Rubarubu
Jejak Kata, Buku Peradaban
Al-Qur’an: “Iqra’!” (“Bacalah!”) (QS. Al-‘Alaq: 1). “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1). Ini adalah wahyu pertama, menempatkan membaca—dalam nama Pencipta—sebagai fondasi pertama peradaban Islam. Membaca di sini bukan hanya aktivitas literer, tetapi juga kontemplasi atas ciptaan.
Tafsir Ayat “Iqra’:” Pembacaan Multidimensi sebagai Fondasi Peradaban Islam
Pengantar: Konteks Historis dan Psikologis Wahyu Pertama
Ketika ayat “Iqra'” turun di Gua Hira, Nabi Muhammad SAW sedang dalam keadaan kontemplasi mendalam. Menurut riwayat Ibnu Ishaq, Malaikat Jibril mendekati Nabi yang sedang berselimut ketakutan dan memerintahkan: “Iqra’!” (Bacalah!). Nabi menjawab dengan jujur: “Maa ana bi qari'” (Aku tidak bisa membaca). Dialog ini berulang tiga kali sebelum Jibril menyampaikan lima ayat pertama Surat Al-‘Alaq.
Prof. Dr. Quraish Shihab dalam “Tafsir Al-Misbah” menjelaskan bahwa ketidaktahuan Nabi tentang baca-tulis justru menjadi bukti mukjizat Al-Qur’an. Dr. Mustafa al-Maraghi dalam “Tafsir al-Maraghi” menekankan bahwa peristiwa ini menunjukkan transformasi dari ummi (buta huruf) menjadi pemimpin peradaban.
Analisis Linguistik dan Semantik “Iqra'”
Kata “Iqra'” berasal dari akar kata qara’a yang memiliki makna ganda:
- Membaca teks tertulis (reading literacy)
- Menyampaikan, meneliti, dan menganalisis (critical thinking)
Imam al-Raghib al-Isfahani dalam “al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an” menjelaskan bahwa makna dasar qara’a adalah “mengumpulkan dan menghimpun,” yang kemudian berkembang menjadi membaca karena aktivitas membaca melibatkan pengumpulan huruf dan kata.
Tafsir Holistik Ayat 1-5 Surat al-‘Alaq
1. Dimensi Teosentris: Membaca dalam Nama Tuhan ”Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq” (Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan).
Syekh Muhammad Abduh dalam “Tafsir al-Manar” menegaskan bahwa frasa “bismi rabbik” mengajarkan bahwa segala aktivitas intelektual harus dimulai dengan kesadaran ketuhanan. Dr. Hamka dalam “Tafsir Al-Azhar” menjelaskan: “Membaca dengan nama Allah berarti mengakui bahwa semua ilmu berasal dari-Nya.”
2. Dimensi Antropologis: Penciptaan Manusia dari ‘Alaq ”Khalaqal insana min ‘alaq” (Dia menciptakan manusia dari segumpal darah).
Prof. Dr. M. Quraish Shihab menganalisis bahwa penyebutan ‘alaq (zigot, embrio) mengajarkan pentingnya mempelajari ilmu embriologi. Ini sesuai dengan penemuan ilmuwan modern seperti Keith Moore yang mengakui keakuratan Al-Qur’an dalam embriologi.
3. Dimensi Epistemologis: Sumber dan Metode Ilmu ”Allama bil qalam. ‘Allamal insana ma lam ya’lam” (Yang mengajar dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya).
Ibnu Katsir dalam “Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim” menjelaskan bahwa qalam (pena) melambangkan segala sarana pencatatan ilmu. Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam “Kaifa Nata’amal ma’al Qur’an” menekankan bahwa ayat ini mendorong dokumentasi ilmu.
Tafsir Kontemporer dan Relevansi Modern
1. Tafsir Saintifik Dr. Zaghlul al-Najjar, pakar i’jaz ‘ilmi, menyatakan bahwa urutan penciptaan dalam ayat-ayat pertama Al-‘Alaq sesuai dengan teori evolusi ilmiah: dari materi dasar (‘alaq) hingga menjadi manusia sempurna.
2. Tafsir Falsafi Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam “Islam and Secularism” menjelaskan bahwa “Iqra'” mengandung konsep ta’dib (pendidikan karakter) yang integral, menggabungkan ilmu naqli dan aqli.
3. Tafsir Sosial-Budaya Dr. Fazlur Rahman dalam “Major Themes of the Qur’an” melihat “Iqra'” sebagai seruan untuk membangun masyarakat berbasis ilmu, menolak taklid buta dan mendorong ijtihad.
Implementasi dalam Sejarah Peradaban Islam
Sejarawan Prof. Dr. George Makdisi dalam “The Rise of Colleges” mencatat bahwa semangat “Iqra'” melahirkan institusi seperti Baitul Hikmah di Baghdad dan universitas-universitas Islam yang menjadi cikal bakal universitas modern.
Kesimpulan: Relevansi “Iqra'” di Abad 21
Dalam konteks masyarakat digital saat ini, “Iqra'” mengajarkan:
- Literasi Digital yang Bertanggung Jawab
- Integrasi Ilmu dan Iman
- Pembelajaran Sepanjang Hayat
Sebagaimana ditegaskan oleh cendekiawan kontemporer Prof. Dr. Abdul Hamid Abu Sulayman: “Iqra’ bukan hanya perintah membaca, tetapi filosofi pendidikan yang menyeluruh yang memadukan spiritualitas, intelektualitas, dan moralitas.” Dengan demikian, “Iqra'” tetap menjadi landasan peradaban Islam yang relevan dari masa ke masa, mengajak manusia untuk terus membaca “ayat qauliyah” (wahyu) dan “ayat kauniyah” (alam semesta) dalam kerangka tauhid.
Berdasarkan latar belakang itulah Ruang Baca Ruang Buku (Rubarubu) ini digagas. Banyak buku yang ada diperpustakaan, dimananpun perpustakaan itu berada, mengandung pengetahuan dan ilmu yang bermafaat itu dibaca, dan disebarkan. Bagi orang-orang yang suka membaca dan mengalokasikan waktunya dengan sengaja untuk membaca bisa memberi kontribusi menuliskan pengalaman membaca tersebut. Menuliskan dengan singkat apa yang menarik untuk dipetik dari isi buku tersebut. Apa saripatinya yang bisa dibagi untuk khalayak yang tidak mempunyai akses terhadap buku tersebut.
Dengan kemajuan teknologi kita juga bisa memanfaatkan kecanggihannya untuk meringkas buku-buku yang ingin kita baca singkat. Rubarubu akan memanfaatkan teknologi ChatGPT atau DeepSeek atau sejenisnya untuk meringkas dan mengupas buku-buku dan dijadikan bacaan ringkas. Penyuntingan tetap dilakukan untuk memastikan akurasinya dan kenyamanan membaca. Tetapi perlu tetap ada disclaimer bahwa setiap artikel Rubarubu tidak menjamin 100% akurat merupakan ringkasan dari buku yang diringkas atau dikupas. Pembaca disarankan tetap membaca sumber aslinya untuk mendapatkan pengalaman dan jaminan akurasi.
Rubarubu mempunyai misi untuk menyebarkan ilmu dan pengetahuan lewat bacaan dan buku. Merangsang para pembaca Rubarubu untuk membaca lebih dalam pada buku asal yang diringkas, mendorong percakapan untuk membincangkan buku-buku yang telah diringkas dan juga meningkatkan gairah untuk menulis pengalaman baca dan berbagi dengan khalayak.
Seperti ditulis oleh Adrian Johns dalam bukunya “The Science of Reading: : Information, Media, and Mind in Modern America” (2023) membaca bukanlah naluri alami. Ia adalah penemuan budaya yang paling berkuasa, dan kini, ia menjadi subjek dari sebuah sains.”
“The Science of Reading, bukan sekadar buku tentang membaca; ia adalah biografi dari sebuah ide. Johns lebih lanjut mengatakan “Membaca adalah sebuah craft [kerajinan] yang dipelajari, bukan sebuah naluri. Dan seperti semua craft, sejarahnya terjalin dengan teknologi dan institusi yang membuatnya mungkin.” Kutipan ini menegaskan bahwa membaca adalah produk budaya, bukan bawaan lahir, sehingga cara kita membaca bisa berubah seiring waktu.
“Apa yang kita sebut ‘The Science of Reading’ hari ini adalah produk dari perjuangan panjang untuk otoritas—sebuah upaya untuk mengklaim tanah netral sains dalam sebuah bidang yang sarat dengan nilai-nilai pedagogis dan politik.” Johns memperingatkan kita untuk kritis terhadap klaim “berbasis sains,” karena di baliknya sering ada pertarungan untuk mengontrol cara berpikir generasi mendatang.
“Pertanyaannya bukan lagi apakah kita bisa membaca, tetapi bagaimana kita membaca—dan bagaimana lingkungan media digital yang baru membentuk kembali otak pembaca yang telah dilatih oleh era cetak.” Ini adalah inti dari kekhawatiran sekaligus harapan: bahwa revolusi digital saat ini sama transformatifnya dengan penemuan mesin cetak Gutenberg.
Maka Bacalah!
Rubarubu adalah sebuah ruang untuk membaca. Dan ruang untuk menyimpan buku, membuka buku, membaca buku. Bukabuku, bacabuku, Rubarubu.
Selamat menikmati Rubarubu.
Bogor, Oktober 2025
Dwi Rahmad Muhtaman



