Sustainability 17A #54
–bagian 1 dari 3–
Dwi R. Muhtaman,
sustainability partner
“The destiny of nations depends on the way they nourish themselves.”
Jean-Anthelme Brillat-Savarin (1755–1826)
adalah seorang pengacara, politisi, dan filsuf kuliner Prancis,
yang dikenal karena karyanya dalam dunia gastronomi.
Karya paling terkenalnya adalah Physiologie du Goût (Fisiologi Rasa),
yang diterbitkan pada tahun 1825. 1
***
“Lebih dari 6.000 spesies tumbuhan telah dibudidayakan untuk pangan.
Kurang dari 200 spesies yang memberikan kontribusi utama
terhadap produksi pangan secara global, regional, atau nasional.
Hanya 9 spesies yang menyumbang 66% dari total produksi tanaman.
—FAO, state-of-biodiversity-for-food-agriculture, 2019 2
Saya meminjam, tanpa ijin, judul tulisan ini dari Gede Kresna, seorang arsitek dan aktifis revitalisasi desa dan lingkungan dari Buleleng, Bali. Ia adalah seorang revolusioner. Revolusioner di arsitektur. Revolusioner di dapur. Desain bangunan rumah arsiteknya mencerminkan pandangan revolusinya. Saya tidak menampik istilah keras yang digunakannya: Revolusi! Revolusi adalah perubahan mendasar yang terjadi secara cepat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, atau sosial. Perubahan ini biasanya melibatkan transformasi radikal dari struktur atau sistem yang ada menuju tatanan baru. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revolusi didefinisikan sebagai “perubahan ketatanegaraan atau keadaan sosial yang dilakukan dengan kekerasan,” serta “perubahan yang cukup mendasar di suatu bidang.” Definisi KBBI “… yang dilakukan dengan kekerasan,” ini tentu tidak cocok dengan gerakan dari dapur yang dikompori Gede Kresna dengan istrinya Ayu Gayatri. Revolusi ini adalah revolusi paling enak di dunia: menyediakan, antara lain, makanan sehat untuk jasmani dan rohani. Sehat secara ekologi dan sehat secara sosial.
Seorang yang revolusioner adalah individu yang berpartisipasi atau mendukung terjadinya revolusi. Istilah ini juga merujuk pada seseorang yang menginginkan perubahan menyeluruh dan mendasar dalam suatu sistem atau masyarakat.
Pemikiran revolusioner mengacu pada ide-ide atau gagasan yang mendorong perubahan radikal dan fundamental dalam struktur atau sistem yang ada. Pemikiran semacam ini sering kali menantang status quo dan berupaya menciptakan transformasi signifikan dalam masyarakat.
Kita ambil contoh pemikiran yang revolusioner yang dilakukan. Desain bangunan Rumah Intaran, tempat mereka berkarya dan berbagi pengetahuan. Bangunan ini berpusat pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam. Jendela dan ventilasi dibuat dengan memungkinkan cahaya alami masuk melalui dinding berbahan dasar bambu. Atapnya tidak memiliki plafon; sebagai gantinya, bilah kayu memungkinkan udara segar dari luar masuk, sekaligus tetap membiarkan cukup sinar matahari bagi tanaman. Kresna menjelaskan bahwa desain ini juga membantu penyerapan air hujan serta menyediakan ruang bagi pohon intaran untuk tumbuh di dalam rumah. “Apakah pohon [intaran] merusak?” tanyanya. “Tidak. Pohon-pohon ini justru merangkul rumah kami,” ujarnya sambil tersenyum3. Bangunan utama yang dikelola oleh Gede dan Ayu menggunakan metode bangunan tradisional dengan konsep ruang terbuka.
Pada suatu kesempatan Gede mengatakan “Kesemrawutan ada di mana-mana. Pilihannya ada dua: Larut di dalamnya? Atau turut menguraikannya? Jika hendak turut menguraikannya, dari mana memulainya?”4 Setelah 4 tahun tinggal dan bekerja di desa (atau sekitar 2012), mereka baru mengerti dan menyadari bahwa semua persoalan bermuara pada satu titik yang dekat sekali dengan kita, yaitu: DAPUR. Itu yang menyebabkan selama satu tahun kemudian mereka berkonsentrasi menggali lebih banyak sekali pengetahuan yang tersembunyi di dapur, dan melakukan “Revolusi dari Dapur.”
Jalan revolusi jenis inilah yang mungkin juga diambil oleh chef Samin Nosrat.
Sebagai mahasiswa sarjana jurusan Sastra Inggris di UC Berkeley, Samin, warga negara Amerika keturunan Iran, mengambil jalan memutar ke dapur restoran Chez Panisse. Sejak tahun 2000, ia mengejar dua hasrat—makanan dan kata-kata—dengan semangat yang sama besar, bertujuan menciptakan karya yang menginspirasi, membangun komunitas, serta meningkatkan kesadaran budaya, sosial, dan lingkungan, tulisnya pada blog yang dikelola5.
Ia belajar memasak di Chez Panisse, di Italia bersama Benedetta Vitali dan Dario Cecchini, serta di Eccolo di Berkeley (yang kini sudah tidak ada lagi). Ia juga belajar puisi dengan Bob Hass, Shakespeare dengan Stephen Booth, dan jurnalisme dengan Michael Pollan. Alice Waters6 dan petani Bob Cannard telah mengajarkannya lebih banyak tentang pengelolaan lahan dibanding siapa pun.
Buku pertamanya, Salt, Fat, Acid, Heat: Mastering the Elements of Good Cooking, menjadi #1 New York Times Bestseller dan memenangkan James Beard Award. Buku ini diilustrasikan oleh Wendy MacNaughton yang luar biasa. Buku-buku Gede Kresna yang selalu lahir dari berbagai program-program kreatifitasnya juga dilengkapi dengan ilustrasi yang luar biasa. Termasuk bahan presentasi Revolusi dari Dapur. Ilustrasi cantiknya dibuat oleh Febri Indra Laksmana.
Samin Nosrat memulai debutnya sebagai chef di televisi pada tahun 2018 melalui program dokumenter kuliner “Salt, Fat, Acid, Heat” di Netflix. Serial ini diadaptasi dari bukunya yang berjudul sama dan terdiri dari empat episode, masing-masing mengeksplorasi satu dari empat elemen dasar dalam memasak: garam (salt), lemak (fat), asam (acid), dan panas (heat).
Ia juga pernah menjadi kolumnis makanan untuk The New York Times Magazine dari 2017 hingga 2021, dan hingga kini masih berkontribusi di majalah tersebut serta di NYT Cooking dari waktu ke waktu. Pada tahun 2020, meluncurkan Home Cooking, sebuah podcast pemenang penghargaan yang terdiri dari sekitar empat episode untuk membantu pendengar menemukan inspirasi memasak (dan menemani mereka) selama masa karantina.
Buku keduanya, Good Things, akan diterbitkan oleh Random House pada musim gugur 2025.
Good Things adalah kumpulan resep dan ritual kuliner favorit yang paling berguna—hidangan yang sederhana namun selalu lezat, yang dimasak untuk diri sendiri dan orang-orang yang dicintai. Buku ini, menurutnya, seperti ditulis pada blognya, menampilkan lebih dari 125 resep baru (yang telah diuji secara teliti oleh sahabat lamanya, Laurie Ellen Pellicano), foto-foto indah (diambil oleh teman sekaligus tetangganya, Aya Brackett), serta infografis yang menarik dan informatif, yang dirancang oleh Alvaro Villanueva, desainer brilian dari Salt, Fat, Acid, Heat 7.
Serial dengan tema utama dalam Program “Salt, Fat, Acid, Heat” ini bukan hanya tentang resep, tetapi lebih kepada prinsip dasar memasak yang dapat diterapkan di berbagai jenis masakan. Samin melakukan perjalanan ke berbagai negara untuk belajar dan menunjukkan bagaimana elemen-elemen tersebut digunakan dalam tradisi kuliner yang berbeda. Beberapa tempat yang dikunjungi:
– Italia untuk memahami pentingnya lemak dalam masakan (minyak zaitun, keju, mentega).
– Jepang untuk mengeksplorasi peran garam, termasuk dalam kecap, miso, dan makanan laut.
– Meksiko untuk mendalami peran asam, seperti dalam ceviche dan makanan berbasis jeruk.
– Amerika Serikat untuk membahas penggunaan panas, termasuk teknik memanggang dan memasak dengan api.
Melalui Program “Salt, Fat, Acid, Heat” Samin memberdayakan orang untuk memasak dengan percaya diri – Samin ingin mengajarkan bahwa memasak bukan sekadar mengikuti resep, tetapi memahami prinsip dasarnya. Merayakan keberagaman kuliner dunia – Ia menampilkan tradisi memasak dari berbagai budaya dengan pendekatan yang ramah dan penuh penghargaan. Membuat memasak lebih inklusif dan menyenangkan – Gaya penyampaian Samin yang hangat dan antusias membuat acara ini mudah diakses oleh pemula maupun pecinta kuliner berpengalaman.
Acara ini mendapat banyak pujian karena pendekatannya yang edukatif, santai, dan inspiratif, menjadikan Samin Nosrat sebagai salah satu figur kuliner paling berpengaruh dalam media populer 8.
Samin, Kuliner Warisan Budaya dan Keberlanjutan
Samin menyajikan kuliner-kuliner warisan keluarga yang dikunjungi di berbagai tempat. Menurut beberapa sumber, Samin Nosrat bukan sekadar seorang jurumasak dan penulis kuliner biasa. Keistimewaannya terletak pada cara ia mendekati makanan sebagai bagian dari budaya, sejarah, dan keberlanjutan. Meskipun ia tidak secara eksplisit melakukan kampanye untuk melestarikan kuliner warisan tertentu, gagasan yang ia usung dalam Salt, Fat, Acid, Heat sangat erat kaitannya dengan pelestarian makanan tradisional, penggunaan bahan lokal, serta mendukung petani lokal.
1. Kuliner sebagai Warisan Budaya
Samin Nosrat memahami bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang identitas dan tradisi budaya. Dalam Salt, Fat, Acid, Heat, ia menunjukkan bagaimana unsur dasar dalam memasak—garam, lemak, asam, dan panas—tertanam dalam berbagai budaya kuliner dunia.
– Ia mempelajari penggunaan garam di Jepang dengan mengunjungi produsen kecap tradisional dan memahami bagaimana fermentasi menjadi bagian dari budaya kuliner Jepang.
– Ia mengeksplorasi lemak dalam kuliner Italia, belajar bagaimana minyak zaitun, keju, dan mentega memiliki peran mendalam dalam sejarah masakan mereka.
– Ia mendalami asam dalam kuliner Meksiko, menyoroti pentingnya jeruk dan fermentasi dalam membangun rasa makanan.
– Ia membahas panas dalam memasak, dengan melihat berbagai teknik memanggang dan memasak api terbuka yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam pendekatannya, Nosrat menekankan bahwa masakan tradisional harus dihormati dan dipelajari, bukan hanya direplikasi tanpa pemahaman mendalam tentang konteksnya.
2. Penggunaan Bahan Lokal dan Mendukung Petani
Samin Nosrat bukan hanya sekadar memasak; ia juga sangat sadar bahwa kualitas bahan makanan berasal dari petani dan produsen kecil yang menjaga tradisi mereka.
– Di Italia, ia belajar dari para produsen minyak zaitun dan petani keju yang menggunakan metode warisan turun-temurun.
– Di Jepang, ia mengunjungi pembuat miso dan kecap yang masih menggunakan cara fermentasi alami tanpa bahan kimia.
– Dalam praktik sehari-harinya, ia juga mendukung pasar petani dan produsen lokal, mendorong konsumsi makanan dari sumber yang berkelanjutan.
Pendekatan ini memperlihatkan bahwa keberlanjutan kuliner bukan hanya tentang mengurangi limbah atau menggunakan bahan organik, tetapi juga tentang mendukung komunitas petani lokal yang menjaga ekosistem pangan tetap hidup.
3. Keberlanjutan dalam Konteks Kuliner
Meskipun Salt, Fat, Acid, Heat tidak secara langsung membahas keberlanjutan secara eksplisit, banyak prinsip yang ia ajarkan sebenarnya mendukung konsep slow food dan keberlanjutan pangan:
– Memasak dengan prinsip keseimbangan alami: Nosrat menekankan bahwa makanan terbaik berasal dari pemahaman mendalam tentang bagaimana rasa bekerja secara alami, bukan sekadar mengikuti tren atau penggunaan bahan olahan.
– Menghargai proses alami dalam produksi makanan: Ia menghargai makanan yang dibuat dengan teknik tradisional, seperti fermentasi alami, pemanggangan dengan kayu, atau penggunaan bahan yang diperoleh secara musiman.
– Membantu orang memahami dasar memasak agar lebih mandiri: Dengan memahami prinsip dasar memasak, seseorang tidak perlu tergantung pada produk makanan industri yang sering kali memiliki dampak lingkungan yang lebih besar.
Hal-hal itulah juga yang, menurut pandangan saya, dilakukan Gede Kresna dan Ayu meskipun mereka ini sekolah kulinernya dari dapur yang dibuat sendiri di rumah dan mengeksplorasi kampung-kampung di Bali, di Buleleng khususnya. Menyimak dan menyerap tradisi masyarakatnya. Mereka adalah chef yang memahami dengan baik peran dapur dan segala aspek yang menghidupi dan membuat dapur jadi pusat peradaban. Mereka adalah aktifis dan seniman gerakan pangan dan lingkungan yang melakukan revolusi budaya.
Berbeda dengan Samin Nosrat, Gede dan Ayu mungkin tidak secara langsung melakukan kampanye besar untuk melestarikan makanan warisan atau membangun sistem pangan lokal yang berkelanjutan. Bukan selebritas yang mempunyai program khusus di media mainstream. Namun filosofi memasaknya sangat selaras dengan konsep keberlanjutan dan pelestarian budaya. Ia mengajarkan cara memasak yang lebih sadar, menggunakan bahan alami, menghargai petani lokal, dan memahami sejarah serta konteks budaya di balik setiap makanan.
Dengan pendekatan yang hangat, edukatif, dan penuh rasa hormat terhadap budaya kuliner dunia, Nosrat, Gede dan Ayu telah merevolusi cara orang berpikir tentang memasak—bukan hanya sebagai aktivitas sehari-hari, tetapi sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan dan dijaga.
…..
Bersambung pada Bagian 2 dari 3 Bagian
1 Jean-Anthelme Brillat-Savarin: Filosofi Kuliner dan Warisannya. Jean-Anthelme Brillat-Savarin (1755–1826) adalah seorang pengacara, politisi, dan filsuf kuliner Prancis, yang dikenal karena karyanya dalam dunia gastronomi. Karya paling terkenalnya adalah Physiologie du Goût (Fisiologi Rasa), yang diterbitkan pada tahun 1825. Buku ini dianggap sebagai salah satu teks dasar dalam filsafat makanan, yang mengeksplorasi hubungan antara masakan, budaya, dan perilaku manusia.
Biografi Jean-Anthelme Brillat-Savarin
– Lahir: 1 April 1755, di Belley, Prancis
– Meninggal: 2 Februari 1826, di Paris, Prancis
– Profesi: Pengacara, politisi, dan penulis kuliner
– Karya Terkenal: Physiologie du Goût (Fisiologi Rasa) – diterbitkan pada tahun 1825
Brillat-Savarin dilatih sebagai pengacara dan pernah memegang berbagai posisi yudisial di Prancis. Namun, saat Revolusi Prancis, ia dipaksa mengungsi ke Swiss dan Amerika Serikat. Di AS, ia tinggal di New York City dan bekerja sebagai pemain biola untuk mencari nafkah. Setelah kembali ke Prancis pada tahun 1797, ia melanjutkan karier hukumnya dan akhirnya menjadi hakim di Pengadilan Kasasi. Meskipun memiliki latar belakang hukum, ia lebih dikenal karena pemikirannya yang mendalam tentang makanan dan budaya kuliner. Physiologie du Goût adalah kumpulan anekdot, observasi, dan refleksi tentang makanan dan kenikmatan, yang menggabungkan humor, sains, dan kebijaksanaan kuliner. Salah satu kutipan terkenalnya adalah: “Katakan padaku apa yang kau makan, dan aku akan memberitahumu siapa dirimu,” yang menegaskan keyakinannya bahwa pola makan membentuk identitas dan budaya seseorang.
Makna Kutipan “Nasib bangsa bergantung pada cara mereka memberi makan diri mereka sendiri”
Kutipan ini mencerminkan filosofi Brillat-Savarin bahwa makanan memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan, karakter, dan perkembangan suatu bangsa. Gagasan ini tetap relevan hingga saat ini dalam diskusi tentang ketahanan pangan, keberlanjutan, dan identitas budaya. Pemikirannya telah memberikan pengaruh besar dalam dunia gastronomi dan filsafat makanan modern, menginspirasi tokoh seperti Alice Waters, Auguste Escoffier, serta penulis dan chef kontemporer. Warisannya juga dihormati melalui keju Brillat-Savarin, keju Prancis triple-cream yang kaya, yang dinamai untuk menghormatinya.
3 https://www.gaiadiscovery.com/latest-people/gede-and-ayu-kitchen-missionaries
4 Pemaparan yang disampaikan pada acara International Conference on Village Revitalization (ICVR), 2016 di Desa Ato, Yamaghuci, Jepang.
6 Alice Waters adalah seorang chef sekaligus pendiri dan pemilik Chez Panisse di Berkeley, California (didirikan pada tahun 1971). Ia telah memenangkan berbagai penghargaan bergengsi, termasuk National Humanities Medal, French Legion of Honor Medal, Cavaliere of the Italian Republic, dan tiga James Beard Awards.
Sebagai wakil presiden Slow Food International dan pendiri Edible Schoolyard Project, Alice Waters telah berperan dalam meningkatkan kesadaran global tentang pangan organik musiman, menjangkau masyarakat dari berbagai usia di seluruh dunia.
7 http://ciaosamin.com