Membaca Protes
—Dwi R. Muhtaman—
Ciremai Ujung, Bogor, 28082019
#BincangBuku #30
“Organizing isn’t a science—it’s an art.”
(L.A. Kauffman. “How to Read a Protest.” 2018).
“You might not see things yet on the surface, but underground, it’s already on fire.”
– Indonesian writer Y.B. Mangunwijaya, July 16, 1998”
(Naomi Klein. “No Logo, 10th Anniversary Edition.” 2016).
Sekelompok orang Papua berhimpun di depan Istana Presiden, di seberang. Mereka adalah mahasiswa. Beberapa bendera dikibarkan. Bendera yang berbeda. Bendera Bintang Kejora—sebuah bendara yang diinginkan sebagian rakyat Papua untuk dikibarkan di tanah Papua. Menggantikan Bendara Merah Putih. Seminggu sebelumnya hal serupa dilakukan. Sebuah protes. Di ujung timur nusantara, dalam beberapa hari ini sebagian warga Papua melakukan protes dengan beragam cara. Demonstrasi.
Pada 9 Juli 1888 pecah pemberontakan petani Banten atau yang disebut juga Geger Cilegon. Para pemberontak yang berjumlah ratusan ini memulai aksinya di markas di Pasar Jombang Wetan, Cilegon. Haji Wasid, pemimpin utama pemberotak menyerang penjara untuk membebaskan tahanan, kepatihan, dan rumah asisten residen di alun-alun Cilegon.
Dalam sejarah protes di Amerika Serikat, tangggal 28 Agustus 1963 adalah demo terbesar pada masanya. Ketika itu kerumunan hampir 250.000 orang berkumpul di luar Lincoln Memorial di Washington. Salah satu pemimpin aksi protes itu adalah Martin Luther King Jr yang kemudian terkenal dengan kata-kata bersejarah dan magis ini: “I have a dream,” yang menghipnotis khalayak hingga kini. Itulah contoh sebuah protes yang diekspresikan dalam bentuk demonstrasi, baik sekedar aksi duduk, berhimpun dan menggelar orasi, melakukan long march, baik secara damai atau pun kekerasan. Beragam cara.
Dalam kamus The Cambrige English Dictionary, Protest didefinisikn sebagai: 1. a strong complaint expressing disagreement, disapproval, or opposition: 2. an occasion when people show that they disagree with … Ada penolakan dan ketidaksetujuan atas sesuatu. Ada perlawanan, pemberontakan. Kasus-kasus yang dikutip di atas adalah contoh kongkrit yang ada dalam sejarah perjalanan bangsa-bangsa. Perlakuan yang tidak adil umumnya adalah pemicu yang amat subur untuk tumbuhnya sebuah protes.
Menurut definisi, orang-orang melakukan protes ketika saluran-saluran normal dihalangi atau tidak responsif, ketika lembaga-lembaga publik membiarkan ketidakadilan berkembang, ketika pihak yang berkuasa bertindak dengan impunitas. Protes adalah apa yang oleh ilmuwan dan antropolog politik James C. Scott terkenal disebut “weapons of the weak,” alias “senjata bagi orang lemah” —digunakan oleh mereka yang tidak memiliki kekuatan untuk mencapai tujuan mereka melalui cara resmi. Ukuran utama dari keberhasilan suatu gerakan mungkin jika ia dapat bergerak dari protes ke kekuasaan, dari kritik luar ke pengaruh dari dalam, tetapi sejarah bergerak lambat dan tidak merata. Struktur kekuasaan tertanam dan tangguh, dan ketidakadilan semakin mendalam. Pekerjaan gerakan diisi dengan kemunduran, pembalikan, dan kekalahan, dan kemenangan seringkali parsial atau rapuh atau keduanya.
Namun dari protes itu pulalah akan lahir peradaban yang lebih baik: adil, tidak diskrimatif, tidak rasis, dan seterusnya. Mampukah kita mengambil hikmah dan pelajaran dari sebuah protes. Apakah protes bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat? Bagaimana protes agar efektif? Bagaimana protes bisa digunakan sebagai alat untuk mengubah sesuatu, mengubah kebijakan publik menjadi lebih baik? Maka kita perlu membaca segala macam protes itu dengan baik.
BincangBuku kali ini menyoroti tentang bagaimana membaca aksi protes.
Buku L. A. Kauffman yang baru ini berjudul How to Read a Protest: The Art of Organizing and Resistance (University of California Press), 2018. Kauffman, seorang aktifis pergerakan akar rumput dan ahli strategi pergerakan selama lebih dari 35 tahun, mendokumentasikan dan mengupas aksi-aksi protes di Amerika Serikat khususnya, meskipun bisa menjadi pelajaran penting dimanapun. Kauffman menghimpun data, sejarah aksi-aksi protes sebelum I Have A Dream 1963 hingga aksi protes 2016/2017 atas kebijakan-kebijakan diskriminatif President Trump. Kauffman yang tulisan-tulisan aktivisme pergerakan sosialnya sering muncul di The Guardian, menganalisis aktor-aktor, baik individu maupun organisasi yang terllibat, kepemimpinan, metode mobilisasinya, strategi pesan yang dibawa dan upaya teknis untuk memastikan aksi protesnya berjalan dengan baik, aman dan efektif. Data jumlah orang yang berpartisipasi dalam protes juga dipaparkan dan menjadi bagian yang menarik dalam buku ini untuk membandingkan satu aksi dan aksi lainnya. Bagaimanapun keterlibatan publik yang diekspresikan dalam jumlah orang yang hadir secara fisik akan memberi dampak yang penting.
“Protests work—just not, perhaps, the way you think,” tulis Kauffman, membuka bukunya (hal. 10). Ketika Anda berada di tengah-tengah demonstrasi, terutama yang sangat besar, rasa kekuatan kolektif semakin meningkat dan langsung bisa dirasakan. Ada perasaan yang kuat dan menyatu atas sebuah tujuan bersama. Rasa persatuan ini sangat menggetarkan ketika Anda berdiri dengan kerumunan besar orang lain yang berbagi kemarahan, kekesalan, dan penolakan Anda atas ketidakadilan dan keinginan Anda untuk bertindak. Bergabung dengan sebuah aksi protes, apa pun penyebabnya, memberi Anda pengalaman fisik langsung yang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri Anda. Secara literal dan langsung, Anda memberi kontribusi semangat dan suara Anda ke suatu gerakan.
Inilah yang disebut William Davies, “Nervous States: How Feeling Took Over the World” (2018) sebagai Democracy of Feeling: “If crowds matter at all, it is because of the depth of feeling that brought so many people into one place at one time.” Karena itu jumlah kehadiran fisik dalam satu aksi protes merupakan faktor yang amat penting. Kauffman mengakui itu. Maka angka amat berarti.
Dan protes bisa menjadi katarsis bagi sengkarut keruwetan kebijakan publik agar tidak ada gerakan bawah tanah terpendam. Semua akan nampak di permukaan, di atas meja untuk diselesaikan. “You might not see things yet on the surface, but underground, it’s already on fire,” tulis sastrawan Y.B. Mangunwijaya.
Selain jumlah orang yang terlibat, maka, kata Kauffman lebih lanjut, jika Anda ingin memahami apa yang dilakukan oleh aksi protes dan kapan serta bagaimana cara kerjanya, pertama-tama Anda harus memahami karakter mereka: Anda perlu tahu cara membaca protes. Dan hal yang bagus untuk memulai memahaminya adalah dengan melihat dengan cermat tanda-tanda yang dibawa oleh para demonstran: poster! Poster itu menunjukkan apa yang diprotes, ditentang, dan dituntut. Melalui poster itulah pesan disampaikan dan diperjuangkan. Setiap karakter protes mempunyai pendekatan organisasi yang berbeda. Ada organisasi protes yang menyediakan poster yang seragam. Ditentukan oleh pengorganisasi. Poster selain itu dianggap ilegal atau diidentifikasi sebagai penyusup. Tetapi ada juga organisasi yang membuka partisipasi publik dengan konsep beragam tetapi tema sentral tetap sama.
Dan ingat, waspada terhadap aneka upaya penggembosan. Pengalaman di Amerika Serikat pada penyelenggaraan aksi protes 1963 itu menunjukkan upaya penggembosan selalu dilakukan oleh pemerintah dan kelompok-kelompok yang terganggu dengan aksi tersebut. Presiden John F. Kennedy dilaporkan mengatakan “…akan melakukan apapun di dalam kekuasaannya untuk menghentikan rencana aksi protes yang dianggapnya sebagai counterproductive.”
“Well, if we can’t stop it, we’ll run the damn thing,” kata Kennedy dengan cemas.
Ancaman-ancaman dilakukan kepada kordinator aksi dan juga khalayak yang akan terlibat. Media melakukan provokasi. Media menonjolkan sisi potensi negatif dari aksi tersebut. Semua itu adalah bentuk tekanan dan teror agar aksi dibatalkan. Lebih setengah bad lewat, cara-cara penggembosan itu masih sering kita temui di Indonesia dan negara-negara lain. Diperlukan leadership yang kuat dari kordinator atau pengorganisir aksi. Dan perlu diingat pula bahwa “Organizing isn’t a science—it’s an art.”
Lantas apakah aksi protes itu efektif untuk menghasilkan perubahan kebijakan publik?
Inilah yang selalu menjadi pertanyaan setiap aksi protes. Apakah akan ada perubahan? Apakah tuntutan mereka dikabulkan? Setelah bersusah payah terlibat demo. Keringat bercucuran. Begitu melelahkan. Apakah protes mengubah kebijakan? Apakah mereka berubah pikiran? Atau apakah mereka hanya mengeluarkan tenaga? ratusan, ribuan bahkan jutaan orang turun ke jalan, untuk partisipasi protes, menyatakan protes, apa hasilnya?
Setiap kali ada gelombang besar protes di Amerika Serikat dan di tempat lain, sejumlah besar pemikiran soal efektifitas bertebaran, mempertanyakan apakah demonstrasi mencapai apa pun yang dapat diukur. Bagaimana mengukur adanya dampak dari protes, adanya perubahan?
Rakyat Amerika beruntung. Pidato penting Martin Luther King Jr tidak hanya melahirkan Gerakan Hak-Hak Sipil, tetapi juga menekan Kongres untuk meloloskan Undang-Undang Hak Sipil, yang mereka lakukan pada tahun berikutnya.
Bahkan sekarang, setengah abad kemudian, pidato King “I Have a Dream” dan March on Washington terus beresonansi. Pidato itu terus mewakili momen penting dalam sejarah. Panel cendekiawan pada tahun 1999 memberi peringkat pidato terbaik abad ke-20, dan menempatkan pidato Martin L. King di No 1 — di atas pidato pengukuhan JF Kennedy sebagai Presiden 1961: “Ask Not What Your Country Can Do For You.”
Namun tidak semua aksi protes melahirkan perubahan yang cepat, kata Kauffman yang berpengalaman menjadi kordinator mobilisasi protes anti perang Irak 2003-2004. Seringkali perubahan itu terjadi jauh beberapa waktu kemudian. Dan itupun sulit memastikan hubungan protes dengan perubahan kebijakan yang terjadi. “Fakta bahwa pengerahan demo besar tidak berfungsi dengan baik sebagai taktik penekan tentu saja merupakan salah satu alasan mengapa para skeptis mempertanyakan apakah protes benar-benar berhasil,” tulis Kauffman. Tetapi sebuah gerakan itu kompleks. Proses perubahan jauh lebih rumit. Proses yang satu selalu bukanlah proses puncak. Tetapi menjadi proses dari proses berikutnya. Protes hari ini akan memberi energi untuk protes berikutnya dalam proses selanjutnya.
Menurut Kauffman, mobilisasi massa, dari waktu ke waktu, yang menjadi paling penting bukan untuk meningkatkan kekuatan, tetapi untuk membangun gerakan. Memperkuat komitmen peserta. Membantu gerakan mendapatkan pengikut dan pengakuan yang mereka butuhkan untuk membuat perubahan dalam jangka panjang. Demonstrasi massa memberi peserta rasa memiliki isu yang diperjuangkan bersama. Memiliki sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri; mereka memberikan validasi keberadaan dan kegigihan suatu gerakan. Skala mereka tentu saja mengirimkan sinyal penting kepada pembuat undang-undang dan pembuat kebijakan, tetapi dalam beberapa hal, ini juga mengirimkan sinyal yang bahkan lebih penting bagi para peserta dan pengamat yang simpatik atau tertarik. Protes massa, seperti yang telah digunakan di Amerika Serikat, tidak untuk memupuk kekuatan semata namun juga membangkitkan harapan yang menjadi dasar pengorganisasian, membuka ruang politik untuk tindakan lebih lanjut, dan lebih bertarget (halaman 109).
Aksi protes ini memberi kesempatan bagi kelompok dan gerakan untuk berkumpul dan melakukan pemupukan silang bagi individu untuk menyambungkan serangkaian inisiatif dan kampanye yang sedang berlangsung. Bagi semua orang, termasuk pengamat dari luar, untuk melihat jangkauan dan skala kekuatan di balik suatu persoalan. Karakter para pemrotes yang lembut dan santun mengundang partisipasi luas, membuat semua orang mulai dari kaum tua hingga keluarga dengan anak kecil merasa aman untuk hadir. Idealnya, mereka berfungsi sebagai jembatan bagi orang-orang yang belum pernah berpartisipasi dalam demonstrasi di depan umum.
Mereka yang bergabung dalam protes massal dan kemudian pulang, menyumbangkan sesuatu dengan muncul dan hadir, untuk memastikan —karya perubahan sosial dan budaya kadang-kadang muncul dengan cara sesederhana seperti seseorang memberi tahu teman-teman mereka tentang protes dalam pawai besar yang mereka datangi — tetapi dampak jangka panjang dari protes berskala besar terletak pada tindakan apa yang diilhami oleh tindakan protes itu. Pekerjaan gerakan hampir selalu merupakan sebuah ikhtiar maraton. Demonstrasi massa membantu memelihara pergerakan.
“…but the longer-term impact of a large-scale protest lies in what other actions it inspires. Movement work is almost always a marathon, and mass demonstrations help keep movements going.”
Tantangan penting bagi para penyelenggara protes, setelah adanya mobilisasi besar, adalah bagaimana menyerap energi politik baru dan para peserta gerakan baru ke dalam sejumlah upaya yang berkelanjutan. Idealnya, orang harus pulang dari demonstrasi besar tidak hanya dengan perasaan bahwa mereka telah memainkan peran dalam sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, tetapi dengan komitmen untuk tindakan yang berkelanjutan dan rasa, semangat, inspirasi yang jelas tentang bagaimana mereka dapat berkontribusi selanjutnya.
Beberapa protes, tentu saja, tidak memiliki efek yang bertahan lama. Hanya seperti hembusan angin. Selalu ada kegagalan serta keberhasilan dalam tiap usaha manusia apa pun. Anda mungkin perlu bertahun-tahun mengubah sikap sebelum mulai mengubah kebijakan. Anda mungkin kalah untuk waktu yang sangat lama sebelum Anda mulai menang.Seperti ditulis Kauffman pada penghujung bukunya “If power conceded without demands, protests would never be necessary.” Jika kekuasaan diperoleh tanpa tuntutan, protes tidak akan pernah diperlukan