halaman drm #38
The Hague Group
Dwi R. Muhtaman
“The Hague Group’s formation
sends a clear message:
no nation is above the law,
and no crime will go unanswered.”
Ronald Lamola
Minister of International Relations
and Cooperation
South Africa.
Daftar Isi
Di tepi Laut Utara, lahirlah sebuah kota dari tempat berburu bangsawan abad ke-13. Wilayah yang sejak zaman dahulu dikenal dengan sebutan Die Haghe atau Den Hag(h)e. Inilah Den Haag. Secara harfiah, nama Den Haag berarti “pagar”—yakni pagar dari semak-semak atau pepohonan kecil. Pada tahun 1602/1603, pemerintah kota mulai secara resmi memakai nama ’s Gravenhage, yang dianggap lebih indah dan bermakna “Pagar milik para bangsawan.” Memang, asal-usul Den Haag bermula dari sebuah kawasan kecil yang dikelilingi pagar.
Inilah kota yang menjadi jantung nurani dunia. Tumbuh menjadi pusat pemerintahan dan, lebih dari itu, simbol keadilan internasional. Di sinilah berdiri Peace Palace, rumah bagi Pengadilan Internasional, tempat negara-negara berseteru menyelesaikan sengketa dengan hukum, bukan dengan peluru. Di ruang-ruang Peace Palace ini menggema suara Mahkamah Pidana Internasional menuntut mereka yang bertanggung jawab atas genosida, perang, dan kejahatan kemanusiaan.
Den Haag bukan sekadar kota. Ia adalah tempat dunia meletakkan harapan—bahwa hukum masih bisa menang, bahwa keadilan masih punya tempat. Di jalan-jalannya, para diplomat, pengungsi, pengacara, dan pejuang HAM berjalan berdampingan. Den Haag bukan hanya sekadar kota administratif. Ia adalah metafora dari hukum, dialog, dan perdamaian. Dalam dunia yang dilanda perang dan ketidakadilan, Den Haag berdiri sebagai mercusuar harapan bahwa kejahatan tak akan pernah tak tersentuh. Dan bahwa dunia masih memiliki ruang untuk keadilan—meski sering tertunda.
“Den Haag adalah tempat di mana dunia mencoba mempercayakan masalah terburuknya kepada kata-kata, bukan senjata.”
Pada sebuah musim dingin awal tahun ini, kota diplomasi dan hukum internasional, tempat Mahkamah Internasional dan Pengadilan Kriminal Internasional berdiri megah, sekali lagi mengukir jejak penting di tengah kabut sejarah. Terbayang apa yang disampaikan Kofi Annan – Sekretaris Jenderal PBB, pada pertemuan perdana ICC, Den Haag (11 Maret 2003): “Sebagai hasil dari janji yang disampaikan di hadapan publik oleh sebelas pria dan tujuh wanita, mewakili berbagai budaya dan sistem hukum dunia, mereka telah menjelma menjadi perwujudan dari hati nurani kolektif kita.”1 “Tanpa keadilan, tidak akan ada perdamaian yang abadi.”
Pernyataan ini mempertegas bahwa keberadaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag bukan semata bangunan fisik, tetapi simbol tanggung jawab moral global terhadap kejahatan kemanusiaan.2
Pada tanggal 31 Januari 2025, delapan negara dari tiga benua—Bolivia, Kolombia, Kuba, Honduras, Malaysia, Namibia, Senegal, dan Afrika Selatan—berkumpul dalam sebuah ruangan yang hening namun sarat ketegangan moral. Mereka tidak datang untuk sekadar konferensi biasa. Mereka datang karena hati nurani mereka terusik. Gaza terbakar. Dunia menonton, tapi banyak yang diam. Dan mereka memutuskan: cukup sudah.
Tekad dari pemimpin delapan negara ini mungkin meingatkan kita pada seorang pria berjas putih berdiri dari kursinya. Sosok yang karismatik itu melangkah mantap menuju mimbar, sorot matanya tajam menatap ruangan. Ia adalah Presiden Sukarno, proklamator dan orator ulung dari Indonesia. Gedung mendadak hening, seolah waktu menahan napasnya. Dengan suara lantang dan penuh getaran jiwa, Sukarno memulai pidatonya yang akan dikenang sepanjang sejarah sebagai pidato pembebasan dunia dari kolonialisme:
“Kolonialisme belum mati! Ia masih hidup dalam berbagai bentuk!”
“Kolonialisme modern memakai jubah ekonomi, memakai kedok kebudayaan, dan meracuni mental bangsa-bangsa merdeka!”
Apa yang disaksikan oleh para pemimpin delapan negara itu, seperti disaksikan milayaran warga dunia, genosida yang dilakukan oleh Israel dan mendapatkan dukungan tanpa syarat dari berbagai pemerintahan Barat dan Amerika Serikat, kenyataan yang telanjang dan terang benderang: Kolonialisme hidup kembali dengan nyata dalam bentuk primitifnya dan dengan senjata paling modern dan mematikan. Tanpa jubah ekonomi, tanpa kedok kebudayaan, tanpa babibu. Mereka secara terbuka membunuh dengan teramat brutal melampaui kemampuan pikiran normal manusia dan menghancurkan bangsa yang merdeka pemilik tanah asli Palestina. Tujuannya hanya satu: menyingkirkan rakyat Palestina seluruhnya, membunuhnya atau mengusirnya dari tanah air Palestina, menduduki selamanya dan mencaplok negara-negara tetangga selanjutnya.
“Kepada rakyat Palestina, dan mereka yang berdiri di sisi mereka, aku ingin berkata: Apa pun yang terjadi, Palestina akan menulis babak penuh gejolak ini bukan sebagai catatan kaki dalam kronik para penakluk yang gagal, tetapi sebagai bait terbaru dalam kisah berabad-abad tentang bangsa-bangsa yang bangkit melawan ketidakadilan, melawan kolonialisme, dan—hari ini lebih dari sebelumnya—melawan tirani neoliberalisme.”
— Francesca Albanese
Ketika Diam Bukan Lagi Pilihan
Sejak Oktober 2023, agresi brutal Israel terhadap Jalur Gaza telah menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina. Citra-citra rumah hancur, anak-anak tertimbun reruntuhan, dan antrean panjang warga yang kelaparan beredar luas di dunia maya. Negara-negara ini—yang banyak di antaranya memiliki sejarah dijajah, ditindas, atau dikucilkan oleh kekuatan besar—melihat gema sejarah mereka sendiri dalam penderitaan rakyat Palestina.
Yvonne Dausab – Menteri Kehakiman Namibia dengan tegas menyatakan:“Ketika generasi mendatang bertanya tentang kontribusi kita terhadap hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri, jawaban kita haruslah: kami mengambil langkah nyata, atau kami akan dikenang sebagai para pemimpin yang hanya menyaksikan dan tidak berbuat apa-apa.” 3 Pernyataan ini menunjukkan tekad Namibia untuk tidak hanya mengungkap, tetapi juga bertindak demi keadilan Palestina. Hal yang sama dikatakan oleh Mariam Tavassoli Zea – Penasihat Menteri Luar Negeri Honduras: “Kita harus bertindak. Honduras bergabung dengan The Hague Group untuk bersama-sama mengoordinasikan upaya yang memungkinkan kita mencegah dan menghukum genosida yang dilakukan Israel.” 4 Arti juang ini menunjukkan dukungan Honduras dalam menanggapi kekerasan sebagai kejahatan serius dengan langkah hukum bersama.
Afrika Selatan memimpin langkah pertama. Pada Desember 2023, negara itu mengajukan gugatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ), menuduhnya melakukan tindakan genosida terhadap rakyat Palestina. Gugatan ini menjadi preseden hukum penting—dan sekaligus seruan moral—yang mengguncang dunia. Dalam ruang sidang ICJ, argumen Afrika Selatan memaksa dunia untuk melihat Gaza bukan sebagai “konflik dua pihak”, tetapi sebagai realitas kolonial yang brutal. 5 “Gagasan bahwa hukum internasional … hanya dapat ditegakkan terhadap negara-negara di Selatan global adalah sesuatu yang kini tak dapat dipertahankan lagi,” cetus Chrispin Phiri – Juru Bicara Departemen Luar Negeri Afrika Selatan dengan api perlawanan yang berkobar.6 Ungkapan ini menegaskan bahwa hukum internasional harus berlaku secara universal — tanpa diskriminasi berdasarkan lokasi atau kekuatan negara.
Negara-negara lain, terinspirasi dan tersentuh oleh langkah itu, mulai mengajukan amicus curiae atau permohonan intervensi sebagai pihak ketiga di ICJ. Bolivia, Malaysia, dan Kolombia menjadi yang paling awal menyusul.7 Mereka tidak hanya mendukung gugatan Afrika Selatan, tetapi mulai mendiskusikan—di balik layar—apa yang bisa mereka lakukan bersama.
Pada pertengahan Januari 2025, para diplomat dari delapan negara tersebut mulai melakukan pertemuan informal di Den Haag. Pertemuan ini berlangsung di luar agenda resmi—di kedutaan, ruang pertemuan tertutup, bahkan di kafe kecil dekat Vredespaleis (Istana Perdamaian).
Pertanyaannya sederhana tapi penuh beban: Jika kita percaya bahwa genosida sedang berlangsung, apa tanggung jawab kita sebagai negara?
Pertemuan-pertemuan itu berkembang menjadi wacana serius tentang tanggung jawab kolektif global. Diskusi tak hanya berputar pada isu Palestina, tetapi pada legasi hukum internasional—pada bagaimana sistem hukum yang didirikan pasca-Holocaust sedang dicabik-cabik oleh impunitas Israel.
Latar belakang negara-negara ini memainkan peran penting:
- Afrika Selatan, dengan sejarah perjuangan melawan apartheid, merasa berkewajiban moral.8
- Bolivia dan Kuba, dengan sejarah revolusi dan anti-imperialisme.
- Malaysia, negara mayoritas Muslim yang aktif dalam diplomasi Global South.
- Kolombia dan Honduras, yang tengah mereformasi kebijakan luar negeri mereka.
- Senegal dan Namibia, sebagai suara kuat dari Afrika Barat dan Selatan, membawa pengalaman dari perjuangan anti-kolonial mereka.
Pendiriannya: Pernyataan Bersama yang Langka
Pada 31 Januari 2025, di sebuah ruangan diplomatik resmi di Den Haag, delapan negara ini menandatangani Pernyataan Bersama Perdana yang mendirikan The Hague Group. Ini bukan aliansi militer. Ini bukan blok ekonomi. Ini adalah konsorsium moral dan hukum—yang berdiri untuk menegakkan hukum internasional, bukan hanya untuk Palestina, tetapi untuk siapa pun yang menjadi korban impunitas.9
Mereka mendeklarasikan dukungan terhadap gugatan genosida di ICJ, menolak pengiriman senjata ke Israel, dan bahkan menyatakan akan menolak pelabuhan mereka digunakan untuk kapal-kapal yang membawa bahan militer ke Israel. Dalam sejarah kontemporer, hampir tidak pernah ada blok negara dari Global South yang secara tegas membentuk front hukum internasional seperti ini terhadap kekuatan besar dunia.
Seperti kata Ronald Lamola – Menteri Luar Negeri Afrika Selatan:“Pembentukan The Hague Group mengirimkan pesan yang jelas: tidak ada negara yang berada di atas hukum, dan tidak ada kejahatan yang akan luput dari tanggapan.” 10 Afrika Selatan memimpin pembentukan kelompok ini sebagai wujud komitmen terhadap supremasi hukum dan pertanggungjawaban atas pelanggaran internasional.
Francesca Albanese – Pelapor Khusus PBB untuk Palestina yang baru-baru ini meluncurkan Laporan yang menggetarkan Dunia Barat, From Economy of Occupation to Economy of Genocide 11, menyatakan “Setiap negara harus segera meninjau dan menangguhkan semua hubungan dengan Negara Israel … dan memastikan bahwa sektor swasta mereka melakukan hal yang sama,” serta “Ekonomi Israel dibangun untuk menopang pendudukan yang kini telah berubah menjadi genosida.” 12 Albanese menggarisbawahi bahwa tindakan negara dan sektor swasta bisa memperkuat atau mencegah kejahatan internasional.
Gerakan kebangkitan perlawanan negara-negara Selatan yang dimotori oleh the Hague Group ini membuat Negara-negara Utara yang disuarakan oleh Amerika Serikat geram. Mereka menebarkan ancaman-ancaman verbal yang tidak kalah brutalnya dengan bombardir Israel di Palestina. Ronald Lamola (lagi) – Menjawab tekanan AS itu: “Tidak ada kemungkinan Afrika Selatan menarik gugatan ICJ meskipun ada ancaman dari Trump … Memegang prinsip kita terkadang memang membawa konsekuensi, tetapi kami tetap teguh bahwa ini penting bagi dunia, dan bagi supremasi hukum.” 13 Meskipun menghadapi tekanan ekonomi dari Amerika Serikat, Afrika Selatan tetap teguh mendukung gugatan genosida sebagai bentuk tanggung jawab global atas hukum internasional.
Pendudukan dan penjajahan Palestina yang telah berlangsung lebih dari 77 tahun menunjukkan wajah bobrok nilai-nilai Barat. Propaganda demokrasi, hak azasi manusia, keadilan dan sejumlah kata-kata hebat dan manis hanya kmuflase dan berlaku untuk kepentingan Barat. Ketika bicara Palestina maka yang terjadi justru sebaliknya. Wajah asli mereka terkuak dengan terang benderang. Ini mengingatkan kita pada Prof Jason Hickel.14 Menurut Prof Hickel, seorang antropolog, ekonom politik, dan penulis asal Inggris yang dikenal luas karena kritiknya terhadap kapitalisme global, ketimpangan ekonomi, dan krisis ekologi ini, Palestina yang merdeka berarti Timur Tengah yang merdeka. Dan Timur Tengah yang merdeka berarti kapitalisme di pusat kekuasaannya benar-benar menghadapi krisis—dan mereka tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Lebih lanjut dikatakan Hickel yang saat ini menjadi Professor of Global Development di Universitat Autònoma de Barcelona, dan juga visiting senior fellow di London School of Economics, bagi Selatan Global, ada kebutuhan penting lainnya: kedaulatan ekonomi. Pembebasan ekonomi di tingkat nasional. Meski Utara Global sangat bertanggung jawab atas krisis ini, Selatan juga perlu terlibat dalam perencanaan ekologis, transisi energi, dan sebagainya. Tapi bagaimana bisa mereka melakukannya jika mereka tidak punya kendali atas sumber daya, tenaga kerja, tanah, dan energi mereka sendiri? Bagaimana mungkin mereka bisa merencanakan apa pun ketika berada dalam cengkeraman program penyesuaian struktural yang mencegah mereka menggunakan kebijakan industri progresif, kebijakan fiskal progresif, atau kebijakan moneter progresif?
Padahal, semua kebijakan itu terbukti bisa memungkinkan mereka mencapai pembangunan dan transisi ekologis. Namun mereka benar-benar dilarang menggunakannya. Solusinya adalah pembebasan ekonomi.
Tapi kita juga harus sadar bahwa pembebasan ekonomi itu sepenuhnya bertentangan dengan sistem kapitalisme global. Akumulasi modal di pusat sangat bergantung pada tenaga kerja murah dan sumber daya murah dari Selatan Global. Sudah begitu selama 500 tahun. Jadi, setiap upaya dari wilayah pinggiran untuk meraih kemandirian ekonomi—untuk pembangunan mereka sendiri, untuk transisi ekologi mereka sendiri, untuk memenuhi kebutuhan manusia mereka sendiri—akan mengganggu stabilitas kapital. Dan kapital akan merespons dengan kekerasan luar biasa.
Kita melihatnya terjadi sepanjang waktu. Sekarang Palestina. Sebelumnya Libya, Irak, Chili, Indonesia, Kongo. Tidak akan pernah berhenti. Terus terulang lagi dan lagi.
Apa yang terjadi di Palestina saat ini bukan semata-mata persoalan moral—meskipun banyak dari kita melihatnya begitu. Tapi kapital tidak melihatnya demikian. Bagi mereka, ini soal menindas dan menghancurkan gerakan pembebasan. Palestina yang merdeka berarti Timur Tengah yang merdeka. Dan Timur Tengah yang merdeka berarti kapitalisme di pusat benar-benar menghadapi krisis. Mereka tidak akan membiarkan itu terjadi. Mereka meluncurkan seluruh kekuatan kekerasan mereka untuk memastikan hal itu tidak terjadi.
Inilah kenyataan yang kita hadapi—dimensi sistemik dari kekerasan yang sedang terjadi. Kita harus menyadarinya. Dan perjuangan kita, perlawanan kita, harus setara dengan besarnya tantangan itu.
Pembentukan The Hague Group pada Januari 2025 dapat dilihat sebagai kelanjutan tradisi solidaritas Global Selatan dan sebagai respons kolektif terhadap kegagalan tatanan internasional dalam menjamin keadilan universal. Dalam sejarah modern dan kontemporer, ada sejumlah organisasi dan koalisi negara yang dapat dibandingkan secara visi, semangat, dan strategi hukum/diplomatik dengan The Hague Group. Misalnya Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement / NAM) – 1961, sebuah upaya kolektif Global Selatan melawan dominasi kekuatan besar. NAM dibentuk oleh negara-negara yang menolak memihak Blok Barat (AS) atau Blok Timur (Uni Soviet) selama Perang Dingin. Bertujuan membela kedaulatan, keadilan global, dan perdamaian dunia, serta menentang imperialisme dan kolonialisme. Sama seperti The Hague Group, NAM tumbuh dari frustrasi terhadap ketimpangan sistem internasional dan penggunaan kekuasaan global secara sewenang-wenang.15
Dimotori para pemimpin Negara-negara Selatan yang kharismatik Sukarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Josip Broz Tito (Yugoslavia). “Let us not be afraid to say that colonialism is not dead. Colonialism has also its modern dress,” pekik membakar semangat Sukarno di Konferensi Asia-Afrika 1955.
Contoh lain adalah Koalisi Negara-Negara Melawan Apartheid – 1960–1994, sebuah upaya melalui front hukum dan diplomatik global menentang rezim kolonial dan rasisme. Gerakan ini merupakan koalisi negara dan organisasi internasional yang aktif mendukung perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan apartheid. Banyak negara anggota The Hague Group (seperti Afrika Selatan, Namibia, Cuba, dan Senegal) adalah pelaku utama dalam gerakan ini. Menggunakan instrumen hukum internasional, boikot ekonomi, dan diplomasi moral untuk menekan rezim apartheid, mirip seperti strategi The Hague Group terhadap Israel.16
Pembentukan Koalisi untuk Mahkamah Pidana Internasional (Coalition for the ICC) – sejak 1995. Koalisi transnasional ini dibentuk untuk penegakan hukum terhadap kejahatan paling serius. Terbentuk setelah genosida Rwanda dan Yugoslavia, sebagai bentuk desakan global untuk menuntut pertanggungjawaban hukum internasional atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Mendorong pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada 2002, yang kini menjadi instrumen hukum yang juga digunakan oleh The Hague Group.
Di Amerika Latin ada gerakan yang disebut “Pink Tide”– Awal 2000-an. Ini adalah gerakan solidaritas politik progresif menentang imperialisme dan neoliberalisme. Koalisi longgar negara-negara Amerika Latin dengan pemimpin seperti Evo Morales (Bolivia), Hugo Chávez (Venezuela), Rafael Correa (Ekuador) yang menentang dominasi AS dan IMF. Fokus pada keadilan sosial, anti-imperialisme, dan solidaritas Selatan-Selatan. Bolivia dan Cuba, yang menjadi penggagas The Hague Group, berasal dari tradisi ini.
Melihat jejak sejarah gerakan perlawanan negara-negara Selatan dan pada ujung musim semi abad ke 21 ini, The Hague Group adalah lebih dari warisan dan pembaruan atas gerakan-gerakan yang diletakkan sebelumnya itu. Ini adalah pernyataan sikap bahwa negara-negara Selatan bukanlah budak-budak lemah yang selalu tunduk pada permainan kotor negara-negara utara. Penjajahan dalam segala bentuknya harus dimusnahkan dari muka bumi.
The Hague Group bukan hanya sebuah aliansi ad hoc, melainkan penerus sejarah panjang solidaritas hukum dan moral negara-negara Global Selatan, dimulai dari Konferensi Bandung, Gerakan Non-Blok, hingga perjuangan menentang apartheid dan kolonialisme modern.
Seperti NAM menantang dominasi blok besar, dan Koalisi Anti-Apartheid menantang kekuasaan kolonial, The Hague Group menantang impunitas Israel dan kegagalan sistem hukum internasional dalam merespons genosida.Bedanya: mereka sekarang berbasis hukum internasional yang telah lebih matang—dengan senjata seperti ICJ, ICC, dan mekanisme embargo.
Pada pertemuan perdana di Bogota, The Hague Group menyatakan: Kami akan mengambil langkah-langkah efektif lebih lanjut untuk mengakhiri pendudukan Israel atas Negara Palestina dan menghilangkan hambatan bagi perwujudan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri, termasuk hak atas Negara Palestina yang merdeka.
Kami mengundang semua negara untuk mengambil semua tindakan dan kebijakan yang memungkinkan untuk mengakhiri pendudukan Israel atas Negara Palestina.
Kami menyerukan kepada semua bangsa untuk bergabung dengan kami dalam The Hague Group sebagai bentuk komitmen yang khidmat untuk menciptakan tatanan internasional yang berdasarkan pada supremasi hukum dan hukum internasional, yang—bersama dengan prinsip-prinsip keadilan—merupakan dasar bagi hidup berdampingan secara damai dan kerja sama antarnegara.17
Epilog
The Hague Group bukan hanya aliansi sementara. Ia adalah percikan baru dalam sejarah gerakan hukum internasional yang datang dari Selatan Global—yang selama ini terlalu sering menjadi objek hukum internasional, kini tampil sebagai subjek yang menuntut keadilan global.
Atau seperti kata seorang diplomat Afrika Selatan yang hadir pada deklarasi itu:
“Kami telah melihat keheningan hukum internasional saat kejahatan terjadi. Hari ini, kami memilih untuk menjadi suara hukum itu—dan bagi Palestina, dan bagi masa depan dunia.”
***
Kabupaten Tana Tidung-Malinau,
Kalimantan Utara
19 Juli 2025
1 Ke-18 hakim, termasuk tiga hakim yang menjabat sebagai Presidensi, ditempatkan pada tiga divisi yudisial di Pengadilan: Divisi Pra-Peradilan (terdiri dari tujuh hakim), Divisi Persidangan (terdiri dari enam hakim), dan Divisi Banding(terdiri dari lima hakim).Para hakim ini ditugaskan pada beberapa majelis sebagai berikut:
- Majelis Pra-Peradilan (masing-masing terdiri dari satu atau tiga hakim),
- Majelis Persidangan (masing-masing terdiri dari tiga hakim), dan
- Majelis Banding (terdiri dari lima hakim dari Divisi Banding).
https://www.icc-cpi.int/sites/default/files/iccdocs/PIDS/docs/UICCGeneralENG.pdf
2 ICC Mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant (21 November 2024)
Sumber: International Criminal Court, icc-cpi.int; United Nations Digital Library: https://digitallibrary.un.org
3 Dausab, Y. (2024). Statement retrieved from The Hague Group official website. Retrieved from https://thehaguegroup.org
4 Tavassoli Zea, M. (2024). Quoted in The Hague Group official statement. Retrieved from https://thehaguegroup.org
5 Advisory Opinion ICJ Terkait Legalitas Pendudukan Israel (19 Juli 2024). Merupakan kelanjutan dari permintaan Majelis Umum PBB tahun sebelumnya, dengan hasil yang memperkuat ilegalitas pendudukan Israel.
6 Phiri, C. (2024, January). As quoted in Associated Press. Retrieved from https://apnews.com
7 Pernyataan Negara-Negara Pendukung Gugatan
Negara-negara seperti Bolivia, Malaysia, dan Kolombia telah menyatakan secara resmi bahwa mereka mengajukan intervensi dalam kasus tersebut di ICJ pada Januari 2024.
8 Gugatan Afrika Selatan terhadap Israel di ICJ (29 Desember 2023)
ICJ Official Site
Termasuk dokumen Application instituting proceedings dan Request for the indication of provisional measures
9 Resolusi PBB A/RES/ES-10/24 (18 September 2024). Resolusi ini menguatkan posisi hukum dan moral yang digunakan The Hague Group sebagai pijakan.
10 Lamola, R. (2024). Quoted in The Jerusalem Post, Wikipedia, & The Hague Group official site. Retrieved from https://thehaguegroup.org
11 https://www.un.org/unispal/document/a-hrc-59-23-from-economy-of-occupation-to-economy-of-genocide-report-special-rapporteur-francesca-albanese-palestine-2025/
12 Albanese, F. (2024). Statements quoted in Al Jazeera and Associated Press. Retrieved from https://apnews.com & https://aljazeera.com
13 Lamola, R. (2024, February). Interview with Financial Times. Retrieved from https://ft.com
14 https://www.youtube.com/watch?v=6dBy4-6pn1M&t=88s
15 Bandung Conference Archive: https://bandungspirit.org
16 Resolusi DK PBB No. 418 (1977) – embargo senjata terhadap Afrika Selatan.
17 https://cloud.progressive.international/s/FfyxrbGwnsPwE8e#pdfviewer