Politics of Operations: Menyingkap Sepak terjang Kapitalisme
—Dwi R. Muhtaman—
Cihideung Ilir, Bogor, 19092019
#BincangBuku #33
“Wherever agriculture took an extractive turn oriented toward export and the building of comparative advantage, informal economies thrived. Mass migrations, land grabbing, business criminalization, informality, securitization, and the rise of mega-cities—these were all features of the post-developmental state that took uneven and unbalanced combinations in different regions and under different political hues.”
– Connell and Dados, 2014 dalam The Politics of Operations Sandro Mezzadra and Brett Neilson: Excavating Contemporary Capitalism (2019, 126) –
“Globalizing processes erode the borders between economics and politics, state and capital. ….One way to explain the political effects of globalization, especially during its most recent phase, is to say that it involves a defeat of politics by economics.”
-Sandro Mezzadra and Brett Neilson. The Politics of Operations: Excavating Contemporary Capitalism (2019, 217)-
Perdebatan soal kapital dan kapitalisme masih akan terus berlangsung. Diperdebatkan karena kapitalisme adalah makhluk dengan wajah beragam. Pada satu saat ia menampilkan kecantikannya. Pada saat lainnya ia tampil dengan sosok yang bengis dan penuh tipu daya. Menguntungkan sedikit orang. Menyusahkan lebih banyak orang. Sepak terjangnya bahkan telah memperdaya negara. Negara tidak cukup bertenaga untuk mengatasi gempuran kapitalisme kontemporer. Karena itu sangat diperlukan transformasi radikal, sesuatu yang berbeda, sumber kekuasaan yang berbeda. Tetapi menurut Mezzadra dan Neilson (2019) sumber kekuasaan yang baru ini bukan berasal dari negara atau bersentuhan dengan negara. Tetapi lebih pada sistem sosial dengan kemampuan lebih luas dan transnasional untuk melawan dan mengepung kekuasaan dan ruang-ruang politik atau bahkan menciptakan arena politiknya sendiri. Upaya kolektif ini harus merupakan upaya untuk menggabungkan “weapons of criticism” dengan “criticism by weapons.”
Bagi orang awam seperti saya, judul buku ini agak aneh. Seperti sebuah buku kuliah tentang sistem operasi pada sebuah industri. Namun begitu membaca lebih dalam, pada dasarnya tidak salah juga. Buku ini tentang beroperasinya kapital, sebuah faktor produksi yang amat penting untuk menggerakkan ragam industri dan menumpuk lebih banyak kapital. Buku ini tentang mobilitas kapital dalam konteks globalisasi dan segala implikasi pada batas-batas negara dan perjuangan warga untuk mendapatkan hak kehidupan pada bumi tempat berpijak dan bernapas. Buku yang kita kupas kali ini ditulis oleh Sandro Mezzadra and Brett Neilson, The Politics of Operations: Excavating Contemporary Capitalism (2019, Duke University Press, Durham. Mezzadra adalah Professor of Political Philosophy, Department of Political and Social Sciences, University of Bologna, Italia. Sedangkan Prof Brett Neilson merupakan PhD, 1994, dari Yale University dan sekarang menjadi peneliti dan pengajar pada Western Sydney University.
Bayangkan. Kita bersama-sama melakukan perjalanan yang jauh. Ke ujung Kalimantan Tengah. Perjalanan yang panjang. Berliku-liku. Tetapi ada yang tertata begitu rapi meski dengan mudah bisa menyesatkan kita. Jalan yang teratur berkotak-kotak dengan tanaman yang seragam: perkebunan sawit. Hingga ke sebuah himpunan perkampungan: Desa Mantan, Desa Menapar, Nanga Suhaid, dan Marsedan Raya dan seterusnya, hanya hamparan luas tanaman penghasil minyak nabati paling dicari di dunia. Desa-desa ini adalah desa-desa pinggiran, pelosok, terpencil. Menelusuri bagian-bagian wilayah itu dan wilayah serupa di belahan bumi lainnya, misalnya wilayah terpencil Argentina, seperti dipaparkan oleh Mezzandra dan Neilson, hamparan komoditi tunggal menghiasi horison sejauh mata memandang. Kita tiba-tiba merasa asing. Pada tanah-tanah yang jauh ini terdapat sosok raksasa yang mencengkeram tanah rakyat dan mengubahnya menjadi sebuah mesin produksi. Di Argentina lokasi yang marjinal itu adalah hamparan luas perkebunan kedele yang dihasilkan dari benih transgenik Monsanto.
Pada sektor retail misalnya hal serupa juga terjadi. Kehadiran mini-market di pelosok-pelosok kampung di setiap sudut nusantara, telah menghisap aset lokal—aset yang sangat terbatas dan diperoleh dengan susah payah. Sosok raksasa merasuk hingga ke kampung-kampung dan memborong keuntungan triliunan rupiah. Kehadiran sosok raksasa di wilayah-wilayah pinggiran itu sertamerta menimbulkan tanya, apakah yang dimaksud dengan marjinal, wilayah-wilayah pinggiran itu, ketika penanaman ekstensif telah mengubah lanskap ekologi, sosial, budaya dan ekonomi, juga politik. Menimbulkan perselisihan dan kekerasan akibat adalah perubahan kepemilikan atas lahan, penyingkiran petani dan masyarakat adat. Kapital, tulis Mezzadra dan Neilson, dengan mengutip the Grundrisse Marx (1973), cenderung menciptakan pasar dunia dengan mengatasi segala batas dan hambatan apapun. Karena itu segala macam operasi diperlukan sebelum aktor kapitalis seperti Monsanto dan segenap cukong-cukongnya, dalam kasus kedele di Argentina yang menjadi contoh Mezzadra, dapat mengekstrak keuntungan dan mendorong proses akumulasi di daerah-daerah terpencil itu: manipulasi genetika, ujicoba, prospecting, mengiklankan, menjual, dan menggantungkan pada polisi dan perangkat sejenisnya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan jahanam (dirty jobs) seperti menyingkirkan masyarakat dan mengambilalih kepemilikan lahan.
Disrupsi seperti ini adalah akar dari adanya perlawanan petani, buruh dan masyarakat setempat.
Kisah banal dari pinggiran itu, bagi Mezzadra dan Neilson adalah titik masuk yang menarik yang memberi relevansi penting bagi pembahasan bukunya yang penuh dengan ulasan para pemikir soal kapital, kapitalisme dan globalisasi. Apakah yang dimaksud dengan ‘operation’? Dan apakah ‘operation’ ini memiliki politik? Jika demikian, apa implikasi politik ini bagi terus bercokolnya kapitalisme di berbagai skala dan ruang, untuk arsitektur kelembagaan dan politik yang ada saat ini, dan untuk perjuangan melawan dan membalikkan proses dan situasi ini?
Ini adalah salah satu pertanyaan utama yang diajukan penulis dalam The Politics of Operasional, sebuah buku yang diangkat dari retorika mahadata dan algoritma yang telah mencengkeram wacana dan praktek kapitalis selama setengah dekade terakhir, meskipun tidak membatasi pada arena itu.
Buku ini meneliti dan mengupas bagaimana Operation of Capital menukik ke bawah hingga ke pelosok bumi di manapun. Elaborasi dalam buku ini tidak hanya untuk melengkapi analisis efek lokal atau lebih luas tetapi juga untuk menyediakan pandangan analitis dari beberapa sudut yang akan digunakan untuk mengetahui aneka hubungan kapital dengan berbagai faktor lainnya yang “membentuk ulang dunia’ Karena itu membaca buku ini seperti kita membaca kapital baik dari aspek sejarah maupun kontemporer. Membaca dimensi operatif kapital dan kapitalisme, melihat pemetaan politik mereka, makna dan relevansinya dengan politik yang berupaya beroperasi sebagai bagian kapital, melawannya atau menundukkannya—dan sayangnya politik tidak selalu berhasil melawan atau menundukkannya.
Politics of Operations mengambil inspirasi materialnya terutama dari investigasi keterikatan tiga bidang yang lazim dalam kegiatan ekonomi kontemporer (dan juga politik): ekstraksi, logistik, dan keuangan.
Dengan mengutip Zinkina et al. “A Big History of Globalization The Emergence of a Global World System” (2019, 13), umur globalisasi yang paling heboh ini hanya beberapa dekade saja yang dimulai sekitar tahun 1970an dengan integrasi global melalui teknologi informasi, internet. Globalisasi menyenangkan sedikit orang, menyusahkan lebih banyak orang. Bagi Joseph E. Stiglitz, “Globalization and Its Discontents: Revisited Anti-Globalization in the Era of Trump” (2018, 17), “Globalization not only exacerbated the already too-high level of inequality among individuals but also deeply weakened many communities.”
Stiglitz benar. Kita ambil contoh Indonesia (saya kutip dari faisalbasri.com). Berdasarkan data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional, meningkat dari 45,4 persen pada tahun 2017. Posisi Indonesia tahun 2018 terburuk kelima di dunia setelah Thailand, Rusia, Turki, dan India. Sedangkan 10 persen terkaya di Indonesia menguasai 75,3 persen kekayaan nasional, terburuk keenam di dunia setelah Thailand, Turki, Amerika Serikat, Rusia, dan India. Dalam sembilan tahun terakhir pemusatan kekayaan cenderung semakin memburuk. Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors). Indeks crony capitalism Indonesia berada di urutan ke-7 terburuk di dunia. Peringkat Indonesia terus memburuk, dari urutan ke-18 pada 20107 menjadi ke-8 pada 2014 dan ke-7 pada 2016.
Ada banyak kapitalis di dunia, tulis Mezzadra dan Neilson mungkin dengan geram. Mereka bertemu secara teratur, dan mereka membentuk asosiasi yang kuat yang bertindak di tingkat nasional, serta di tingkat transnasional dan global. Tetapi Anda tidak akan pernah bertemu dengan Monsieur le Capital (Sang Tuan Kapital). Namun begitu kehadirannya bisa dengan mudah dilihat dari munculnya perlawanan-perlawanan, baik perlawanan dari kalangan bawah, menengah atau bahkan negara. Ambil contoh Pierre Bourdieu yang disitir Mezzadra dan Neilson. Dia memahami negara sebagai puncak dari suatu proses konsentrasi dari spesies modal yang berbeda, mulai dari kapital kekuatan fisik hingga kapital ekonomi, budaya dan kapital simbolis, yang mengarah pada munculnya kapital yang spesifik yakni kapital statis. Ini menghasilkan konstruksi field of power, yang didefinisikan sebagai ruang bermain dimana pemegang kapital di dalamnya (berbeda spesies) berjuang untuk kekuasaan di atas negara” (Halaman 232).
Tetapi kapital juga penting dalam bentuknya yang berupa teritori. Penguasaan wilayah. Pada kisah perkebunan kedele, perkebunan kelapa sawit dan sejumlah akuisisi teritori serupa itu, kapital hadir dengan nyata. Territory adalah sebuah konsep pengaturan hubungan antara ruang dan kekuasaan. Konsep ini menurut Mezzadra dan Neilson memiliki silsilah yang kompleks meskipun saat ini menjadi cenderung dilebih-lebihkan, khususnya jika berkaitan dengan politik seperti kedaulatan dan yurisdiksi. Teritori adalah teknologi yang apolitis yang menggabungkan teknik pengukuran dan kontrol, membentuk hubungan tanah dengan daratan dalam cara beragam dan menjadi perebutan.
Konsep modern teritori atau wilayah, yang menyatukan politik, ruang, dan negara, berkembang di Eropa hingga akhir abad ketujuh belas, kemudian lahir interpretasi hukum yang dimulai dengan penemuan kembali hukum Romawi di Akhir Abad Pertengahan.
Pemahaman tentang wilayah semacam itu, yang telah menyebar secara global selama dua abad terakhir, tetap ada. Tetapi pandangan teritori yang berpusat pada negara makin melemah. Ketika kapital muncul dalam cara yang baru dan belum pernah terjadi sebelumnya sebagai aktor politik, kapital memperoleh kekuatan untuk menghasilkan wilayah dengan sendirinya (Halaman 24-25).
Pada kenyataannya, tulis Mezzadra dan Neilson lebih lanjut, kapital selalu memiliki kapasitas ini, meskipun dikalahkan selama abad kesembilan belas ketika negara memperoleh monopoli atas penguasaan wilayah, suatu proses yang melekat dalam evolusi hukum dan geografis kekaisaran/kerajaan/kekuasaan. Menelusuri perubahan ini, baik secara historis maupun saat ini, penting untuk analisis bagaimana operasi kapital melintasi konfigurasi spasial dan temporal dunia. Hari ini wilayah yang dihasilkan oleh kapital menguasai dalam bentuk-bentuk seperti zona ekonomi khusus, logistik koridor, distrik keuangan, atau enklav-enklav ekstraksi. Tidak ada satupun ini bisa dilakukan tanpa keterlibatan negara. Dan itu tidak akan berhenti sampai di situ. “The nexus of capital and territory is changing before our eyes,” tegas Mezzadra dan Neilson dalam buku yang mendapatkan apresiasi yang luas ini.
Namun jangan cemas. Anda bisa menemukan sosok tuan kapital itu di layar bioskop. Bioskop sering mengatasi kesenjangan ini. Film-film Hollywood tentang keuangan, dari Oliver Stone Wall Street (1987) hingga Martin Scorsese, The Wolf of Wall Street (2013), telah memberi gambaran paling meyakinkan dan kuat tentang personifikasi keserakahan yang menguasai pasar keuangan, meskipun topik ini sama sekali tidak baru dalam sejarah sinema. Mezzadra mencatat misalnya sebuah film tentang Keserakahan Erich von Stroheim (1925). Karakter seperti Gordon Gekko, Bud Fox, dan Jordan Belfort pasti bertindak. Dan tindakan mereka berkontribusi pada kerja kapitalisme, penyebaran dan pengukuhan kapital sebagai kekuatan sosial.
Atau film lain soal krisis kapitalisme yang muncul baru-baru ini— misalnya, Two Days, One Night (2014) milik Dardenne bersaudara. Dalam film itu, kapital dikisahkan sebagai kekuatan yang luar biasa yang bisa mengatur banyak hal termasuk kehidupan aktor Sang protagonis, Sandra. Ia jatuh dalam depresi berat dan kesukaran yang mendalam.
Sutradara besar Soviet, Sergei Eisenstein, yang pada 1920-an melakukan proyek pembuatan film Marx’s Capital meskipun film itu tidak pernah selesai, namun sepenuhnya ia sadar akan kesulitan merumuskan sosok kapital yang tepat sesuai yang dibayangkan Marx. Kapital itu memang sangat misterius. Seperti dikatakan Hernando de Soto: “The Mystery of Capital: “Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else” (2000). Mengapa di Barat, kapital bisa hidup sementara di tempat lain kapital hanya teronggok tanpa nilai. “Why assets can be made to produce abundant capital in the West but very little in the rest of the world is a mystery.” Kapital itu “is not a thing but a process in which money is perpetually sent in search for more money.”
Kapitalis—seperti digambarkan dalam film-film — menampilkan kepribadian yang sangat berbeda, mulai dari pedagang, industri, dan kapitalis keuangan hingga tuan tanah dan beragam pemberi sewa atas benda-benda yang bisa disewakan untuk mendapatkan uang. Gambaran kapital ini sebagai suatu proses, meskipun secara deskriptif menarik dan bermanfaat, hanya dapat menjadi titik awal untuk investigasi yang bertujuan menyoroti, di satu sisi, cara-cara di mana sirkulasi uang menjadi sirkulasi kekuasaan, dan di sisi lain, mengandung saat-saat adanya gesekan, kekerasan, rasisme, dan perlawanan yang merambah proses ini.
Marx sendiri, demikian seperti dikutip Mezzadra dan Neilson, dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa modal “bukanlah sesuatu.” Sementara pemikir lain menyebut kapital pada dasarnya sebagai alat produksi. Marx memiliki pikiran yang berbeda. Yang membuatnya tertarik bukan hanya definisi formal soal kapital. Dia malah memahami dari sejarah bahwa kapital itu adalah kekuatan yang mampu mendominasi keseluruhan tatanan sosial dalam mode produksi kapitalis. Marx menekankan bahwa kapital sebagai kekuatan hanya dapat terjadi ketika “pemilik uang” menemukan di pasar “suatu komoditas yang nilai guna-nya memiliki sifat khas menjadi sumber nilai.” Kita tahu nama komoditas ini: tenaga kerja kata Mezzadra dan Neilson (2019, 58).
Lebih lanjut dikatakan Mezzadra dan Neilson, hanya paduan antara pemilik uang (kapitalis potensial) dan pemilik tenaga kerja (pekerja potensial) yang mampu mengubah cara produksi yang dimiliki oleh pemilik modal menjadi modal. Sehingga modal bukanlah suatu hal, tetapi lebih merupakan hubungan sosial antara orang yang dimediasi melalui berbagai hal.
Dalam The Politics of Operations, Sandro Mezzadra dan Brett Neilson menyelidiki bagaimana kapital membentuk kembali hubungannya dengan politik melalui operasi yang memungkinkan ekstraksi dan eksploitasi sumber daya mineral, tenaga kerja, data, dan budaya. Mereka menunjukkan bagaimana kapital – yang mereka teorikan sebagai aktor politik langsung – beroperasi melalui organisasi logistik dari hubungan antara orang, properti, dan objek serta melalui penetrasi finansialisasi ke semua bidang kehidupan ekonomi. Mezzadra dan Neilson menyajikan analisis luas dari berbagai masalah, dari kapitalisme rasial, konvergensi neoliberalisme dan nasionalisme, dan konsep Marx tentang kapital agregat ke krisis keuangan 2008 dan bagaimana kolonialisme, kekaisaran, dan globalisasi telah membentuk negara modern sejak Perang Dunia II. Dengan melakukan hal itu, mereka menggambarkan rasionalitas dan logika khas kapitalisme kontemporer sambil menyerukan politik yang didasarkan pada institusi kolektif yang ada di luar negara.
Buku ini menyajikan deskripsi dan analisis yang amat mendalam mengenai kapital, baik dari definisinya dengan membahas berbagai aliran school of thoughts soal kapital dan kapitalisme (Bab 1, 17), dinamika dan operasi kapitalisme (Bab 2, 56), negara dalam arus kapitalisme (Bab 3, 94). Kemudian membahas mengenai kegiatan-kegiatan ekstraktif, logistik, dan dukungan pembiayaan dari laju kapitalisme (Bab 4, 133), perjuangan dan perlawanan terhadap gempuran dari kapitalisme dari berbagai negara oleh kepentingan-kepentingan sipil (Bab 5, 168). Buku ini ditutup dengan memaparkan State of Capitalist Globalization (Bab 6, 209).
Bagi kita di Indonesia, kasus kabut asap, rencana pemindahan Ibukota, revisi undang-undang KPK, bahkan kerusuhan Papua bisa dilihat dari kacamata perluasan teritori sosok-sosok kapital. Kapital yang terus bergerak dan tumbuh dalam arus globalisasi yang—mungkin dengan sedikit susah payah—melaju tak terbendung. Seperti kata Mezzadra, Associate Professor pada the Department of Arts at the University of Bologna ini, “….One way to explain the political effects of globalization, especially during its most recent phase, is to say that it involves a defeat of politics by economic