Rubarubu #17
Images of Organization: Mencari Wajah Organisasi dalam Dunia Tanpa Wajah
Melihat Organisasi dengan Kacamata Baru
Bayangkan sebuah perusahaan teknologi global, sebut saja “MetaStream”, yang mempekerja-kan para insinyur paling cerdas dan memiliki sumber daya yang hampir tak terbatas. Namun, perusahaan ini gagal total dalam mengantisipasi tren cloud computing. Mengapa? Bukan karena mereka tidak pintar, tetapi karena mereka terjebak dalam satu cara memandang dunia. Mereka melihat diri mereka sebagai “mesin” raksasa yang efisien untuk mengembangkan dan menjual perangkat lunak, terobsesi pada roda gigi dan tuas dalam mesin mereka sendiri. Mereka buta terhadap munculnya “ekosistem” baru di awan—sebuah metafora yang sama sekali berbeda yang tidak muat dalam peta mental “mesin” mereka. Kegagalan mereka adalah kegagalan persepsi.
Kisah MetaStream (yang terinspirasi dari kisah nyata Microsoft yang hampir ketinggalan tren cloud [1]) adalah bukti awal mengapa buku Gareth Morgan, “Images of Organization” (edisi 2006), tetap sangat relevan hingga hari ini. Buku ini bukan tentang “cara mengelola”; ini adalah buku tentang “cara berpikir”. Morgan berargumen bahwa semua teori manajemen kita dibangun di atas metafora—gambaran mendasar yang membentuk bagaimana kita memahami, merancang, dan memimpin organisasi. Kekuatan kita sekaligus kelemahan kita terletak pada metafora yang kita pilih. Sebagaimana dikatakan Morgan: “Our theories and explanations of organizational life are based on metaphors that lead us to see and understand organizations in distinctive yet partial ways.” (Morgan, 2006, p. 4) [2].
Buku ini adalah sebuah toolkit mental yang menawarkan serangkaian “kacamata” yang berbeda, masing-masing dengan kekuatan dan keterbatasannya sendiri, untuk mendiagnosis masalah dan membuka kemungkinan baru dalam dunia organisasi yang kompleks.
Delapan Lensa untuk Melihat Organisasi
Morgan mengajak pembaca dalam perjalanan intelektual dengan mengeksplorasi delapan metafora utama organisasi. Pemahaman tentang metafora-metafoa ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah pendekatan yang disebut “imaginization“—kemampuan untuk berpikir secara metaforis dan membingkai ulang realitas organisasi secara kreatif.
Metafora 1: Organisasi sebagai Mesin
Ini adalah metafora dominan sejak era Revolusi Industri. Organisasi dirancang seperti mesin dengan bagian-bagian yang spesialis, hierarki yang jelas, standardisasi, dan kontrol yang ketat. Birokrasi Weberian adalah contoh sempurna.
- Kekuatan: Menciptakan efisiensi, prediktabilitas, dan konsistensi untuk tugas-tugas rutin.
- Keterbatasan: Kaku, tidak manusiawi, menghambat inovasi, dan tidak adaptif terhadap perubahan. Organisasi mesin menghasilkan “manusia robot” yang hanya mengikuti perintah.
- Relevansi Kini: Masih banyak ditemui di lembaga pemerintah dan industri manufaktur tradisional, tetapi semakin tidak cocok untuk ekonomi pengetahuan yang dinamis.
Metafora 2: Organisasi sebagai Organisme
Metafora ini memandang organisasi sebagai sistem hidup yang terbuka yang harus beradaptasi untuk bertahan hidup di lingkungannya. Fokusnya pada kebutuhan, siklus hidup (lahir, tumbuh, mati), dan hubungan dengan ekosistem.
- Kekuatan: Menyoroti pentingnya adaptasi, kesehatan organisasi, dan desain struktur (seperti matriks atau jaringan) yang sesuai dengan lingkungan.
- Keterbatasan: Bisa menjadi terlalu deterministik, seolah-olah organisasi hanya bereaksi terhadap lingkungan, bukan menciptakannya.
- Relevansi Kini: Sangat relevan dalam memahami Agile Organization, organisasi yang harus terus berubah mengikuti pasar. Konsep “fit” dengan lingkungan adalah kunci.
Metafora 3: Organisasi sebagai Otak
Metafora yang sangat powerful ini memandang organisasi sebagai sistem pemrosesan informasi dan pembelajaran. Organisasi idealnya harus mampu “belajar”, mendistribusikan kecerdasan, dan membuat keputusan secara kolektif.
- Kekuatan: Mendorong desain organisasi yang fleksibel, terdesentralisasi, dengan kemampuan double-loop learning (belajar tidak hanya “bagaimana” tetapi juga “mengapa”).
- Keterbatasan: Sulit diimplementasikan sepenuhnya karena requires perubahan budaya dan kekuasaan yang mendalam.
- Relevansi Kini: Ini adalah fondasi konsep Learning Organization dan organisasi berbasis jaringan/kolaborasi. Dalam dunia yang kompleks, keputusan tidak bisa hanya berasal dari “puncak otak”.
Kutipan Kunci: “We can use the brain as a metaphor for creating organizations that have the capacity for self-organization and self-renewal.” (Morgan, 2006, p. 99) [2].
Metafora 4: Organisasi sebagai Budaya (Culture)
Organisasi bukan hanya struktur, tetapi juga jaringan makna yang dibangun secara sosial. Ritual, nilai, cerita, dan norma bersama membentuk perilaku anggotanya. Perusahaan yang kuat seperti Google atau Apple memiliki budaya yang sangat distinct.
- Kekuatan: Membantu memahami “jiwa” organisasi, resistensi terhadap perubahan, dan kekuatan kohesi sosial.
- Keterbatasan: Bisa menciptakan “pemikiran kelompok” (groupthink) dan eksklusivitas.
- Relevansi Kini: Sangat relevan untuk M&A, transformasi digital, dan membangun employer branding. Pemimpin masa depan harus menjadi “ahli antropologi” yang memahami budaya.
Metafora 5: Sistem Politik (Political Systems)
Organisasi adalah arena pertarungan kepentingan, kekuasaan, dan konflik. Sumber kekuasaan tidak hanya dari jabatan formal, tetapi juga dari kontrol atas sumber daya, keahlian, jaringan, dan sebagainya.
- Kekuatan: Memberikan realisme dalam menganalisis dinamika kekuasaan, aliansi, dan konflik yang sering diabaikan dalam teori manajemen tradisional.
- Keterbatasan: Bisa menyebabkan sikap sinis jika dilihat hanya sebagai permainan kekuasaan semata.
- Relevansi Kini: Penting untuk memahami perubahan organisasi, inovasi (yang sering ditentang oleh koalisi yang berkuasa), dan kepemimpinan yang efektif dalam mengelola berbagai kepentingan.
Metafora 6: Penjara Psikis (Psychic Prisons)
Ini adalah metafora yang paling dalam dan filosofis. Morgan berargumen bahwa organisasi dan cara kita mengelolanya sering terperangkap oleh proyeksi bawah sadar, kecemasan, dan dogma kita sendiri. Kita terpenjara oleh cara berpikir kita.
- Kekuatan: Membuka wawasan tentang akar terdalam resistensi terhadap perubahan dan irasionalitas dalam pengambilan keputusan.
- Keterbatasan: Sulit untuk “dibuktikan” secara empiris dan dioperasionalkan.
- Relevansi Kini: Menjelaskan mengapa perusahaan seperti MetaStream tadi gagal berinovasi—mereka terpenjara oleh metafora “mesin” dan kesuksesan masa lalu mereka. Ini mengingatkan kita pada ucapan filsuf Rumi, seorang sufi Muslim: “Jangan terjebak dalam penjara yang pintunya terbuka lebar.” [3]. Kita sering menjadi tahanan sukarela dari paradigma kita sendiri.
Metafora 7: Aliran dan Transformasi (Flux and Transformation)
Metafora ini berasal dari teori chaos dan kompleksitas. Organisasi dilihat sebagai sistem yang dinamis, non-linier, dan terus berubah, yang tercipta dari interaksi konstannya.
- Kekuatan: Menawarkan cara pandang untuk mengelola dalam ketidakpastian, di mana perubahan kecil dapat menyebabkan dampak besar (Efek Kupu-Kupu).
- Keterbatasan: Sangat abstrak dan menantang untuk diterjemahkan ke dalam praktik manajemen konvensional.
- Relevansi Kini: Sangat relevan untuk dunia VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous). Pemimpin dituntut untuk menciptakan “kondisi yang memungkinkan” munculnya pola, bukan mengontrol secara ketat.
Metafora 8: Alat Dominasi (Instruments of Domination)
Metafora kritis ini memandang organisasi sebagai alat untuk mengeksploitasi dan mendominasi, baik karyawan (melalui kerja berlebihan), masyarakat (melalui polusi), atau konsumen.
- Kekuatan: Membongkar sisi gelap organisasi dan mendorong pertanggungjawaban etis dan sosial.
- Keterbatasan: Dapat dianggap terlalu kritis dan mengabaikan manfaat organisasi.
- Relevansi Kini: Langsung terkait dengan gerakan ESG (Environmental, Social, Governance), kesenjangan upah CEO-karyawan, dan etika bisnis. Ini mengingatkan pada pemikiran Ali bin Abi Thalib R.A.: “Kekuasaan (kepemimpinan) bukanlah dengan memperlakukan manusia dengan kasar.” [4]. Sebuah organisasi tidak boleh menjadi alat penindasan.
Diantara 8 metafora itu, manakah yang lebih cocok dikembangkan saat ini dan masa depan sehingga bentuk dan gaya manajemeni organisasi lebih sesuai dengan jaman dan situasi yang berkembang. Metafora mana yang perlu diperkuat menjadi profil organisasi yg tepat. Uraikan dengan lebih lengkap berdasarkan teori Gareth Morgan itu.
Ini adalah pertanyaan yang sangat penting untuk aplikasi praktis teori Gareth Morgan. Menjawabnya tidak sesederhana memilih satu metafora, karena kekuatan sebenarnya dari Imaginization justru terletak pada kemampuan untuk mengombinasikan dan mentransendensi beberapa metafora.
Namun, jika harus memilih metafora yang paling relevan dan perlu diperkuat untuk membentuk profil organisasi masa depan, maka tiga metafora ini membentuk “trinitas” yang tak terpisahkan:
- Organisasi sebagai Otak (The Brain)
- Organisasi sebagai Organisme (The Organism)
- Organisasi sebagai Aliran dan Transformasi (Flux and Transformation)
Berikut adalah uraian lengkapnya, mengapa kombinasi ini paling cocok, dan bagaimana mereka berinteraksi.
Metafora Inti: Organisasi sebagai “Otak” yang Belajar
Ini adalah fondasi kognitif dari organisasi masa depan.
- Teori Morgan: Metafora ini menekankan pada pemrosesan informasi, pembelajaran, dan inteligensi terdistribusi. Organisasi tidak boleh bergantung pada satu “pusat kendali” (seperti otak reptil), tetapi harus dirancang seperti otak manusia yang memiliki miliaran neuron yang saling terhubung. Konsep kuncinya adalah:
- Holografik: Setiap bagian (tim, individu) mengandung inti dari keseluruhan organisasi (memahami misi, nilai, dan memiliki akses informasi).
- Self-Organization: Kemampuan bagian-bagian tersebut untuk mengatur diri sendiri dalam merespons tantangan.
- Double-Loop Learning: Bukan hanya memperbaiki kesalahan (single-loop), tetapi juga mempertanyakan asumsi, norma, dan tujuan di balik tindakan itu sendiri.
- Mengapa Paling Relevan Masa Kini dan Mendatang:
- Kompleksitas Informasi: Dalam era ledakan informasi dan AI, tidak mungkin semua keputusan naik ke puncak. Organisasi harus mampu memproses informasi dan membuat keputusan berkualitas di “tepi” organisasi, di mana informasi itu berada.
- Inovasi: Inovasi lahir dari kolaborasi dan pertukaran ide yang cair, persis seperti bagaimana sinapsis dalam otak bekerja. Struktur komando-dan-kendali (metafora Mesin) justru mematikan inovasi.
- Kecepatan: Dunia yang serba cepat menuntut respons yang instan. Sebuah tim penjualan harus bisa menyesuaikan strateginya berdasarkan umpan balik real-time dari pelanggan tanpa menunggu persetujuan dari tiga level manajer di atasnya.
Kutipan Kunci Morgan: “We can use the brain as a metaphor for creating organizations that have the capacity for self-organization and self-renewal.” (Morgan, 2006, p. 99). Dengan memperkuat metafora “Otak”, organisasi menjadi sebuah sistem pembelajaran kolektif yang terus-menerus berevolusi.
Metafora Kontekstual: Organisasi sebagai “Organisme” yang Beradaptasi
Jika “Otak” adalah sistem sarafnya, maka “Organisme” adalah tubuh lengkapnya yang berinteraksi dengan lingkungan.
- Teori Morgan: Metafora ini memandang organisasi sebagai sistem terbuka yang harus terus beradaptasi untuk bertahan hidup (“fit” dengan lingkungan). Fokusnya adalah pada kebutuhan, kesehatan, dan hubungan ekologis. Konsep kuncinya adalah:
- Keterbukaan Sistem: Organisasi dipengaruhi oleh dan mempengaruhi lingkungan eksternalnya (pasar, regulator, masyarakat).
- Kebutuhan Hierarki: Organisasi harus memenuhi “kebutuhan” dasarnya (seperti profit) sebelum bisa memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (seperti aktualisasi diri melalui inovasi radikal).
- Keanekaragaman: Tidak ada satu struktur terbaik. Struktur yang optimal tergantung pada lingkungan (“Contingency Theory“). Lingkungan yang stabil membutuhkan struktur mekanistik (Mesin), sementara lingkungan yang dinamis membutuhkan struktur organik (jaringan, tim).
- Mengapa Paling Relevan Masa Kini dan Mendatang:
- Lingkungan VUCA: Dunia kita adalah definisi dari Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous. Metafora Organisme mengajarkan kita untuk tidak kaku. Perusahaan harus seperti spesies yang berevolusi, mampu “berpivot” ketika lingkungan berubah drastis (seperti selama pandemi atau disrupsi teknologi).
- Tujuan Berkelanjutan (Sustainability): Metafora ini secara inherent ekologis. Ini mendorong organisasi untuk memikirkan jejak ekologisnya, kesehatan ekosistem bisnisnya, dan kesejahteraan jangka panjang, bukan hanya keuntungan kuartalan. Ini adalah penangkal terhadap pandangan jangka pendek.
- Kesejahteraan Karyawan: Konsep “kesehatan organisasi” meluas kepada kesehatan mental dan fisik karyawannya. Organisasi yang sakit (dengan budaya toxic, burnout tinggi) tidak akan bisa bertahan dalam perang talenta.
Dengan memperkuat metafora “Organisme”, organisasi menjadi entitas yang lincah dan tangguh, yang selalu waspada dan responsif terhadap perubahan di sekitarnya.
Metafora Filosofis: Organisasi sebagai “Aliran dan Transformasi”
Ini adalah metafora yang paling radikal dan futuristik, yang menerima perubahan bukan sebagai sesuatu yang luar biasa, tetapi sebagai satu-satunya konstanta.
- Teori Morgan: Berakar pada teori chaos dan kompleksitas, metafora ini melihat organisasi sebagai sebuah sistem yang terus-menerus dalam proses penciptaan dan pembentukan ulang. Konsep kuncinya adalah:
- Perubahan Non-Linier: Perubahan kecil dapat menghasilkan dampak yang besar (Efek Kupu-Kupu).
- Pola yang Muncul (Emergent Patterns): Ketertiban tidak diciptakan dari atas, tetapi “muncul” dari interaksi lokal yang sederhana antara agen-agen dalam sistem.
- Memanfaatkan Ketidakpastian: Alih-alih mencoba mengontrol ketidakpastian (seperti dalam metafora Mesin), organisasi belajar untuk “bermain” dengannya dan memanfaatkannya sebagai sumber inovasi.
- Mengapa Paling Relevan Masa Kini dan Mendatang:
- Disrupsi yang Konstan: Dalam dunia yang digerakkan oleh AI, blockchain, dan bioteknologi, perubahan bukan lagi sesuatu yang terjadi sesekali, tetapi suatu aliran yang konstan. Organisasi harus dirancang untuk berkembang dalam aliran ini.
- Inovasi yang Muncul (Emergent Innovation): Inovasi terbaik seringkali tidak bisa direncanakan di ruang rapat. Ia muncul dari percobaan-percobaan kecil, eksperimen, dan kolaborasi tak terduga. Peran pemimpin adalah menciptakan “wadah” yang memungkinkan pola-pola ini muncul.
- Mengelola Jaringan Kompleks: Dalam ekonomi platform dan ekosistem, sebuah perusahaan adalah simpul dalam jaringan yang luas dan dinamis. Memahami dinamika jaringan ini membutuhkan lensa “Aliran dan Transformasi”.
Dengan memperkuat metafora ini, organisasi menjadi sistem yang hidup dan bernapas, yang merangkul ketidakpastian sebagai lahan subur untuk menciptakan masa depan.
Ketiga metafora ini saling melengkapi dan memperkuat. Mereka bukan pilihan yang eksklusif.
- “Otak” menyediakan KECERDASAN: Kemampuan untuk belajar, memproses, dan membuat keputusan yang cerdas di seluruh tingkatan.
- “Organisme” menyediakan KELINCAHAN: Kemampuan untuk merasakan lingkungan dan secara aktif menyesuaikan strategi dan struktur untuk tetap “fit”.
- “Aliran” menyediakan KETANGGUHAN & INOVASI: Kemampuan untuk tidak hanya bereaksi terhadap perubahan, tetapi juga untuk menciptakan perubahan, berevolusi, dan menemukan pola baru yang menguntungkan dari dalam kekacauan.
Sebuah organisasi tradisional (Metafora Mesin) akan mencoba merancang sebuah “kapal selam” yang kokoh dan terkendali untuk menyelami lautan yang tenang. Sebaliknya, organisasi masa depan (gabungan Otak-Organisme-Aliran) adalah seperti sebuah drone otonom yang terbang di atas badai. Ia memiliki kecerdasan buatan (“Otak”) untuk mengambil keputusan sendiri, desain aerodinamis (“Organisme”) yang stabil di berbagai kondisi cuaca, dan kemampuan untuk memahami bahwa pola angin dapat berubah secara tak terduga (“Aliran”), sehingga ia bisa memanfaatkan arus tersebut untuk terbang lebih cepat dan lebih efisien.
Metafora Lain sebagai Peringatan dan Penyeimbang
Metafora lainnya tidak boleh diabaikan, karena mereka berfungsi sebagai sistem peringatan dini:
- Budaya & Politik: Untuk memastikan bahwa “kecerdasan” dan “kelincahan” tidak diredam oleh budaya yang toxic atau permainan kekuasaan yang destruktif.
- Penjara Psikis: Untuk terus-menerus mengingatkan kita agar tidak terperangkap oleh kesuksesan model bisnis kita sendiri di masa lalu.
- Alat Dominasi: Untuk memastikan bahwa organisasi yang cerdas, lincah, dan inovatif ini juga etis, adil, dan beroperasi untuk kebaikan yang lebih luas, bukan hanya untuk segelintir elite.
Pada 2005 terbit buku The Ten Faces of Innovation oleh IDEO, sebuah konsultan inovasi di Amerika Serikat. Bagaimana dua gagasan itu, The Images of Organization dan The Ten Faces of Innovation bisa saling berkaitan? Kedua buku ini, meski berbeda dalam pendekatan, saling melengkapi dengan sangat elegan. “Images of Organization” (Morgan) adalah teori yang mendiagnosis “DNA” organisasi, sementara “The Ten Faces of Innovation” (IDEO) adalah kitab praktis untuk “rekayasa budaya” organisasi tersebut untuk menghasilkan inovasi.
Tesis Utama: Dari Teori ke Praktek
Gareth Morgan memberikan kerangka diagnostik (the “WHAT” and “WHY”). Ia memberi kita delapan lensa untuk memahami mengapa organisasi kita berperilaku seperti ini dan hambatan mental apa yang kita hadapi. IDEO, melalui Tom Kelley, memberikan seperangkat peran perilaku (the “HOW”)—prototipe nyata dari individu yang dapat mengoperasionalkan metafora Morgan yang paling relevan untuk masa depan, khususnya metafora “Otak,” “Budaya,” dan “Organisme.”
Dengan kata lain:
- Morgan menjelaskan mengapa organisasi perlu menjadi sistem pembelajaran yang adaptif.
- IDEO menunjukkan siapa yang dibutuhkan dan apa yang harus mereka lakukan untuk mewujudkannya.
Ada kaitan kuat antara mentransformasi metafora menjadi peran manusiawi. “The Ten Faces of Innovation” secara langsung mengaktifkan dan memanifestasikan tiga metafora kunci Morgan untuk organisasi masa depan.
1. Mengaktifkan “Organisasi sebagai OTAK” (The Learning Brain)
Metafora Morgan tentang “Otak” menekankan pembelajaran, pemrosesan informasi terdistribusi, dan kecerdasan kolektif. IDEO merespons dengan peran-peran yang secara aktif merancang dan menyebarkan proses pembelajaran ini.
- The Anthropologist: Peran ini adalah “neuron sensorik” organisasi. Mereka pergi ke dunia nyata, mengamati perilaku pengguna, dan membawa kembali informasi mentah yang segar—bukan hanya data kuantitatif. Mereka memastikan organisasi tetap terhubung dengan realitas, yang merupakan bahan bakar bagi “otak” yang belajar.
- Kaitan: Tanpa Anthropologist, organisasi terjebak dalam echo chamber, hanya memproses informasi internal yang sudah usang—sebuah gejala klasik dari “Otak” yang terisolasi.
- The Experimenter: Ini adalah perwujudan dari “double-loop learning”. Mereka tidak takut gagal; mereka membuat prototipe untuk belajar. Setiap prototipe yang gagal adalah sebuah pelajaran yang memperkuat sirkuit neural organisasi. Mereka mempraktikkan prinsip Morgan: “We can use the brain as a metaphor for creating organizations that have the capacity for self-renewal.”
- Kaitan: Organisasi “Mesin” menghukum kegagalan. Organisasi “Otak” (yang diisi Experimenter) merayakannya sebagai pembelajaran.
- The Cross-Pollinator: Peran ini adalah “jembatan neural” yang menghubungkan bagian-bagian otak yang terpisah. Mereka membawa ide dari industri A ke industri B, menyatukan teknologi lama dengan aplikasi baru. Mereka memastikan bahwa pengetahuan tidak terisolasi dalam silo, tetapi bersirkulasi dan menciptakan koneksi baru.
- Kaitan: Ini adalah antitesis dari organisasi yang terfragmentasi. Mereka mendistribusikan kecerdasan, persis seperti yang diamanatkan oleh metafora “Otak” holografik.
2. Memperkuat “Organisasi sebagai BUDAYA” (The Collaborative Culture)
Metafora “Budaya” Morgan melihat organisasi sebagai jaringan makna yang dibangun secara sosial. Inovasi terhambat oleh budaya yang kaku. “The Ten Faces” memberikan archetype untuk membentuk ulang budaya tersebut menjadi lebih kolaboratif dan inovatif.
- The Hurdler & The Collaborator: The Hurdler adalah pahlawan budaya yang menemukan cara kreatif untuk mengatasi birokrasi dan hambatan (yang sering kali adalah “Sistem Politik” yang negatif menurut Morgan). The Collaborator adalah “lem sosial” yang menyatukan tim yang beragam dan memfasilitasi sinergi. Mereka secara aktif membangun budaya kolaborasi atas kompetisi.
- Kaitan: Mereka adalah agen perubahan budaya yang memerangi “Penjara Psikis” dari cara kerja lama dan mempromosikan nilai-nilai baru (kolaborasi, ketangguhan).
- The Director & The Experience Architect: Peran-peran ini memahami bahwa organisasi adalah panggung di mana drama bisnis dimainkan. The Director mengidentifikasi bakat dan mengarahkan drama inovasi, sementara The Experience Architect dengan sengaja merancang pengalaman yang bermakna—baik bagi pelanggan maupun rekan satu tim.
- Kaitan: Mereka adalah “insinyur makna”. Mereka secara aktif menggunakan elemen-elemen budaya (ritual, narasi, pengalaman) untuk memperkuat identitas organisasi yang inovatif, persis seperti yang dijelaskan Morgan dalam metafora “Budaya”.
3. Mewujudkan “Organisasi sebagai ORGANISME” (The Adaptive Organism)
Metafora “Organisme” adalah tentang adaptasi, menemukan ceruk, dan melayani ekosistem. Peran-peran IDEO berikut memastikan organisasi tetap hidup, relevan, dan terhubung dengan lingkungannya.
- The Set Designer: Peran ini memahami bahwa lingkungan fisik membentuk perilaku. Mereka mengubah kantor kubikel (struktur “Mesin”) menjadi ruang kerja yang cair dan inspiratif yang mendukung kolaborasi spontan dan kreativitas. Mereka menciptakan “habitat” yang memungkinkan organisme (organisasi) untuk berkembang.
- Kaitan: Ini adalah aplikasi langsung dari pandangan organik: bentuk mengikuti fungsi. Lingkungan kerja yang adaptif untuk organisasi yang adaptif.
- The Caregiver & The Storyteller: The Caregiver memastikan organisasi memiliki hubungan empatik dengan pelanggannya—sebuah organisme yang melayani organisme lain dalam ekosistem. The Storyteller menangkap dan menyebarkan narasi tentang kesuksesan, kegagalan, dan nilai-nilai organisasi, yang berfungsi seperti DNA kultural yang memandu adaptasi dan evolusi.
- Kaitan: Mereka memastikan organisasi tetap “fit” dengan lingkungan sosialnya dengan membangun empati dan menyampaikan makna, yang penting untuk kelangsungan hidup organisme mana pun.
IDEO sebagai “antitesis” terhadap metafora “mesin” dan “penjara psikis.” Kedua buku ini secara bersama-sama membentuk serangan yang koheren terhadap model organisasi mekanistik dan birokratis. “Sepuluh Wajah” adalah obat langsung untuk organisasi yang terjebak dalam metafora “Mesin” (di mana orang hanyalah “roda gigi”) atau “Penjara Psikis” (di mana dogma “ini cara kami melakukannya di sini” membunuh inovasi). Setiap “Wajah” adalah sebuah peran yang secara aktif merongrong logika mesin dan membongkar penjara psikis tersebut.
Kemudian dari metafora yang abstrak ke perilaku yang konkret. Kekuatan utama Morgan adalah dalam diagnosis, tetapi ia sering dikritik karena kurangnya preskripsi praktis. IDEO mengisi kekosongan ini dengan sempurna. Seorang manajer yang terinspirasi oleh Morgan mungkin berkata, “Kita perlu menjadi organisasi yang lebih seperti ‘Otak’ dan ‘Organisme’.” Seorang manajer yang juga membaca IDEO akan melanjutkan dengan, “…dan inilah caranya: kita perlu merekrut lebih banyak Anthropologist untuk belajar dari pasar, memberdaya-kan Experimenter untuk menguji ide, dan mempekerjakan Set Designer untuk menciptakan ruang yang mendukung hal itu.”
Humanisasi Teori Organisasi
Morgan berbicara tentang sistem, pola, dan arketipe yang luas. IDEO mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, sistem dijalankan oleh orang-orang. Dengan memberi nama dan mendeskripsikan peran-peran ini dengan karakternya yang manusiawi (bukan hanya fungsi pekerjaan), IDEO membuat transformasi organisasi menjadi sesuatu yang dapat diraih dan manusiawi. Ini adalah panggilan untuk memberdayakan individu untuk menjadi pahlawan inovasi dalam sistem mereka sendiri.
“Images of Organization” dan “The Ten Faces of Innovation” adalah dua karya yang saling membutuhkan.
- Tanpa kedalaman teoritis Morgan, “The Ten Faces” bisa disalahartikan sebagai sekadar daftar “tip dan trik” yang trendi, tanpa pemahaman mendalam tentang mengapa resistensi terhadap peran-peran ini begitu kuat dalam organisasi tradisional (karena mereka mengancam metafora “Mesin” dan “Sistem Politik” yang mapan).
- Tanpa kepraktisan IDEO, wawasan Morgan berisiko tetap menjadi diskusi akademis di ruang rapat, tanpa terjemahan yang jelas menjadi tindakan dan perilaku sehari-hari yang dapat mengubah budaya.
Bersama-sama, mereka membentuk sebuah peta dan kompas yang lengkap untuk perjalanan transformasi organisasi. Morgan memberikan peta yang menunjukkan medan (metafora) dan rintangan (birokrasi, politik, dogma). IDEO memberikan kompas dan peralatan (sepuluh peran) yang dibutuhkan setiap anggota perjalanan untuk berkontribusi pada kesuksesan ekspedisi menuju organisasi yang lebih inovatif, adaptif, dan manusiawi.
Relevansi dengan Dunia Saat Ini dan Masa Depan
Dalam konteks dunia yang penuh disrupsi teknologi (AI, IoT), krisis geopolitik, dan tekanan sosial-lingkungan, “imaginization” Morgan bukan lagi sebuah kemewahan, melainkan sebuah keharusan. Menghadapi Kompleksitas: Metafora “Otak” dan “Aliran dan Transformasi” memberikan kerangka untuk membangun organisasi yang tangguh, adaptif, dan kolaboratif, yang mampu berkembang dalam ketidakpastian.
Inovasi dan Transformasi Digital: Transformasi digital sering gagal karena hanya dilihat sebagai metafora “Mesin” (mengotomasi proses lama). Keberhasilannya membutuhkan perubahan “Budaya” dan penghancuran “Penjara Psikis” paradigma lama.
Tuntutan Keberlanjutan dan Etika: Metafora “Alat Dominasi” memaksa para pemimpin untuk mempertanyakan tujuan organisasi mereka di luar laba. Apakah organisasi mereka memberdayakan atau mengeksploitasi? Apakah mereka merusak atau melestarikan planet ini? Sebagaimana dikatakan seniman dan aktivis Banksy, “Masa depan ada di tangan orang-orang yang bisa melihat kemungkinan untuk berubah sebelum mereka menjadi jelas bagi orang lain.”[5]. Morgan memberi kita alat untuk “melihat” kemungkinan itu.
Relevansi dengan Konteks Indonesia
Pemikiran Morgan sangat kontekstual untuk menganalisis tantangan dan peluang organisasi di Indonesia.
Birokrasi Pemerintah: Birokrasi Indonesia masih sangat kental dengan metafora “Mesin” yang kaku dan hierarkis, yang sering bertentangan dengan kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang cepat dan adaptif. Pendekatan “Organisme” dan “Otak” (misalnya dengan mendorong otonomi daerah dan pengambilan keputusan yang lebih dekat dengan masyarakat) sangat dibutuhkan.
Budaya Korporat dan Kekeluargaan: Budaya Indonesia yang kolektif dan hierarkis bisa menjadi “Budaya” yang memperkuat kohesi, tetapi juga bisa berubah menjadi “Penjara Psikis” yang menekan kritik dan inovasi, atau “Sistem Politik” yang didominasi oleh jaringan kekeluargaan (nepotisme).
UMKM dan Kewirausahaan: UMKM adalah “Organisme” yang lincah. Untuk bertumbuh, mereka perlu mengadopsi metafora “Otak” (sistem manajemen pengetahuan) dan menghindari jebakan menjadi “Mesin” kecil yang tidak efisien. Semangat gotong royong dapat dilihat sebagai kekuatan dari metafora “Budaya” yang unik.
Pembangunan Berkelanjutan: Dalam mengelola sumber daya alam, metafora “Alat Dominasi”sangat relevan untuk mengkritik praktik eksploitasi yang merusak lingkungan. Perlu pergeseran ke metafora “Organisme” yang melihat industri sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar.
Catatan Akhir: Sebuah Panggilan untuk “Imaginization”
Diantara kedelapan metafora Morgan, yang paling cocok dan perlu diperkuat untuk membentuk profil organisasi masa depan adalah kombinasi sinergis antara “Otak”, “Organisme”, dan “Aliran dan Transformasi”.
Organisasi masa depan yang sukses akan menjadi organisme yang cerdas dan mampu belajar, yang berkembang dalam arus perubahan. Mereka akan meminimalkan metafora “Mesin” untuk area-operasi yang benar-benar rutin saja, dan secara aktif menggunakan metafora “Budaya” untuk membangun kohesi dan “Sistem Politik” untuk mengelola kekuasaan secara konstruktif. Dengan mengadopsi perspektif multi-metafora ini, para pemimpin dapat membangun institusi yang tidak hanya bertahan, tetapi juga membentuk masa depan yang lebih baik.
Images of Organization pada akhirnya adalah sebuah panggilan untuk membangun kebijaksanaan dan kreativitas dalam memimpin. Buku ini mengajarkan bahwa tidak ada satu “cara terbaik” untuk mengatur. Seorang pemimpin yang efektif adalah seperti seorang pelukis yang terampil, yang tahu kapan harus menggunakan kuas lebar (metafora Mesin), kapan harus memberi detail halus (metafora Budaya), dan kapan harus melanggar konvensi sepenuhnya (metafora Aliran dan Transformasi).
Di tengah turbulensi abad ke-21, pesan Morgan lebih penting dari sebelumnya: Masa depan tidak akan dimenangkan oleh organisasi yang paling kuat atau paling efisien, tetapi oleh organisasi yang paling pandai belajar, paling adaptif, dan paling reflektif—organisasi yang anggotanya memiliki kebebasan dan keberanian untuk melihat dunia, dan diri mereka sendiri, melalui berbagai kacamata yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Morgan sendiri: “The challenge is to become skilled in the art of using metaphor and to recognize the strengths and limitations of the perspectives that they create.” (Morgan, 2006, p. 359) [2].
Dengan menguasai seni ini, kita tidak hanya dapat membangun organisasi yang lebih sukses, tetapi juga yang lebih manusiawi, adil, dan berkelanjutan untuk semua. Ini seperti mencari wajah organisasi dalam dunia tanpa wajah.
Lumajang-Cirebon, 22 November 2025
Dwi Rahmad Muhtaman
Referensi
[1] The Economist. (2021). How Microsoft reinvented itself. The Economist. Retrieved from https://www.economist.com/business/2021/10/23/how-microsoft-reinvented-itself
[2] Morgan, G. (2006). Images of Organization (Updated Edition). Sage Publications.
[3] Rumi, Jalaluddin. (n.d.). The Masnavi. (Various translations).
[4] Nahj al-Balagha. (n.d.). Sermon 216. (Various translations).
[5] Banksy. (2010). Wall and Piece. Random House.
[6] Hatch, M. J. (1997). [Review of the book Images of Organization, by G. Morgan]. Academy of Management Review, 22(3), 849-852. Retrieved from https://journals.aom.org/doi/abs/10.5465/amr.1997.9708210751
[7] Palmer, I., & Dunford, R. (1996). Understanding Organizations Through Metaphor. In In: Clegg, S.R., Hardy, C. and Nord, W.R., Eds., Handbook of Organization Studies. Sage.






