Menguji Kepemimpinan dalam Masa Bergejolak
—Dwi R. Muhtaman—
Cihideung Ilir, Bogor, 01092019
#BincangBuku #32
“If there is not the war, you don’t get the great general; if there is not a great occasion, you don’t get the great statesman”
-Theodore Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke 26-
“There is nothing more frightful than ignorance in action”
-Johann Wolfgang von Goethe, 28 Agustus 1749-22 Maret 1832-
Kepemimpinan seseorang akan diuji bukan karena kemampuannya untuk memimpin dalam situasi normal. Bahtera akan mampu menuju pelabuhan dengan baik pada ombak dan gelombang yang wajar. Tetapi ujian terbesar dari kepemimpinan adalah ketika dihadapkan pada situasi kritis. Pada masa yang penuh gejolak itulah akan nampak pemimpin yang sejati. Mampukah seorang nakhoda melanjutkan perjalanan bahteranya kepada persinggahan yang dituju dalam samudera penuh badai?
Bahkan pada situasi bergejolak, situasi krisis itu, seperti ditulis oleh filosof Amerika, William James, identitas seseorang yang sebenarnya terbit, “… the best way to define a man’s character would be to seek out the particular mental or moral attitude in which, when it came upon him, he felt himself most deeply and intensely alive and active. At such moments, there is a voice inside which speaks and says, ‘This is the real me!’ ”
“… cara terbaik untuk mendefinisikan karakter seorang adalah dengan mencari sikap mental atau moral tertentu di mana, ketika hal itu terjadi padanya, dia merasakan dirinya yang paling dalam dan sangat hidup dan aktif. Pada saat-saat seperti itu, ada suara di dalam yang berbicara dan berkata, ‘Inilah aku yang sebenarnya!’ ”
Analogi itulah yang ditegaskan oleh filosof Amerika lainnya, Ralph Waldo Emerson, ketika berpidato mengutarakan pujiannya pada kepemimpinan Abraham Lincoln: ”Jarang sekali keberadaan orang begitu tepat dengan situasi yang dihadapi,” katanya. “Kita akan sulit menemukan pemimpin seperti Lincoln yang mampu membimbing kita melalui masa-masa tergelap dalam Perang Saudara, seorang pemimpin yang berbelas kasih dan tanpa belas kasihan, percaya diri dan rendah hati, sabar dan gigih — mampu menengahi faksi-faksi yang bertentangan, mempertahankan semangat kita, dan menerjemahkan makna perjuangan menjadi kata-kata yang memiliki kekuatan, kejelasan, dan keindahan yang tiada tara.”
Bagi Goodwin, pernyataan serupa juga bisa disematkan pada Theodore Roosevelt, yang semangat tempurnya sangat cocok untuk tugas memobilisasi negara dan jurnalis untuk menghadapi monopoli yang rakus dan merebaknya ketidakadilan pada Era Industrialisasi. Demikian juga kita bisa mengatakan hal yang sama tentang Franklin Roosevelt, yang kepercayaan dan penularan rasa optimismenya mampu mengembalikan harapan dan mendapatkan kepercayaan rakyat Amerika melewati Depresi Hebat dan Perang Dunia II — atau Lyndon Johnson, yang akar dan darah selatannya (untuk menyebut negara bagian selatan Amerika yang didominasi oleh Amerika Afrika yang berasal dari budak-budak) dan pengetahuan legislatifnya yang ideal, cocok untuknya dalam perjuangan besar hak-hak sipil yang mengubah wajah negara Amerika.” (halaman 13).
#BincangBuku #32 kembali mengupas buku kepemimpinan. Leadership in Turbulent Times ditulis oleh Doris Kearns Goodwin (2018). Minat Goodwin pada kepemimpinan tidak diragukan lagi. Lebih dari setengah abad ia menggelutinya selama menjadi professor di Harvard. Goodwin juga menjadi bagian keluarga Whitehouse semasa kepresidenan LBJ, sebutan populer untuk Presiden Lyndon B. Johnson. Kedekatannya dengan Presiden LBJ mengantarkannya untuk menulis memoar LBJ dan menjadi the bestselling book: Lyndon Johnson and the American Dream.
Goodwin tidak berhenti di situ. Ia menulis buku lain yang diganjar penghargaan Pulitzer Prize–winning: No Ordinary Time: Franklin and Eleanor Roosevelt, The Home Front in World War II. Dia juga memenangkan the Lincoln Prize untuk buku yang lain: Team of Rivals yang kemudian menjadi film Steven Spielberg berjudul “Lincoln” yang memenangkan Academy Award.
Buku Leadership in Turbulent Times merupakan rekaman kompilasi empat presiden: Abraham Lincoln, Theodore Roosevelt, Franklin Roosevelt, and Lyndon Johnson—yang dengan mendalam diobservasi dan diteliti. Diperas intisari jejak-jejak karakter kepemimpinan mereka pada masa-masa yang kritis dan bergejolak. Pada masa-masa sulit seperti itulah mutu seorang pemimpin akan terlihat terang benderang. Dan kita tahu, empat presiden Amerika itu telah menunjukkan kualitas kepemimpinannya yang mampu mengubah Amerika.
Keberhasilan bangsa-bangsa saat ini tidak akan mungkin dilepaskan dari kemampuan bangsa-bangsa itu melahirkan, menghadirkan dan memilih pemimpin untuk memimpin perjalanan bangsanya pada masa yang lewat. Dan keberhasilan bangsa-bangsa pada masa yang akan datang juga akan ditentukan oleh para pemimpin yang dihadirkan dan dipilih pada saat ini. Sejarah telah memberi pelajaran dan teladan yang penting dan melimpah bagi kita jika kita mau mengambil hikmahnya.
Para cerdik pandai yang telah mempelajari perkembangan para pemimpin telah menempatkan ketahanan (resilience), kemampuan untuk mempertahankan ambisi dalam menghadapi frustrasi, di jantung potensi pertumbuhan kepemimpinan. Kepemimpinan itu akan tumbuh dengan cara bagaimana mereka merespons tantangan besar, membalikkan situasi, bagaimana mereka mengelola dengan berbagai cara untuk menyatukan yang telah tercerai berai, bagaimana titik balik sebuah pengalaman yang pada awalnya berat, kemudian makin parah, tetapi pada akhirnya secara meyakinkan telah membentuk kepemimpinan mereka untuk menyelesaikan semua masalah itu dengan baik (Halaman 11).
“Jika tidak ada perang,” kata Theodore Roosevelt sambil merenung, “Anda tidak mendapatkan jenderal besar; jika tidak ada peristiwa yang hebat, Anda tidak akan mendapatkan negarawan yang hebat; jika Lincoln hidup di masa damai, tidak ada yang akan tahu namanya sekarang. “Bukan dalam ketenangan hidup, atau istirahat dari stasiun pasifik, karakter-karakter besar terbentuk,” tulis Abigail Adams kepada putranya, John Quincy Adams di tengah-tengah Revolusi Amerika, yang menyiratkan bahwa “kebiasaan pikiran yang kuat terbentuk saat menghadapi kesulitan.”
“Great necessities call out great virtues.”
Buku yang terdiri dari 12 Bab ini juga mengisahkan keempat orang itu ketika mereka pertama kali memasuki kehidupan publik (Bagian Pertama). Di usia dua puluhan, mereka berusaha untuk menempa identitas publik mereka. Mereka tampak sangat berbeda dari wajah yang serius dan umum seperti wajah-wajah ikonik yang memenuhi budaya, mata uang, dan patung memorial Amerika. Jalan masa depan mereka sama sekali tidak pasti. Kisah-kisah mereka penuh dengan kebingungan, harapan, kegagalan, dan ketakutan. Penulis buku ini menelusuri jejak mereka: kesalahan yang dibuat sepanjang perjalanan hidup, dari kurangnya pengalaman, kesombongan, kurang hati-hati, sembrono dalam penilaian, dan mementingkan diri sendiri, dan melihat upaya yang dilakukan untuk mengakui, menyembunyikan, atau mengatasi kesalahan itu. Perjuangan mereka tidak jauh berbeda dengan perjuangan kebanyakan orang Amerika (Halaman 9).
Tidak ada jalan tunggal yang membawa mereka ke puncak kepemimpinan politik. Theodore Roosevelt dan Franklin Roosevelt dilahirkan dengan hak istimewa dan kekayaan yang luar biasa. Abraham Lincoln mengalami kemiskinan tanpa henti. Lyndon Johnson mengalami masa-masa sulit sporadis. Mereka sangat berbeda dalam temperamen, penampilan, dan kemampuan fisik. Tetapi mereka diberkahi dengan berbagai kualitas yang sering dianggap berasal dari kepemimpinan — kecerdasan, energi, empati, bakat verbal dan tulis, dan keterampilan dalam berurusan dengan orang. Mereka disatukan oleh ambisi yang kuat, dorongan yang tak terkendali untuk berhasil. Dengan ketekunan dan kerja keras, mereka semua pada dasarnya menjadikan diri mereka pemimpin dengan meningkatkan dan mengembangkan kualitas yang diberikan kepada mereka.
Keempat orang itu diakui sebagai pemimpin jauh sebelum mereka mencapai kepresidenan. Dan seperti batu permata, keempatnya disinari dengan merebaknya kontak dengan berbagai macam orang. Mereka menemukan panggilan mereka dalam politik.
Pada Bagian III, Goodwin menguraikan kepemimpinan empat leader itu. Abraham Lincoln disebutnya sebagai pemimpin yang transformasional. Sementara Theodore Roosevelt dianggap pemimpin yang mampu mengelola krisis. Kasus yang dihadapinya adalah gerakan mogok nasional buruh tambang berbulan-bulan. Tradisi kinerja presiden 100 hari pertama adalah karya besar Franklin Roosevelt. Franklin dikenal karena kemampuan melakukan Turnaround. Sedangkan Lyndon Johnson adalah pemimpin yang visioner dengan keputusan-keputusannya berkaitan dengan hak-hak sipil.
Tidak diragukan bahwa tiga pemimpin pertama — Abraham Lincoln, Theodore Roosevelt, dan Franklin Roosevelt — menduduki tempat istimewa dalam sejarah kepresidenan Amerika. Terlepas dari adanya keputusan yang salah dan penilaian yang salah, mereka telah mendapatkan apresiasi yang terhormat dalam ingatan kolektif masyarakat Amerika.
Lyndon Johnson diakui memang lebih bermasalah. Kehadirannya dengan keputusan Perang Vietnam telah membawa Amerika pada jurang luka yang mendalam. Tetapi kepemimpinan dan visinya dalam hak-hak sipil telah melahirkan Amerika sebagai “the Great Society.”
Buku yang dikemas 915 halaman dalam tiga bagian ini mengungkap hal-hal yang menarik dan manusiawi dari keempat Presiden tersebut. Pada suatu malam musim dingin Abraham, pada usia belianya, berjalan dengan kawan dan menemukan seseorang yang berbaring pada lubang penuh lumpur. Sekujur badannya nyaris beku. Ia tanpa berpikir panjang merengkuh orang itu dan membawanya ke rumah sepupunya dan memberinya penghangat. Dan merawatnya beberapa waktu. Pada saat yang lain ia menyelamatkan seekor babi yang terjerembab dalam lubang. Rasa empati dan moral telah diperlihatkan sejak belia.
Sejak usia akhir duapuluh tahunan empat orang pemuda yang kelak jadi presiden itu tahu mereka adalah pemimpin (Halaman 196). Kehidupan publiknya jatuh bangun. Tetapi mereka mampu mencerap kebijakan dan pengalaman hidup. Jalan yang berliku telah menempa mereka menjadi perisai yang mampu mengatasi badai, dan berhasil memimpin perjalanan bangsanya ke puncak tertinggi.
Masa perjuangan dan pertumbuhan sebagai pemimpin digambarkan dengan detil oleh Goodwin pada Bagian II: Adversity and Growth (Halaman 195). Pelajaran yang amat berharga. Suka duka perjalanan hidup menuju menjadi pemimpin yang bermutu. Mereka yang terbaik selalu adalah mereka yang lolos dalam ujian. Ujian dalam kegagalan dan ujian dalam keberhasilan.
Ketika Abraham Lincoln memulai masa kepresidenan, 4 Maret 1861, parlemen tidak hanya terbelah, tetapi juga kacau. Empat bulan menjelang pelantikan, tujuh negara bagian selatan telah meloloskan resolusi untuk menarik diri dari federasi/Union. Pada sebuah pertemuan di Montgomery, Alabama, perwakilan dari tujuh negara bagian membentuk pemerintahan baru dengan konstitusi baru dan memilih mantan senator Mississippi Jefferson Davis sebagai presiden sementara dari “the Confederate States of America.”
Partai Republik terancam cerai berai karena perbedaan pandangan cara untuk membangun kompromi. Lincoln dengan sigap mengambil keputusan penting untuk menghindari pecah belah negara federasi Amerika lebih dalam. Ia membentuk kabinet yang terdiri dari beragam kepentingan—suatu tindakan yang radikal dalam sejarah pembentukan kabinet Amerika Serikat.
Kabinet Lincoln mewakili setiap faksi dalam Partai Republik—“former Whigs, Free Soilers, and antislavery Democrats, a combination of conservatives, moderates, and radicals, of hard-liners and conciliators.” Tiga orang pucuk kabinetnya adalah tiga calon presiden yang menjadi rivalnya selama pemilihan presiden yang dimenangkan.
Presiden terpilih memerlukan dukungan dan bisa berbagi beban dengannya. “I began at once to feel that I needed support,” katanya kemudian, “others to share with me the burden.” (Halaman 403).
Mengapa dia melakukan itu? “Negara dalam bahaya. Mereka adalah orang-orang yang paling kuat dan paling mampu untuk membantu mengatasinya,” ujar Lincoln dengan penuh keyakinan. Tentu saja Lincoln membutuhkan mereka. Apakah dia tidak khawatir dikendalikan oleh kepentingan mereka? Menurut Goodwin, Lincoln mempunyai keyakinan yang cukup tentang kemampuan kepemimpinannya untuk mengatasi semua perbedaan yang bakal muncul. Lincoln mampu mengatasi ambisi personal, potensi yang membahayakan kabinet menjadi sebuah kabinet yang tidak diragukan loyalitasnya pada “the Union.”
Dari paparan dan deskripsi sejarah empat pemimpin itu Goodwin menyimpulkan pelajaran penting dari kepemimpinan mereka, antara lain:
- Akui untuk perubahan jika ada kebijakan yang gagal
- Kumpulkan informasi langsung, ajukan pertanyaan.
- Luangkan waktu dan ruang untuk berpikir.
- Bukalah semua kemungkinan kompromi sebelum memaksakan kekuasaan eksekutif.
- Antisipasi sudut pandang yang saling bertentangan.
- Ambil tanggungjawab penuh untuk keputusan penting.
- Pahami kebutuhan emosional setiap anggota tim.
- Jangan biarkan kebencian masa lalu membusuk; melampaui dendam pribadi. Lincoln tidak pernah memilih timnya berdasarkan suka atau tidak suka. Bahkan orang yg memperlakukan buruk padanya jika dia cocok dalam tim maka akan menjadi bagian tim.
- Tetapkan standar saling menghormati dan bermartabat; Kendalikan kemarahan.
- Lindungi kolega dari dipersalahkan. Lincoln mengikrarkan bahwa dia, bukan kabinetnya, yang harus disalahkan jika terjadi kesalahan. Kesalahan bukan pada anggota tim.
- Pertahankan perspektif dalam menghadapi baik penghargaan maupun pelecehan.
- Temukan cara untuk mengatasi tekanan, menjaga keseimbangan, mengisi energi.
- Tepati dan pegang kata-kata Anda. “My word is out and I can’t take it back,” kata Lincoln pada sebuah janjinya.
- Ketahui kapan harus menahan, kapan harus bergerak maju.
- Gabungkan kepemimpinan transaksional dan transformasional.
- Mudah diakses, mudah didekati.
- Letakkan ambisi untuk kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi.
Bagaimanakah kepemimpinan Indonesia kini?