kami menyebar ke seluruh samudera luas di planet kecil yang sepi. Kami terhuyung-huyung di sepanjang jalan yang berbahaya dengan kompleksitas dan kecerdasan yang terus meningkat hingga kami mendarat di atas tanah yang kokoh. Salah satu dari sekian banyak jenis primata kamilah yang benar-benar unggul, mampu bersaing dan beruntung. Kami mengorganisir diri menjadi masyarakat pemburu-pengumpul kecil, yang pada waktu itu mungkin menjadi kepala suku, diikuti menjadi negara-negara yang sangat kompleks.
Sepanjang jalan, kami telah menjinakkan api untuk memalingkan kegelapan dan semua monsternya. Kami menguasai bahasa dan bercerita. Kami telah menyebar melintasi dunia yang menantang dan tak kenal ampun dan memenangkan kemenangan pamungkas — kelanjutan eksistensi. Kami membuat musik dan menulis cerita. Kami mencintai dan menikmati hubungan seksual, bahkan ketika kami membantai diri sendiri dalam satu konflik ke konflik berikutnya. Kami menemukan sains. Kami menangkap sihir Matahari dan menggunakannya untuk energi dan untuk perang. Kami menyentuh Bulan dan mampu melihat ke belakang pada awal waktu.
Sekarang kami menemukan diri kami di tempat baru yang aneh, sebuah saat dan keadaan yang tampaknya menyelinap pada kita, bahkan saat kita merekayasanya. Kami menjadi lebih dekat satu sama lain daripada sebelumnya, tetapi hanya jika kami pertama-tama menempatkan mesin di antara kami. Kita menemukan internet dan mengembangkannya. Dan tidak ada yang tahu akan kemana pada masa-masa mendatang. Bagaimanapun ponsel dan segala perangkatnya hanya sebuah alat. Jangan diperbudak oleh alat. Bijak menggunakan.
Maka betapa penting kita merenungkan kembali ayat suci ini: “Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” “Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
-QS. Al-Baqarah: 11-12-