Sustainability 17A #54
–bagian 2 dari 3–
Dwi R. Muhtaman,
sustainability partner
Dwi R. Muhtaman,
sustainability partner
“The destiny of nations depends on the way they nourish themselves.”
Jean-Anthelme Brillat-Savarin (1755–1826)
adalah seorang pengacara, politisi, dan filsuf kuliner Prancis,
yang dikenal karena karyanya dalam dunia gastronomi.
Karya paling terkenalnya adalah Physiologie du Goût (Fisiologi Rasa),
yang diterbitkan pada tahun 1825. 1
***
“Lebih dari 6.000 spesies tumbuhan telah dibudidayakan untuk pangan.
Kurang dari 200 spesies yang memberikan kontribusi utama
terhadap produksi pangan secara global, regional, atau nasional.
Hanya 9 spesies yang menyumbang 66% dari total produksi tanaman.
—FAO, state-of-biodiversity-for-food-agriculture, 2019 2
Jika berbincang tentang jurumasak yang mempunyai perhatian serupa di Indonesia kita bisa menyebut beberapa nama. jurumasak ini berkomitmen untuk melestarikan dan menghidupkan kembali kuliner warisan keluarga atau komunitas dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal dari petani setempat. Berikut beberapa di antaranya:
Charles Toto – Jungle Chef dari Papua
Charles Toto, dikenal sebagai “Jungle Chef,” adalah seorang chef asal Papua yang berdedikasi untuk melestarikan masakan tradisional Papua. Ia memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di hutan, seperti sagu, sayuran lokal, dan berbagai jenis protein alami, untuk menciptakan hidangan khas Papua. Upayanya tidak hanya mempertahankan tradisi kuliner, tetapi juga meningkatkan kesadaran akan pentingnya konservasi hutan dan keberlanjutan lingkungan. “Jangan mau kita kalah dari Thailand. Gastrodiplomacy mereka bagus, orang sebut Tomyam pasti langsung terasosiasi dengan Thailand. Di kita, dengan 700 suku dan makanan masing-masing harusnya bisa lebih kaya lagi. Selama ini makanan rendang baru dikenal sebagai Padang, belum menjadi Indonesia,” seperti ditulis EcoNusa3. Secara khusus dirinya membawa garam hitam yang merupakan produk asli dari masyarakat kombai dan korowai yang mengolahnya dari daun, karena wilayah suku tersebut yang jauh dari laut. “Dan garam ini secara khusus dikurasi di Paris sebagai garam yang ramah bagi para penderita hipertensi. Jadi bisa dilihat bagaimana banyak sumber makanan yang sehat yang berasal dari alam kita.”
Chef Ragil Imam Wibowo
Chef Ragil adalah salah satu pelestari gastronomi Nusantara yang telah menerima berbagai penghargaan. Ia berusaha mengangkat kembali masakan tradisional Indonesia dengan pendekatan modern, namun tetap mempertahankan keaslian rasa dan penggunaan bahan-bahan lokal. Melalui restorannya, Chef Ragil mempromosikan kuliner Indonesia kepada generasi muda dan masyarakat luas, sehingga warisan kuliner tetap lestari4.
Pada April 2023 ia bersama timnya berkunjung ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dalam rangka pendokumentasian resep tradisional melalui program Pusaka Rasa Nusantara, Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia5. Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia juga menerbitkan buku Pusaka Rasa Nusantara karya Meilati Muriniani. Buku ini mengajak pembaca menelusuri kekayaan kuliner Indonesia yang beragam dan kaya akan sejarah. Muriniani mendokumentasi-kan berbagai resep tradisional dari berbagai daerah, berusaha melestarikan warisan kuliner yang terancam punah. Dalam perjalanannya, ia menemui ibu-ibu yang khawatir resep mereka akan hilang seiring waktu, menekankan urgensi pelestarian ini.
Contoh Pangan yang Diidentifikasi dalam Buku:
- Gulai Belacan dari Riau:
- Sejarah dan Perkembangan: Gulai Belacan adalah masakan khas Melayu Riau yang menggunakan pasta udang (belacan) sebagai bahan utama. Hidangan ini mencerminkan pengaruh budaya Melayu dan tradisi maritim masyarakat Riau.
- Keunikan: Perpaduan rasa pedas, asam, dan aroma kuat dari belacan menjadikan hidangan ini unik dan berbeda dari gulai di daerah lain.
- Papeda dari Papua:
- Sejarah dan Perkembangan: Papeda adalah bubur sagu yang menjadi makanan pokok masyarakat Papua dan Maluku. Hidangan ini mencerminkan adaptasi masyarakat terhadap sumber daya alam setempat, yaitu sagu.
- Keunikan: Teksturnya yang kenyal dan lengket, biasanya disajikan dengan kuah ikan kuning, memberikan pengalaman kuliner yang khas dan berbeda.
- Ayam Taliwang dari Lombok:
- Sejarah dan Perkembangan: Ayam Taliwang berasal dari Desa Karang Taliwang di Lombok. Awalnya, hidangan ini disajikan dalam upacara adat dan kini menjadi ikon kuliner Lombok.
- Keunikan: Rasa pedas dan bumbu rempah yang meresap hingga ke daging ayam menjadikan hidangan ini digemari banyak orang.
Melalui buku ini, Muriniani tidak hanya mendokumentasikan resep, tetapi juga menggali cerita di balik setiap hidangan, menunjukkan bagaimana kuliner dapat menjadi cerminan identitas budaya dan sejarah suatu daerah.
Dewi Turgarini – Pakar Gastronomi
Dewi Turgarini adalah seorang pakar gastronomi yang aktif dalam gerakan pelestarian makanan tradisional dan lokal. Ia menekankan pentingnya dokumentasi resep dan tradisi kuliner, serta edukasi kepada generasi muda mengenai nilai dan makna kuliner tradisional. Upayanya mencakup publikasi buku dan penelitian yang bertujuan menjaga keberlanjutan warisan kuliner Indonesia6. Menurutnya Indonesia mempunyai kekayaan luar biasa atas makanan tradisional atau lokal. Seandainya saja bisa didata makanan tradisional dengan bahan-bahan lokalnya ini bisa dihimpun dari seluruh budaya di Indonesia, maka jumlahnya bisa puluhan ribu.
Untuk daerah Jawa Barat saja, pakar gastronomi dari Studi Manajemen Industri Katering Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Dewi Turgarini pada 2018 berhasil menghimpun 303 menu masakan tradisional Sunda dan 128 restoran di Kota Bandung. Itu baru satu kota dan jumlah menunya kalau seluruh kawasan Priangan pasti lebih dari itu. Kalau seluruh Indonesia berapa restoran masakan tradisional berbagai budaya?
Dewi Turgarini mengungkapkan gerakan pelestarian makanan tradisional dan lokal sebetulnya sudah dilakukan saat pemerintahan Soekarno, yaitu menerbitkan buku yang disebut Mustika Rasa, 1967. Buku ini berisi sekira 1.600 resep masakan dengan tebal lebih dari seribu seratus halaman.
Bahkan, menurut Dewi Turgarini Serat Centini pada 1814 juga sudah menulis soal aneka masakan lokal. “Pada 2013, kami sudah membuat buku 30 ikon tradisional Indonesia sebagai upaya membangun platform pengembangan grastonomi,” papar Dewi Turgarini yang ditulis Irvan Sjafari7. Salah satu indikator bahan baku yang berkelanjutan di indonesia sebetulnya sudah dilakukan sejak nenek moyang orang Sunda yang sudah punya konsep ketahanan pangan.
“Nenek saya sendiri punya kolam ikan, memelihara ayam dan kambing, sawah, kebun rempah, pohon buah, dan sayuran lainnya dan hal ini menjadi budaya keluarga bahkan hingga saat ini saya masih menanam herbal, sayuran, buah-buahan,”tuturnya.
Makanan lokal dipengaruhi akulturasi budaya asing seperti Islam, Tionghoa, Belanda dan Jepang, bahkan sekarang korea adalah bagian yang tidak terelakan dari bagian proses budaya dalam suatu bangsa. Hanya saja, menurut Dewi walaupun kuliner itu merupakan akulturasi, tetapi memakai bahan baku lokal. Jawa Barat juga sudah punya festival keukeun sejak 10 tahun juga sudah mengembangkan bahan baku lokal dan saat event sekaligus sudah melakukan gerakan zero waste.
Upaya para chef dan pakar ini menunjukkan bahwa pelestarian kuliner tradisional memerlukan kolaborasi antara inovasi dan penghormatan terhadap tradisi, serta dukungan komunitas untuk menjaga keberlanjutan budaya kuliner.
Dapur untuk Konservasi
Ada dua chef yang suka saya tonton dalam serial masak memasak mereka. Gordon Ramsay dan Kristen Kish. Mereka adalah dua chef ternama yang memiliki pendekatan unik terhadap kuliner. Namun, jika dibandingkan dengan Samin Nosrat, dan juga jurumasak lokal yang saya sebutkan, keterlibatan mereka dalam pelestarian kuliner lokal, penggunaan bahan lokal, dukungan terhadap petani lokal, dan penerapan konsep keberlanjutan memiliki perbedaan yang signifikan. Mereka celebrity chef. Meskipun program mereka juga memberi inspirasi kekayaan kuliner dunia, sehat, unik dan lokal.
Gordon Ramsay dikenal luas melalui berbagai acara televisi seperti “Hell’s Kitchen” dan “Kitchen Nightmares” dan juga yang tayang di National Geographic8. Fokus utamanya adalah pada masakan haute cuisine dan pengelolaan restoran. Meskipun Ramsay sering menekankan pentingnya kualitas bahan dan teknik memasak yang tepat, keterlibatannya dalam pelestarian kuliner lokal dan dukungan langsung terhadap petani lokal tidak terlalu menonjol dalam kariernya. Namun, dalam beberapa programnya, Ramsay mengeksplorasi masakan tradisional dari berbagai budaya, yang menunjukkan apresiasinya terhadap kuliner lokal. Episode Indonesia bertempat di Sumatera Barat: Rendang9.
“Gelombang laut di lepas pantai kota Padang, Sumatera Barat, membuat pekerjaan Gordon Ramsay semakin sulit,” tulis Jill K. Robinson dalam artikel liputan program Ramsay di Padang. Menavigasi perahu nelayan dengan outrigger (cadik) yang sempit untuk memasang jaring sambil menjaga keseimbangan adalah proses yang jauh lebih lambat baginya dibandingkan para nelayan setempat.
“Kaki saya bahkan tidak muat di papan ini,” katanya seperti dikutip Robinson. “Saya tidak menyangka akan mengikuti audisi untuk Cirque du Soleil.” Namun, para nelayan mengandalkannya untuk memasang jaring yang akan tetap berada di dalam air selama tiga hingga empat hari. Setelah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri sementara gelombang mengguncang perahu, ia akhirnya kehilangan keseimbangan dan jatuh ke Samudra Hindia.
Dalam tulisan yang berjudul Gordon Ramsay Explores Rugged West Sumatra (Gordon Ramsay Uncharted) Robinson mengakui perikanan merupakan bagian penting dalam kehidupan di kepulauan Indonesia, yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, termasuk Sumatra yang merupakan pulau terbesar kedua. Sumatera Barat, dengan lanskap pegunungan terjal di mana hutan hujan tropis menempel di lereng curam gunung berapi dan air terjun mengalir ke jurang dalam, tetap menjadi wilayah yang liar dan belum banyak dijelajahi.
Namun, provinsi ini juga merupakan rumah bagi masakan Padang, gaya kuliner paling populer dan berpengaruh di Indonesia. Rendang juga menjadi makanan terenak di dunia10. Dulu mungkin di daerah ini banyak orang tidak memiliki lemari pendingin, sehingga makanan tradisional yang kaya dengan cabai dan rempah-rempah mampu berfungsi sebagai pengawet alami daging.
Di sinilah rendang berasal, hidangan daging yang terkenal dengan kepedasannya, proses memasaknya yang panjang, serta kemampuannya bertahan selama berhari-hari. Rendang adalah warisan kuliner suku Minangkabau, yang telah menjadi ikon masakan Indonesia di dunia.
Gordon Ramsay: Uncharted adalah serial televisi National Geographic yang menampilkan petualangan kuliner global dari koki terkenal, Gordon Ramsay. Dalam setiap episodenya, Ramsay membenamkan diri dalam berbagai budaya, menjelajahi masakan lokal dan teknik memasak, serta sering kali mencari bahan langsung dari alam. Pendekatan ini tidak hanya menyoroti kekayaan tradisi makanan lokal tetapi juga menekankan pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati kuliner.
Sepanjang serial ini, interaksi Ramsay dengan komunitas adat menyoroti nilai penting dari sumber pangan lokal. Misalnya, di Lembah Suci, Peru, ia mengeksplorasi pasar tradisional yang ramai dan mempelajari metode memasak khas dari para koki lokal. Pengalaman-pengalaman ini menunjukkan bahwa bahan-bahan regional dan praktik kuliner merupakan bagian integral dari identitas budaya dan keberlanjutan11.
Program Gordon Ramsay Uncharted tidak selalu menuai pujian. Andy Dehnart seorang penulis dan kritikus TV yang mendirikan Reality Blurred pada tahun 2000 mengritik Gordon dan programnya habis-habisan. Panjang lebar dia mengecam cara Ramsay menilai pengalaman rasa kuliner lokal.
Ini tulis Andy: Dalam episode pertama Gordon Ramsay: Uncharted, chef yang lebih dikenal karena berteriak pada koki amatir di acara realitas TV ini berada di Peru, di mana ia belajar tentang bahan-bahan dan teknik memasak lokal. Tak lama setelah memperoleh bahan dan kemudian memasak makanan khas Peru di lereng gunung, ia mencicipinya—dan langsung memuntahkannya, menyemprotkan potongan makanan ke mana-mana sebelum membandingkannya dengan “kecoak renyah.”
Selanjutnya, di episode kedua, Ramsay pergi ke Selandia Baru, di mana ia mencoba larva mentah. Seketika, ia meludahkannya dan tersedak secara dramatis, seperti yang sering terlihat dalam acara-acaranya di Fox, seperti Kitchen Nightmares. “Ini menjijikkan,” katanya.
“Ini bukan untuk saya, tidak,” tambah Gordon. Namun, alih-alih bersikap rendah hati, ia melanjutkan dengan menghina makanan tersebut, sesuatu yang jelas berharga bagi masyarakat setempat tetapi tidak bagi dirinya: “Satu-satunya yang gila di sini adalah orang yang mau memakannya.”
Lalu, mengapa ia repot-repot melakukan semua ini? Mengapa Gordon Ramsay: Uncharted (tayang di National Geographic Channel setiap Minggu pukul 10 malam) dibuat? Mengapa National Geographic—sebuah perusahaan yang begitu sadar akan keberagaman hingga tahun lalu bahkan mendokumentasikan sejarah rasisme mereka sendiri—memutuskan untuk membuat acara ini?
Ketika memproduksi Episode Padang, ia ditemani Chef William Wongso, jurumasak yang selama lebih dari setengah abad kariernya telah menjadi mentor bagi banyak chef terbaik di Indonesia dan dianggap sebagai “Godfather” kuliner Indonesia, yang mencerminkan kekayaan biodiversitas dan budaya Nusantara. Restaurateur ternama, penulis, dan chef televisi ini memulai kariernya dengan mengamati pedagang kaki lima, dan sejak itu menjadi legenda sebagai pengajar sekaligus sosok yang disiplin dalam dunia kuliner.
Keahliannya sebagai mentor yang tegas sangat berguna dalam membimbing Gordon Ramsay, yang ia tantang untuk menguasai rendang daging sapi dalam waktu kurang dari satu minggu. Jika tantangan ini belum cukup berat, juri yang akan menilai rendang mereka adalah Gubernur Sumatera Barat waktu itu. Namun, Ramsay tidak hanya harus memasak rendang yang lezat—ia juga perlu menyiapkan lebih dari sekadar satu hidangan untuk jamuan makan istimewa tersebut.
Jurumasak lain yang menarik perhatian saya adalah Kristen Kish, pemenang “Top Chef” musim ke-10. Menurut pengamat masak, ia dikenal dengan pendekatannya yang inovatif dalam memasak. Dia sering menggabungkan teknik modern dengan cita rasa tradisional. Kish menunjukkan minat dalam mengeksplorasi identitas kuliner dan warisan budaya melalui masakannya. Meskipun tidak banyak informasi publik mengenai keterlibatannya langsung dalam mendukung petani lokal atau inisiatif keberlanjutan, pendekatannya yang menghargai bahan-bahan berkualitas dan teknik tradisional mencerminkan apresiasi terhadap kuliner lokal.
Saya menikmati sekali program film dokumenternya yang menyajikan aneka restoran di tempat-tempat terpencil di berbagai belahan dunia. Untuk mencapai lokasi resto itu seringkali tidak mudah. Karenanya menyajikan perjalanan dengan pemandangan yang menakjubkan. “Restaurants at the End of the World” adalah serial dokumenter yang dibawakan oleh Chef Kristen Kish. Dalam setiap episode, Kish mengeksplorasi bagaimana para chef dan tim mereka mengatasi tantangan geografis dan logistik untuk menyajikan hidangan berkualitas tinggi. Serial ini menampilkan lokasi seperti Boquete di Panama, Svalbard di Norwegia, Pulau North Haven di Maine, dan Paraty di Brasil12.
Mari kita nikmati episode perdana yang berjudul “Panama’s Cloud Forest Kitchen”: Di tengah rimbunnya hutan awan Panama, tersembunyi sebuah restoran unik bernama Hacienda Mamecillo, sebuah peternakan keluarga dan restoran yang terletak di hutan awan Panama. Tempat ini bukan sekadar restoran biasa—di sinilah makanan “trek-to-table” menjadi bagian dari keseharian. Di episode perdana Restaurants at the End of the World, Chef Kristen Kish tiba di Boquete, Panama, untuk menyelami filosofi kuliner yang menghubungkan alam liar dengan meja makan12. Ia membantu pemiliknya menyiapkan hidangan istimewa untuk Chef top Panama, Charlie Collins14.
Selama kunjungannya, Kish terlibat langsung dalam berbagai aktivitas, termasuk menuruni air terjun untuk mendapatkan selada air segar, memproses ayam ternak, dan memotong kayu untuk bahan bakar perokok daging. Pengalaman ini menunjukkan dedikasi dan kerja keras yang diperlukan untuk menyajikan hidangan berkualitas di lokasi terpencil. citeturn0search6
Hacienda Mamecillo menawarkan pengalaman kuliner unik dengan hidangan yang memanfaat-kan bahan-bahan lokal segar. Menu mereka mencerminkan kekayaan alam Panama dan tradisi kuliner lokal, memberikan pengalaman autentik bagi para tamu yang mencari petualangan gastronomi di tengah hutan awan.
Episode ini menyoroti pentingnya keberlanjutan dan hubungan erat antara alam dan kuliner, serta tantangan yang dihadapi oleh para chef dan petani di lokasi terpencil untuk menyajikan hidangan istimewa. Melalui pengalaman ini, Kish dan pemirsa mendapatkan apresiasi lebih dalam terhadap proses dan dedikasi yang terlibat dalam menciptakan pengalaman kuliner yang tak terlupakan di ujung dunia15.
Bersama para pemilik Hacienda Mamecillo, Kish mempelajari bagaimana bahan-bahan segar yang tumbuh di hutan dapat diolah menjadi hidangan istimewa. Ia tak sekadar mengamati—dengan tangan sendiri, ia membantu mengumpulkan hasil panen, mengolah bahan, dan menyusun hidangan yang akan disajikan dalam jamuan khusus untuk Chef Rolando Chamorro, salah satu chef lain terbaik di Panama.
Hidangan yang mereka sajikan adalah perayaan rasa lokal. Mereka memanggang flatbread dalam oven batu, dipadukan dengan sayuran panggang yang kaya rasa. Kemudian, ada “Bruschetta Mamecillo”, dengan keju kambing segar dan tetesan madu yang manis lembut. Hidangan berikutnya sungguh unik—ceviche chayote, yang menggantikan ikan dengan tekstur renyah dari labu hijau khas Panama. Untuk hidangan utama, mereka menyajikan ayam asap khas peternakan Kolando yang diperkaya dengan glasir naranjilla dan selada air segar. Dan sebagai penutup, es krim Gabriella yang diinfus dengan beri liar, ditemani selai beri buatan sendiri yang memberikan perpaduan rasa manis dan asam yang menyegarkan.
Dalam episode ini, Kish tidak hanya mencicipi makanan luar biasa tetapi juga mendalami hubungan erat antara manusia, bahan makanan, dan lingkungan sekitarnya. Dengan penuh kekaguman, ia menyaksikan bagaimana Hacienda Mamecillo menjaga tradisi keberlanjutan kuliner, memastikan bahwa makanan yang tersaji di piring tidak hanya lezat, tetapi juga lahir dari keseimbangan dengan alam.
Kish adalah pemenang Top Chef, pembawa acara Fast Foodies dan Iron Chef, penulis buku masak, serta pebisnis kuliner yang bekerja sama dengan LINE Hotels untuk meluncurkan restoran pertamanya, Arlo Grey di Austin, Texas. Kristen Kish mengeksplorasi tempat makan tersembunyi yang unik dan jarang dikenal.
Menurut Laura Manske, penulis artikel di Forbes, dalam programnya, Kish menghadirkan pandangan mendalam tentang empat chef inovatif, serta para petani, nelayan, penggembala, pencari bahan makanan liar, dan pemasok lokal yang berkontribusi dalam membentuk tren kuliner global. Lahir di Korea Selatan dan diadopsi oleh sebuah keluarga di Michigan, Kish menempuh pendidikan di Le Cordon Bleu, Chicago, di mana ia mengasah keterampilan dan memperluas batasan dalam dunia kuliner16.
Kish mengungkapkan bahwa bekerja dengan National Geographic adalah petualangan seumur hidup yang telah mengajarkannya begitu banyak hal—dan juga akan memberikan wawasan baru bagi para penonton. “Keindahan makanan dan perjalanan adalah bahwa keduanya menjadi penghubung dalam kehidupan setiap orang—dalam berbagai bentuk dan cara,” kata Kish kepada Laura. “Inti dari cerita ini adalah memahami siapa orang-orang ini, bagaimana mereka melakukan pekerjaan mereka, dan mengapa mereka melakukannya. Saya berharap para pembaca Anda dapat menemukan hiburan, manfaat, dan wawasan dari acara ini.”
Fokus utama program ini adalah pada penggunaan bahan-bahan lokal yang segar dan praktik keberlanjutan. Kish menyoroti pentingnya sumber daya lokal dan bagaimana para chef memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di sekitar mereka untuk menciptakan menu yang unik. Misalnya, dalam episode di Brasil, Kish membantu seorang chef lokal mencari bahan-bahan unik dari hutan hujan dan laut untuk disajikan di restoran terapung mereka, Sem Pressa17.
Visi Kish melalui program ini adalah untuk menunjukkan bahwa makanan memiliki kekuatan untuk menyatukan orang dan mengajarkan kita tentang satu sama lain serta dunia di sekitar kita. Ia ingin penonton, dalamm programnya, memahami bahwa di balik setiap hidangan terdapat cerita tentang budaya, tradisi, dan tantangan yang dihadapi oleh mereka yang tinggal di daerah terpencil.
Sebagai pemilik restoran dan chef, Kristen Kish memahami bahwa menjalankan bisnis kuliner yang sukses membutuhkan ketangguhan dan kerja keras. Namun, bagi mereka yang mendirikan restoran jauh di alam liar, tanpa akses mudah ke listrik dan jalur pasokan normal, tantangan yang mereka hadapi berada di tingkat yang berbeda. Dalam acara ini, Kish membawa kita ke balik layar, menyelami kehidupan para pemasok lokal, petani, penggembala, kru dapur, manajer, dan head chef, mendengarkan kisah mereka, serta menyaksikan keseimbangan sehari-hari yang diperlukan untuk menghadirkan hidangan luar biasa ke meja makan18.
Tak hanya itu, Kish juga mencari bahan-bahan segar langsung dari alam, menyelami budaya dan makna mendalam di balik setiap hidangan yang disajikan.
“Makanan memiliki kekuatan luar biasa untuk menyatukan kita dan mengajarkan kita tentang satu sama lain serta dunia di sekitar kita, dan kita melihatnya secara langsung dengan mengunjungi restoran-restoran di daerah paling terpencil di dunia,” kata Kish. “Merekam serial ini bersama National Geographic adalah petualangan seumur hidup yang mengajarkan saya begitu banyak hal tentang industri yang telah saya geluti sepanjang hidup saya. Saya tidak sabar untuk mengajak para penonton ikut dalam perjalanan ini dan merasakan keunikan restoran yang mungkin belum pernah mereka ketahui sebelumnya.”
Para chef yang tampil dalam serial ini terinspirasi oleh tanah tempat mereka tinggal dan sumber daya lokal, menciptakan hidangan yang mencerminkan budaya mereka. Karena menu mereka sangat bergantung pada lingkungan sekitar, mereka harus terus berimprovisasi dan beradaptasi, sambil tetap mengejar passion mereka.
Restaurants at the End of the World menampilkan berbagai hidangan unik, mulai dari lidah rusa kutub, biskuit buttermilk dengan salad lobster, hingga sorbet kimchi. Serial dokumenter ini menggabungkan rasa ingin tahu, keceriaan, dan dedikasi tanpa henti, memberikan penonton pengalaman mencicipi dunia yang jauh dan eksotis melalui makanan.
Program ini juga menekankan pentingnya keberlanjutan dalam industri kuliner. Dengan menampilkan restoran yang mengandalkan bahan-bahan lokal dan praktik panen yang berkelanjutan, Kish berharap dapat menginspirasi pemirsa untuk lebih menghargai sumber daya alam dan mendukung praktik kuliner yang ramah lingkungan.
Secara keseluruhan, “Restaurants at the End of the World” menawarkan pandangan mendalam tentang bagaimana makanan, budaya, dan keberlanjutan saling berhubungan, sambil menyoroti dedikasi individu yang berusaha menjaga tradisi kuliner di lokasi-lokasi terpencil.
Kisah ringkas para jurumasak ini memberi harapan besar betapa kekayaan kuliner sangat erat dengan tradisi budaya dan pengetahuan yang terbaik atas keanekaragaman hayati ayang ada di sekeliling kita. Samin Nosrat secara aktif terlibat dalam pelestarian kuliner lokal dan mendukung penggunaan bahan-bahan lokal. Pengalamannya belajar memasak di Chez Panisse, sebuah restoran yang dikenal karena komitmennya terhadap bahan-bahan lokal dan praktik berkelanjutan, mempengaruhi pendekatannya terhadap kuliner. Nosrat berfokus pada pendidikan kuliner, membantu orang memahami elemen dasar memasak melalui bukunya “Salt, Fat, Acid, Heat”, yang juga menekankan pentingnya menghargai bahan-bahan lokal dan tradisi kuliner.
Menurut para pengulas masakan, meskipun Gordon Ramsay dan Kristen Kish memiliki kontribusi signifikan dalam dunia kuliner, keterlibatan mereka dalam pelestarian kuliner lokal, penggunaan bahan lokal, dan dukungan terhadap petani lokal dengan konsep keberlanjutan tidak sejelas dan seintens Samin Nosrat.
Dan jurumasak lokal yang hidup dalam lingkungan yang kaya budaya dan sumberdaya alam adalah jurumasak terbaik. Merekalah yang merasakan betul betapa berharganya sumberdaya alam sebagai sumber pangan yang memberi kehidupan dan perkembangan pada peradaban yang sehat.
….
Bersambung pada Bagian 3 dari 3 Bagian.
1 Jean-Anthelme Brillat-Savarin: Filosofi Kuliner dan Warisannya. Jean-Anthelme Brillat-Savarin (1755–1826) adalah seorang pengacara, politisi, dan filsuf kuliner Prancis, yang dikenal karena karyanya dalam dunia gastronomi. Karya paling terkenalnya adalah Physiologie du Goût (Fisiologi Rasa), yang diterbitkan pada tahun 1825. Buku ini dianggap sebagai salah satu teks dasar dalam filsafat makanan, yang mengeksplorasi hubungan antara masakan, budaya, dan perilaku manusia.
Biografi Jean-Anthelme Brillat-Savarin
– Lahir: 1 April 1755, di Belley, Prancis
– Meninggal: 2 Februari 1826, di Paris, Prancis
– Profesi: Pengacara, politisi, dan penulis kuliner
– Karya Terkenal: Physiologie du Goût (Fisiologi Rasa) – diterbitkan pada tahun 1825
Brillat-Savarin dilatih sebagai pengacara dan pernah memegang berbagai posisi yudisial di Prancis. Namun, saat Revolusi Prancis, ia dipaksa mengungsi ke Swiss dan Amerika Serikat. Di AS, ia tinggal di New York City dan bekerja sebagai pemain biola untuk mencari nafkah. Setelah kembali ke Prancis pada tahun 1797, ia melanjutkan karier hukumnya dan akhirnya menjadi hakim di Pengadilan Kasasi. Meskipun memiliki latar belakang hukum, ia lebih dikenal karena pemikirannya yang mendalam tentang makanan dan budaya kuliner. Physiologie du Goût adalah kumpulan anekdot, observasi, dan refleksi tentang makanan dan kenikmatan, yang menggabungkan humor, sains, dan kebijaksanaan kuliner. Salah satu kutipan terkenalnya adalah: “Katakan padaku apa yang kau makan, dan aku akan memberitahumu siapa dirimu,” yang menegaskan keyakinannya bahwa pola makan membentuk identitas dan budaya seseorang.
Makna Kutipan “Nasib bangsa bergantung pada cara mereka memberi makan diri mereka sendiri”
Kutipan ini mencerminkan filosofi Brillat-Savarin bahwa makanan memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan, karakter, dan perkembangan suatu bangsa. Gagasan ini tetap relevan hingga saat ini dalam diskusi tentang ketahanan pangan, keberlanjutan, dan identitas budaya. Pemikirannya telah memberikan pengaruh besar dalam dunia gastronomi dan filsafat makanan modern, menginspirasi tokoh seperti Alice Waters, Auguste Escoffier, serta penulis dan chef kontemporer. Warisannya juga dihormati melalui keju Brillat-Savarin, keju Prancis triple-cream yang kaya, yang dinamai untuk menghormatinya.
3 https://econusa.id/id/ecoblog/menjaga-kearifan-lokal-lewat-kuliner/
4 https://www.kompas.id/baca/tokoh/2023/04/18/chef-ragil-kebiasaan-merepet
6 Jurnalgemini. (2024, March 3). Pakar gastronomi dan chef tradisional dukung gerakan locavore. Kompasiana. https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/677d6c7934777c6915290268/pakar-grastomi-dan-chef-tradisional-dukung-gerakan-locavore
7 Jurnalgemini. (2024). Pakar gastronomi dan chef tradisional dukung gerakan locavore. Kompasiana.
11 https://www.facebook.com/watch/?v=807281484878608
14 https://www.dgepress.com/natgeo/shows/restaurants-at-the-end-of-the-world/episodes
15 https://www.dgepress.com/natgeo/shows/restaurants-at-the-end-of-the-world/episodes
16 Kish, K., & Erickson, M. (2017). Kristen Kish cooking: Recipes and techniques. Clarkson Potter/Publishers.
17 https://www.dgepress.com/natgeo/shows/restaurants-at-the-end-of-the-world/episodes
18 https://www.dgepress.com/natgeo/shows/restaurants-at-the-end-of-the-world/episodes