halaman drm #39
Mad In Germany
Dwi R. Muhtaman
“Repressing speech is never the end of a problem,
but rather the beginning of a bigger one.
…that creation of a bigger problem
for Israel and Palestine,
a region desperately in need of dialogue not
imposed silence. Suppressing Dissent fills a gap in
the policy community’s understanding of how shutting down
discussion only fuels anger, limits cooperation,
and undermines possibilities for peace.”
Sarah Yager, Washington Director, Human Rights Watch South Africa.
Daftar Isi
Pada 12 Juni 1987 — lebih dari 25 tahun setelah Tembok Berlin pertama kali membelah kota menjadi Timur dan Barat — Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan menyampaikan pidato terkenalnya di depan Gerbang Brandenburg di Berlin, menantang pemimpin Soviet saat itu, Mikhail Gorbachev, dengan seruan, “Tuan Gorbachev, robohkan tembok ini.”
Hanya beberapa tahun kemudian, pada 9 November 1989, bukan Gorbachev, melainkan rakyat Jerman sendiri yang akhirnya merobohkan penghalang itu. Kisah Tembok Berlin adalah kisah tentang perpecahan dan penindasan, tetapi juga tentang kerinduan akan kebebasan — dan peristiwa-peristiwa yang mengarah pada kejatuhannya pun tidak terkecuali.1
Fotografer Brian Harris berada di Berlin saat itu dan mengabadikan momen bersejarah tersebut lewat kameranya. The Independent telah mengirim Harris ke sana beberapa hari sebelumnya. Ia menghabiskan waktu pra-runtuhnya tembok dengan memotret suasana jalanan di Berlin Timur. Harris kemudian mengenang, “Saya berjalan keliling dengan gugup hanya membawa satu kamera, berusaha untuk tidak terlihat seperti seorang fotografer.”2
Salah satu momen sunyi yang berhasil ditangkap Harris adalah potret seorang pria tua di Berlin Timur, sedang membawa tas belanja berisi kentang, hanya dua hari sebelum tembok runtuh. “Usianya sekitar 65–70 tahun, kemungkinan veteran perang,” kenang Harris. Menghindari memotret antrean—hal yang sangat dilarang di Jerman Timur saat itu—Harris memilih menangkap gambar pria itu dari belakang, berjalan menjauh dari kamera dengan tas di kedua tangannya. “Difoto membuat hari itu terasa spesial baginya,” kenang Harris kemudian.
Pada ujung malam setelah hari bersejarah itu kerumunan kecil warga Berlin Timur ada di pintu perbatasan Bornholmer Straße. Salah satu pengumuman spontan oleh pejabat GDR (German Democratic Republic) atau Deutsche Demokratische Republik (DDR)), Günter Schabowski, menyatakan bahwa batas telah dibuka seketika—dan rakyat yang telah lama terpenjara akhirnya mengalir begitu saja menuju Kota Barat͵ tanpa dokumentasi, tanpa paspor, hanya dengan harapan kebebasan yang menyalanya tiada tara.3
Malam itu berubah menjadi panggung bagi sebuah drama kebebasan. Warga Berlin Timur naik ke tembok dengan tangan gemetar, memukul beton dengan palu, sembari merayakan remahan tembok yang berjatuhan. seperti menyaksikan kebebasan dari rasa takut, teror dan cemas yang mendalam. Orang-orang terus berdatangan hingga dini hari. Di antara mereka ada seorang pemuda bernama Stephen Ellery, seorang mahasiswa musik yang tinggal di Krakow dan sering bepergian ke Berlin Timur. Pada pagi hari 10 November, ia sedang melintasi perbatasan ke Berlin Timur dalam perjalanannya kembali ke Krakow. Tetapi “alih-alih antrean tertib orang-orang yang menunjukkan dokumen di perbatasan”, Ellery menyaksikan “warga Jerman Timur mengalir masuk, saling berpelukan dan menangis.”4
Ellery melihat warga Berlin merayakan di atas tembok dengan sampanye dan bir, dan ia pun bergabung dengan mereka. Ia memainkan saxofonenya di atas tembok sambil berdansa—diiringi dentuman suara tawa dan tangis kebahagiaan dari kerumunan yang menyatu di antara dua dunia yang dulu terpisah bukan saja dengan fisik, tetapi kebebasan sebagai manusia. “Instead of orderly queues… East Germans streaming through, hugging and crying” begitu pengakuannya saat menyaksikan kericuhan yang begitu membahagiakan itu.5
“Saya selalu membawa saksofon saya, jadi rasanya alami saja untuk memainkannya,”kenangnya kemudian. Lebih dari sebulan setelah itu, ayahnya melihat foto putranya sedang memainkan saksofon dalam sebuah sisipan majalah The Independent.
Tembok Berlin adalah sebuah penghalang yang secara fisik membelah kota Berlin dari tahun 1961 hingga 1989. Dibangun oleh Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur), tembok ini memisahkan Berlin Timur—yang dikendalikan oleh Uni Soviet dan sekutunya—dengan Berlin Barat, yang diduduki oleh Amerika Serikat, Britania Raya, dan Prancis. Tembok ini terbuat dari beton dan membentang sepanjang kurang lebih 27 mil (43,452 km), dilengkapi dengan menara penjaga, kawat berduri, dan penjaga bersenjata. Tujuannya adalah untuk mencegah warga Jerman Timur melarikan diri ke Barat, seperti yang telah dilakukan lebih dari 2 juta orang sebelum tembok itu dibangun. Tembok Berlin menjadi simbol kuat dari Perang Dingin dan perpecahan antara dunia komunis dan kapitalis. Runtuhnya tembok ini pada tahun 1989 menjadi tonggak penting dalam proses reunifikasi Jerman dan berakhirnya era Perang Dingin.6
Kota Berlin—yang dulu terbagi antara kawasan Barat yang semarak dan cerah serta Timur yang suram dan kelabu, dibatasi oleh beton berduri dan zona maut sepanjang 45 kilometer kota, atau sekitar 120 km total di lingkar luar— kini mulai bernapas kembali sebagai satu kesatuan. Sebelum tembok itu roboh, Berlin terasa seperti dua kota yang hidup secara paralel: satu rapi, modern, penuh warna; satu lagi muram, terkekang, berjarak—seperti memorisasi sisa-sisa perang, propaganda komunis dan ketakutan daripada kebebasan.7
“Dalam bahasa Jerman,” tulis Timothy Garton Ash di the Guardian, “semua kata benda diawali dengan huruf kapital, jadi bahkan dinding sebuah bungalo pun disebut Mauer dengan huruf M besar. Dalam bahasa Inggris, ada banyak wall (dinding), tetapi hanya satu Wall (Tembok) yang ditulis dengan huruf kapital. Itulah tembok yang “runtuh” pada malam Kamis, 9 November 1989, memberi kita sajak sejarah yang baru: the fall of the Wall — runtuhnya Tembok.8
Tiga hari setelah runtuhnya tembok, Markus “Mischa” Wolf—mantan kepala intelijen Jerman Timur—masih membela perannya. Ia menyebut Stasi bukan sebagai monster, melainkan “anständige, saubere Menschen”, sementara pendengar menanggapi dengan tepuk tangan yang membahana, memecahkan atmosfer bahagia di teater itu menjadi ironi yang sukar ditelan.9
“Sebagian besar Stasi bukan penyiksa, bukan monster,” tulis Timothy dengan nada marah, “melainkan orang-orang yang layak dan bersih – anständige, saubere Menschen.” Wolf bersikeras bahwa ia tidak memikul tanggung jawab atas penindasan terhadap para pembangkang (terdengar seperti Pontius Pilatus sedang mencuci tangan), dan bagaimanapun juga, “harus ada aparat untuk menjaga keamanan negara dan warganya, seperti di negara maju manapun.” Itulah sebetulnya spirit yang melekat selamanya di tubuh Jerman yang bersatu: Tidak ada rasa bersalah yang sejati. Atau tidak peduli dengan itu.
Lahirnya Tembok Berlin
Tembok ini dimulai ketika “Rezim Jerman Timur diam-diam telah menimbun kawat berduri dan gergaji kayu kuda-kuda, yang pada malam itu juga dirakit secara tergesa-gesa oleh polisi—yang baru mengetahui misi mereka saat itu—untuk membentuk penghalang,” tulis Amy Davidson Sorkin dalam Behind the Wall yang dimuat di The New Yorker.10
Bagi banyak warga Berlin, lanjutnya, tanda pertama bahwa peristiwa bersejarah tengah terjadi adalah ketika kereta bawah tanah (U-Bahn) berhenti beroperasi di beberapa rute, memaksa penumpang larut malam berjalan kaki pulang melewati jalanan yang tiba-tiba dipenuhi tentara. Ketika kesadaran mulai tumbuh, kepanikan pun menyebar. Menjelang siang keesokan harinya, seperti yang diceritakan Ann Tusa dalam The Last Division, orang-orang mencoba merobek kawat berduri dengan tangan kosong. Beberapa berhasil, di tempat-tempat tertentu, bahkan ada mobil yang menerobos bagian tembok menuju sisi seberang. Dalam beberapa minggu berikutnya, pihak berwenang mulai memperkuat struktur tembok itu.
Dalam waktu kurang dari satu tahun, Tembok itu mencapai tinggi hampir delapan kaki, lengkap dengan patroli dan cikal bakal zona tanpa manusia. Namun, tembok itu masih belum terlalu tinggi untuk dipanjat manusia. Dan pada 17 Agustus 1962, Peter Fechter, seorang pemuda berusia delapan belas tahun, dan temannya Helmut Kulbeik memutuskan untuk mencoba melarikan diri. Mereka memilih titik di Zimmerstrasse, dekat pos pemeriksaan Amerika Checkpoint Charlie, dan tepat setelah pukul dua siang mereka berlari. Kulbeik berhasil melompat ke seberang, tetapi Fechter ditembak oleh seorang penjaga, dan jatuh ke tanah. Ia terlihat jelas dari sisi Barat; ada foto-foto dirinya yang diambil saat ia terbaring memanggil minta tolong. Ratusan orang berkumpul di sisi Barat, berteriak agar ada yang menyelamatkan-nya. Polisi Jerman Timur tidak mau bertindak, dan pihak Amerika telah diberitahu bahwa jika mereka melintasi perbatasan, perang bisa pecah. Seseorang melemparkan kotak P3K melewati Tembok, tetapi Fechter terlalu lemah untuk meraihnya. Setelah satu jam, ia meninggal karena kehabisan darah.
Kerusuhanpun pecah di Berlin Barat, dan banyak yang bertanya dengan marah mengapa pihak Amerika membiarkan Fechter mati. Ia nyaris masih anak-anak, dan ia hanya ingin menjadi manusia yang bebas. Itu pertanyaan yang wajar, meskipun kita juga bisa membayangkan bahwa tindakan gegabah saat itu bisa memicu konfrontasi yang lebih luas. Saat itu bukan waktu yang tepat untuk gestur heroik; Fechter tewas dua bulan sebelum Krisis Rudal Kuba. (Ketika Tembok didirikan, John F. Kennedy mengatakan kepada para stafnya bahwa itu adalah “solusi yang tidak begitu baik, tapi tembok jauh lebih baik daripada perang.”) Dan ada sesuatu yang terasa janggal ketika orang-orang Jerman, tidak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II, menuduh orang lain sebagai penonton pengecut. Beberapa pengamat akhirnya melihat Tembok itu sebagai perancah yang diperlukan untuk menjamin perdamaian pascaperang. Tapi mudah saja berkata begitu, jika kau berada di sisi yang memiliki toserba, dan tidak diawasi polisi rahasia.11
Pasca runtuhnya pembatas fisik itu, Berlin perlahan berubah. Kawasan mati kini menjadi taman hijau Mauerpark dengan pasar loak, tempat karaoke, ruang seni, dan taman bermain. Infrastruktur dan moda transportasi dibangun kembali menyatukan Kota yang dulu terbelah. Saat ini hanya sedikit segmen tembok yang tersisa sebagai kenangan—seperti East Side Gallery, sisa tembok di Bernauer Straße, dan memorial Topography of Terror. Sementara itu kehidupan ekonomi, budaya, dan sosial kota bergerak dinamis, mencampurkan sejarah dengan harapan masa depan yang terbuka dan inklusif.12
Dalam perjalanan itu, jutaan kisah dramatis bertumpuk: dari keluarga yang terpisah, pelarian berbahaya lewat terowongan atau balon udara, hingga kematian tragis seperti Peter Fechter yang tertembak di dinding pembelahan—total lebih dari 138 orang kehilangan nyawa dalam upaya meraih kebebasan. Namun pengorbanan itu berbuah hasil: Berlin tumbuh kembali sebagai simbol persatuan, toleransi, hingga pengingat bahwa tembok mana pun hanyalah beton. Tak ada yang mampu menahan tekad manusia untuk bersatu kembali. 13
Akhirnya pada 3 Oktober 1990, Jerman resmi bersatu. Tembok itu telah mengering menjadi sejarah, namun semangatnya tetap membara sebagai simbol pembebasan, solidaritas, dan kemenangan atas penindasan.
Tetapi hanya dibutuhkan sepertiga abad, 30 tahun, saja, Jerman telah melupakan semuanya. Melupakan rasa pahit sejarah. Melupakan perjuangan pembebasan, solidaritas, dan kemenangan atas penindasan. Karena sejak invasi Israel atas Gaza, Oktober 2023 dan penderitaan, penyiksaan, pembunuhan, pendudukan dan penjajahan rakyat Palestina lebih dari 100 tahun lalu, Jerman kembali menjadi negara yang primitif. Bersekongkol sebagai penjajah, terlibat dengan terang benderang dalam genosida Israel. Menjadi bagian dari proyek kolonialisme Zionis.
Dan dukungan itu semua bisa dimulai dari Tembok Berlin yang dengan cepat berdiri di sekujur tubuh tanah-tanah Palestina. Lebih buruk dari Tembok Berlin. Inilah Tembok Apartheid. Tembok Perampasan. Tembok yang membentuk concentration camp pada satu sisi dan Tembok keangkuhan penjajahan pada sisi lainnya.
Tembok Berlin di Palestina
Bayangkanlah situasi ini: Orang Yahudi Israel hanya memiliki satu jenis kartu identitas yang memberikan mereka hak untuk tinggal hampir di mana saja yang mereka inginkan di wilayah pendudukan itu. Mereka bisa bergerak dengan bebas, memiliki akses terhadap layanan kesehatan dan berbagai sumber daya.
Sementara itu, warga Palestina memiliki empat jenis kartu identitas—itu pun jika mereka memilikinya. Jenis kartu identitas yang diberikan menentukan tingkat hak yang dapat dinikmati dan mengontrol ke mana mereka bisa pergi dan apa yang bisa mereka lakukan.
Misalnya, jika Anda memiliki kartu hijau dengan alamat di Tepi Barat, maka Anda tinggal di sini. Kartu hijau ini berarti Anda hanya bisa tinggal dalam wilayah-wilayah kantong tertentu yang dikelilingi oleh permukiman ilegal Israel, dan sejak 2002, tembok pemisah serta pagar telah dibangun mengelilingi Anda.
Kartu identitas biru diperuntukkan bagi warga Palestina di Yerusalem Timur. Mereka bisa bepergian ke wilayah pendudukan Tepi Barat maupun ke Israel, tetapi mereka bukan warga penjajah Israel. Mereka hanya diberi status sebagai penduduk tetap. Artinya, mereka tidak dapat memilih dalam pemilu nasional Israel. Dan jika mereka meninggalkan Yerusalem Timur terlalu lama—misalnya untuk belajar atau bekerja di luar negeri atau di bagian lain dari Tepi Barat yang diduduki—status penduduk mereka akan dicabut. Artinya, mereka tidak bisa kembali.
Bayangkan, sejak 1967, Israel telah mencabut status penduduk lebih dari 14.600 warga Palestina dari Yerusalem Timur.
Dan jika sistem identitas yang kompleks ini belum cukup untuk memecah komunitas Palestina, pada tahun 2002 Israel memperkenalkan undang-undang yang melarang penyatuan keluarga. Betul—melarang warga Palestina tinggal bersama orang yang mereka cintai jika kartu identitas mereka berbeda.
Ada seorang Ibu diseberang yang hanya mampu melambaikan tangan dan memandang keluarganya dari jauh. Ia merupakan salah satu dari ribuan warga Palestina yang tidak akan diberi kartu identitas oleh Israel. Ia tidak bisa bepergian, tidak bisa memeluk keluarganya—hanya bisa melihat mereka dari beberapa meter jauhnya di seberang perbatasan.
Di berbagai bagian tanah air Palestina yang dijajah Israel dibangun tembok-tembok yang yang melanggar hukum Internasional.
Di sepanjang Tepi Barat yang bergunung-gunung, sebuah tembok beton raksasa menjulang setinggi 8 meter, memotong jalan-jalan desa, memisahkan ladang zaitun berusia ratusan tahun dari pemiliknya, dan mengurung seluruh komunitas Palestina dalam kantong-kantong terisolasi.
Inilah “Tembok Pemisah” Israel—sebuah struktur sepanjang 708 kilometer yang 85% dibangun di dalam wilayah pendudukan Tepi Barat, jauh melenceng dari Garis Gencatan Senjata 1967.
Bagian paling ikonik terletak di sekitar Bethlehem dan Qalqilya, di mana dinding beton setebal 3 meter itu dihiasi grafitis “Make Hummus Not Walls” dan wajah-wajah anak Palestina yang terkunci di baliknya.
Di tempat lain, pagar baja berduri setinggi 9 meter dilengkapi menara pengawas bersenjata, kamera termal, dan sensor gerak. Setiap 300 meter, pos tentara Israel mengawasi gerbang-gerbang besi yang hanya terbuka beberapa jam sehari. Pemerintah Israel menyebutnya “Pagar Keamanan”, dibangun sejak 2002 setelah gelombang serangan bom bunuh diri. Namun data PBB menunjukkan hanya 15% tembok ini mengikuti Garis Hijau—batas internasional yang diakui.
Selebihnya, struktur ini menerobos 10% wilayah Tepi Barat, menganeksasi permukiman ilegal Israel dan 87% sumber air wilayah itu. Di Qalqilya, sebuah kota yang sepenuhnya dikelilingi tembok, pasar sayur tradisional kini berdiri 50 meter dari dinding raksasa yang menutupi cahaya matahari pagi.
Di Jalur Gaza, versi lain dari tembok ini berupa pagar baja canggih sepanjang 65 km. Dilengkapi sistem pendeteksi bawah tanah, tembok ini membentang hingga 6 meter ke dalam tanah untuk mencegah terowongan perlawanan Palestina. Menara-meriam otomatis dipasang setiap 150 meter, sementara lampu sorot menyinari gurun pasir di malam hari.
Lembaga HAM B’Tselem mencatat dampak kemanusiaannya: 11.000 warga Palestina terperangkap di “zona seberang tembok”, terpisah dari keluarga dan pekerjaan mereka. Anak-anak di desa Nilin harus melewati checkpoint militer jam 3 pagi hanya untuk sampai ke sekolah. Petani di Jayyous kehilangan 95% tanah keluarganya yang kini berada di balik pagar.
Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2004 menyatakan tembok ini melanggar hukum humaniter internasional. Namun dua dekade kemudian, pembangunannya terus berlanjut—kini dilengkapi terowongan bawah tanah dan sistem pengintaian drone. Di tembok Bethlehem, seorang seniman Palestina melukiskan bayangan tangan raksasa mencengkeram peta Palestina, dengan tulisan: “Ini bukan tembok keamanan. Ini mesin penghancur kehidupan.”
Sistem apartheid yang dibangun oleh pendudukan Israel itu didukung tanpa syarat oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat–para pencetus proyek kolonialisme. Dan settler colonialism Israel adalah proyek kolonialisme abad 21 yang sangat menhina kemanusiaan dan peradaban modern manusia. Dan itu dalam perlindungan mereka.
Dan Jerman merupakan penyokong penting dalam melanggengkan tembok-tembok, resim apartheid dan aksi-aksi terorisme dan genosida yang dilakukan lebih dari 78 tahun kepada penduduk asli Tanah Air Palestina.
Sokongan Jerman ini bisa dilihat dari kebijakan represif yang kebrutalannya mungkin malah melebihi Nazi di bawah Hitler.
Invasi Israel di Gaza, Palestina Oktober 2023 telah membuka topeng-topeng yang berkarat di wajah Jerman. Berlin —dengan komunitas Palestina terbesar di Eropa—mengalami perubahan dramatis. Demonstrasi solidaritas proPalestina semakin sering dilarang, dan suara-suara penentangan ditekan. Seakan slogan “Never Again”14 kini berubah menjadi wujud amnesia atas sejarah penindasan yang pernah mereka sendiri alami di Kota Terbelah itu.15 Jerman nampaknya memperlihatkan krisis moral dan identitas: apakah ia hanya simbol yang aman, atau alat diskusi aktif terhadap ketidakadilan global—terutama Palestina? Sekali lagi Jerman beridiri pada jalan sejarah yang salah.
“Di Jerman sekarang, ‘Zionisme di atas segalanya,” tulis James Jackson di Substack Zeteo, 11 Juli 2025. Represi Jerman yang absurd terhadap orang Yahudi anti-Zionis dan suara-suara pro-Palestina lainnya membuat kita bertanya: apakah negara ini tidak belajar apa pun dari masa lalunya yang mengerikan? “Mad In Germany,” kata Jackson.
Represi yang semakin meningkat terhadap solidaritas Palestina di Jerman sejak 7 Oktober bukanlah hal baru. Ini merupakan bagian dari proses politik penghapusan historis yang mereduksi dan menghapus keberadaan serta identitas kolektif bangsa Palestina di Jerman melalui represi, sensor, dan diskriminasi. Politik penghapusan yang telah berlangsung lama—politik yang mereduksi dan menghapus eksistensi serta identitas kolektif bangsa Palestina.
Sejak 7 Oktober 2023, komunitas Palestina di Jerman, khususnya di Berlin, telah mengalami penindasan yang intens terhadap protes mereka, simbol-simbol budaya, suara, dan narasi mereka. Penindasan ini secara signifikan menghambat kemampuan mereka untuk secara terbuka mengekspresikan duka dan kemarahan terhadap pengeboman Gaza oleh pendudukan Israel, yang menurut Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan “kasus genosida yang jelas.”
Dengan melarang demonstrasi, negara Jerman tidak hanya meniadakan hak warga Palestina atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, tetapi juga berupaya mengendalikan narasi publik dan visibilitas Palestina serta kehidupan rakyat Palestina di Jerman.
Respons Negara Bagian Berlin dan kepolisian terhadap aksi solidaritas Palestina sejak 7 Oktober, terutama dalam pekan-pekan awal, tercatat sangat keras. Mereka tidak hanya secara langsung melarang hak-hak warga untuk berkumpul, tetapi juga menggunakan tindakan represif untuk mengendalikannya. Hanya dalam rentang 11 hingga 20 Oktober 2023 saja, European Legal Support Centre (ELSC) mencatat terdapat 600 penahanan di Berlin, termasuk terhadap anak di bawah umur yang menunjukkan solidaritas terhadap Palestina, disertai dengan serangkaian proses hukum pidana dan administratif. Menurut organisasi Campaign for Victims of Racist Police Violence (KOP), berbagai video telah merekam sejauh mana kebrutalan polisi, termasuk penggunaan semprotan merica (pepper spray), anjing polisi, dan kekerasan fisik yang menyebabkan banyak korban luka.
Sebagai contoh, pada Hari Masyarakat Adat, 12 Oktober 2023, sebuah koalisi beragam dari kelompok anti-kolonial—terdiri dari komunitas adat, kulit hitam, queer, dan feminis—menggelar aksi unjuk rasa anti-kolonial di depan Kementerian Luar Negeri Jerman di Berlin. Aksi ini dibubarkan secara paksa ketika polisi campur tangan dan secara khusus menargetkan mereka yang membawa bendera Palestina, karena menurut polisi, “Palestina tidak ada hubungannya dengan kolonialisme.”
Para penyelenggara aksi menolak untuk mengecualikan mereka yang berdiri dalam solidaritas dengan Palestina dari unjuk rasa anti-kolonial tersebut—dan polisi menanggapinya dengan represif. Hal ini menyebabkan penangkapan secara kasar terhadap sekitar selusin orang hanya karena membawa bendera dan spanduk yang berhubungan dengan Palestina.16
Yang terbaru bahkan dilakukan pada 22 Juli 2025 dengan kebrutalan yang sama oleh polisi berlin yang sama dan dalam jejak sejarah Nazi yang sama. Sebuah video menunjukkan kekejaman itu. Meskipun hujan deras mengguyur, ratusan orang tetap berkumpul dalam sebuah demonstrasi solidaritas untuk Gaza. Basah kuyup dan menggigil kedinginan, mereka tetap mengangkat suara mereka — dan juga bendera mereka. Namun pemandangan yang paling menyayat bukanlah cuaca, melainkan penangkapan brutal terhadap seorang anak, hanya karena ia berdiri menunjukkan solidaritas.
Rekaman video menceritakan semuanya. Di tengah hujan dan dingin, ratusan orang ikut serta dalam aksi solidaritas untuk Gaza. Bendera dikibarkan… dan pekikan kebenaran menggema.
Namun luka terdalam bukanlah dari udara basah, melainkan pada momen seorang anak ditangkap dengan kekerasan — hanya karena berdiri di sisi yang tertindas.17
Video yang merekam detik-detik tersebut…telah lebih jelas memaparkan segalanya melebihi dari semua keterangan dalam kata-kata. Seseorang memberi komentar: “Robot manusia. Tanpa jiwa. Tanpa perasaan. Tanpa kemanusiaan. Ini adalah robot yang membela segala bentuk pembunuhan, penjajahan, pendudukan. Robot-robot untuk genosida.”
Inilah sebuah negara yang berteriak lantang tentang hak aszai manusia, demokrasi dan segala jargon terbaik yang pernah ada untuk peradaban manusia, dan kini adalah rezim yang amat buruk dan kejam yang kita saksikan. Tuntutan perlawanan terhadap kekejaman—mirip dengan perjuangan melawan tirani di Berlin Timur dahulu—justru dibungkam. Pemerintah secara sistematis membungkam pernyataan seperti ‘Free Gaza’ atau ‘From the river to the sea’—yang dianggap simbol terlarang atau bahkan dipidana, sebagaimana dijatuhi denda oleh pengadilan Berlin pada seorang aktivis muda GermanIranian.18
Pada 15 Mei 2025, hari peringatan Nakba, ribuan warga berkumpul untuk mengenang tragedi Palestina. Tetapi polisi Berlin menyebarluaskan narasi palsu bahwa demonstran menyeret dan mencederai petugas, yang kemudian dijadikan dalih represif. Investigasi independen membuktikan cerita itu keliru—justru petugas yang beraksi turun tangan lalu memukul demonstran damai. “Polisi Berlin Berbohong, dan Kebohongan Itu Kini Digunakan untuk Membenarkan Represi,” tulis Hebh Jamal, advokat yang menentang ketimpangan pendidikan, Islamofobia, dan penjajahan atas Palestina di Aljazeera.19 Sebuah klaim bahwa seorang petugas polisi dipukuli dalam aksi protes Nakba telah terbukti tidak benar — namun kerusakan telah terjadi. Kebohongan adalah satu senjata utaman yang menjadi andalan proyek zionis dan pendukungnya.
Dalam beberapa hari berikutnya, slogan Arab seperti “From the river to the sea” dan frasa “Free Gaza” dilarang. Bahkan berbicara dalam Bahasa Arab di demo resmi dilarang sejak Maret 2025. Sementara pendidikan keahlian bahasa ini di sekolah dilarang dengan menampilkan simbol seperti keffiyeh.20 Tentu saja larangan-larangan ekspresi bagi pro-Palestina tidak hanya terjadi di Jerman. Di Inggris, Perancis dan Amerika Serikat terjadi hal yang sama. Pada hari Selasa, 22 Juli 2025 Universitas Columbia di Amerika Serikat mengumumkan sanksi baru terhadap aktivis mahasiswa, dengan menangguhkan atau mengeluarkan puluhan mahasiswa karena partisipasi mereka dalam protes pro-Palestina.
Universitas Columbia telah menangguhkan atau mengeluarkan hampir 80 mahasiswa karena keterlibatan mereka dalam aksi protes mendukung Palestina. Langkah disipliner ini terjadi ketika institusi pendidikan bergengsi tersebut berusaha mendapatkan kembali dana federal sebesar $400 juta yang sebelumnya dibatalkan.21 Para aktivis mahasiswa menyatakan mereka akan terus berorganisasi dan tidak gentar menghadapi proses disipliner ini. “Kami tidak akan berhenti memperjuangkan keadilan untuk Palestina, apa pun konsekuensinya,” tegas salah satu perwakilan mahasiswa.
Ruang sipil semakin menyempit di seluruh dunia. Setiap tahun, para pembela hak asasi manusia, pekerja kemanusiaan, aktivis keadilan sosial, dan organisasi mereka menghadapi ancaman baru terhadap kemampuan mereka untuk menyuarakan perubahan, mengorganisir kampanye, atau memprotes kebijakan yang menindas. Tidak ada tempat di mana krisis masyarakat sipil ini lebih parah daripada dalam konteks perbedaan pendapat dan kebebasan berekspresi yang berkaitan dengan Palestina–Israel.22
Pada tahun 2025, empat aktivis asing—termasuk dari Uni Eropa dan AS—mendapatkan surat deportasi meski tak pernah divonis kriminal. Pemerintah menggunakan istilah Staatsräson (keputusan negara) sebagai alasan menolak proPalestina. Publik mempertanyakan legalitas pendekatan ini dan menyebutnya ancaman serius terhadap kebebasan sipil, seperti ditulis the Guardian.23 Ali Abunimah, The Electronic Intifada seharusnya bergabung secara virtual pada bulan April 2024 untuk berbicara di Kongres Palestina di Berlin. Namun, aparat rezim Berlin menyerbu konferensi itu, memutus listrik, dan menutupnya dengan cara yang paling brutal dan otoriter. Mereka memberlakukan larangan masuk kepada Dr. Ghassan Abu Sittah yang hebat, yang telah menghabiskan 43 hari merawat korban genosida Zionis yang didukung Jerman di Gaza. Namun, rezim Berlin menghentikannya di bandara dan mendeportasinya.24
Ketika fotografer dan aktivis Amerika Nan Goldin mengutuk perang Israel di Gaza saat pidato pembukaan pamerannya di Jerman, kalangan seni di Jerman.25 Goldin (71), dalam pernyataannya Jumat (tanggal tidak disebutkan), menyatakan ingin menggunakan pameran retrospektifnya di Neue Nationalgalerie, Berlin, sebagai “platform untuk memperkuat sikap moralnya yang penuh kemarahan” terhadap apa yang ia sebut “genosida di Gaza dan Lebanon.”
“Kakek-nenek saya melarikan diri dari pogrom di Rusia. Saya dibesarkan dengan pengetahuan tentang Holocaust Nazi. Apa yang saya lihat di Gaza mengingatkan saya pada pogrom yang dihindari kakek-nenek saya,” kata Goldin, yang berdarah Yahudi.
Goldin, lahir di Washington D.C., adalah seniman dan aktivis terkemuka yang kehidupan dan karyanya didokumentasikan dalam film pemenang penghargaan “All the Beauty and the Bloodshed” (2022). Ia berbicara tentang pengusiran dan kehancuran di Gaza, serta menegaskan kepada audiens yang bersorak bahwa “kritik terhadap Israel tidak boleh disamakan dengan antisemitisme.”
Goldin juga mengkritik Jerman, menuduh bahwa Islamofobia diabaikan di negara itu. “Jerman adalah rumah bagi diaspora Palestina terbesar di Eropa. Tapi protes dihadapi dengan anjing polisi, deportasi, dan stigmatisasi,” ujarnya. Goldin meninggalkan panggung diiringi sorakan “Free, Free Palestine!” yang memekakkan telinga, hingga menenggelamkan pidato berikutnya oleh direktur galeri, Klaus Biesenbach.
Hermann Parzinger, presiden Prussian Cultural Heritage Foundation (yayasan yang menaungi Neue Nationalgalerie), dengan keras mengutuk pidato Goldin dan protes yang mengganggu pidato Biesenbach.
Selain itu, kelompok proPalestina seperti Samidoun atau Jewish Voice for a Just Peace dilarang, diikuti pembatalan acara kebudayaan, penarikan penghargaan, dan larangan masuk Bicara oleh akademisi proPalestina seperti Francesca Albanese. Pelarangan dan berbagai sensor kebebasan berbicara di Jerman memang bukan hal baru.26
Sebagian besar negara-negara kecil Jerman yang kemudian menjadi bagian dari negara-bangsa modern Jerman sebelum 1871 memiliki undang-undang sensor yang secara ketat membatasi kebebasan pers dan membuat kritik terhadap pemerintah menjadi sulit atau bahkan mustahil. Sebagian besar ketentuan ini merupakan akibat dari Dekret Carlsbad tahun 1819 yang, antara lain, memperluas sensor terhadap pers. Sensor ditegakkan melalui keharusan memiliki lisensi pemerintah untuk menerbitkan buku atau surat kabar, serta kewajiban mencantumkan impressum (keterangan penerbit) pada materi cetak untuk mengidentifikasi penulis dan penerbit.
Namun, republik-republik kota seperti Frankfurt dan Hamburg cenderung memiliki pers yang bebas, sesuatu yang langka di Jerman abad ke-19. Invasi, pendudukan, dan aneksasi Frankfurt oleh Prusia sebagian besar didorong oleh kekesalan pemerintah Prusia terhadap pers bebas Frankfurt; tidak seperti Frankfurt, Prusia memiliki undang-undang sensor yang sangat ketat.
Di bawah Kekaisaran Jerman (1871–1918), berbagai bentuk media berada di bawah kendali kekaisaran. Sebelum Perang Dunia I, pemerintah mengangkat administrator sipil dan birokrat yang bertugas memastikan kesusilaan publik dari materi cetakan di dalam Kekaisaran.
Komunitas Palestina di Berlin—diperkirakan mencapai 300.000 jiwa—terasa disterilisasi. Banyak aksi simpati—dari anak sekolah hingga memiliki keffiyeh—diwajibkan dilarang atau dipantau ketat. Sekolah diperintahkan melaporkan siswa yang memakai symbol-pepatah proPalestina.
Panel monitoring global seperti CIVICUS menyebut pengekangan di negaranya sendiri—yang dulu dijuluki simbol demokrasi—semakin memburuk: penangkapan, penyitaan, dan pelabelan organisasi dianggap ekstremis tanpa bukti konkret.27
Mengapa Ini Terjadi: Sebuah Paradox Intelektual
Jerman sepertinya merupakan negara yang gagal melakukan transformasi total dan menghapus seluruh pelaku kejahatan perang dalam peristiwa holocaust. Rezim NAZI menyusup dan berlanjut dalam birokrasi Jerman.
Pasca Perang Dunia II, banyak tokoh Partai Nazi tetap tertanam di institusi pemerintah, peradilan, militer, dan badan intelijen. Buku Braunbuch (1965)28 merinci sekitar 1.800 pejabat tinggi Jerman barat yang pernah menjadi anggota Nazi atau mendukung rezimnya. Ini memudarkan sepenuhnya proses denazifikasi dan memungkinkan akar-akar ideologi represif bertahan dalam struktur negara.
Pengaruh budaya Nazi dalam bentuk “Gleichschaltung” — penyatuan dan penjajaran semua aspek kehidupan publik pada ideologi tertentu — masih meninggalkan jejak dalam cara negara Jerman mengontrol wacana publik terkait Israel dan Palestina.29
Braunbuch mencatat pada bulan Mei 1965, diperingati untuk ke-20 kalinya Hari Pembebasan umat manusia dari kengerian perang dan kebiadaban fasis.
Perjuangan penuh pengorbanan dari bangsa-bangsa yang tergabung dalam Koalisi Anti-Hitler—yang sebagian besar bebannya dipikul oleh Uni Soviet—berakhir dengan kekalahan total agresor fasis, serta runtuhnya secara menyeluruh sistem yang, melalui serangkaian aksi penyerangan dan invasi militer, kekuasaan teror dan sewenang-wenang, pembantaian massal, serta kejahatan perang yang paling berat, telah menyebabkan kematian 55 juta manusia.
Istilah “kejahatan perang dan kejahatan Nazi” telah menjadi sinonim dari genosida, kebiadaban, dan sadisme. Pemerintah-pemerintah dalam Koalisi Anti-Hitler mengekspresikan perasaan dan tuntutan seluruh umat manusia pencinta damai ketika mereka menyatakan dalam Deklarasi Yalta: “Kami memiliki tekad yang tak tergoyahkan untuk menghancurkan militerisme Jerman dan nasional-sosialisme serta memastikan bahwa Jerman tidak akan pernah lagi mampu mengganggu perdamaian dunia. Kami bertekad untuk membawa semua penjahat perang ke pengadilan dan menghukum mereka secepat mungkin…”
Republik Demokratik Jerman (DDR), sebagaimana ditulis dalam buku Braunbuch menjadikan tujuan dari gerakan perlawanan antifasis dan Koalisi Anti-Hitler—yang diekspresikan dalam Perjanjian Potsdam—sebagai pedoman tindakannya. Semua elemen dalam kehidupan publik yang terlibat dalam persiapan Perang Dunia II dan yang telah menyeret bangsa-bangsa Eropa ke dalam perang dan kesengsaraan disingkirkan. Hal ini dilakukan demi kepentingan perdamaian dan keamanan bangsa-bangsa tetangga Eropa, dan juga demi kepentingan rakyat Jerman itu sendiri.
DDR menunaikan amanat rakyat Jerman dan bangsa-bangsa dunia: untuk menghukum dan menebus secara adil semua kejahatan perang dan kejahatan Nazi. Dari bulan Mei 1945 hingga Desember 1964, di Zona Pendudukan Soviet dan di DDR, secara keseluruhan: 16.572 orang dituntut karena keterlibatan dalam kejahatan terhadap perdamaian, kemanusiaan, dan karena kejahatan perang. Dari jumlah tersebut: 12.807 dijatuhi hukuman, 1.578 dibebaskan.
Tetapi tidak semua Nazi dibersihkan dari tubuh Jerman. Ali Abunimah dari The ElectroniC Intifadah mengungkapkan itu dalam ‘pidato pembelaannya’ ketika ia diberi sangsi Pemerintah Jerman atas partisipasinya di Konferensi Palestina, meski hanya via platform elektronik.30 Kita dapat melihat ini di seluruh sejarah Jerman Barat. Mungkin yang paling terkenal adalah Kurt Georg Kiesinger, yang menjadi Kanselir Jerman Barat pada 1960-an, adalah seorang Nazi aktif selama pemerintahan Hitler. Ini diungkap oleh jurnalis Beate Klarsfeld, yang menunjukkan bagaimana Kiesinger memiliki hubungan dekat dengan menteri luar negeri Hitler, Joachim von Ribbentrop, dan Joseph Goebbels, kepala kementerian propaganda pemerintah Jerman selama pemerintahan Hitler.
Menurut Klarsfeld, Kiesinger bertanggung jawab atas propaganda Nazi, termasuk siaran radio anti-Semit, dan dia bekerja sama dengan SS. Namun, dia bukan satu-satunya. Anda akan menemukan bahwa banyak institusi Jerman modern didirikan oleh atau bersama mantan Nazi.
Presiden pertama dinas intelijen Jerman, BND (Bundesnachrichtendienst), adalah Reinhard Gehlen, yang bekerja untuk rezim Nazi sepanjang periode 1933 hingga 1945 dan merupakan kepala organisasi intelijen anti-Soviet Hitler. Setelah perang, Gehlen terus mengoperasikan “Organisasi Gehlen”, organisasi rahasia anti-komunis yang terkait erat dengan CIA.
Organisasi Gehlen terdiri dari banyak mantan Nazi senior. Pada tahun 1956, pemerintah Jerman Barat secara resmi mengubah Organisasi Gehlen menjadi BND. Di bawah instruksi Konrad Adenauer, BND merekrut banyak veteran SS dan SD Hitler.
Sebagian besar sejarah ini terungkap beberapa dekade lalu ketika Amerika Serikat mendeklasifikasikan sejumlah besar dokumen terkait hubungannya dengan Nazi setelah Perang Dunia II. Nazisme menginfeksi banyak aspek lain dari negara Jerman Barat.
Misalnya, pada tahun 2016, ada penelitian terkenal yang menemukan bahwa Kementerian Kehakiman Jerman Barat bermesraan dengan Nazi hingga lama setelah perang. Penelitian itu menemukan bahwa pada tahun 1957, 77% pejabat senior kementerian adalah mantan anggota Partai Nazi Adolf Hitler—proporsi yang bahkan lebih tinggi daripada selama Reich Ketiga.
Studi itu menemukan bahwa antara tahun 1949 dan awal 1970-an, 90 dari 170 pejabat tinggi Kementerian adalah mantan anggota Partai Nazi, dan banyak di antaranya pernah menjadi hakim yang menjatuhkan hukuman mati selama pemerintahan Hitler. Bahkan ada artikel di Der Spiegel pada tahun 2012 berjudul “Peran Mantan Nazi di Awal Jerman Barat”, yang menyatakan, kutip:
“Dokumen baru mengungkap betapa banyak pejabat dari rezim Nazi mendapatkan pekerjaan baru di Bonn. Sejumlah yang mengejutkan dipilih untuk posisi pemerintah senior.”
Namun, pada kenyataannya, ini tidak akan mengejutkan siapa pun yang berkuasa. Sebaliknya, kita tidak boleh lupa bahwa di Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur), ada proses denazifikasi yang sistematis—meskipun, tentu saja, tidak bisa total.
Hanno Hauenstein, seorang jurnalis dan penulis yang berbasis di Berlin, dalam tulisannya yang berjudul Germany trumpets its reckoning with its Nazi past – except when it’s inconvenient mengupas tentang Nazi yang masih kuat bercokol di Jerman hari ini. Penghargaan jurnalisme paling bergengsi di Jerman, Herbert Quandt Media Prize, telah diumumkan. Penghargaan ini secara eksplisit merayakan warisan Herbert Quandt—seorang pendukung awal SS yang memainkan peran sentral dalam ekonomi perang Nazi. Quandt mengawasi pabrik baterai di mana ribuan orang diperbudak, dieksploitasi, dan dibunuh.
Bersama ayahnya, Günther Quandt, Herbert Quandt mempekerjakan hingga 57.500 orang sebagai buruh paksa di pabrik-pabrik baterai. Kekayaan keluarga Quandt dibangun di atas kejahatan ini. Günther Quandt mengambil alih perusahaan milik Yahudi setelah penyitaan paksa oleh Nazi (yang disebut “Aryanisasi”). Herbert Quandt sendiri terlibat dalam beberapa transaksi tersebut dan mengawasi perencanaan kamp konsentrasi satelit di Polandia yang diduduki Nazi. Setelah perang, dia terus bekerja dengan mantan pejabat Nazi garis keras dari kementerian propaganda Joseph Goebbels.
Keluarga Quandt mengalami “denazifikasi” melalui proses yang sangat superfisial, yang pada dasarnya melindungi mereka dari pertanggungjawaban serius. Pada 1960, Herbert Quandt menjadi pemegang saham terbesar BMW. Kini, ahli warisnya—keluarga terkaya di Jerman—mengendalikan BMW, Mini, dan Rolls-Royce, serta memegang saham besar di sektor kimia dan teknologi Jerman.
“Anti-Antisemitisme” sebagai Alat Represi
Jerman membingkai kebijakan kerasnya terhadap protes Palestina sebagai bagian dari tanggung jawab moral Holocaust dan keamanan Israel: konsep Staatsräson (reason of state). Hal ini digunakan untuk membisikkan legitimasi bahwa kritik terhadap Israel setara dengan antisemitisme, membuat diskursus tentang Palestina dibungkam lebih dalam secara sistemik.
Akademisi kritis mencatat bahwa narasi ini telah menciptakan rezim otoritarian di mana kebebasan berbicara dibungkam atas nama “perlawanan terhadap antisemitisme” — sementara suara anti-Zionis, termasuk dari warga Yahudi, dipersekusi.32
Represi aktivisme propalestina dilakukan mulai dari kekerasan hingga deportasi. Pada 2024–2025, kebijakan aparat keamanan bertindak brutal terhadap protes damai:
- Di universitas-universitas seperti Freie Universität Berlin (FU Berlin) dan Humboldt University, mahasiswa yang menduduki bangunan dipaksa dibubarkan secara keras pada perintah pemerintah lokal dan federal. Polisi menyerbu dengan kekuatan besar meskipun aksi damai menuju penghentian perang Gaza.33
- Simbol-simbol solidaritas seperti slogan “From the river to the sea, Palestine will be free” kemudian dilarang, bahkan menarik deportasi terhadap warga negara UE atau AS atas tuduhan dukungan Hamas, meski tanpa bukti kriminal nyata.34
- Mobilisasi mahasiswa yang memajang poster atau melakukan okupasi memperoleh respons ekstrem: penangkapan anak-anak di bawah umur, kekerasan fisik, bahkan perampasan hak akademik dan profesional di perguruan tinggi.
Denting kebebasan sosialis dibungkam oleh rezim represif modern, di mana wacana dikendalikan lewat pemblokiran platform, tekanan ilmiah, dan stigmatisasi terhadap kritik hak asasi. Negara menggunakan teknik melabeli kelompok proPalestina sebagai ‘ekstremis’ untuk membenarkan tindakan hukum represif.35
Kombinasi ini menciptakan “efek chilling”: banyak warga takut menyatakan pendapat karena bisa kehilangan status, pekerjaan, atau ditangkap. Korban ditandai bukan karena tindak pidana, tapi karena imbas dari konflik geopolitik global dan kompromi historis Jerman dengan Israel. Ketakutan publi diproduksi terus menerus hingga melahirkan, tanpa sadar atau dengan sadar, budaya diam.
Tetapi dengan segala penekanan apapun, dalam sebuah masyarakat yang sehat selalu ada pahlawan, seseorang yang berani bersuara meski dalam sepi. di Jerman ada Fritz Bauer, Sang Pembela Keadilan. Kisah ini ditulis oleh Jack Fairweather dalam buku fenomenalnya: The Prosecutor. Dalam buku The Prosecutor, Jack Fairweather mengisahkan perjuangan Fritz Bauer, seorang jaksa dan mantan korban Nazi. Bauer berusaha memaksa Jerman Barat menghadapi dosa masa lalu mereka setelah Holocaust. Sebagai satu-satunya pejabat tinggi Yahudi di sistem peradilan Jerman pasca-perang, Bauer menghadapi resistensi besar dari koleganya—banyak di antaranya adalah mantan Nazi yang kembali berkuasa.
Dia memimpin penyelidikan klandestin untuk menangkap Adolf Eichmann (yang akhirnya ditangkap oleh Mossad di Argentina) dan mengadakan Pengadilan Auschwitz (1963–1965), yang pertama kali mengungkap kengerian kamp konsentrasi kepada publik Jerman. Namun, upayanya sering dihambat oleh pemerintah yang ingin melupakan sejarah. Bauer bahkan harus membocorkan informasi ke Israel karena tidak percaya pada institusi Jerman.
Fritz Bauer adalah simbol perlawanan terhadap impunitas Nazi di Jerman Barat.
Pengadilan Auschwitz membuka mata dunia tentang Holocaust tapi juga mengungkap keterlibatan banyak warga biasa.Buku ini menyoroti konflik antara keadilan dan politik pasca-perang.
Fairweather menggambarkan Bauer sebagai pahlawan tragis: seorang idealis yang kesepian, diancam oleh mantan Nazi, dikhianati oleh negaranya sendiri, tetapi tetap gigih memperjuangkan keadilan bagi korban Holocaust. Kisahnya menunjukkan betapa sulitnya Jerman—dan dunia—benar-benar belajar dari kekejaman Nazi.
“Keadilan tidak bisa dibangun di atas kebohongan,” kata Bauer—sebuah prinsip yang dia pertahankan sampai akhir hayatnya (1968).
Namun, kisah seperti Fritz Bauer—Jaksa Agung Hesse—menjadi kilatan moral dalam sejarah Jerman modern. Meskipun lalulintas politik cenderung kompromi, Bauer menegakkan keadilan Holocaust dengan gigih: mengungkap Eichmann dan memaksa pelaku Auschwitz ke pengadilan. Ia adalah bukti bahwa negeri ini pernah mengembuskan napas moral di tengah gelombang penyeragaman yang mengerikan.36
Tetapi Jerman kembali amnesia terhadap sejarah masa lalunya. Malah terperosok begitu jauh dan dalam. Mendukung penyiksaan, pembunuhan, penyingkiran rakyat Palestina oleh Zionis Israel yang mungkin jauh lebih keji dari apa yang dilakukan Hitler. Zionis Israel menggunakan strategi dan taktik Nazi sebagai rujukan playbook genosidanya. Termasuk taktik kelaparan sebagai senjata. Simak tulisan Soumaya Ghannoushi, seorang penulis dan pakar politik Timur Tengah berkebangsaan Britania-Tunisia, berikut ini.37
“Kematian datang bukan dengan bom, tapi dengan bisikan di perut: kosong, kosong, kosong,” tulisnya. Dan semua ini bukanlah kebetulan. Ini adalah pengulangan sejarah. Tak seorang pun terampuni. Sebab Nazi pun membuat hal yang serupa, kelaparan sebagai cetak biru genosida.
Beberapa pekan sebelum invasi Jerman ke Uni Soviet tahun 1941, Menteri Pangan Reich Richard Darré dan sekretaris negara Herbert Backe merancang Hunger Plan- strategi kelaparan sistematis untuk membunuh warga sipil Soviet dan Yahudi sambil memberi makan pasukan Jerman. Kebijakan ini membunuh setidaknya tujuh juta jiwa, bukan sebagai dampak sampingan, tapi sebagai tujuan utama.
Rezim Nazi menerapkan sistem jatah makanan berbasis ras: 100% untuk warga Jerman, 70% untuk warga Polandia, 30% untuk warga Yunani, 20% untuk warga Yahudi.
Di ghetto-ghetto Yahudi, makanan dijadikan senjata. Akses ke daging atau roti dikontrol ketat. Toko-toko sengaja dikosongkan. Kelaparan bukanlah kegagalan – melainkan kebijakan resmi.
“Fakta bahwa kami menghukum mati 1,2 juta Yahudi dengan kelaparan hanyalah catatan sampingan,”tulis Hans Frank, gubernur Nazi untuk Polandia yang diduduki, dalam buku hariannya yang dikutip dalam tulisan Ghannoushi.
Gaza 2024, 2025 dan entah hingga kapan adalah cermin sejarah yang kelam. Kini, lebih dari dua juta warga Palestina di Gaza – seluruh populasi wilayah itu – sengaja dipaksa menghadapi kelaparan massal. Bukan satu juta. Bukan sebagian. Semuanya. Perempuan dan laki-laki. Bayi dan orang tua. Tak seorang pun terampuni.
Inilah ironi sejarah yang menyakitkan. Dalam gema sejarah yang terdistorsi, rencana GHF (Gaza Humanitarian Foundation), lembaga yang terafiliasi dengan Zionis, mendapatkan dukungan Amerika Serikat dan sejulah negara Eropa tetapi ditolak PBB, justru mengadopsi hierarki makanan ala Nazi: Hanya akan menjangkau 1,2 juta orang pada fase awal. Mengabaikan sebagian besar populasi. Dan ini tidak boleh menjadi catatan sampingan.
Bahkan jika GHF mencapai targetnya: Rata-rata warga Gaza hanya akan mendapat kurang dari 1.000 kalori/hari. Itu pun setelah memperhitungkan mereka yang sama sekali tak mendapat makanan. Angka ini nyaris sama dengan jatah harian Yahudi di Ghetto Warsawa – gabungan antara ransum resmi dan penyelundupan.
Jerman hari ini memikul beban sejarah Holocaust dan Holocaust denial. Ia membingkai Israel sebagai manifestasi historis dari “penebusan” atas Nazi, menjadikan kebijakan terhadap proPalestina sebuah tugas negara bak suci. Tetapi di balik itu terhidang sistem represi yang memakai konsep anti-fasisme untuk membungkam oposisi, dan membiarkan kebijakan represif meluas pada lembaga-lembaga sipil dan akademik.
Menurut para akademisi seperti Madhvi Ramani dan Uffa Jensen, ini adalah siklus yang melestarikan ketakutan kolektif dan mengubur dinamika solidaritas, memprioritaskan keamanan negara di atas kehormatan perdebatan publik.38
Suara yang dulu menentang komunisme di Berlin Timur kini seakan punah saat menyentuh kritik terhadap Zionisme. Jerman menjustifikasi represi tersebut sebagai bentuk komitmen moral setelah Nazi, namun ironisnya kini menutup pintu dialog dan kritik atas pelanggaran HAM Israel sebagaimana disuarakan banyak tokoh kemanusiaan.39
Harapan dan Pria Di Balik Map Merah
Meskipun suara dibatasi, aksi tak berhenti. Mahasiswa menduduki kampus—Humboldt dan Free University—mengubah ruang diskusi menjadi perlawanan intelektual. Beberapa aktivitas berakhir dengan kekerasan polisi, tetapi mereka tetap menuntut hak kebebasan berbicara dan demokrasi sejati.40
Sebagai penutup tulisan ini, saya kutipkan bagian dari buku Tobias Buck (2024): Final verdict: The Holocaust on trial in the 21st century.41 Pada Bab 1, buku ini dibuka dengan judul: The Behind the Red Folder (Pria Di Balik Map Merah). “Pintu kayu terbuka, dan seorang lelaki tua di kursi roda memasuki ruang sidang. Wajahnya tersembunyi di balik map kardus merah, yang ia pegang dengan satu tangan yang stabil. Untuk kamuflase tambahan, ia mengenakan kacamata hitam dan topi lebar berwarna gelap. Semua mata di ruangan itu tertuju padanya, tetapi ia sama sekali tidak berniat menatap balik. Lelaki tua itu duduk dalam diam, diapit oleh putrinya dan pengacaranya, tetap bersembunyi dari kamera yang terus berdetak di depannya. Saat detik-detik berlalu, ketegangan yang gugup memenuhi ruangan.
Beberapa saat kemudian, hakim memerintahkan fotografer dan kameraman untuk keluar, memungkinkan lelaki tua itu menurunkan map merahnya dan memperlihatkan wajahnya. Duduk di ujung ruang sidang, aku menyenderkan leher untuk melihat sekilas sang terdakwa. Ia terlihat lebih muda dari usianya yang sembilan puluh tiga tahun, waspada, dengan mata gelap dan rambut putih yang rapi terpotong. Di barisan depanku, seorang wanita tua mulai menangis, tubuhnya yang kecil bergetar oleh isakan sunyi. Lelaki tua di kursi terdakwa adalah suaminya.
Menghadap kepada terdakwa, Anne Meier-Göring, hakim ketua, memulai persidangan dengan beberapa pertanyaan sederhana.
“Kamu bisa mendengarku?”
“Ya,” jawab lelaki tua itu.
“Kamu Bruno Dey?”
“Ya.”
Tanggal 17 Oktober 2019, hari pertama persidangan di gedung peradilan pidana Hamburg yang megah. Sidang ini bersejarah dalam banyak hal. Bruno Dey dituduh terlibat dalam kejahatan yang terjadi lebih dari tujuh dekade lalu: pembunuhan setidaknya 5.230 tahanan di Stutthof, sebuah kamp konsentrasi Nazi yang kini terletak di Polandia. Usianya baru tujuh belas tahun ketika ia tiba di kamp itu, dan menjadi anggota unit SS yang bertugas menjaga lokasi serta memastikan tidak ada satu pun tahanan yang putus asa bisa melarikan diri. Dey mengakui bahwa ia bertugas sebagai penjaga di Stutthof dari Agustus 1944 hingga April 1945, tetapi ia membantah tuduhan bahwa ia memiliki peran dalam pembunuhan, bahkan sebagai bawahan atau kaki tangan.
Namanya yang tercantum dalam surat dakwaan, tetapi semua orang di ruang sidang tahu bahwa Dey tidak akan diadili sendirian. Seperti semua pengadilan yang mengusut kejahatan rezim Nazi, kasus Hamburg ini memunculkan pertanyaan—pertanyaan yang sulit dan tidak nyaman—yang jauh melampaui kesalahan kriminal individu mana pun. Pertanyaan-pertanyaan itu membebani dunia sejak gambar-gambar pertama kamp dan korban mereka muncul setelah perang. Pertanyaan itu terutama sangat menyakitkan bagi orang Jerman sepertiku, tetapi kini tampak sangat relevan bagi semua bangsa: bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang bersalah? Dan apa yang akan kulakukan?”
Saya membayangkan, dalam waktu dekat ini, seorang lelaki tua di kursi roda memasuki ruang sidang dengan wajah tersembunyi di balik map kardus merah, yang ia pegang dengan satu tangan yang gemetar itu, adalah Benjamin Netanyahu.
***
Malinau, 24 Juli 2025.
1 https://time.com/5720386/berlin-wall-fall/?utm
2 https://www.independent.co.uk/arts-entertainment/photography/berlin-wall-anniversary-photography-archive-b2642683.html?utm_
3 https://www.theguardian.com/world/from-the-archive-blog/2019/oct/30/the-fall-of-the-berlin-wall-archive-november-1989?utm_
4 https://www.independent.co.uk/arts-entertainment/photography/berlin-wall-anniversary-photography-archive-b2642683.html?utm_
5 https://www.independent.co.uk/arts-entertainment/photography/berlin-wall-anniversary-photography-archive-b2642683.html?utm_
6 https://www.berlin-tickets.com/the-wall-museum/berlin-wall-history/?utm_
7 https://www.britannica.com/topic/Berlin-Wall
8 https://www.theguardian.com/world/2014/nov/06/-sp-fall-berlin-wall-what-it-meant-to-be-there?utm_
9 https://www.theguardian.com/world/2014/nov/06/-sp-fall-berlin-wall-what-it-meant-to-be-there?utm_
10 https://www.newyorker.com/magazine/2014/11/03/behind-wall?utm_
11 https://www.newyorker.com/magazine/2014/11/03/behind-wall?utm_
12 https://en.wikipedia.org/wiki/Berlin_Wall?utm_
13 https://www.newyorker.com/magazine/2014/11/03/behind-wall?utm_
14 Ringkasan dari ChatGPT. Sejarah operasi slogan “Nie Wieder” (Never Again) bermula dari para tahanan pembebasan di kamp konsentrasi Buchenwald pada April 1945—sebuah sumpah kolektif untuk tidak membiarkan fasisme dan rakyat menjadi korban lagi The Irish Times. Makna filosofisnya kemudian berkembang: apakah untuk mencegah Holocaust kedua atau berhenti pada upaya universal mencegah semua bentuk genosida Wikipedia.
Pasca-Perang Dunia II, “Never Again” menjadi dasar moral bangsa Jerman modern, diabadikan dalam konstitusi (Grundgesetz) dan diplomasi nasional sebagai simbol tanggung jawab historis dan penolakan keras terhadap kekerasan sebagai alat politik German Marshall FundVerfassungsblog.
Namun sejak perang Israel–Hamas 2023, muncul kontradiksi: slogan ini mulai digunakan oleh suara anti-Zionis juga dalam aksi solidaritas dengan rakyat Palestina—meski perlahan dibatasi oleh sebagian narasi resmi yang menghubungkan kritik kepada Israel dengan antisemitisme The Guardian+9The Irish Times+9DW News+9.
Navid Kermani dan para pemikir lain di Jerman berargumen bahwa kebudayaan ingatan (Erinnerungskultur) harus terus diperbarui agar relevan dengan konflik global masa kini, termasuk Gaza, tanpa kehilangan akar moralnya Financial Times+1Wikipedia+1.
Namun banyak pengkritik—seperti Manuel Schwab, Michel Friedman, dan jurnalis-jurnalis independen—menilai bahwa “Never Again” telah menjadi ritual kosong, lebih untuk menenangkan diri ketimbang melawan ketidakadilan baru. Mereka menunjukkan bagaimana protes pro-Palestina disensor dan pemikiran yang kritis terhadap Israel sering dibayang-bayangi stigma antisemitisme thestreetjournal.orgThe StarLos Angeles Times.
Slogan itu juga mendapat ujian moral ketika pemerintah Jerman mengakui roh Holocaust sebagai dasar hubungan diplomatik dengan Israel, sambil memadamkan suara-suara damai yang membela HAM Palestina. Kini, dalam realitas politik dan hukum Jerman, “Never Again” menjadi medan perjuangan makna antara solidaritas universal dan sejarah politik domestik The GuardianThe StarDW News.
para penyintas Holocaust dulu berjanji “Never Again!”—tetapi kini anak cucu bangsa Jerman menghadapi dilema baru: kapan janji itu relevan, kapan ia digunakan sebagai tameng narasi nasional. “Never again is now”—tapi siapa “kita” yang bicara dan siapa yang dibungkam dalam gema kata itu? The Irish TimesDW NewsThe Star.
15 https://untoldmag.org/no-country-for-palestinians-a-chronicle-of-suppression-and-resistance-in-germany/?utm_
16 Tautan ini disamping artikel yang dikutip juga menyediakan berbagai informasi yang detil dan lengkap tentang isu-isu dan gagasan revolusioner tentang wilayah dan masyarakat di Timur Tengah. Membahas Syria, Palestina dan lain-lain. Untold Media adalah organisasi media nirlaba yang berbasis di Berlin dan dijalankan oleh kolektif jurnalis, seniman, peneliti, dan penulis. Melalui proyek editorial dan artistik—UntoldMag, SyriaUntold, dan Mena Art Gallery—mereka berupaya mempromosikan model produksi jurnalistik yang berkelanjutan dan inovatif yang dapat memfasilitasi dialog dan kesadaran terhadap beberapa tantangan paling penting di zaman kita, seperti ketimpangan yang meningkat, perubahan iklim, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Mereka meyakini jurnalisme kritis yang berfokus pada topik-topik yang kurang mendapat perhatian, dengan sudut pandang yang menantang pandangan hegemonik dan arus utama.
https://untoldmag.org/no-country-for-palestinians-a-chronicle-of-suppression-and-resistance-in-germany/?utm_
17 Video ini ditayangkan oleh IG @Ryad.Aref dengan keterangan: Berlin – 22 Juli 2025. Kita dengan mudah bisa menemukan sejumlah kebrutalan yang dilakukan para polisi Jerman itu–sebuah sikap kekejian yang sebetulnya sulit diterima akal sehat dari sebuah negara yang berteriak sangat kencang dengan mulut-mulut yang amat lebar tentang demokrasi, hak asazi manusia dan sejumlah jargon-jargon terbaik abad 20 dan 21 ini. Tetapi inilah kenyataan hari ini. Negara maju dengan moral kemanusiaan terburuk abad 21.
18 https://www.theguardian.com/world/article/2024/aug/06/german-court-due-to-rule-on-from-the-river-to-the-sea-case-in-test-of-free-speech?utm_
19 https://www.aljazeera.com/opinions/2025/7/15/the-berlin-police-lied-and-the-lie-is-now-used-to-justify-repression?utm_
20 https://www.theguardian.com/commentisfree/2025/apr/03/germany-deporting-pro-palestine-eu-citizens-chilling-new-step?utm_
21 https://www.middleeasteye.net/news/columbia-university-suspends-expels-nearly-80-students-pro-palestine-protest. Penangguhan ini akan berlangsung selama satu hingga tiga tahun dan mengharuskan mahasiswa menulis surat permohonan maaf jika ingin kembali ke universitas. Proses disipliner terutama menargetkan mahasiswa yang terlibat dalam pendudukan Perpustakaan Butler untuk menyelenggarakan diskusi edukatif (teach-in) sebagai penghormatan kepada penulis Palestina Basel al-Araj, yang tewas ditembak pasukan Israel pada 2017. Para pengunjuk rasa mengganti nama perpustakaan tersebut menjadi “Universitas Rakyat Basel al-Araj”.
“Sanksi yang dikeluarkan pada 21 Juli oleh Dewan Yudisial Universitas (UJB) ditetapkan oleh panel profesor dan administrator UJB yang bekerja keras selama musim panas untuk memberikan keputusan bagi setiap individu berdasarkan temuan kasus mereka dan hasil disipliner sebelumnya,” tulis Columbia dalam sebuah pernyataan.
Columbia University Apartheid Divest (CUAD) menyatakan dalam tanggapannya: “Begitu Barnard bergabung dengan Columbia dalam mengumumkan tuntutan, ini akan menjadi penangguhan terbanyak dalam sejarah kampus Columbia untuk satu aksi protes politik dan jauh melebihi preseden hukuman untuk diskusi edukatif atau pendudukan gedung yang tidak terkait dengan Palestina.”
22 https://carnegieendowment.org/research/2024/10/suppressing-dissent-shrinking-civic-space-transnational-repression-and-palestine-israel?lang=en
23 https://www.theguardian.com/commentisfree/2025/apr/03/germany-deporting-pro-palestine-eu-citizens-chilling-new-step?utm_
24 https://www.youtube.com/watch?v=2wXleLl3WgE&t=11s
25 https://apnews.com/article/nan-goldin-berlin-gaza-israel-antisemitism-3fedbcd682897c0eecb1b62e637575f4
26 https://en.wikipedia.org/wiki/Censorship_in_Germany?utm_
27 https://monitor.civicus.org/explore/repression-of-palestine-solidarity-continues-raids-detentions-and-police-brutality/?utm_
28 Braunbuch: Kriegs- und Naziverbrecher in der Bundesrepublik – Staat, Wirtschaft, Armee, Verwaltung, Justiz. (1965). Staatsverlag der Deutschen Demokratischen Republik. Keterangan atas buku ini berdasarkan DeepSeek: Braunbuch: Kriegs- und Naziverbrecher in der Bundesrepublik – Staat, Wirtschaft, Armee, Verwaltung, Justiz [Buku Cokelat: Penjahat Perang dan Nazi di Republik Federal – Negara, Ekonomi, Angkatan Bersenjata, Administrasi, Peradilan]. (1965). Berlin: Staatsverlag der Deutschen Demokratischen Republik.
Keterangan Tambahan untuk Akurasi:
1. Judul Lengkap:
- Judul lengkap buku ini dalam bahasa Jerman adalah:
Braunbuch: Kriegs- und Naziverbrecher in der Bundesrepublik – Staat, Wirtschaft, Armee, Verwaltung, Justiz. - Terjemahan resmi dalam bahasa Inggris:
Brown Book: War and Nazi Criminals in the Federal Republic – State, Economy, Military, Administration, Justice.
2. Penerbit:
- Diterbitkan oleh Staatsverlag der Deutschen Demokratischen Republik (Penerbit Negara Republik Demokratik Jerman), yang merupakan penerbit resmi pemerintah Jerman Timur.
3. Tahun dan Tempat Publikasi:
- Diterbitkan di Berlin, 1965, pada masa Perang Dingin ketika Jerman masih terbagi menjadi Jerman Barat (Bundesrepublik Deutschland/BRD) dan Jerman Timur (Deutsche Demokratische Republik/DDR).
4. Konteks Historis:
- Braunbuch adalah dokumen politik yang disusun oleh pemerintah Jerman Timur untuk mengekspos mantan pejabat Nazi yang masih memegang posisi penting di Jerman Barat pasca-Perang Dunia II.
- Buku ini merupakan bagian dari propaganda Jerman Timur untuk menyerang legitimasi politik Jerman Barat dengan mengungkap keterlibatan bekas anggota Nazi dalam pemerintahan, militer, dan ekonomi BRD.
5. Relevansi Akademik:
- Meskipun bersifat politis, Braunbuch mengandung dokumen-dokumen sejarah yang digunakan dalam penelitian tentang denazifikasi dan kontinuitas elit Nazi di Jerman pasca-1945.
- Beberapa klaim dalam buku ini telah dikonfirmasi oleh penelitian arsip di kemudian hari, seperti keterlibatan mantan Nazi dalam pembentukan Bundesnachrichtendienst (BND) dan sistem peradilan Jerman Barat.
29 https://en.wikipedia.org/wiki/Gleichschaltung?utm_
30 https://www.youtube.com/watch?v=2wXleLl3WgE&t=11s
31 https://www.theguardian.com/commentisfree/2025/may/24/germany-nazi-past-gaza-media-prize-state. Hanno Hauenstein adalah seorang jurnalis dan penulis yang berbasis di Berlin. Ia pernah bekerja sebagai editor senior di departemen budaya Berliner Zeitung, dengan spesialisasi dalam seni kontemporer dan politik.
32 https://www.rosalux.de/en/news/id/52830/anti-antisemitism-is-fuelling-an-authoritarian-climate-in-germany?utm_
33 https://monitor.civicus.org/explore/repression-of-palestine-solidarity-continues-raids-detentions-and-police-brutality/?utm_ Lihat juga liputan dalam tautan ini: https://time.com/7199769/pro-palestine-protests-suppressed-democratic-countries/?utm_ Sebuah laporan terbaru yang memantau kondisi kebebasan sipil di seluruh dunia mengungkap tren mencolok: penekanan terhadap aksi solidaritas Palestina terjadi di segala jenis masyarakat, dari negara paling terbuka hingga paling represif.
“Konflik itu sendiri dan dampaknya terhadap ruang sipil… menjadi salah satu temuan utama kami tahun ini,” jelas Tara Petrović, salah satu penulis laporan dari CIVICUS Monitor – aliansi global kelompok masyarakat sipil yang berbasis di Johannesburg. “Kami melihat ekspresi solidaritas sekaligus represi terhadap ekspresi tersebut di hampir setiap penjuru dunia.” https://monitor.civicus.org/globalfindings_2024/
34 https://www.aljazeera.com/opinions/2025/7/15/the-berlin-police-lied-and-the-lie-is-now-used-to-justify-repression?utm_
35 https://www.rosalux.de/en/news/id/52830/anti-antisemitism-is-fuelling-an-authoritarian-climate-in-germany?utm_
36 https://www.thetimes.com/culture/books/article/prosecutor-one-mans-battle-bring-nazis-justice-jack-fairweather-review-b5hh99bjb?utm_
37 https://www.middleeasteye.net/opinion/war-gaza-how-israel-replicating-nazi-starvation-tactics. Soumaya Ghannoushi adalah seorang penulis dan pakar politik Timur Tengah berkebangsaan Britania-Tunisia. Karya jurnalistiknya telah diterbitkan di The Guardian, The Independent, Corriere della Sera, aljazeera.net, dan Al Quds. Kumpulan tulisannya dapat ditemukan di: soumayaghannoushi.com dan akun Twitter-nya @SMGhannoushi.
38 https://www.rosalux.de/news/id/52364?utm_
39 https://en.wikipedia.org/wiki/Anti-Palestinianism_during_the_Gaza_war?utm_
40 https://www.aljazeera.com/features/2024/5/25/punched-choked-kicked-german-police-crack-down-on-student-protests?utm_
41 Buck, T. (2024). Final verdict: The Holocaust on trial in the 21st century (First Hachette Books edition). Hachette Books. (Original work published 2024 by Weidenfeld & Nicolson)