halaman drm #24
Pesan Ozon V: Hari depan Indonesia
Dwi R. Muhtaman
“Hari depan Indonesia adalah
dua ratus juta mulut yang menganga ….”
Kembalikan Indonesia padaku,
–Taufik Ismail–
Raungan buldozer, deru gergaji mesin, dan gemuruh pohon yang tumbang menggema di belantara hutan hujan tropis Kalimantan. Traktor logging merusak akar-akar hutan, sementara dump truck melaju kencang, menembus kelebatan hijau yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan manusia. Akar-akar yang kokoh tercabut dari tanah, terlontar ke udara, sebelum akhirnya rebah tak berdaya. Suara gergaji mesin yang meraung seperti rintihan pilu dari hutan hujan tropis, memecah kesunyian dan mengguncang kedamaian yang telah ada selama ribuan tahun.
Di balik kepulan debu dan serpihan kayu, traktor melaju tanpa ragu, mengangkut gelondongan kayu yang dulu menjadi penopang kehidupan. Dump truck melesat, menembus rimbunnya pepohonan yang kini hanya tinggal bayangan.
Hutan Kalimantan, yang selama ini menjadi paru-paru dunia, kini sekarat. Suara gergaji mesin menggema seperti rintihan kesakitan, menyayat sunyi yang dulu menyelimuti belantara. Satu per satu, tegakan pohon yang megah dipangkas tanpa belas kasihan, lalu digelindingkan ke industri-industri.
“Kalimantan, ini aku datang!” teriak para pengusaha kayu yang haus keuntungan. Mereka melangkah gagah, bukan sebagai penjaga hutan, tetapi sebagai perampas kehidupan. Pergi ke Kalimantan bagi mereka sama dengan pergi ke bank—hutan yang luas adalah deposito hidup yang siap dicairkan. Bagi para pengusaha kayu, datang ke Kalimantan bukan sekadar ekspansi bisnis—ini seperti membuka rekening di bank yang tak pernah kosong. Hutan-hutan luas bukanlah ekosistem yang perlu dijaga, melainkan simpanan kekayaan yang siap diuangkan. Jutaan hektare pohon tumbang, berubah menjadi deretan angka dalam rekening mereka.
Ingar bingar kehancuran ini telah menggema sejak dua dekade lalu.
Dua dekade terakhir, deru mesin dan gemuruh truk menggantikan nyanyian burung serta desir angin di antara pepohonan. Di atas peta, batas-batas konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) ditetapkan, tetapi di lapangan, garis-garis itu tak lebih dari ilusi. Batas konsesi mudah diabaikan, aturan hanya formalitas yang bisa dimanipulasi. Setiap tahun, kuota tebangan resmi terlampaui berkali-kali lipat, sementara alasan klise terus terdengar: “Sulit mendeteksi batas yang telah disepakati.”
Di sungai-sungai yang membelah hutan, rakit-rakit kayu mengalir tanpa henti. Gelondongan-gelondongan besar meluncur menuju pasar gelap, diselundupkan dengan sistem yang sudah terorganisir rapi. Seorang warga Sungai Pulau pernah berkata, seperti dikutip Tempo, “Karyawan tebang lari, perakit banting tulang tak kenal hari Minggu.” Inspeksi dari Departemen Kehutanan? Sekadar ritual, mudah dikendalikan dengan suap dan laporan yang telah direkayasa.
Hutan Kalimantan, yang seharusnya menjadi warisan bagi generasi mendatang, kini terjual sedikit demi sedikit, hilang dalam pusaran keserakahan.
Hutan-hutan tropis Kalimantan yang dahulu penuh kehidupan kini berubah menjadi ladang pembantaian. Sungai-sungai yang membelah hutan dipenuhi rakit-rakit kayu, puluhan hingga ratusan formasi mengalir tanpa henti. “Sepanjang hari dalam empat bulan terakhir, rakit-rakit ini terus berlayar,” ujar seorang penduduk seperti dikutip oleh Tempo. “Para pekerja tebang lari dan perakit kayu bekerja tanpa mengenal hari libur.” Inspeksi dari Departemen Kehutanan hanya menjadi formalitas yang mudah dikelabui dengan suap dan manipulasi dokumen. Pengusaha-pengusaha kayu terus merajalela, merobohkan pohon demi pohon tanpa peduli masa depan generasi mendatang.
Bagi mereka, uang lebih berharga dibandingkan hutan yang diam. Yang penting adalah aliran kayu ke pabrik dan uang ke rekening mereka. Setiap formasi terdiri dari 18 hingga 20 rakit, dan dalam sehari bisa mencapai 80 rakit lebih. “Berakit-rakit ke hulu, berakit-rakit ke tepian,” tetapi mereka merakit-rakit untuk keserakahan, bukan untuk kehidupan.
Para pengusaha yang seharusnya menjaga hutan justru menjadi perusaknya. Mereka menebang tanpa peduli masa depan, tak acuh pada dampak yang akan ditanggung oleh generasi mendatang. Bagi mereka, uang lebih berharga daripada kelestarian hutan.
Hilangnya Sebuah Kehidupan
Berapa banyak yang telah hilang? Data menunjukkan bahwa untuk setiap pohon yang ditebang, 17 pohon lainnya ikut tumbang dan mati. Ratusan anakan pohon, ribuan epifit, serta berbagai spesies flora dan fauna yang bergantung pada ekosistem ini turut lenyap.
Setiap pohon yang tumbang adalah bagian dari paru-paru bumi yang terenggut. Setiap helai daun yang rontok adalah tarikan napas yang semakin lemah. Pohon-pohon yang ditebang tidak berdiri sendiri—mereka membawa serta kehidupan lainnya. Studi itu mencatat bahwa ketika satu batang pohon besar di Kalimantan ditebang, maka:
– 17 pohon lainnya ikut tumbang dan mati,
– Puluhan pohon terpangkas dan rusak meski masih bertahan hidup,
– 147 anakan pohon mati dan rusak,
– 262 jenis epifit dengan ratusan individu ikut musnah,
– Ribuan semai pohon kehilangan kesempatan untuk tumbuh.
Namun, catatan ilmiah seperti ini bukanlah kekuatan yang dapat menghentikan laju perusakan. Para pemilik modal tidak peduli dengan peringatan para ilmuwan. Pesta ini belum selesai. Roda-roda kehancuran terus berputar, menggilas belantara menjadi komoditas, merubah hutan menjadi rumah-rumah mewah bagi segelintir manusia.
Hutan yang dulu kokoh kini melemah, seperti ikan yang megap-megap kehabisan air. Detik demi detik, bumi menggeliat, perlahan tapi pasti menuju kehancuran. Tarikan napas terakhir hutan semakin dekat.
Di tengah perayaan kehancuran ini, rimba yang dulu penuh kehidupan kini menjadi tanah tandus. Jaringan ekologi hancur, suara kicau burung lenyap, kesejukan hutan berubah menjadi panas yang membakar. Kalimantan yang dulu cantik dan anggun kini menjadi pelacur yang dijajakan kepada siapa saja. Ia tak berdaya, diperas habis-habisan hingga tak bersisa.
Kita tak akan lagi melihat matahari terbit melalui celah dedaunan yang rindang. Tak ada lagi sinar mentari yang menembus kabut pagi. Embun yang dulu sejuk kini tinggal kenangan. Jalan-jalan setapak yang dulu menjadi petunjuk bagi para penjelajah hutan kini telah hilang.
Seluruh rangkaian kehidupan yang pernah kita nikmati perlahan menguap. Berjuta flora dan fauna terkubur di bawah kerakusan manusia. Kini hanya ada mesin-mesin berat yang terus menggempur, roda-roda kehancuran yang terus berputar. Seperti rayap, mereka merayap tanpa henti, merusak tanpa merasa cukup. Pesta ini masih berlangsung, dan mereka masih lapar.
Kita sebetulnya telah mengulangi apa yang telah dilakukan di negara-negara belahan bumi seberang: Amerika Serikat. Bill Devall merekam tragedi pembabatan hutan alam dalam buku yang dieditorinya, “Clearcut: The Tragedy of Industrial Forestry.” Clearcut adalah sebuah buku yang menggabungkan lebih dari 175 foto dramatis tentang hutan yang telah hancur dengan 15 esai penuh semangat dari para ahli ekologi dan aktivis terkemuka. Buku ini mengkritik praktik penebangan hutan secara besar-besaran di Amerika Utara, khususnya di wilayah Pacific Northwest, di mana hutan-hutan tua yang pernah menutupi wilayah tersebut kini hanya tersisa sebagian kecil akibat penebangan intensif selama satu abad terakhir. Para penulis dalam buku ini menyoroti dampak negatif dari kehutanan industri terhadap ekosistem, keanekaragaman hayati, dan komunitas lokal, serta menyerukan penerapan praktik kehutanan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Sejarah kehutanan industri di Indonesia dimulai pada era kolonial Belanda, di mana eksploitasi sumber daya hutan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi kolonial. Setelah kemerdekaan, terutama pada era Orde Baru, pemerintah Indonesia mendorong ekspansi industri kehutanan melalui pemberian konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) kepada perusahaan-perusahaan besar. Tujuannya adalah meningkatkan pendapatan negara dan mendorong pembangunan ekonomi. Namun, kebijakan ini sering mengabaikan aspek keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat adat yang bergantung pada hutan.
Faktor-faktor penyebab deforestasi di Indonesia antara lain:
– Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit: Permintaan global terhadap minyak sawit mendorong konversi besar-besaran hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
– Kehutanan Tanaman Industri (HTI): Pembangunan HTI untuk memenuhi kebutuhan industri pulp dan kertas seringkali melibatkan pembukaan lahan hutan secara masif.
– Perambahan dan Pembalakan Liar: Aktivitas ilegal ini menyebabkan kerusakan hutan yang signifikan dan sulit dikendalikan.
– Kebakaran Hutan: Baik yang terjadi secara alami maupun akibat ulah manusia, kebakaran hutan berkontribusi besar terhadap hilangnya tutupan hutan.
Perkembangan deforestasi di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Meskipun ada upaya pemerintah untuk mengendalikan laju deforestasi melalui berbagai kebijakan dan moratorium, praktik-praktik seperti ekspansi perkebunan dan pembalakan liar masih terus berlangsung. Data menunjukkan bahwa deforestasi meningkat menjadi 6,4 juta hektar pada tahun 2023, melebihi komitmen yang telah disepakati oleh 140 negara untuk mengakhiri deforestasi pada tahun 2030.
Masa depan hutan di Indonesia sangat bergantung pada implementasi kebijakan yang efektif dan penegakan hukum yang tegas. Langkah-langkah yang dapat diambil antara lain:
– Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum: Memastikan bahwa pelanggaran seperti pembalakan liar dan konversi hutan ilegal ditindak dengan tegas.
– Peningkatan Praktik Kehutanan Berkelanjutan: Mendorong pengelolaan hutan yang ramah lingkungan dan melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
– Rehabilitasi dan Reboisasi: Mengembalikan fungsi ekosistem hutan melalui penanaman kembali dan restorasi lahan yang terdegradasi.
– Pengendalian Ekspansi Perkebunan: Menetapkan batasan yang jelas dan ketat terhadap konversi hutan menjadi lahan perkebunan.
Tanpa upaya yang serius dan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, hutan Indonesia menghadapi ancaman degradasi yang semakin parah, yang pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan global dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Harapan yang Tersisa
Namun, di tengah kegelapan ini, masih ada yang berusaha menyelamatkan apa yang tersisa. Orang-orang yang berjuang menanam kembali setiap jengkal tanah yang terluka. Mereka yang percaya bahwa bumi ini masih bisa diselamatkan. Penghargaan “Kalpataru” diberikan kepada mereka yang mencoba menghijaukan kembali tanah yang telah rusak. Tapi, perubahan besar belum terjadi. Manusia masih belum belajar.
Hutan Kalimantan menjadi panggung bagi sebuah pesta besar—pesta perampokan sumber daya alam. Dari hulu ke hilir, kayu terus mengalir, dikonversi menjadi komoditas yang menguntungkan. Para “rayap mutakhir” ini terus merayap, tanpa henti, tanpa rasa kenyang.
Sementara itu, di tengah rimba, matahari bersinar terik. Namun, hutan yang dulu menaungi dan melindungi tanah kini telah telanjang. Bumi Kalimantan kehilangan bajunya, mengering seperti tanah yang kehilangan kesuburannya.
Hutan yang megah telah berubah menjadi pelacur yang dipermak demi kepentingan manusia. Tubuhnya dipoles, dirias, dihias dengan janji-janji penghijauan, tapi di depan cermin, ia sia-sia memahami: Siapa aku sekarang?
Di tengah kehancuran ini, masih ada yang mencoba bertahan. Ada yang menolak perusakan hutan tanpa batas, yang memahami bahwa hutan lebih dari sekadar sumber kayu. Mereka berjuang, menanam kembali pohon di tanah yang telah terkoyak, mengobati luka-luka bumi.
Program-program konservasi seperti Kalpataru menjadi penghargaan bagi mereka yang berusaha menyelamatkan lingkungan. Namun, penghargaan saja tak cukup. Kita butuh perubahan nyata—kesadaran bahwa hutan adalah warisan, bukan sekadar ladang eksploitasi.
Namun, perubahan itu sulit. Para pengusaha kayu selalu punya cara untuk berkelit. Dan ketika mereka merasa terancam, mereka mencari kambing hitam. “Perladangan berpindah adalah penyebab utama kerusakan hutan!” Mereka menyalahkan masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam, sementara mereka sendiri meratakan ribuan hektare tanpa rasa bersalah.
Chairil Anwar pernah menulis, “Kerja belum selesai, belum apa-apa…” Tapi bagi mereka yang menghancurkan hutan, mungkin kerja memang tak akan pernah selesai—sampai tak ada lagi yang tersisa untuk ditebang. Kita harus terus berjuang. Mengajak lebih banyak orang untuk menghentikan pesta kehancuran ini. Mencegah suara kraak yang terus menggema di hutan kita. Meski sulit, meski mungkin terasa sia-sia, kita tidak boleh berhenti.
“Kerja belum selesai, belum apa-apa…” seperti kata Chairil Anwar.
Kita harus terus berusaha, demi hutan kita, demi masa depan.
21 Oktober 1989
diperbarui Februari 2025
Dwi Rahmad Muhtaman
1 Tempo. (1989). Laporan Khusus: Pembantaian Hutan Kalimantan.
2 Whitmore, T.C. 1998. An Introduction to Tropical Rain Forests.
3 Mongabay Indonesia. (2023). Deforestasi di Kalimantan: Tren, Penyebab, dan Dampaknya. Baca juga CIFOR. (2005). The Impact of Logging on Tropical Forest Ecosystems
4 Mongabay Indonesia. (2023).
5 WRI Indonesia. (2021). Krisis Deforestasi di Indonesia: Data dan Fakta.