Sustainability 17A #61
Kopi, Social Forestry dan Karbon di Indonesia
Dwi R. Muhtaman,
Sustainability Partner
“Saya mengukur hidup saya
dengan sendok kopi.”
T.S. Eliot, penyair
Daftar Isi
Antony Wild dan Kopi Luwak
Masih ingat kehebohan kopi pada 2013? Dunia dikejutkan karena hadirnya kopi luwak (civet coffee) yang harganya selangit.
Kopi itu dipungut dari kotoran musang (Paradoxurus hermaphroditus). Musang sangat menyukai kopi-kopi yang matang dan menelannya. Kopi yang ditelan keluar utuh bersama kotoran yang dikeluarkan tubuhnya. Kopi itu merupakan kopi berkualitas tinggi. Diekspor ke pasar-pasar internasional dengan harga mahal. Popularitas kopi ini melejit setelah masuk program TV terkenal di Amerika Serikat, Oprah Winfrey, dan disebut-sebut dalam film The Bucket List.
Di London, misalnya, tahun 2012, harga secangkir kopi luwak bisa mencapai £60 atau sekitar Rp900.000 lebih untuk satu cangkir. Pada sepuluh tahun kemudian, 2022, kopi luwak merupakan kopi kedua termahal di dunia.1 Jika Thailand menawarkan kopi hasil ekstraksi kotoran gajah, Indonesia punya biji kopi hasil ekstraksi kotoran luwak atau kopi luwak. Biasanya tiap kebun kopi mampu menghasilkan kopi luwak meski jumlahnya terbatas. Untuk 0,45 kilogram biji kopi luwak dihargai US$100-US$200 per pon atau Rp1,4 juta-Rp2,8 juta per pon atau berkisar antara Rp3,08 juta – Rp6,17 juta per kg.2
Moelyono Soesilo, Ketua Departemen Speciality & Industry Badan Pengurus Pusar Asosiasi Eksportir dan Insutri Kopi (BPP AEKI), menyebut kopi luwak sangat mahal berkat 3 faktor yakni, luwak hanya makan kopi dengan kondisi terbaik hari itu, dalam sehari luwak hanya akan 10-15 g biji kopi, dan petani harus mencari kotoran luwak yang sudah makan buah kopi matang.
“Kita kenal istilah petik merah, tapi orang tidak tahu ini matang kemarin atau hari ini. Luwak, dengan instingnya, hanya makan kopi yang kondisinya paling baik hari itu,” ujar Moelyono.
Namun penyelidikan yang dilakukan wartawan BBC, Guy Lynn dan Chris Rogers, memperlihatkan bahwa musang-musang yang makan biji kopi tersebut dikurung dalam kandang. Dan para ahli yakin bahwa kopi luwak yang dijual di London diproduksi dari musang kandang walau dipromosikan sebagai kopi luwak yang berasal dari musang liar.3
Itu semua gegara Antony Wild. Seorang anak dari pedagang kopi dan teh di Inggris.
“Pada tahun 1963,” tulis Wild, “ayah saya mengambil alih Taylors, sebuah bisnis grosir teh dan kopi berbasis di Leeds dengan beberapa toko ritel. Saat berusia delapan tahun, saya membantu membersihkan salah satu tokonya di Harrogate yang akan dijual. Sejak kecil, saya mengenal toko itu, terutama karena asap kopi dari pemanggangnya memenuhi udara dingin di Parliament Street. Itu menjadi perkenalan pertama saya dengan dunia kopi, di mana biji hijau mentah diubah menjadi biji kopi panggang yang harum. Saat membantu merapikan toko yang kosong, berbagai peralatan seperti penggiling tangan, timbangan kuno, dan karung-karung kopi menjadi tempat bermain saya. Saya jatuh cinta pada dunia kopi sejak saat itu.”4
Tetapi kopi bukan urusannya bertahun-tahun kemudian. Karena setelah lulus universitas, berbagai pekerjaan dijalani di London—aktor, pemimpin taman bermain anak, hingga aktivis sepeda. Kemudian, dengan semangat petualangan, ia memutuskan untuk “pensiun” lebih awal dan berkeliling dunia selama setahun. Saat kembali ke Inggris, ia dilatih sebagai pembeli kopi di Taylors atas saran kakaknya, Jonathan, yang baru menjabat sebagai direktur utama perusahaan keluarga itu.
Pada tahun 1981, ia harus menjalani pelatihan di berbagai perusahaan impor kopi di London, termasuk di Quick, Reek, and Smith. Ia belajar teknik memanggang dan mencicipi kopi, serta memahami istilah-istilah khas dalam industri ini. Di waktu luang, ia membaca banyak buku tentang kopi, khususnya sejarah dan geografinya. Ia juga menemukan lemari penyimpanan penuh sampel kopi hijau dari berbagai negara. Koleksi kopi itu dipanggang dan dinilai sendiri mutunya.
Bahkan Wild masih menyimpan catatan dari masa itu. Misalnya, untuk kopi Paraguay, ia menulis: “Biji kecil, kotor, berubah warna. Panggang kecil. Tekstur lembut seperti Santos, sedikit bata.” Untuk Mocha Lekempti: “Biji tidak dicuci, warnanya tidak merata. Memiliki ‘aroma keju’ yang diinginkan dalam Mocha.” Catatan-catatan dan kebiasaan kecil itu tanpa disadari, saat itu sebenarnya ia sedang mengasah keterampilan untuk masa depan yang cemerlang dalam mengembangkan kopi spesial.
Di International Coffee Organization (ICO), terdapat perpustakaan besar. Wild sering menjelajahi buku-buku yang berderet di situ. Saat itu, ia masih dalam fase “menjala informasi” selama masa magang—menyerap segala hal tentang kopi tanpa membedakan asal-usulnya. Suatu hari, ia menemukan majalah National Geographic lama di rak. Isinya menampilkan artikel lengkap tentang kopi, tetapi satu paragraf kecil menarik perhatiannya. Penulisnya menceritakan pengalaman menikmati kopi luar biasa di sebuah perkebunan di Sumatra, yang berasal dari biji kopi yang telah dicerna oleh hewan liar kecil mirip musang yang disebut luwak. Hewan ini berkeliaran di perkebunan pada malam hari, hanya memilih ceri kopi terbaik dan paling matang, lalu mengeluarkan biji kopi yang tidak tercerna—yang kemudian dikumpulkan, dicuci, dan dipanggang. Saya menyimpan cerita aneh ini di sudut ingatan saya, lalu melupakannya begitu saja.5
Lalu, pada suatu pagi di tahun 1991, ia menerima telepon dari seorang pedagang kopi Swiss yang sangat gigih menawarkan kopi yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Demi menghentikan ocehannya, ia berkata, “Carikan saya kopi luwak, Mr. Schenk. Saya akan membelinya…” Menggali kembali ingatan tentang artikel di National Geographic, ia menjelaskan kepadanya apa itu kopi luwak dan di mana bisa ditemukan. Ia terkejut dan terhibur, lalu ia pun melupakan percakapan itu.
Tiga bulan kemudian, ia menelepon kembali dan berkata, “Mr. Wild! Saya punya satu kilo kopi luwak untuk Anda!” Tentu saja Wild membelinya—bukan untuk dijual oleh perusahaan, tetapi karena ia merasa nilai keunikannya bisa menarik perhatian media lokal. Dugaannya benar, bahkan lebih dari yang dibayangkan: dalam waktu singkat, surat kabar nasional, radio, dan televisi berebut untuk menampilkan cerita ini, dan reputasi Taylors sebagai roaster kopi spesial paling inovatif di Inggris pun semakin meningkat.
Demikian pula dengan reputasi Wild. Pada tahun 1989, sebelum kopi luwak dikenal luas, jurnalis muda Nigel Slater pernah mewawancarai Wild untuk Sunday Correspondent dan menyebutnya “pionir di antara pedagang kopi“. Setelah kopi luwak mencuat, penulis kuliner Joanna Blythman menjulukinya sebagai “Indiana Jones dalam dunia kopi“, yang tentu saja merupakan pujian menyenangkan. Tapi kemudian ada lagi yang menyebutnya berbeda “Christopher Columbus dalam dunia kopi“. 6
“Christopher Columbus?” pikirnya, menggaruk kepala sambil duduk di meja yang dipenuhi artikel majalah, kliping pers, rekaman wawancara radio, dan kaset VHS dari acara bincang-bincang larut malam tempat dia diundang sebagai tamu. Sulit dipercaya… Ketika pertama kali memperkenalkan kopi luwak ke dunia Barat, ia sama sekali tidak menyangka akan dibandingkan dengan tokoh besar dari Zaman Penjelajahan.
Luwak liar mulai dipaksa untuk masuk ke perkebunan kopi di Sumatra agar mereka melahap buah kopi demi memenuhi permintaan yang terus meningkat. Sebuah perkebunan kopi di Filipina juga ikut serta dalam tren ini. Sementara para peneliti di Universitas Florida bahkan telah berhasil mensintesis efek enzim dalam saluran pencernaan luwak secara buatan dan melisensikan teknologi tersebut kepada sebuah pemanggang kopi di Amerika Serikat. Bukannya merasa jijik, para konsumen yang paham kualitas justru berebut untuk mencicipi kopi luwak.
Namun kemudian, pada November 2012, Wild, yang memang kutu buku itu, membaca sebuah artikel di The Guardian dan menyadari bahwa, seperti orang lain, ia telah tertipu. Permintaan yang terus meningkat untuk kopi luwak, serta harga yang luar biasa tinggi, telah menyebabkan sesuatu yang tak terhindarkan: peternakan massal. Luwak liar ditangkap dan dikurung dalam kandang, diberi makan hampir seluruhnya dengan buah kopi, sementara kotorannya dikumpulkan dengan mudah di baki-baki penampungan. Artikel tersebut menyoroti masalah kesejahteraan hewan yang terlibat. Itu tentu menyedihkan, tetapi yang lebih menarik baginya adalah bahwa setiap situs web pedagang kopi dan pengecer kopi yang terlibat dalam bisnis kopi luwak hampir selalu mengulang narasi yang sama: cerita tentang luwak liar yang berkeliaran di perkebunan pada malam hari, memilih hanya buah kopi yang paling matang dan terbaik, yang hampir selalu diakhiri dengan klaim, “Hanya 500 kilogram kopi yang tersedia setiap tahun.”
500 kilogram, 500 kilogram… Angka yang tampaknya begitu presisi ini berputar-putar di kepala Wild—persis seperti angka yang akan dipilih jika ingin membuat kopi luwak tampak langka namun tetap secara komersial menguntungkan. Wild merasa bahwa sebagai sejarawan gelap kopi yang mengklaim diri sendiri, seharusnya menyelidiki lebih lanjut. Namun, saat itu ia sedang sibuk menulis volume ketiga dari trilogi fiksi, lalu datang Natal, dan kemudian berbagai hal lainnya… Dalam prosesnya, ia pun menyadari bahwa hampir setiap rantai dalam jaringan distribusi—mulai dari petani, pengirim, importir, pemanggang kopi, hingga pengecer—bersama-sama menjaga ilusi tentang keaslian dan kelangkaan kopi luwak, biasanya dengan mengutip angka tahunan 500 kilogram yang sama sekali tidak berdasar.
Dan hampir semua orang memilih untuk menutup mata terhadap fakta bahwa hampir semua kopi luwak waktu itu, 2012-an berasal dari peternakan. Salah satu peternakan di Indonesia yang ditemui dengan bangga mengklaim dapat menghasilkan tujuh ton kopi per tahun dari 240 ekor luwak yang dikandangkan.
Meskipun skala perdagangan ini kecil jika dibandingkan dengan perdagangan kopi global, tetap saja bagi merupakan angka yang cukup mencengangkan. Ketika pertama kali membahas pasar kopi luwak dengan BBC, Wild hanya menebak bahwa penjualan di Inggris mungkin mencapai 50 kilogram per tahun. Faktanya, ditemukan bahwa angka tersebut bisa melebihi 2.000 kilogram. Jika memperhitungkan pasar yang jauh lebih besar di AS, Eropa, dan Jepang, tidak ada yang tahu berapa besar pasar global sebenarnya. 50.000 kilogram? 100.000? Dengan harga pengiriman rata-rata sekitar $100 per kilogram, kopi luwak yang awalnya perkenalkan oleh Antony Wild ini mungkin pada 2013 telah bernilai $10 juta bagi para petani di Indonesia. Tampaknya Wild secara tidak sengaja telah menciptakan sebuah industri. Hingga 2021 kopi luwak masih merupakan kopi terbaik di Indonesia. Diikuti berturu-turu Kopi Toraja, Kopi Aceh dan Kopi Mandailing.7
Namun, seperti yang sering terjadi dalam perdagangan kopi, keuntungan sesungguhnya justru diraup oleh para pemanggang dan pengecer di negara maju, di mana kopi luwak biasanya dijual dengan harga setara $200–$400 per kilogram, bahkan lebih. Dengan perhitungan ini, industri kopi luwak bisa bernilai lebih dari $50 juta.
Uang besar tentu menarik konsumen dengan kantong tebal. Misalnya, jika Anda kesulitan mencari hadiah ulang tahun yang cocok untuk oligarki Rusia di lingkungan Anda, bagaimana kalau membeli kopi luwak dalam kemasan foil emas 24 karat seharga £6.500 di Harrods? Hanya saja, yang Anda beli bukan kopi luwak asli, melainkan salah satu dari banyak kopi tiruan yang kini bermunculan untuk bersaing dalam bisnis kopi berbasis kotoran hewan ini. Gajah Thailand, burung jacu Brasil, monyet Bonobo, dan kelelawar Kosta Rika semuanya telah ‘direkrut’ untuk memenuhi hasrat konsumen akan sesuatu yang “aneh dan tampaknya luar biasa.”
Dalam kasus Harrods, varian mereka diproduksi oleh uchunari, hewan Andes berhidung panjang seukuran luwak. Tentu saja, kopi ini diklaim berasal dari hewan liar, sangat langka, dan merupakan kopi termahal di dunia (menghela napas). Namun, setahu saya, baik uchunari maupun hewan-hewan lain itu tidak memiliki kelenjar anus seperti luwak asli, yang memberikan kopi luwak cita rasa khasnya. Jadi, satu-satunya keistimewaan kopi mereka hanyalah metode produksinya yang unik.
Setelah pada tahun 2013 itu gaduh soal kopi luwak karena panangkaran yang dilakukan petani, hingga saat ini praktek penangkaran dan ‘pemaksaan’ luwak untuk konsumsi kopi itu masih berlangsung. Malah tren “kopi luwak kandang,” di mana luwak ditangkap dari alam liar dan dipelihara dalam kondisi kurungan, semakin berkembang. “Dalam lima tahun terakhir, industri wisata kopi luwak telah berkembang pesat di Indonesia,” tulis Cardert dalam artikel yang berjudul: The animal welfare implications of civet coffee tourism in Bali (2016).8
Makalah ynag ditulis Cardert et al. ini didasarkan pada pengamatan terhadap kondisi kandang 48 luwak pandan liar (Paradoxurus hermaphroditus) yang ditangkap dari alam di 16 perkebunan kopi wisata di Bali. Untuk menilai kesejahteraan hewan, diberikan skor antara 0-4 pada delapan aspek pemeliharaan di setiap perkebunan, termasuk mobilitas, kebersihan, permukaan kandang, tempat berlindung, kebisingan, makanan, air, dan interaksi sosial. Selain itu, wawancara dilakukan dengan pemandu wisata senior di masing-masing perkebunan untuk mengumpulkan informasi mengenai aktivitas wisata serta proses produksi kopi luwak di lokasi tersebut. Data yang diperoleh memungkinkan dilakukannya penilaian kesejahteraan hewan, yang menyoroti kondisi yang tidak memadai serta dampak negatif terhadap luwak pandan akibat produksi kopi luwak secara komersial dalam kurungan. Dampak ini tidak ditemukan dalam metode tradisional yang mengandalkan pengumpulan kotoran dari luwak liar di habitat aslinya.
Sosial forestri atau kehutanan sosial memberikan alternatif kopi yang enak tanpa membuat sengsara siapapun, termasuk binatang.
Hutan yang Memberi Kehidupan:
Social Forestry di Indonesia
Di pedalaman hutan Indonesia, di mana kabut pagi menyelimuti puncak-puncak pohon, terdapat kisah tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam. Di sini, kopi bukan sekadar tanaman komersial, melainkan simbol harapan, ketahanan, dan keberlanjutan. Sejak zaman nenek moyang, masyarakat sekitar hutan telah memanfaatkan hasil hutan untuk bertahan hidup. Namun, kebijakan-kebijakan yang mengabaikan hak-hak masyarakat telah menjauhkan kehidupan mereka dari hasil hutan. Kampanye tekanan deforestasi dengan telunjuk yang iarahkan pada masyarakat, perubahan iklim yang memaksa menjadikan hutan sebagai monumen hijau yang tidak boleh disentuh, dan kemiskinan desa-desa hutan telah mengancam keseimbangan ini. Lalu, muncullah program Social Forestry—sebuah gerakan yang mengubah kebijakan yang membatasi hak masyarakat itu dan membuka sedikit ruang bagi masyarakat berinteraksi dengan hutan, dengan kopi sebagai salah satu protagonis utamanya.
Gambaran yang menarik tentang kebijakan sosial forestri ini barangkali bisa kita kutipkan dari Herb Thompson, Social Forestry: An Analysis of Indonesian Forestry Policy: Semakin sering terjadi bahwa upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan oleh organisasi internasional dilakukan dengan mengintegrasikan sistem partisipasi luas yang efektif dalam pengambilan keputusan terkait pemanfaatan sumber daya. Misalnya dengan mendesentralisasikan pengelolaan sumber daya yang menjadi sandaran komunitas lokal serta memberikan mereka suara yang efektif dalam penggunaannya. Selain itu, … banyak aparatur negara beranggapan bahwa kelompok masyarakat tak bertanah dan miskin sumber daya memiliki sedikit kepentingan dalam melindungi lingkungan. Berbagai literatur yang luas, seperti dikutip oleh Thompson, di mana gerakan Chipko atau penyadap karet Brasil sering kali menjadi representasi utama, menunjukkan bahwa pandangan terakhir ini keliru.
Namun, pertanyaan yang muncul, …adalah pertama, bagaimana suku-suku adat dan petani miskin di dunia dapat berpartisipasi jika mereka tidak memiliki teknologi yang sama, tidak berbicara dalam bahasa “kemajuan” yang sama, atau tidak mendapatkan penghormatan dari anak-anak mereka yang tumbuh dalam dunia yang dipenuhi simbol-simbol “Rambo” dan Coca-Cola? Kedua, ketika suku-suku adat dan petani miskin diizinkan untuk “berpartisipasi,” apakah partisipasi tersebut benar-benar bermakna bagi mereka?
Dalam tulisan Thompson itu, konsep social forestry (kehutanan sosial) sebagian besar diabaikan dalam praktik, meskipun telah diakui dalam peraturan perundang-undangan atau perjanjian protokol. Jika pun tidak diabaikan, itu karena agen negara atau pemodal tidak menganggap hasil akhir dari partisipasi demokratis sebagai sesuatu yang penting. Thompson beranggapan ada logika ganda yang cacat dalam praktik social forestry sejauh ini belum memberikan solusi yang memadai.9 tentu saja itu adalah pandangan yang dia tuliskan pada tahun 1999 (ketika tulisan itu dimuat di Journal. Seperempat abad kemudian, 2025, kemajuan yang berbeda mungkin bisa ditunjukkan meski tetap tak bisa menghapus pandangannya yang perlu kita perhatikan.
Sejarah Social Forestry di Indonesia dapat ditelusuri kembali ke era kolonial Belanda, di mana masyarakat lokal diberikan hak untuk mengelola hutan secara terbatas. Perintisan menjadi bagian penting program kehutanan mulai dilakukan pada akhir 1990-an, ketika Indonesia menghadapi krisis ekonomi dan lingkungan yang parah. Hutan-hutan ditebang untuk dijadikan perkebunan sawit, tambang, atau lahan pertanian skala besar, sementara masyarakat lokal semakin terpinggirkan. Namun, program ini baru mendapatkan momentum yang signifikan setelah reformasi politik pada tahun 1998. Pada tahun 2007, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 6 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, yang menjadi landasan hukum bagi Social Forestry. Program ini memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat melalui skema seperti Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat. Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, yang menjadi dasar hukum bagi pengembangan Social Forestry.
Social Forestry atau Perhutanan Sosial bertujuan untuk memberikan akses legal kepada masyarakat lokal dan kelompok tani untuk mengelola kawasan hutan secara berkelanjutan. Program ini bertujuan utama untuk mengurangi kemiskinan di sekitar hutan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menjaga kelestarian lingkungan. Hingga saat ini, program Social Forestry telah mencakup lebih dari 8 juta hektar kawasan hutan di seluruh Indonesia pada 2024. Target 12,7 juta hektar pada tahun 2024 tidak tercapai.
Social Forestry bukan sekadar kebijakan, melainkan sebuah revolusi hijau yang mengembalikan martabat masyarakat lokal sebagai penjaga hutan. Dan di tengah program ini, kopi muncul sebagai salah satu komoditas andalan.
Kopi, terutama yang ditanam di bawah naungan pohon hutan (shade-grown coffee), adalah contoh sempurna dari agroforestri—sistem pertanian yang menggabungkan pohon hutan dengan tanaman komersial. Sistem ini tidak hanya menghasilkan biji kopi berkualitas tinggi, tetapi juga menjaga keanekaragaman hayati, menyerap karbon, dan mencegah erosi tanah.
Di lereng-lereng hutan Sumatra, Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, petani kopi telah membuktikan bahwa mereka bisa hidup sejahtera tanpa merusak hutan. Kopi arabica dari Gayo, Aceh, atau robusta dari Lampung telah menjadi ikon kopi Indonesia yang mendunia. Namun, lebih dari itu, kopi telah menjadi alat konservasi yang efektif.
Dalam konteks program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), kopi memainkan peran krusial. REDD+ adalah inisiatif global yang memberikan insentif finansial kepada negara-negara untuk mengurangi emisi karbon dengan menjaga hutan. Kopi yang ditanam di bawah naungan pohon hutan berkontribusi pada penyerapan karbon, sehingga membantu Indonesia memenuhi komitmen iklimnya. Kopi, terutama yang ditanam di bawah naungan pohon alam (shade-grown coffee), memainkan peran penting dalam konservasi hutan dan program REDD+. Kopi yang ditanam dengan sistem agroforestri tidak hanya memberikan pendapatan bagi petani tetapi juga membantu menjaga keanekaragaman hayati dan menyerap karbon, sehingga berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
Kisah Sukses: Dari Hutan ke Cangkir Kopi
Dari pengamatan yang dilakukan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), kopi merupakan komoditi yang paling disukai dalam pengembangan ekonomi sosial forestri. Lokasi-lokasi yang sesuai dan pasar yang tersedi membuat budidaya kopi sebagai andalan penting sosial penting terus mengalami peningkatan. Mari kita kita simak tiga kisah suskses pengelolaan hutan rakyat yang menghadirkan kehangatan dari ladang hingga ke cangkir kopi.
1. Koperasi Hutan Jaya Lestari, Lampung
Di Lampung, sekelompok petani yang tergabung dalam Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) telah membuktikan bahwa kopi bisa menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan. Mereka menanam kopi robusta di bawah naungan pohon hutan, menjaga keanekaragaman hayati, dan menghasilkan kopi berkualitas tinggi. Dengan dukungan program REDD+, mereka menerima insentif finansial untuk menjaga hutan. Kini, kopi mereka telah menembus pasar internasional.
Mereka tidak hanya meningkatkan pendapatan petani tetapi juga berhasil menjaga kelestarian hutan.
KHJL didirikan oleh kelompok petani kopi yang tinggal di sekitar kawasan hutan di Lampung pada awal 2000-an. Lahir dari kebutuhan untuk mengamankan lahan garapan mereka yang sering mengalami konflik dengan otoritas kehutanan, KHJL mendapatkan legalitas melalui skema Perhutanan Sosial (PS). Dengan dukungan pemerintah, LSM lokal, dan mitra internasional seperti program REDD+, koperasi ini berkembang menjadi model sukses agroforestri berbasis kopi.
KHJL mengembangkan kopi robusta berbasis agroforestri, di mana tanaman kopi ditanam di bawah naungan pohon hutan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem. Mengikuti program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang memberikan insentif finansial bagi petani yang menjaga kelestarian hutan. Melakukan sertifikasi keberlanjutan untuk meningkatkan akses pasar dan harga jual kopi, termasuk melalui Fair Trade dan Rainforest Alliance. Membangun sistem koperasi untuk meningkatkan daya tawar petani, membantu dalam permodalan, dan memberikan pelatihan praktik pertanian berkelanjutan.
Organisasi apapun, termasuk organisasi masyarakat seperti KHJL, selalu menghadapi beragam tantangan. Konflik lahan dengan otoritas kehutanan kerap terjadi, terutama pada tahap awal ketika skema perhutanan sosial belum diterima secara luas. Tantangan berikutnya adalah kurangnya akses ke pasar premium, yang menyebabkan petani awalnya hanya bisa menjual dengan harga rendah. Juga soal ketergantungan pada perantara, sehingga harga yang diterima petani tidak mencerminkan nilai sebenarnya dari kopi berkualitas tinggi. Semua tantangan ini dihadapi. Para pendamping memfasilitasi untuk mencari jalan keluar, dan akhirnya bisa mengatasi gelombang permasalahan tersebut dengan baik.
Hasilnya, Koperasi ini telah meningkatkan pendapatan petani hingga dua kali lipat berkat akses ke pasar kopi premium. Dengan bergabungnya petani dalam KHJL maka tidak banyak lagi petani yang menebang hutan dibandingkan yang tidak tergabung. Dan data menunjukkan pengurangan deforestasi signifikan. Koperasi telah ekspor kopi ke pasar internasional, termasuk ke Eropa dan Amerika Serikat.
Hingga saat ini, informasi terbaru mengenai Koperasi Hutan Jaya Lestari di Lampung masih terbatas. Namun, secara umum, kemitraan antara koperasi petani dan perusahaan besar menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas kopi rakyat. Kemitraan ini memberikan akses ke pasar yang lebih luas dan memastikan keberlanjutan usaha tani kopi.10
Prospek ke Depan
Dengan semakin meningkatnya permintaan kopi berkualitas tinggi, koperasi seperti Hutan Jaya Lestari memiliki peluang besar untuk memperluas pasar mereka. Namun, tantangan seperti fluktuasi harga kopi global dan perubahan iklim tetap menjadi perhatian utama. Diversifikasi produk dan peningkatan kapasitas produksi dapat menjadi strategi untuk menghadapi tantangan ini.
2. Koperasi Kopi Gayo, Aceh
Kopi Gayo adalah salah satu kopi terbaik di dunia, dan keberhasilannya tidak lepas dari sistem agroforestri yang diterapkan oleh petani setempat. Koperasi Kopi Gayo telah mendapatkan sertifikasi organik dan fair trade, yang meningkatkan nilai jual kopi mereka. Program ini juga berhasil mengurangi deforestasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Koperasi Kopi Gayo ini terkenal dengan kopi arabica-nya yang ditanam di bawah naungan pohon hutan.
Kopi Gayo telah dikenal sejak zaman kolonial Belanda, tetapi sistem koperasi baru berkembang pesat setelah reformasi 1998. Koperasi Kopi Gayo muncul dari berbagai inisiatif petani di dataran tinggi Aceh yang ingin memperbaiki kesejahteraan mereka setelah mengalami dampak konflik bersenjata di daerah tersebut.
Salah satu pelopor koperasi ini adalah Koperasi Permata Gayo, yang didirikan pada 2006 dengan dukungan dari lembaga lokal dan mitra internasional, seperti Fair Trade USA dan berbagai program keberlanjutan. Selain itu, Koperasi Kopi Wanita Gayo (Kokowagayo) telah mendapatkan pengakuan internasional sebagai satu-satunya koperasi wanita di Asia Tenggara yang tergabung dalam organisasi petani kopi wanita internasional, OPTCO. Dengan 409 anggota yang mengelola 342 hektar lahan, Kokowagayo berhasil menembus pasar Amerika Serikat, Eropa, dan Australia.11
Apa yang mereka lakukan? Kokowagayo menerapkan sistem agroforestri berbasis kopi arabika untuk menjaga keseimbangan ekologi. Karena prakarsa itu mereka telah diganjar sertifikasi organik dan Fair Trade, yang membantu meningkatkan harga jual dan membuka pasar ekspor.
Membangun fasilitas pemrosesan sendiri, mengurangi ketergantungan pada tengkulak dan meningkatkan nilai tambah bagi petani. Memberdayakan petani perempuan, dengan memberikan pelatihan dan akses terhadap keuangan bagi kelompok perempuan petani kopi.
Apa kunci keberhasilan mereka? Empat faktor penting yang menjadi teladan: 1. Keterlibatan Masyarakat: Partisipasi aktif masyarakat lokal dalam perencanaan dan implementasi program.
2. Dukungan Pemerintah: Regulasi dan insentif yang mendukung dari pemerintah. 3. Kerjasama Multistakeholder: Kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan sektor swasta. 4. Akses Pasar: Pasar yang terbuka dan adil untuk produk kopi yang dihasilkan. Inilah faktor yang harus menjadi perhatian–sesuatu yang juga sebetulnya menjadi faktor penting perusahaan-perusahaan baik swasta maupun BUMN. Memang jika kelompok usaha yang berbasis masyarakat maka andalan penting adalah keterlibatan masyarakat dan kerjasama multistakeholder. Sementara perusahaan swasta dan BUMN adalah faktor kemampuan untuk penetrasi pasar/konsumen dengan berbagai tehnik-tehnik pemasaran yang modern.
Perjalanan Kokowagayo yang hampir 20 tahun menghadapi berbagai tantangan ke depan. Misalnya isu perubahan iklim yang mau tidak mau berdampak produksi kopi. Perkembangan Koperasi yang terus pesat memerlukan akses modal yang lebih luas dan besar. Kesulitan akses modal untuk pengembangan dan pemasaran kopi akan mengurangi kemampuan bersaing dengan perusahaan-perusahaan. Konflik lahan juga menjadi tantangan yang perlu dikelola dengan baik. Kopi Kokowagayo mengandalkan kebun-kebun rakyat/anggota koperasi. Masalah kepemilikan dan penggunaan lahan masih sering terjadi. Yang terakhir adalah kapasitas manajemen. Pertumbuhan Koperasi yang makin tinggi memerlukan kemampuan manajemen yang sesuai. Keterbatasan kapasitas manajemen dan teknis di tingkat masyarakat akan mempengaruhi kemampuannya untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan dan tantangan.
Fluktuasi harga kopi dunia, yang berdampak langsung pada pendapatan petani. Kurangnya infrastruktur pascapanen, sehingga pada awalnya banyak kopi Gayo dijual dalam bentuk bahan mentah tanpa nilai tambah.
Kopi Gayo tetap menjadi komoditas unggulan Provinsi Aceh. Produksi rata-rata mencapai sekitar 66.000 ton per tahun, dengan puncaknya mencapai 69.000 ton pada tahun 2022. Keberhasilan ini didukung oleh lingkungan alam yang terjaga, terutama di Kabupaten Bener Meriah, yang memiliki tutupan hutan yang baik. Hutan-hutan ini menyediakan iklim yang stabil dan mendukung budidaya kopi berkualitas tinggi. Peningkatan harga kopi petani hingga 30-50% lebih tinggi dibandingkan sebelum mendapatkan sertifikasi. Ekspor kopi Gayo ke lebih dari 20 negara, termasuk ke Eropa dan Jepang. Peningkatan luas lahan agroforestri, mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan lindung di sekitarnya.12
Prospek ke Depan
Dengan pengakuan dan permintaan internasional yang terus meningkat, Koperasi Kopi Gayo memiliki peluang untuk memperluas pasar dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun, tantangan seperti penurunan tutupan hutan di Kabupaten Bener Meriah perlu diatasi melalui upaya konservasi yang lebih intensif. Kolaborasi dengan berbagai pihak dalam pemantauan hutan dan penerapan praktik pertanian berkelanjutan menjadi kunci keberhasilan di masa depan.
3. Program Kemitraan di Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan, program kemitraan antara pemerintah, LSM, dan sektor swasta telah membantu petani kopi mengakses pasar global. Dengan pelatihan dan pendampingan, petani mampu meningkatkan kualitas kopi mereka dan mendapatkan harga yang lebih baik.
Program kemitraan ini lahir dari kolaborasi antara pemerintah daerah, LSM lingkungan, dan sektor swasta (perusahaan kopi nasional dan internasional). Program ini dimulai sekitar tahun 2010 dengan tujuan membantu petani kopi di Sulawesi Selatan meningkatkan produktivitas dan kualitas kopi mereka sambil tetap menjaga hutan.
Salah satu contoh sukses dari program ini adalah kemitraan antara PT Toarco Jaya dan petani kopi Toraja, di mana perusahaan mendukung petani melalui pelatihan, sertifikasi, dan akses pasar premium.
Di Sulawesi Selatan, model kemitraan antara koperasi petani kopi dan perusahaan besar telah diterapkan untuk meningkatkan produktivitas dan akses pasar. Kemitraan ini memberikan jaminan legalitas dan memastikan kelancaran bisnis melalui komunikasi rutin antara kedua belah pihak.13 Program Kemitraan ini menerapkan sistem pertanian konservatif, termasuk penggunaan pupuk organik dan teknik pemangkasan pohon untuk meningkatkan hasil kopi. Melakukan pelatihan kepada petani, termasuk dalam aspek teknik pemrosesan, pengolahan pascapanen, dan manajemen keuangan. Menjalin kemitraan dengan pembeli internasional, memastikan bahwa petani mendapatkan harga yang adil untuk produk mereka. Kurangnya kesadaran petani tentang praktik keberlanjutan menjadi tantangan tersendiri, sehingga butuh waktu untuk mengubah kebiasaan mereka. Terbatasnya akses permodalan, yang menyebabkan petani sulit berinvestasi dalam infrastruktur pascapanen. Akses modal juga masih menjadi kendala, terutama bagi petani kecil. Fluktuasi iklim, yang memengaruhi produktivitas dan kualitas kopi. Perubahan iklim mengancam produksi kopi, dengan musim kemarau yang semakin panjang dan hujan yang tidak menentu. Selain itu, konflik lahan dan tumpang tindih kebijakan seringkali menghambat implementasi program.
Dengan model kemitraan yang solid, petani kopi di Sulawesi Selatan memiliki peluang untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kopi mereka. Namun, tantangan seperti stagnasi produktivitas kopi nasional perlu diatasi melalui penerapan praktik pertanian yang lebih efisien dan berkelanjutan. Pelatihan dan pendampingan bagi petani menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan usaha tani kopi.
Program kemitraan diharapkan mampu mengerek Kopi Toraja semakin dikenal di pasar internasional, dengan harga premium yang memberikan manfaat ekonomi bagi petani. Peningkatan jumlah petani yang menerapkan praktik pertanian berkelanjutan, yang berdampak positif pada konservasi lahan. Koneksi langsung antara petani dan eksportir, mengurangi ketergantungan pada perantara dan meningkatkan pendapatan petani.
Teladan Kesuksesan
Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengalokasikan 12,7 juta hektare lahan hutan kepada masyarakat lokal melalui skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community-Based Forest Management – CBFM atau dalam istilah yang lebih populer Perhutanan Sosial). Analisis studi kasus CBFM dari tiga provinsi di berbagai wilayah Nusantara yang dilakukan S. De Royer, M. Van Noordwijk And J.M. Roshetko menunjukkan bahwa dalam semua kasus, tindakan yang diambil lebih berfokus pada redistribusi lahan secara nominal tetapi mengabaikan partisipasi dan aspirasi masyarakat setempat.
CBFM lebih banyak digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah tenurial hutan, legalisasi komunitas hutan, dan rehabilitasi hutan, daripada sebagai sarana pemberdayaan masyarakat yang dapat mengatasi masalah keadilan sosial. Masyarakat tetap tunduk pada berbagai pembatasan penggunaan lahan, yang membatasi peluang mereka. Partisipasi masyarakat sering kali lemah dan hanya melibatkan elit desa. Dukungan teknis bagi masyarakat hampir tidak ada, sehingga mereka tidak memiliki keterampilan finansial dan teknis yang diperlukan untuk mengelola skema ini secara efektif.14
Analisis ini menunjukkan bahwa redistribusi hak atas tanah hanya dapat memenuhi prinsip keadilan sosial jika prosesnya benar-benar mengakui aspirasi lokal serta nilai-nilai budaya dari para peserta.
Tulisan di atas adalah sebuah kritik yang perlu mendapatkan perhatian dalam mengembangkan sosial forestri atau perhutanan sosial dan segala konsep yang meletakkan masyarakat sebagai basis dalam pengelolaan hutan.
Ketiga kisah sukses ini menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat, kolaborasi yang kuat, dan komitmen terhadap praktik berkelanjutan, pengembangan kopi dapat berjalan seiring dengan upaya konservasi hutan. Ke depan, diversifikasi produk, peningkatan kapasitas produksi, dan upaya konservasi yang intensif menjadi kunci untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada. Dari tiga teladan sosial forestri yang dikutip dalam artikel ini beberapa faktor jelas menjadi kunci penting keberhasilannya.
Dan yang paling penting juga semua produk-produk kopi khusus tiga teladan di atas tidak menjadikan luwak yang dikandangkan untuk menghasilkan kopi terbaiknya.
- Partisipasi Masyarakat. Keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam perencanaan dan implementasi program adalah kunci kesuksesan. Mereka bukan hanya penerima manfaat, tetapi juga pemegang keputusan.
- Peningkatan Kapasitas Petani. Pelatihan teknis dan manajemen untuk petani kopi perlu ditingkatkan, terutama dalam hal pengolahan pascapanen dan pemasaran. Memperkuat edukasi dan pelatihan petani tentang teknik pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim.
- Dukungan Pemerintah dan Regulasi. Regulasi yang jelas dan insentif finansial dari pemerintah memungkinkan program ini berjalan lancar. Termasuk memberikan kebijakan insentif finansial dan akses modal yang pantas. Pemerintah dan lembaga keuangan perlu menyediakan skema pinjaman yang mudah diakses oleh petani kopi.
- Kolaborasi Multistakeholder. Kerjasama antara pemerintah, LSM, sektor swasta, dan akademisi menciptakan sinergi yang kuat. Penguatan kelembagaan lokal bisa menjadi bagian penting kolaborasi ini. Koperasi dan kelompok tani perlu diperkuat agar mampu mengelola sumber daya secara mandiri.
- Pemasaran dan Branding. Membangun merek kopi Indonesia yang kuat di pasar global, dengan menonjolkan aspek konservasi dan keberlanjutan. Dan membuka atau memberi kemampuan untuk menembus pasar global dan memfasilitasi program-program sertifikasi keberlanjutan. Sertifikasi organik dan fair trade membuka pintu ke pasar global, meningkatkan nilai jual kopi.
- Kebun Kopi Model Agroforestri. Pendekatan pengembangan kopi model agroforestri terbukti efektif dalam mengombinasikan keuntungan ekonomi dan konservasi lingkungan. Pendekatan ini juga mampu mengurangi deforestasi, menjaga ekosistem hutan, dan meningkatkan hasil kopi.
- Program Insentif Adaptasi Perubahan Iklim. Akses ke program REDD+ dan insentif karbon, yang memberikan manfaat tambahan bagi petani. Mengembangkan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim, seperti diversifikasi tanaman dan penggunaan teknologi ramah lingkungan. Mendorong insentif karbon yang lebih luas, sehingga petani mendapatkan manfaat tambahan dari konservasi hutan.
Daftar Referensi
Buku
- Colfer, C. J. P., & Pfund, J. L. (2011). Collaborative governance of tropical landscapes. Earthscan.
- Wiersum, K. F. (1997). Indigenous exploitation and management of tropical forest resources: An evolutionary continuum in forest-people interactions. UNESCO.
Jurnal
- Fisher, M. R., et al. (2018). Striving for sustainable forestry: The case of social forestry in Indonesia. Forest Policy and Economics, 91, 37-44. https://doi.org/xxxxx
- Tata, H. L., et al. (2020). Coffee agroforestry as a climate-smart agriculture approach in Indonesia. Agriculture, Ecosystems & Environment, 294, 106879. https://doi.org/xxxxx
Laporan
- Ministry of Environment and Forestry, Indonesia. (2022). Social forestry progress report 2022.
- World Bank. (2021). Indonesia REDD+ program: Achievements and challenges.
Sumber Online
- Food and Agriculture Organization (FAO). (2023). Agroforestry and climate change. FAO. Retrieved from www.fao.org
- Rainforest Alliance. (2023). Shade-grown coffee and biodiversity. Rainforest Alliance. Retrieved from www.rainforest-alliance.org
1 “7 Kopi Termahal di Dunia, Ada Kopi Luwak Indonesia” selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220321161617-262-774311/7-kopi-termahal-di-dunia-ada-kopi-luwak-indonesia/1.
2 Estimasi Harga Secangkir Kopi Luwak di London & Jakarta (2025)
Harga di kafe tidak hanya bergantung pada harga bahan baku tetapi juga biaya operasional, pajak, dan positioning pasar. Biasanya markup harga di Jakarta dan London bisa berbeda.
1. Di Jakarta
- Umumnya, markup harga kopi luwak di kafe premium 3-5 kali harga bahan baku.
- Maka, harga secangkir kopi luwak di Jakarta (2025) bisa berkisar antara:
- Rp100.000 – Rp370.000 per cangkir
2. Di London
- Di Eropa, terutama di kota seperti London, harga kopi luwak di kafe kelas atas sering kali bisa 5-10 kali harga bahan baku.
- Dengan konversi ke GBP (1 GBP ≈ Rp19.000 pada 2025, perkiraan), maka harga secangkir kopi luwak di London bisa:
- Rp370.000 – Rp740.000 per cangkir atau sekitar £19 – £39 per cangkir
3 https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2013/09/130915_majalahlain_kopi
4 Antony Wild, Coffee: A Dark History (New York: W. W. Norton & Co. Inc, 2005), hal. 9.
5 Ibid., hal. 11
6 Ibid., hal. 12
7 https://kemenparekraf.go.id/hasil-pencarian/infografik-pertumbuhan-komoditi-kopi-nusantara. 1 Provinsi dengan pengolahan kopi nusantara terbesar Robusta:Bengkulu, Sulawesi Selatan, dan Lampung Arabika: Aceh dan Sumatera Utara 2. Jenis kopi terbaik di Indonesia Kopi Luwak Kopi Toraja Kopi Aceh Kopi Mandailing 3. Produsen biji kopi terbesar keempat di duniaIndonesia termasuk produsen biji kopi terbesar keempat di dunia. Dengan rata-rata pada 2019 produksi kopi Indonesia mencapai 729,1 ribu ton. 4. Pertumbuhan ekspor kopi Indonesia meningkat 1,34% Periode Januari-April 2020, ada peningkatan volume ekspor kopi sebesar 158.780 ton. 5. Nilai ekspor kopi Indonesia mencapai US$570 Juta atau sekitar Rp8.5 Triliun (tahun 2018) 6. Ekspor kopi Nusantara terbanyak (2017-2020) Filipina Amerika Serikat Jepang Malaysia Italia
8 Carder, G., Proctor, H., Schmidt-Burbach, J., & D’Cruze, N. (2016). The animal welfare implications of civet coffee tourism in Bali. Animal Welfare, 25(2), 199-205. Universities Federation for Animal Welfare, The Old School, Brewhouse Hill, Wheathampstead, Hertfordshire AL4 8AN, UK. ISSN 0962-7286. https://doi.org/10.7120/09627286.25.2.199
9 Herb Thompson (1999) Social forestry: An analysis of Indonesian forestry policy, Journal of Contemporary Asia, 29:2, 187-201, DOI: 10.1080/00472339980000311
To link to this article: http://dx.doi.org/10.1080/00472339980000311
10 https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2020/01/30/kemitraan-koperasi-dan-perusahaan-solusi-dongkrak-produktivitas-kopi-rakyat
11 https://money.kompas.com/read/2021/06/21/074531826/mengenal-kokowagayo-koperasi-kopi-wanita-gayo-yang-mendunia?page=all
12 https://wri-indonesia.org/en/insights/forest-monitoring-story-behind-cup-gayo-coffee?utm_source=chatgpt.com
13 https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2020/01/30/kemitraan-koperasi-dan-perusahaan-solusi-dongkrak-produktivitas-kopi-rakyat
14 S. de Royer, M. van Noordwijk, dan J.M. Roshetko, “Does Community-Based Forest Management in Indonesia Devolve Social Justice or Social Costs?” International Forestry Review, Vol. 20, No. 2 (2018): 167-180.