halaman drm #19
Belajar di Era Digital
Dwi R. Muhtaman
“The only true wisdom is in knowing
you know nothing.”
— Socrates
Charles Darwin, konon, tidak terlalu pintar. Bahkan, dia drop-out kuliah. Seperti banyak mahasiswa saat ini, dia dibujuk untuk mempelajari sesuatu yang dianggap terhormat oleh orang tuanya – kedokteran – tetapi ternyata terlalu sulit. Dan ia menyerah. Kemudian mereka menemukan gelar terhormat yang lebih mudah bagi Darwin untuk melakukan: studi agama. Dan dia berhasil. Meskipun tidak terlalu tertarik pada semua itu.
Darwin lebih tertarik soal batu dan burung merpati. Tetapi justru kesukaan atas dua hal itulah (bukan perjalanannya ke Kepulauan Galapagos) yang membawanya meletakkan dasar teori evolusinya.
Ketika dia pertama kali mengirimkan On the Origin of Species, editornya menyarankan dia untuk meninggalkan semua hal tentang evolusi yang dianggap setengah matang. Disarankan untuk tekun mengurus pengembangbiakan merpati yang dia yakin akan berhasil. Bakal menjadi sebuah Victorian coffee-table book yang populer. Tapi Darwin ngotot bertahan dengan cerita evolusi. Orang-orang menertawakannya selama beberapa dekade dan menerbitkan kartun dirinya sebagai monyet di media populer waktu itu.
Itulah yang diceritakan oleh Nick Shackleton-Jones dalam bukunya How People Learn: A New Model of Learning and Cognition to Improve Performance and Education (2023).
Moral dari cerita ini adalah perbedaanlah yang membuat sesuatu bisa berbeda. Kemajuan manusia adalah produk dari orang-orang yang melihat dunia secara berbeda dan – seringkali karena keberuntungan belaka dan tekad yang kuat – berhasil mempopulerkan ide-ide mereka. Kemajuan tidak berutang pada orang pintar. Kemajuan milik orang yang aneh. Memang, salah satu penghalang terbesar untuk maju adalah orang-orang pintar yang sangat konvensional; mereka sangat baik dalam mengemukakan alasan mengapa hal-hal harus tetap persis seperti apa adanya. Karena itulah hari ini kita menyebut orang pintar ketika mereka pandai melakukan apa yang diperintahkan dan disampaikan. Begitu patuh pada apa yang dipelajari. Dan mengikuti terus menerus apa yang dipelajari dan dipercayai. Kemudian dibuktikan dengan kelulusan ujian. Tidak pernah mencoba hal-hal yang berbeda. Hal-hal yang diluar apa yang dipelajari dan dipercayai menjadi sesuatu yang dianggap salah. Tidak pada tempatnya untuk diikuti.
Kita pasti mengenal Marie Curie. Dialah satu-satunya orang dalam sejarah yang memenangkan Hadiah Nobel dua kali. Curie termasuk perempuan yang berbeda dan tanpa malu-malu. Dia pernah berkomentar: ‘Jangan terlalu penasaran dengan sosok seseorang. Lebih penasaranlah dengan ide-idenya.’ Tentu saja dia pintar, tetapi di dunia di mana wanita secara aktif dibujuk untuk berkontribusi pada kemajuan, tekadnya yang tidak biasa dan uniklah yang menang: dia sangat peduli tentang hal-hal yang bahkan kebanyakan orang tidak mempertanyakan.
Pada tahun 2022, Chazan dengan mengutip beberapa sumber, menggambarkan istilah pendidikan memiliki definisi yang beragam, tetapi menawarkan tiga hal: sosialisasi, akulturasi, dan berpusat pada orang. Sosialisasi adalah pendidikan berbasis sekolah tradisional yang memberikan fakta, informasi, dan teori kepada generasi berikutnya dengan pengertian membina keyakinan dan mengembangkan keterampilan untuk hidup dalam masyarakat.
Akulturasi memaparkan orang pada keterampilan yang mereka butuhkan untuk berfungsi dalam budaya kontemporer dengan fokus pada pemahaman dan praktik keterampilan. Pendidikan yang berpusat pada orang mendorong refleksi diri, mendukung kreativitas diri dan belajar dari pengalaman pribadi, berfokus pada pertumbuhan pribadi, mengembangkan perasaan tentang keberadaan pribadi, dan membentuk peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berkontribusi.
Dewey (1953) yang disitir Patrick (2023) menyatakan, kita akan membuat kemajuan yang lebih pasti dan lebih cepat ketika kita mengabdikan diri untuk mencari tahu apa itu pendidikan dan kondisi apa yang harus dipenuhi agar pendidikan menjadi kenyataan dan bukan nama atau slogan. Inilah salah satu yang menjadi dasar pendirian Sekolah Sosial Forestri (SESORE) yang dirintis oleh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), sebuah organisasi nir-laba yang mendedikasikan pada dukungan sosial forestri, pengelolaan hutan oleh rakyat. Pendidikan dan pembelajaran menjadi bagian nyata untuk memajukan sosial forestri dan rute agar sosial forestri mewujud sebagai arus utama dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Dalam konteks gagasan SESORE menarik untuk membaca pemikiran Patrick (2023). Menurutnya meskipun kita masih memperdebatkan apa itu pendidikan dan di mana dilakukan, pendidikan sains informal (misalnya sosial forestri) dapat menarik banyak manfaat dari definisi tiga hal itu: sosialisasi, akulturasi, dan berpusat pada orang. Patrick mendefinisikan pendidikan sains informal sebagai instruksi (termasuk media) yang terjadi di luar ruang kelas formal, memaparkan peserta didik pada pengetahuan dan keterampilan sains yang berkaitan dengan budaya kontemporer dan masyarakat, dibangun di atas pengalaman peserta pribadi, dan menghadapi diskriminasi, genderisme, rasisme, dan seksisme. SESORE didesain sebagai ruang belajar yang luas dan bisa dijangkau oleh siapapun. Karena itu dipilih online/virtual-learning dan adaptif, jadwal pertemuan dan kegiatan belajar bisa disesuaikan dengan keadaan pembelajar maupun coach.
Pengertian Pembelajaran
Patrick menuliskan bahwa secara semantik, pendidikan (education) dan pembelajaran (learning) tidaklah sama. Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan. Patrick mendaftar dari sejumlah sumber beberapa definisi pembelajaran yang menunjukkan kesamaan: Gagne (1970): Suatu perubahan dalam disposisi atau kemampuan manusia, yang bertahan selama periode waktu tertentu dan yang tidak hanya dapat dianggap berasal dari proses pertumbuhan (hal.3). Bingham dan Connor (2010): … pembelajaran sebagai proses transformatif dalam menerima informasi yang—ketika diinternalisasi dan dicampur dengan apa yang telah kita alami—mengubah apa yang kita ketahui dan membangun berdasarkan apa yang kita lakukan. Ini didasarkan pada masukan, proses, dan refleksi. Itu yang mengubah kita. (hal.19). De Houwer et al. (2013): Belajar adalah perubahan perilaku suatu organisme yang dihasilkan dari keteraturan dalam lingkungan organisme tersebut (hal.633). Brown dkk. (2014): … memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan membuatnya tersedia dari ingatan sehingga Anda dapat memahami masalah dan peluang di masa depan (hal.2). Schunk (2020): Belajar adalah perubahan perilaku yang bertahan lama, atau kapasitas untuk berperilaku dengan cara tertentu, yang dihasilkan dari praktik atau bentuk pengalaman lainnya. (hal.3). Denni dan Pratomo (2020) mendefinisikan learning sebagai “proses memperoleh pengetahuan, perilaku, ketrampilan, atau nilai-nilai yang baru atau berbeda.” Learning selalu melibatkan pola pikir (mindset), Ketrampilan (skillset) dan perangkat (toolset).
Jika kita merujuk pada pakar pembelajaran Susan Kruger, ada yang disebut “piramida keberhasilan pembelajaran.” Piramida ini memiliki tiga komponen utama, yang diurutkan berdasarkan kepentingannya: kepercayaan diri, pengelolaan diri, dan pembelajaran. Belajar memerlukan kepercayaan diri. Kita sering mendengar slogan, “kamu pasti bisa,” kita pasti sukses” dan sejenisnya. Ini bukan sekedar slogan tetapi mendorong timbulnya rasa keyakinan kemampuan untuk berhasil. Keyakinan adalah kunci ketika mempelajari sesuatu. Keyakinan mendorong kita untuk berusaha sekuat tenaga. Mental dipupuk untuk bisa melakukan sesuatu. Kita waktu kecil selalu ulet untuk bisa melakukan sesuatu. Dan kita percaya bisa melakukannya. Dan itu adalah naluri indah yang mulai hilang seiring bertambahnya usia.
Hal berikutnya adalah pengelolaan diri. kadang kita terlalu bersemangat untuk mendaki gunung tanpa mengelola kemampuan diri dan menata secara bertahap. Hasilnya kemungkinan kita kelelahan di tengah pendakian. Sering kita tergoda untuk terjun langsung, tetapi tanpa merencanakannya dengan benar. Akibatnya kita mungkin teralihkan, tergelincir, atau kewalahan di sepanjang jalan. Sama mahalnya dengan pembelajaran. Belajar adalah sebuah proses untuk mengelola diri. Seluruh proses persiapan ini dikenal sebagai manajemen diri, tingkat kedua dalam piramida pembelajaran. Apa yang dilakukan pada tahap ini adalah mencatat apa yang dibutuhkan untuk melaksanakan visi Anda: hal-hal seperti alat, sumber daya, waktu, dan energi.
Pola pikir diatur untuk belajar dan segala perangkat yang diperlukan. Dengan demikian kita akan bisa sampai ke pembelajaran yang sebenarnya.
Tingkat ketiga pada piramida belajar ini adalah pembelajaran. Siapa saja bisa menjadi pembelajar mandiri. Tetapi banyak orang yang salah dalam melewatkan dua langkah pertama untuk meningkatkan kepercayaan diri dan mengelola sumber daya mereka, dan itulah sebabnya mereka mengalami masalah sejak awal.
Dalam sebagian besar sejarah manusia, pendidikan selalu dalam bentuk kerja langsung (job training). Pemburu, petani, dan petarung mengajari yang muda untuk berburu, bertani, dan bertarung. Anak-anak kelas penguasa menerima pelajaran dalam seni perang dan pemerintahan, tetapi ini juga dimaksudkan terutama sebagai persiapan untuk peran yang akan mereka ambil nanti di masyarakat, bukan untuk tujuan yang lebih luas. Semua itu mulai berubah dua ribu lima ratus tahun yang lalu di Yunani kuno. Sebelum perubahan, pendidikan di Yunani berpusat pada pengembangan arête, kira-kira berarti keunggulan atau kebajikan. Bruce Kimball mencatat bahwa sepanjang studi sebagian besar melibatkan menghafal dan pembacaan puisi epik Homer. Melalui penyelaman dalam dunia dewa dan dewi, raja dan prajurit, anak-anak akan menguasai bahasa Yunani dan menyerap pelajaran, kode, dan nilai-nilai yang dianggap penting oleh elit penguasa. Pelatihan fisik adalah elemen penting dari pendidikan Yunani.”
Di SESORE job training ini dilakukan dengan memberi keleluasan peserta belajar untuk melakukan inovasi. Setiap peserta mengembara untuk menemukan dan menciptakan inovasi yang berkaitan dengan sosial forestri. Inovasi ini akan menjadi benih awal pengembangan bisnis. Para inovator sosial forestri diharapkan akan menjadi enterpreneur, baik Business enterpreneur, social enterpreneur maupun policy enterpreneur.
Belajar Mengajar di Abad 21
Naidoo (2021) mencatat bahwa gagasan tentang pengajaran dan pembelajaran di abad ke-21 membutuhkan transformasi dalam lingkungan pendidikan dan berfokus pada ‘globalisasi dan internasionalisasi.’ Belajar bisa melintasi batas-batas apapun. Belajar kini adalah tanpa batas. Guru dan siswa dituntut untuk memiliki keterampilan kritis untuk mencapai kesuksesan dalam lingkungan pendidikan abad ke-21. Keterampilan tersebut meliputi berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, pemecahan masalah dan kreativitas.
Menurut Naidoo (2021) untuk memperoleh keterampilan ini, guru perlu menggunakan model pembelajaran inovatif di mana siswa diberi kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan yang mendorong kolaborasi, komunikasi, pemikiran kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas. Keterampilan lain yang mendasar juga sangat penting seperti berpikir kreatif, otonomi, evaluasi masalah, analisis dan interpretasi, dan penalaran kehidupan nyata.
Namun belajar tentang mengembangkan pikiran kritis juga perlu pengembangan sikap kritis terhadap isu-isu sosial sambil dikaitkan dengan argumentasi dan pengambilan keputusan melalui proses “kekritisan.” Proses ini memerlukan pemikiran, refleksi dan tindakan.
Jenis kegiatan ini mendorong siswa untuk berkembang saat mereka berpartisipasi dan berinteraksi di platform global. Saat menggunakan model pembelajaran inovatif, dimungkinkan untuk melengkapi dan memperkaya pedagogi tradisional dengan presentasi multi-media dan pedagogi yang dimungkinkan oleh teknologi. Transformasi dalam pedagogi ini mendukung, memfasilitasi dan memperluas proses pembelajaran dan memberdayakan tingkat interaksi siswa dan guru yang canggih yang menjadi perancah pengajaran dan pembelajaran yang bermakna.
Selain mengubah pedagogi, untuk menjadi sukses dengan pengajaran dan pembelajaran di abad ke-21, lingkungan pendidikan juga penting untuk diubah. Transformasi ini perlu mempertimbangkan bahwa memasukkan alat berbasis teknologi dalam lingkungan pendidikan tidak cukup untuk melengkapi pedagogi yang telah berubah. Sebaliknya, lingkungan pendidikan harus fleksibel untuk menginformasikan praktik terbaik, dan ruang belajar nyata perlu direstrukturisasi untuk mendukung lingkungan pendidikan interaktif (Boothe & Clark, 2014 yang dikutip Naidoo). Lebih lanjut dituliskan bahwa melayani dan mendukung lingkungan pendidikan interaktif juga memerlukan reformasi kurikulum. Materi kurikulum harus menghubungkan pengetahuan konten dengan aplikasi dunia nyata dan situasi masalah yang memungkinkan siswa untuk memahami bagaimana pembelajaran mereka terhubung dengan kehidupan mereka dan dunia di sekitar mereka, pembelajaran harus relevan dan realistis bagi siswa.
Selain itu, belajar bukanlah usaha yang sederhana; belajar melibatkan “menguasai prinsip-prinsip abstrak, memahami bukti, mengingat informasi faktual, memperoleh metode, teknik dan pendekatan, pengakuan, penalaran, memperdebatkan gagasan, atau mengembangkan perilaku yang sesuai dengan situasi tertentu.” (Fry, Ketterridge, & Marshall, 2009 dalam Ramma et. al, 2021). Masyarakat saat ini semakin berteknologi, dan didorong oleh informasi serta kemampuan berpikir kritis pada usia dini telah menjadi kunci untuk menghadapi dan bersaing kehidupan sehari-hari (Stein, Haynes, Redding, Ennis, & Cecil, 2007; Cuban, 2001 ).
Keingintahuan merupakan modal dasar mengapa seseorang belajar. Keingintahuan mendorong seseorang untuk memulai sesuatu, mengalokasikan energi secara fokus mengobservasi dan mempelajari lingkungan melalui sensor indranya. Dan yang terpenting, semua hal tersebut berpengaruh pada kualitas belajar seseorang.
Learning merupakan kapasitas alamiah manusia untuk bertahan hidup. Adaptasi merupakan hal pertama dan utama mengapa seseorang belajar. Bayi belajar mencari puting susu ibunya agar ia tak kelaparan. Ia juga belajar merangkak lalu berjalan hingga mampu berlari untuk mendekati objek-objek yang menarik perhatiannya atau menjauhi yang tak disukainya. Bayi belajar memahami suara, lalu belajar menirukan suara agar ia bisa menyampaikan keinginan dan kebutuhannya. Inisiatif learning ini tidak pernah berhenti (dan tidak boleh berhenti) agar manusia tetap bertahan menghadapi perubahan yang terjadi di sekelilingnya.
Kecepatan perubahan dan berbagai dampaknya-saat in populer dipadankan dengan istilah disrupsi-dari waktu ke waktu mirip kurva eksponensial. Disrupsi pada setiap pergantian era industri mengubah pola hidup manusia, sekaligus mengubah lanskap sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Diperlukan waktu 150.000 tahun bagi manusia untuk belajar dan berubah dari Era Berburu dan Mengumpulkan menuju Industri 0.0 (Bertani). Diperlukan 2.000 tahun bagi manusia untuk belajar dan berubah dari Industri 0.0 ke Industri 1.0 (Revolusi Industri). Sementara itu diperlukan waktu 100 tahun bagi manusia untuk belajar dan berubah dari Industri 1.0 ke Industri 2.0 (Pengetahuan dan Informasi). Dengan kecepatan belajar yang makin tinggi maka hanya diperlukan waktu 50 tahun untuk beranjak dari Industri 2.0 ke Industri 3.0 (Komputer dan Internet). Dan hanya memerlukan 25 tahun saja manusia belajar dan berubah dari Industri 3.0 ke Industri 4.0 (Pasca-PC/Mobile/Digital). Dan diperkirakan hanya diperlukan 5 tahun berubah dari Industri 4.0 menuju ke Industri 5.0 (Rekombinasi Manusia-Mesin).
Karena itu format belajar mengajar SESORE harus juga berkesesuaian dengan perkembangan jaman. Agenda penting SESORE menuju Social Forestr Academy menuntut ekosistem belajar mengajar yang memungkinkan pembelajaran inovatif di mana siswa diberi kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan yang mendorong kolaborasi, komunikasi, pemikiran kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas. Keterampilan lain yang mendasar juga sangat penting seperti berpikir kreatif, otonomi, evaluasi masalah, analisis dan interpretasi, dan penalaran kehidupan nyata.
Belajar di Era Digital
Suatu hari di tahun 1940-an, menurut kisah akademis yang diulang-ulang secara luas, Albert Bandura, seorang psikolog di Universitas Stanford, menyaksikan orang-orang belajar bagaimana menangani ular. Saat mereka berlatih dengan mainan reptil, hampir semua orang menguasai tekniknya—pegang bagian belakang lehernya. Namun ketika mereka beralih ke ular sungguhan, beberapa siswa tidak dapat melakukannya. Untuk membuatnya bekerja, orang perlu mempelajari prosedur yang tepat, tetapi mereka juga harus percaya bahwa mereka dapat menggunakannya dengan tepat sebelum mereka mencoba dan berhasil. Tetapi belajar pada Era Digital saat ini antara menggunakan ular mainan atau sungguhan hampir tidak bisa dibedakan. Dengan perangkat Virtual Reality (VR) yakni teknologi yang menciptakan lingkungan buatan secara digital yang meniru pengalaman nyata dan memungkinkan pengguna untuk berinteraksi dengan lingkungan tersebut menggunakan perangkat khusus, seperti headset VR atau sarana interaksi lainnya. Teknologi ini telah mengalami perkembangan pesat dan menawarkan pengalaman imersif yang mendalam.
Perubahan di era Industri 5.0 sangatlah cepat. Industri 5.0 dapat terjadi dalam waktu belasan tahun ke depan. Setiap hari selalu ada inovasi di sektor industri teknologi informasi, keuangan, layanan, dan sebagainya. Organisasi-organisasi berusia ratusan tahun bertumbangan, organisasi-organisasi berusia puluhan tahun mulai kebingungan kehilangan pangsa pasar, dan organisasi belia berusia kurang dari se-puluh tahun telah mengalahkan kapitalisasi pasar pemain lama.
Banyak organisasi menjadi tidak relevan. Cara kerja lama tak lagi mempan. Strategi bisnis yang biasa jadi ketinggalan zaman dan kompetensi orang yang bangga akan masa lalu un telah karatan. Tuntutan perubahan sedemikian nata. Organisasi yang masih sibuk dengan urusan harian dan tak berorientasi masa depan akan kehilangan kesempatan dan kian jauh ketinggalan.
Manusia-manusia di era industri baru ini perlu memiliki mindset, skillset, dan toolset baru agar tak hanya tetap relevan dan mampu bertahan, namun juga terus bertumbuh dan berkembang. Satu-satuпуа cara untuk mengubah mindset, skillset, dan toolset adalah melalui learning. Diperlukan mindset learning yang berbeda, skillset learning yang berbeda, dan toolset learning yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Model learning di era masa depan ini dinamakan Learning 5.0, dan organisasi perlu mengadopsi model baru ini sedari sekarang.
Learning 5.0 dengan karakter industri rekombinasi manusia-mesin dan pendorong utamanya adalah Aritficial Intelligence maka karakter learningnya adalah distribusi. Lembaga-lembaga pembelajaran baik formal maupun non formal perlu mengembangkan model belajar yang kekinian yakni sekolah digital, virtual. Sekolah yang tidak lagi memerlukan ruang fisik. Ketrampilan utamanya adalah kecerdasan spiritual, berpikir kritis, belajar cara belajar, imajinasi, intuisi dan empati; perangkat yang digunakan apapun, big data dan machine learning; lokasi belajar berada di manapun dengan waktu belajar kapanpun dan mitra belajar siapapun atau apapaun (machine learning, virtual assistants, robot dan sebagainya).
Ruang belajar masa kini dan masa depan adalah seperti yang dibayangkan oleh Novelis Amerika, Maya Angelou, sebuah ruang belajar yang selalu diingat orang karena mengubah seseorang sehingga mampu merasa. Merasa adalah sebuah kesan yang senantiasa melekat. Perekat bagi ingatan untuk membangun peradaban baru.
‘People will forget what you said,
people will forget what you did,
but people will never forget
how you made them feel.’
Namun belajar juga merupakan perkara mengasah kebijaksanaan. Dan bagi Socrates, seperti pada epigraf di atas, “Satu-satunya kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa Anda tidak tahu apa-apa.” Karena itulah kita selalu belajar.
Bogor-Jogjakarta, 2 Agustus 2023,
diperbarui, 10 September 2024.
Nick Shackleton-Jones, How People Learn: A New Model of Learning and Cognition to Improve Performance and Education (Second edition), Kogan Page Limited, 2023.
Marie Curie: Marie Curie adalah satu-satunya wanita yang pernah memenangkan Nobel dalam dua bidang berbeda. Pada tahun 1903, ia menerima Hadiah Nobel dalam Fisika bersama suaminya, Pierre Curie, dan Henri Becquerel, karena penelitian mereka tentang radiasi. Kemudian, pada tahun 1911, ia meraih Hadiah Nobel dalam Kimia untuk penemuan dua unsur radioaktif, polonium dan radium.
Linus Pauling: Linus Pauling adalah satu-satunya individu yang pernah memenangkan dua Hadiah Nobel secara sendiri. Pada tahun 1954, ia menerima Hadiah Nobel dalam Kimia untuk penelitiannya tentang sifat ikatan kimia dan struktur molekul. Selain itu, pada tahun 1962, ia menerima Hadiah Nobel Perdamaian atas upayanya dalam kampanye melawan uji coba senjata nuklir dan advokasi untuk penghentian penyebaran senjata nuklir.
Shackleton-Jones, Nick, 2023.
Patricia G. Patrick, “Introduction: Learning Theory and Its Relationship to Research in Informal Science Learning Environments” in Patricia G. Patrick (Editor), How People Learn in Informal Science Environments (Springer Nature Switzerland AG, 2023).
ibid., “..we shall make surer and faster progress when we devote ourselves to finding out just what education is and what conditions have to be satisfied in order that education may be a reality and not a name or a slogan.”
ibid.
Lihat pada Alex Denni dan Triaji Prio Pratomo, 2020. Learning 5.1: Duluan Tiba di Masa Depan. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
ibid.
Thinknetic. Self-Learning Mastery: Self-Learning Mastery: The Self-Learner’s Handbook To Unlock Your Potential And Unleash Your Inner Genius
Fareed Zakaria. In Defense of a Liberal Education. W. W. Norton & Company Ltd., 2015
Jayaluxmi Naidoo (Ed), Teaching and Learning in the 21st Century: Embracing the Fourth Industrial Revolution. Boston : Brill Sense, 2021.
Yashwantrao Ramma, Ajeevsing Bholoa, Shobha Jawaheer,
Sandhya Gunness, Henri Tin Yan Li Kam Wah, Ajit Kumar Gopee and Deewarkarsingh Authelsingh. Teaching and Learning Science in the 21st Century: A Study of Critical Thinking of Learners and Associated Challenges dalam Jayaluxmi Naidoo (Ed), 2021.
Alex Denni dan Triaji Prio Pratomo. Learning 5.1: Duluan Tiba di Masa Depan. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2020.
ibid.
Ken Bain with Marsha Marshall Bain.. Super Courses The Future of Teaching and Learning. Princeton University Press Princeton and Oxford, 2021.
Rujukan yang bagus sekali untuk memahami lebih mendalam tentang Learning 5.0 bisa dibaca pada buku Alex Denni dan Triaji Prio Pratomo, 2020.