Sustainability 17A #52
Dwi R. Muhtaman,
sustainability partner
My absence is entirely trees.
— Mahmoud Darwish
So, having grown up in the Bay Area, I fondly remember
those Jewish national fund boxes that we would use to
collect donations to plant trees for Israel.
Years later when I visited Israel for the first time,
I saw the fruits of that effort and the Israeli ingenuity
that has truly made a desert bloom.
— Kamala Harris
Ketika masa penjajahan–kolonialisasi–, hutan atau lanskap alam menjadi wilayah khusus yang seringkali menjadi tempat produksi para penjajah. Mengokupasi lanskap dengan mengabaikan tradisi yang berlangsung ratusan tahun. Cara produksi dan pemanfaatan lanskap yang baru kemudian mengubah hubungan antarmakhluk yang memanfaatkan ekosistem yang sama. Kita lihat apa yang diingat oleh Ramson Karmushu – seorang aktivis konservasi inklusif dan kolaborator kawakan – menggambarkan Dataran Laikipia di Kenya beserta dataran rendah dan dataran tingginya sebelum pemukiman kolonial. Dengan menggali wawasan yang diwariskan dari kakek, ayah, dan para tetua di komunitasnya, Ramson merefleksikan bagaimana sistem mata pencaharian dan praktik pengelolaan padang rumput oleh masyarakat Maasai telah menciptakan lanskap yang harmonis antara manusia, hewan ternak, dan satwa liar. Namun, lanskap-lanskap ini kini semakin terbagi oleh berbagai kelompok dan spesies yang bersaing untuk mendapatkan ruang hidup.
“Keluarga saya adalah bagian dari Ilpurko Maasai, yang terdampak oleh dua perjanjian Anglo-Maasai di Kenya pada masa kolonial,” kenangnya. “Pemindahan paksa pertama terjadi pada tahun 1904, ketika semua keluarga Maasai dipindahkan dari kaki Gunung Kenya (Oldonyio Keri) ke cagar alam di sekitar Hutan Mukogodo. Hal ini dilakukan untuk menyediakan lahan bagi para penguasa kolonial Inggris, yang kemudian diberikan kepada para tentara mereka sebagai hadiah atas jasa mereka dalam perang. Banyak dari tanah ini masih ditempati oleh keturunan pemukim hingga hari ini. Semua kelompok Maasai, kecuali Ndorobo Maasai (pemburu-pengumpul), mengalami pengusiran. Dalam proses ini, padang penggembalaan Maasai yang luas berubah menjadi peternakan dan ladang pertanian milik Inggris. Menyadari bahwa suatu hari nanti bangsa Maasai akan menuntut kembali tanah mereka, pemerintah kolonial memindahkan semua Maasai sekali lagi pada tahun 1911 ke cagar alam di bagian selatan. Keluarga saya pun dipindahkan dari Laikipia ke Narok pada tahun tersebut,” mengingatnya kembali kisah pada masa itu yang dituliskan dalam pengantar sebuah buku yang saya kutip ini.
“Kakek buyut saya, yang masih muda saat itu, dipekerjakan sebagai penggembala di perkebunan milik Lord Delamere. Seorang pemukim di Laikipia bernama Merrick kemudian meminta Delamere untuk mengirimkan seorang prajurit Maasai yang bisa mengelola ternaknya, karena komunitas Meru, yang tinggal di dekat tanahnya, tidak terbiasa menggembalakan ternak. Delamere mengirimkan seorang prajurit bernama Ole Maitiko, yang tak lain adalah kakek buyut saya.”
“Namun, Ole Maitiko tidak mau pergi ke Laikipia sendirian. Ia meminta untuk membawa enam orang lainnya, termasuk Ole Mayiani, Ole Sururu, dan Ole Kesier. Sesampainya di Laikipia, Ole Maitiko menolak untuk kembali ke selatan. Ia menyadari bahwa Laikipia adalah tempat yang sangat baik untuk menggembalakan ternak. Ia mempengaruhi prajurit lain untuk tetap tinggal di sana, menikah, dan membangun kehidupan baru. Meski begitu, ia masih sering mengunjungi keluarganya di Narok hingga akhirnya meninggal jauh dari rumah. Menurut ayah saya, Ole Maitiko meninggal pada tahun 1958 dan dimakamkan di sebuah bukit bernama Olodo Moru, di jalan menuju Gotu, di tempat yang disebut Pina, jauh di luar Isiolo.”
Dampak kolonialisme terhadap masyarakat Maasai dan mengelola lanskap alamnya sangatlah besar. “Kisah keluarga saya, serta keluarga Maasai lainnya di Laikipia, sangat dipengaruhi oleh kolonialisme dan pemukiman kulit putih. Ketika saya membayangkan masa lalu tanpa kolonialisme, saya berpikir bahwa bangsa Maasai mungkin akan memilih untuk mempertahankan tanah mereka dengan sistem yang mirip dengan peternakan komunal atau tanah komunitas seperti yang ada saat ini.
Sebelum pemindahan paksa, tanah Maasai tidak memiliki pagar. Leluhur saya dari Ilaikipiak Maasai mengelola lanskap yang luas, dari Archer’s Post di sepanjang Sungai Ewaso Ng’iro (perbatasan Samburu dan Isiolo), hingga ke Nanyuki di kaki Gunung Kenya, ke arah Pegunungan Aberdares (Osupuko Lereko), Nyahururu (Enaiurur), Danau Olbolosat (Oloorpolosat), Nakuru (Nakuro), dan tanah kosong yang menghubungkan ke Hutan Mau.
Saat musim hujan tiba, mereka akan turun ke dataran rendah dari Laikipia, lalu secara bertahap kembali ke daerah sekitar Nanyuki setelah musim hujan berakhir. Sebelum hujan kembali datang, mereka membakar rumput yang sudah mengering untuk mengendalikan hama seperti kutu dan penyakit ternak. Namun, mereka tidak melakukannya sembarangan—hanya ketika memang diperlukan, saat rumput sudah terlalu tua dan tidak lagi bernutrisi. Mereka memiliki keterampilan tinggi dalam mengendalikan api agar tidak menyebar ke daerah lain yang masih memerlukan rumput segar.”
Satwa liar sangat intim hubungannya dengan masyarakat Maasai. “Mengingat kembali apa yang diajarkan kepada saya tentang masa lalu, saya bisa membayangkan betapa kaya akan satwa liar daerah ini dahulu kala. Beberapa satwa liar tetap terpisah dari ternak, seperti badak, yang darahnya kadang digunakan sebagai obat untuk mengobati penyakit parah seperti gonore—karena badak mengonsumsi banyak tanaman obat. Namun, beberapa hewan lain sering bercampur dengan ternak dan merumput bersama, seperti hartebeest. Hingga kini, tidak ada seorang pun dari komunitas saya yang membunuh atau memakan hartebeest. Itu adalah pantangan. Bahkan, para pemburu-pengumpul pun tidak pernah membunuh hartebeest. Jika saya membayangkan masa lalu, saya melihat banyak hartebeest yang merumput bersama ternak kami.”
Namun keharmonisan itu berantakan dengan kedatangan para penjajah kulit putih ke wilayah itu. Perubahan ekologis terjadi secara signifikan akibat pemukiman kolonial. “Ketika saya membayangkan kembali bagaimana lanskap dahulu, saya melihat semak-semak dan pepohonan dengan rumput tumbuh di antaranya. Beberapa bagian Il Ng’wesi, tempat banyak anggota komunitas saya tinggal dan menggembalakan ternaknya, masih terlihat seperti itu.
Dulu, Lewa Wildlife Conservancy, yang berbatasan dengan Il Ng’wesi, memiliki banyak pohon. Foto udara dari tahun 1970-an hingga 1990-an menunjukkan hal ini dengan jelas. Namun, ketika pagar-pagar listrik mulai dibangun untuk mengontrol pergerakan satwa liar atas nama ‘konservasi’, gajah-gajah yang terperangkap di dalamnya mulai merusak semua pepohonan, hingga hanya menyisakan padang rumput. Jadi, ketika saya memejamkan mata, saya membayangkan lanskap yang hijau, penuh dengan rumput, pepohonan, ternak, dan satwa liar—sebuah masa di mana peternak tidak begitu terdampak oleh kekeringan seperti saat ini.”
Pengenalan jenis ternak baru pada lanskap alami di lingkungan Maasai telah berdampak terhadap lingkungan sekitar. “Dulu, ternak Maasai adalah spesies asli yang tidak rakus dalam merumput. Domba Maasai – yang berukuran lebih kecil dan berwarna merah, terutama di bagian kepala – lebih umum dijumpai dibandingkan dengan domba Merino dan Black-Headed Persian yang diperkenalkan oleh pemukim Eropa. Jenis domba yang diperkenalkan ini merumput dengan sangat agresif, bahkan hingga mencabut akar rumput, sehingga tanah menjadi tandus dan sulit pulih setelah hujan. Saya pernah berpikir untuk membudidayakan domba Maasai asli, seperti yang masih bisa ditemukan di antara Maralal dan Baragoi. Namun, kenyataannya, bahkan domba yang saya pelihara sekarang adalah hasil persilangan—bukan lagi domba asli, melainkan domba yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.”
Berita baiknya menurut Ramson Karmushu meskipun kolonialisme dan pemukiman kulit putih telah mengubah ekologi di wilayah ini secara drastis, sistem ekologi alternatif yang sudah ada sebelumnya masih bertahan dan berpotensi untuk dipulihkan di masa depan. Pemulihan ini tentu bukan hal mudah. Diperlukan berbagai perangkat sosial budaya yang mampu mengembalikan kepercayaan pada hubungan alami dan harmonis masyarakat asli dan ekosistem sekitarnya.
Dari Dataran Laikipia di Kenya dengan masyarakat Maasainya kita berpindah ke the Occupied Palestinian Territory atau yang dikenal sebagai Israel. Israel adalah penjajah yang terlambat datang. Dengan dukungan para sekutu penjajah senior, Inggris, Amerika, Jerman, mereka menduduki wilayah Palestina. Pada dunia bagian ini kemanusiaan dipertaruhkan. Semua nilai-nilai peradaban (khusus yang selalu menjadi senjata Barat dalam memaksa negara-negaar lain) menghadapi ujian berat. Dan semua (negara, aktifis, organisasi) yang mempromosikan peradaban Barat–nilai demokrasi, kemanusiaan, kebebasan pers, perlindungan masyarakat sipil dan seterusnya–sama sekali tidak ada artinya. Wajah yang sebenarnya terkuak. Kemunafikan tak terbantahkan. Di Tanah Air Palestina itu semua kebohongan negara-negara, para imperialis dan kolonialis terpaparkan dengan terang benderang. Palestina telah membongkar semua kemunafikan dunia. Bahkan ada kutipan yang pertama kali muncul di Twitter pada tahun 2014, dalam sebuah cuitan yang berbunyi: “Today nearly everything is made in China…except for courage- it’s made in Palestine.” Ini menggambarkan betapa dunia telah begitu berhutangbudi pada masyarakat dan para pejuang Palestina. Begitu banyak pelajaran yang telah ditorehkan pada jejak peradaban dunia. Penjajah Israel dengan segala propaganda dan dukungan negara-negara Barat mengerahkan segala daya upaya untuk menghapus segala api perlawanan dan menghapus noda darah yang ditumpahkan. Salah satunya dengan menghutankan wilayah-wilayah pendudukan.
Dan hutan yang digunakan sebagai upaya reforestasi kini juga dimanipulasi sebagai alat untuk menghapus jejak-jejak kebiadabannya. Kebiadaban zionisme. Penanaman hutan hanya satu bagian kecil dari upaya menghapus sejarah peradaban dan masyarakat yang tumbuh, berkembang dan berbuah di Tanah Air Palestina itu.
Saree Makdisi merekam jejak-jejak penghutanan wilayah pendudukan itu. Di puncak bukit di sisi barat Yerusalem, tulisnya, berdiri monumen-monumen paling sakral bagi Zionisme. Di sana, Theodor Herzl, pendiri Zionisme modern, dimakamkan. Taman Peringatan di dekatnya mencakup makam berbagai perdana menteri dan presiden Israel, termasuk Golda Meir, Yitzhak Rabin, Shimon Peres, dan Chaim Herzog. Di lereng utara bukit yang sama terdapat pemakaman militer nasional. Sementara di tepi baratnya terdapat Yad Vashem, Pusat Peringatan Holocaust Dunia—museum Holocaust paling otoritatif di dunia dan salah satu perhentian wajib bagi para pemimpin asing yang berkunjung ke Israel, di mana tur mereka di negara itu biasanya berpuncak di tempat ini.
Sebagai satu kesatuan, kompleks di puncak bukit ini mengekspresikan pemahaman Israel tentang identitasnya, klaimnya atas tanah, kepahlawanan para pemimpin dan tentaranya, serta hubungan semua elemen ini dengan bencana Holocaust. Menurut narasi yang dibangun Israel tentang dirinya sendiri, memastikan tragedi semacam itu tidak pernah terjadi lagi membutuhkan negara yang berani dan pionir, yang berkomitmen tidak hanya untuk mempertahankan dirinya sendiri tetapi juga melindungi bangsa Yahudi secara keseluruhan. Melalui bahasa situs-situs peringatan ini, nilai-nilai yang ingin diproyeksikan Israel—dan yang secara aktif diidentifikasikan dengan dirinya sendiri—termasuk kehilangan, ingatan, penderitaan, komunitas, kewajiban moral, toleransi, demokrasi, pembaruan, perlindungan, penyelamatan, penebusan, kewaspadaan, kepahlawanan, kebenaran, dan kekuatan.
Pengunjung Yad Vashem didorong untuk menikmati area luar museum yang menawarkan pemandangan lanskap sekitarnya, di mana kampus museum ini dengan hati-hati dan sengaja diintegrasikan—klaim atas tanah itu sendiri, bagaimanapun, adalah bagian integral dari proyek yang ingin direpresentasikan oleh kompleks ini. Tepat di seberang dan sedikit di bawah museum, banyak area luar ruangan museum ini menghadap langsung ke hutan pinus yang baru ditanam, yang menjalar dari lembah di seberangnya hingga ke lereng bukit, di mana berdiri deretan blok beton yang tampak kaku dan tidak menarik dari kota pemukiman Israel, Giv’at Shaul.
Di antara dan di belakang pepohonan, pengunjung Yad Vashem dapat (jika mereka mau) dengan jelas melihat rumah-rumah tua dari batu, bercampur dengan pohon-pohon lain selain deretan pinus yang ditanam secara rapat—pohon carob, almond, dan tunggul pohon zaitun. Rumah-rumah ini adalah sisa-sisa desa Deir Yassin, lokasi salah satu pembantaian paling mengerikan terhadap warga sipil Palestina oleh militan Zionis selama pembersihan etnis Palestina tahun 1948. Bagi rakyat Palestina, Deir Yassin adalah simbol dari Nakba itu sendiri.
Deir Yassin adalah sebuah desa kecil Palestina yang terletak di barat Yerusalem, yang menjadi simbol penderitaan dan ketidakadilan bagi rakyat Palestina. Desa ini terkenal karena peristiwa pembantaian yang terjadi pada 9 April 1948, ketika kelompok paramiliter Zionis, Irgun dan Lehi (dikenal sebagai Stern Gang), menyerang desa tersebut dan membantai ratusan penduduknya. Pembantaian ini tidak hanya menghilangkan nyawa orang-orang tak berdosa, tetapi juga memainkan peran besar dalam eksodus massal warga Palestina selama Nakba (malapetaka) 1948.
Deir Yassin kini telah “dihapus” dari peta Israel dan sejarahnya ditutupi oleh pembangunan baru, tetapi ingatan akan desa ini tetap hidup di hati rakyat Palestina. Dalam cerita ini, kita akan menggali sejarah desa, kehidupan masyarakatnya, peristiwa tragis yang terjadi, serta dampaknya bagi Palestina hingga hari ini.
Sebelum 1948, Deir Yassin adalah sebuah desa agraris yang damai dengan populasi sekitar 600 orang. Desa ini dikenal karena hasil pertaniannya yang subur, terutama pohon zaitun, almond, dan kebun anggur. Penduduknya hidup dalam harmoni, sebagian besar adalah Muslim Sunni, tetapi juga memiliki hubungan baik dengan komunitas Yahudi di sekitarnya. Desa yang penuuh dengan kedamaian.
Deir Yassin memiliki pabrik kecil dan penggilingan gandum, serta sekolah dasar untuk anak-anak. Arsitektur desa mencerminkan gaya tradisional Palestina, dengan rumah-rumah batu sederhana yang dibangun mengikuti kontur perbukitan. Masyarakatnya dikenal sebagai orang-orang pekerja keras dan memiliki budaya gotong royong yang kuat.
Sebelum Perang 1948, Deir Yassin telah menandatangani perjanjian damai dengan tetangga Yahudi mereka di Givat Shaul, sebuah permukiman Yahudi yang berbatasan langsung dengan desa ini. Kesepakatan ini mencerminkan niat baik kedua belah pihak untuk hidup berdampingan secara damai—sebuah fakta yang membuat pembantaian yang terjadi kemudian menjadi lebih tragis.
Pembantaian Deir Yassin (9 April 1948)
Pada 9 April 1948, kelompok paramiliter Zionis Irgun dan Lehi menyerang Deir Yassin dalam upaya memperluas wilayah kendali mereka sebelum pendirian negara Israel. Serangan ini dilakukan dalam konteks Plan Dalet, strategi militer Zionis untuk menguasai wilayah Palestina dan mengusir penduduk Arab setempat.
Kronologi Kejadian:
– Dini hari: Sekitar 120-150 anggota Irgun dan Lehi mengepung desa.
– Serangan dimulai: Para pejuang Zionis menghadapi perlawanan dari sejumlah kecil penduduk desa yang hanya memiliki sedikit senjata. Namun, desa segera dikepung dan diserang dari berbagai sisi.
– Pembunuhan massal: Setelah desa jatuh, pasukan Zionis mulai mengeksekusi penduduk tanpa pandang bulu, termasuk perempuan, anak-anak, dan orang tua.
– Pemerkosaan dan kekejaman lainnya: Beberapa sumber menyebutkan bahwa sebelum dibunuh, beberapa perempuan diperkosa dan anak-anak ditembak dari jarak dekat.
– Eksekusi tahanan: Sejumlah pria yang menyerah dibawa ke pusat desa, dipaksa berbaris, lalu ditembak satu per satu.
– Pawai mengerikan: Beberapa korban selamat, terutama perempuan dan anak-anak, dipaksa berkeliling Yerusalem Barat untuk “menunjukkan” kekuatan Zionis, sebelum akhirnya diusir dari wilayah tersebut.
Sumber-sumber berbeda memberikan angka korban yang bervariasi, tetapi diperkirakan antara 107 hingga lebih dari 250 orang tewas.
Meskipun Israel berusaha menghapus jejak Deir Yassin, ingatan tentang desa ini tetap hidup di hati rakyat Palestina. Ingatan kolektif Palestina yang tak akan pernah pudar. Setiap tahun, rakyat Palestina memperingati peristiwa ini sebagai bagian dari Nakba dan sebagai pengingat akan penderitaan yang mereka alami.
Bagi banyak orang Palestina, Deir Yassin bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi melambangkan bagaimana kejahatan perang bisa disembunyikan dan dihapus dari narasi resmi oleh negara yang berkuasa. Peristiwa ini juga menjadi simbol perlawanan, karena meskipun banyak warga Palestina terusir dari tanah mereka, identitas dan sejarah mereka tetap dijaga melalui generasi ke generasi.
Deir Yassin bukan hanya desa kecil yang hilang dalam perang; ia adalah simbol luka kolektif rakyat Palestina. Pembantaian yang terjadi di sana memainkan peran kunci dalam pembersihan etnis Palestina pada 1948 dan menjadi pengingat akan ketidakadilan yang masih berlangsung.
Hari ini, di mana nama Deir Yassin telah dihapus dari peta dan situsnya ditutupi oleh permukiman dan institusi Israel, rakyat Palestina tetap menjaga ingatan akan desa ini melalui cerita, peringatan tahunan, dan dokumentasi sejarah. Tragedi ini mengingatkan dunia akan pentingnya keadilan historis dan hak rakyat Palestina untuk diakui, diingat, dan diperjuangkan.
“Bagi rakyat Palestina, Deir Yassin tidak pernah benar-benar hilang. Ia hidup dalam ingatan, dalam kisah-kisah yang diceritakan dari generasi ke generasi, dan dalam semangat perjuangan mereka untuk keadilan dan hak untuk kembali.”
Dalam peristiwa-pertistiwa apapun di atas situs Deir Yassin tak pernah menyebut kosakata itu. “Tak perlu dikatakan, tulis Makdisi, “tidak ada satu pun penyebutan tentang Deir Yassin dalam kompleks peringatan yang menghadapinya. Apa yang tersisa dari desa itu dengan hati-hati telah dibuat menghilang ke dalam hutan atau di antara blok-blok beton Giv’at Shaul. Beberapa rumah yang masih berdiri telah direnovasi dan dijadikan bagian dari Pusat Kesehatan Mental Kfar Shaul (fakta bahwa lokasi pembantaian diubah menjadi rumah sakit jiwa mungkin mencerminkan penyakit psiko-politik yang lebih luas). Makam-makam Deir Yassin yang hancur tertimbun oleh sampah dan puing-puing dari jalan yang melintas di atasnya.
Brosur yang mendeskripsikan Hutan Yerusalem, yang ditanam di atas tanah desa itu oleh Jewish National Fund tak lama setelah bencana 1948, sama sekali tidak menyebut Deir Yassin. Sebaliknya, brosur tersebut menyoroti “Nations Grove,” yang terletak tepat di jantung hutan yang ditanam di lokasi pembantaian itu. Setelah mengunjungi Yad Vashem, “para kepala negara dari seluruh dunia diundang untuk menanam pohon yang melambangkan perdamaian, kerja sama, dan persaudaraan.”
Deir Yassin tidak muncul di peta mana pun di Israel. Desa itu dengan telah dengan cermat—bahkan hampir seperti melalui operasi bedah—dibuat menghilang; dihapus dari keberadaannya.”
Ketika pada tahun 2006, Neta Shoshani, seorang mahasiswa seni Israel, mencoba mengakses arsip pemerintah Israel tentang Deir Yassin, ia dilarang melihat materi yang lebih “sensitif,” meskipun larangan akses luar biasa Israel selama lima puluh tahun (sementara sebagian besar negara lain membatasi akses arsip rahasia hingga tiga puluh tahun) telah berakhir delapan tahun sebelumnya, pada 1998.
Tanpa bukti arsip yang hilang itu, Shoshani tetap berhasil membuat film dokumenter tentang pembantaian tersebut, dengan wawancara dari saksi mata kejadian dan dampaknya. Salah satu orang yang diwawancarainya adalah Profesor Mordechai Gichon, seorang letnan kolonel di cadangan militer Israel, yang pada saat pembantaian merupakan perwira intelijen Haganah—salah satu organisasi paramiliter yang menjadi cikal bakal tentara Israel.
“Menurut saya, itu terlihat seperti pogrom,” kata Gichon, yang meninggal pada 2016. “Jika Anda menduduki posisi militer, itu bukan pogrom, bahkan jika seratus orang terbunuh. Tetapi jika Anda memasuki wilayah sipil dan mayat-mayat berserakan di mana-mana—maka itu terlihat seperti pogrom. Ketika para Cossack menyerbu lingkungan Yahudi, maka seharusnya tampak seperti ini.”
Setelah permohonan Shoshani, sebuah komite menteri rahasia pemerintah Israel secara retroaktif memperpanjang larangan akses ke arsip Deir Yassin hingga 2012. Setelah bertahun-tahun melalui prosedur hukum, Shoshani, yang saat itu telah bergabung dengan surat kabar Ha’aretz, mengajukan petisi hingga ke Mahkamah Agung Israel. Setelah meninjau bukti dokumenter secara pribadi, para hakim Mahkamah Agung memperpanjang larangan akses ke arsip itu tanpa batas waktu.
Kontras antara Yad Vashem dan Deir Yassin dengan jelas menangkap argumen utama buku Makdisi: Tolerance is a wasteland: Palestine and the culture of denial. Salah satu hal yang dipertaruhkan di sini adalah sejauh mana penegasan satu situs secara langsung berkaitan dengan penyangkalan dan penindasan situs lainnya. Palestina, tentu saja, memperingati Deir Yassin dan situs-situs lain yang telah dilipat secara strategis ke dalam lanskap baru Israel. Namun ingatan, jejak, arsip, bahkan situs fisik Deir Yassin telah dihapus dan ditutupi secara material, figuratif, hukum, dan wacana oleh negara Israel.
Deir Yassin telah dihapus dari semua catatan dan peta. Tidak ada tanda jalan menuju ke sana; tidak ada penanda peringatan atau plakat yang didedikasikan bagi para korban pembantaian. Desa itu telah ditutupi dengan segala cara yang mungkin, baik melalui hutan yang ditanam di atas reruntuhannya maupun dengan mengintegrasikan rumah-rumah yang tersisa ke dalam kota Israel yang baru dengan nama yang sepenuhnya berbeda. Trauma dan sejarahnya benar-benar tak terlihat.
Di sisi lain, Yad Vashem, yang dibangun tepat di atas Deir Yassin setelah pembantaian, dalam banyak hal lebih dari sekadar situs keagamaan di Yerusalem—ia adalah rumah spiritual Israel, menangkap asal-usul, misi, serta janji yang selalu ditekankan: “tidak akan pernah melupakan.”
Satu situs ditutupi dan disangkal; situs lainnya, dibangun tepat di atasnya, ditekankan dengan keras. Bahkan para pemimpin asing yang berkunjung dipaksa untuk ikut serta dalam narasi ganda ini—penyangkalan melalui penegasan—ketika mereka menanam pohon di lokasi pembantaian Deir Yassin atas nama “perdamaian” dan “persaudaraan,” bukan untuk memperingati para korban, tetapi untuk semakin mengklaim ruang itu bagi peringatan Yad Vashem.
Frasa “My absence is entirely trees” seperti pada epigraf artikel ini yang saya kutip langsung dari buku Makdisi, dikaitkan dengan penyair Palestina Mahmoud Darwish. Kalimat ini mencerminkan kritik tajam Darwish terhadap praktik Israel menanam hutan di atas reruntuhan desa-desa Palestina yang telah dikosongkan, sehingga secara efektif menghapus jejak keberadaan mereka dari lanskap. Meskipun puisi spesifik yang memuat kalimat ini tidak secara eksplisit disebutkan dalam sumber yang tersedia, maknanya sangat mencerminkan keterikatan mendalam Darwish dengan tanah Palestina serta tema pengusiran dan ingatan yang kerap muncul dalam karyanya. Pemikiran ini dibahas dalam buku Tolerance Is a Wasteland karya Saree Makdisi, di mana ia menginterpretasikan kata-kata Darwish sebagai bentuk perlawanan terhadap penghapusan jejak keberadaan Palestina yang disimbolkan oleh hutan-hutan tersebut.
Penanaman hutan di atas desa-desa Palestina yang dikosongkan terutama terkait dengan upaya Dana Nasional Yahudi (Jewish National Fund atau JNF) setelah Nakba, peristiwa eksodus besar-besaran rakyat Palestina pada tahun 1948. Selama pembentukan Negara Israel, sekitar 750.000 warga Palestina diusir atau melarikan diri dari rumah mereka. Banyak dari desa-desa yang ditinggalkan kemudian ditutupi dengan hutan dan taman sebagai bagian dari program penghijauan Israel. Praktik ini telah banyak dikritik sebagai bentuk penghapusan sejarah, yang bertujuan untuk menghilangkan secara fisik dan simbolis jejak sejarah dan keberadaan Palestina. Kutipan epigraf kedua dari Kemala Harris, Wakil Presiden AS era Biden, menegaskan betapa modus penghapusan keberadaan masyarakat jajahan melalui narasi penghijauan disambut dengan sukacita.
Peran Dana Nasional Yahudi (JNF)
JNF, yang didirikan pada tahun 1901 untuk membeli dan mengembangkan tanah bagi pemukiman Yahudi, memainkan peran penting dalam proyek penghijauan di seluruh Israel. Setelah 1948, alih-alih mengizinkan pengungsi Palestina kembali ke desa mereka, pemerintah Israel yang baru berdiri mentransfer tanah-tanah desa yang dikosongkan kepada negara atau JNF. Banyak dari tanah ini kemudian dihijaukan dengan dalih pemulihan lingkungan.
Beberapa contoh utama penghijauan yang menggantikan desa Palestina yang dihancurkan meliputi:
– Taman Kanada (Canada Park) – Dibangun di atas reruntuhan desa Imwas, Yalo, dan Beit Nuba yang dikosongkan dan dihancurkan oleh pasukan Israel selama Perang Enam Hari 1967.
– Hutan Lavi (Lavi Forest) – Ditanam di atas sisa-sisa desa Lubya.
– Hutan Afrika Selatan (South Africa Forest) – Dibangun di atas reruntuhan desa Zakariyya.
– Hutan Duta Besar (Ambassadors Forest) – Menutupi bekas desa Al-Dawayima.
– Hutan Yerusalem (The Jerusalem Forest) – Sebagian menutupi desa Ein Karem.
Bagi zionis ISrael penghijauan merupakan alat penting sebagai sarana penghapusan jejak sejarah. Tiga hal bisa dicapai sekaligus. Responsif pada isu lingkungan yang menjadi agenda penting negara-negara di dunia sehingga mengesankan perhatian yang luar biasa zionis pada isu-isu lingkungan, mendirikan pemukiman dan situs-situs baru bagi kepentingan perluasan wilayah Israel dan menghapuskan sejarah, fisik, dan segala atribut peradaban masyarakat asli rakyat Palestina yang sah atas wilayah-wilayah pendudukan tersebut.
Proyek penghijauan ini memiliki beberapa tujuan. Selain mencegah para pengungsi Palestina kembali dengan mengubah lanskap secara fisik, proyek ini juga berperan dalam membentuk narasi sejarah baru yang menghapus bukti kehidupan Palestina sebelumnya. Dengan menggantikan desa-desa yang telah dihancurkan dengan hutan dan taman, seolah-olah tidak pernah ada komunitas yang tinggal di sana sebelumnya.
Sejarawan Israel Ilan Pappé dan para akademisi Palestina menyebut tindakan ini sebagai bentuk memoricide—penghapusan sistematis sejarah dan identitas Palestina. Hutan-hutan ini tidak hanya berfungsi sebagai proyek lingkungan, tetapi juga sebagai alat politik untuk memperkuat klaim teritorial Israel.
Refleksi Budaya dan Sastra
Mahmoud Darwish, dalam puisi-puisinya, sering kali menyinggung transformasi tanah Palestina ini. Kalimatnya, “My absence is entirely trees,” dimaknai sebagai refleksi atas bagaimana ketidakhadiran Palestina—akibat pengusiran dan penghapusan sejarah—digantikan secara harfiah oleh pepohonan yang tumbuh di tempat di mana desa-desa mereka pernah berdiri.
Hingga hari ini, praktik ini masih menjadi isu yang diperdebatkan, dengan aktivis Palestina dan kelompok hak asasi manusia terus mengangkat permasalahan terkait kebijakan lahan Israel dan dampaknya terhadap rakyat Palestina. Banyak dari desa-desa Palestina yang dikosongkan akibat konflik Arab-Israel tahun 1948 telah diubah menjadi kawasan rekreasi Israel, seperti taman nasional dan hutan buatan. Transformasi ini sering kali melibatkan penghancuran total bangunan yang ada, sehingga jejak komunitas asli pun lenyap. JNF memainkan peran utama dalam proses ini, dengan lebih dari dua pertiga hutan dan situsnya—46 dari 68—didirikan di atas reruntuhan desa-desa Palestina.
Saat ini, area-area tersebut ditandai oleh hutan lebat, area piknik, dan jalur pendakian, yang secara efektif mengalihkan fungsi lahan menjadi ruang publik sekaligus menyembunyikan signifikansi sejarahnya. Sebagai contoh, tanah dari 182 desa Palestina—hampir setengah dari desa-desa yang dikosongkan pada tahun 1948—kini termasuk dalam batas taman alam dan ruang rekreasi Israel.
Penghijauan dan perubahan fungsi lahan ini banyak dikritik sebagai bentuk greenwashing, di mana proyek-proyek lingkungan digunakan untuk menutupi penghapusan sejarah dan kehadiran Palestina. Lanskap asli yang pernah menjadi rumah bagi komunitas yang dinamis telah diubah sedemikian rupa sehingga identitas masa lalunya tidak lagi dapat dikenali, digantikan oleh fasilitas rekreasi yang mendukung narasi yang berbeda.
Beberapa organisasi multinasional telah mendukung proyek penghijauan di Israel, sering kali bekerja sama dengan JNF. Sebagai contoh, Arbor Day Foundation, sebuah organisasi nirlaba internasional yang berfokus pada penanaman pohon, bermitra dengan JNF-USA pada tahun 2023 untuk pertama kalinya dalam upaya menanam pohon di Israel. Kemitraan ini bertujuan untuk memulihkan kawasan hutan yang terdampak kebakaran liar. Selain itu, berbagai cabang internasional JNF telah mendanai proyek penghijauan di Israel. KKL-JNF Austria, misalnya, telah mendukung pendirian Hutan Austria dan Hutan Wina.
Penting untuk dicatat bahwa beberapa proyek penghijauan ini didirikan di atas tanah yang dulunya merupakan desa-desa Palestina yang dikosongkan. Para kritikus berpendapat bahwa proyek-proyek ini digunakan untuk mengaburkan sejarah dan keberadaan desa-desa tersebut, suatu praktik yang sering disebut sebagai greenwashing.
Meskipun perusahaan multinasional mungkin tidak terlibat secara langsung, kemitraan dan pendanaan internasional ini tetap berkontribusi pada inisiatif penghijauan di Israel.
Melakukan penghutanan, reboisasi atau penghijauan sebuah kawasan seharusnya merupakan sebuah tindakan yang baik. Tetapi bagi pemerintah atau entitas pendudukan apapun selalu mempunyai agenda yang berbeda. Menanam pohon, menghutankan sebuah wilayah adalah untuk menghapuskan jejak-jejak kejahatan. Ini seperti apa yang disampaikan Silencing the Past: Power and the Production of History karya Michel-Rolph Trouillot: peran kekuasaan dalam membentuk narasi sejarah. Trouillot berpendapat bahwa sejarah tidak hanya tentang apa yang dicatat, tetapi juga tentang apa yang dihilangkan atau dibungkam. Ia memperkenalkan konsep bahwa narasi sejarah pada dasarnya adalah “kumpulan keheningan,” di mana suara dan peristiwa tertentu secara sengaja atau tidak sengaja diabaikan, sehingga membentuk bagaimana sejarah dipahami dan diingat. Inilah juga apa yang dilakukan terhadap masyarakat adat Amerika (Native American).
Erasure adalah salah satu senjata paling kuat dalam kolonialisme. Dengan menghapus identitas dan eksistensi penduduk asli, penjajah tidak hanya menguasai tanah mereka tetapi juga mengontrol ingatan dan masa depan mereka. Ini bukan sekadar dominasi fisik, tetapi juga dominasi naratif yang berusaha menyingkirkan sejarah dan klaim eksistensi suatu bangsa. Dalam kasus Palestina, Afrika, Amerika, dan Australia, penghapusan ini dilakukan dengan cara yang sistematis—dan dalam beberapa kasus, masih berlangsung hingga hari ini.
Keberlanjutan adalah tentang mengingat jejak-jejak lama yang tanpa itu kita akan selalu mengulangi hal-hal yang buruk dan mengabaikan hal-hal baik yang telah dicapai sebelumnya. Sustainability is about remembering past traces, for without them, we will continually repeat past mistakes and overlook the good that has been achieved before.
i Makdisi, S. (2022). Tolerance is a wasteland: Palestine and the culture of denial. University of California Press.
ii Enns, C., & Bersaglio, B. (2024). Settler ecologies: The enduring nature of settler colonialism in Kenya. University of Toronto Press.
iii Meskipun cuitan itu sering dikaitkan dengan Anthony Bourdain, namun atribusi ini tidak akurat. Menurut Snopes, tidak ada bukti bahwa Bourdain pernah mengucapkan kalimat tersebut.
iv Makdisi, S. (2022). Tolerance is a wasteland: Palestine and the culture of denial. University of California Press.
v Pembantaian ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga memiliki dampak strategis dalam pembersihan etnis Palestina.
– Efek Psikologis dan Pengusiran Massal
Berita tentang pembantaian menyebar dengan cepat ke desa-desa Palestina lainnya, menyebabkan kepanikan besar. Banyak penduduk Palestina di wilayah lain, yang takut mengalami nasib yang sama, mulai meninggalkan rumah mereka dan menjadi pengungsi. Deir Yassin menjadi simbol Nakba, di mana lebih dari 700.000 warga Palestina diusir dari tanah air mereka.
– Dampak Politik
Setelah serangan, kelompok Zionis seperti Haganah (cikal bakal Angkatan Pertahanan Israel) mencoba menjaga jarak dari peristiwa ini, menyadari bahwa pembantaian tersebut dapat mencoreng reputasi Zionisme di mata dunia. Namun, para pemimpin Zionis lain menggunakan tragedi ini untuk menakut-nakuti komunitas Arab dan mempercepat eksodus mereka.
– Penghapusan Jejak Deir Yassin
Setelah 1948, desa ini dihapus dari peta, dan tanahnya diambil alih oleh Israel. Di tempat desa ini, kemudian dibangun Kfar Shaul Mental Health Center, sebuah rumah sakit jiwa. Banyak rumah asli penduduk Deir Yassin yang masih berdiri telah diubah dan digunakan sebagai bagian dari rumah sakit ini. Kuburan desa tertutup oleh sampah dan puing-puing, dan nama Deir Yassin tidak pernah disebut dalam catatan resmi Israel.
Berikut adalah beberapa buku yang mengupas secara mendalam peristiwa Deir Yassin, baik dalam bentuk analisis sejarah maupun karya sastra:
1. “The Massacre That Never Was: The Myth of Deir Yassin and the Creation of the Palestinian Refugee Problem” oleh Eliezer Tauber
Buku ini menawarkan perspektif yang berbeda mengenai peristiwa Deir Yassin, dengan analisis mendalam tentang mitos seputar kejadian tersebut dan dampaknya terhadap masalah pengungsi Palestina.
2. “Palestina dalam Prosa Mahmud Darwish: Tinjauan Strukturalisme Genetik” oleh Nurul Hidayah
Karya ilmiah ini menganalisis prosa penyair Palestina, Mahmud Darwish, yang sering mengangkat tema penderitaan dan perjuangan rakyat Palestina, termasuk peristiwa-peristiwa seperti Deir Yassin.
3. “Narasi Katastrop Palestina 1948 + Masakre Deir Yassin”
Buku ini membahas secara komprehensif tentang Nakba Palestina pada tahun 1948, termasuk pembantaian di Deir Yassin, dengan fokus pada pembersihan etnis yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Zionis.
4. “IDEOLOGI PERLAWANAN DALAM PUISI PROSA Z|A <KIRAH LI AN …”
Karya ilmiah ini mengkaji ideologi perlawanan dalam puisi prosa, yang mungkin mencakup referensi ke peristiwa-peristiwa seperti Deir Yassin dalam konteks perjuangan Palestina.
Buku-buku ini memberikan berbagai perspektif mengenai peristiwa Deir Yassin, baik dari sudut pandang sejarah maupun sastra, dan dapat menjadi referensi berharga bagi mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang tragedi tersebut.
vi It has carefully and almost surgically been made to disappear. Frasa “carefully and almost surgically” menunjukkan bahwa proses menghilangkan sesuatu dilakukan dengan sangat hati-hati, presisi, dan terencana, seolah-olah menggunakan teknik pembedahan yang teliti.
vii Hutan Afrika Selatan (South Africa Forest) adalah salah satu proyek reforestasi yang dilakukan oleh Dana Nasional Yahudi (Jewish National Fund/JNF) di wilayah Israel. Proyek ini melibatkan penanaman pohon di atas lahan yang sebelumnya merupakan desa-desa Palestina yang dihancurkan atau dikosongkan selama konflik Arab-Israel pada pertengahan abad ke-20. Salah satu desa yang terkena dampak adalah Zakariyya, yang penduduknya dipindahkan pada tahun 1948. Di atas reruntuhan desa ini, JNF mendirikan Hutan Afrika Selatan sebagai bagian dari upaya penghijauan dan untuk menandai keterlibatan komunitas Yahudi Afrika Selatan dalam mendukung proyek Zionis di Israel. Proyek ini dimulai pada pertengahan abad ke-20, selama periode ketika Afrika Selatan masih berada di bawah rezim apartheid. Pada masa itu, terdapat hubungan diplomatik dan militer antara pemerintah apartheid Afrika Selatan dan Israel. Delegasi dari Afrika Selatan, termasuk pejabat pemerintah dan perwakilan komunitas Yahudi, diketahui telah mengunjungi Israel dan berpartisipasi dalam berbagai proyek, termasuk penanaman hutan.
Sistem apartheid di Afrika Selatan berakhir pada awal 1990-an. Pada tanggal 27 April 1994, negara tersebut mengadakan pemilihan umum multirasial pertama, menandai transisi menuju pemerintahan demokratis dan mengakhiri era apartheid. Pendirian Hutan Afrika Selatan di atas lahan bekas desa Zakariyya mencerminkan kompleksitas sejarah dan hubungan internasional pada masa itu, serta dampak dari kebijakan kolonial dan konflik terhadap komunitas lokal.
viii Gregg, R. (1997). Review of Silencing the Past: Power and the Production of History, by Michel-Rolph Trouillot. The History Teacher, 30(4), 533-534.
Ulasan Robert Gregg terhadap buku Silencing the Past: Power and the Production of History karya Michel-Rolph Trouillot menyoroti argumen utama buku ini tentang peran kekuasaan dalam membentuk narasi sejarah. Trouillot berpendapat bahwa sejarah tidak hanya tentang apa yang dicatat, tetapi juga tentang apa yang dihilangkan atau dibungkam. Ia memperkenalkan konsep bahwa narasi sejarah pada dasarnya adalah “kumpulan keheningan,” di mana suara dan peristiwa tertentu secara sengaja atau tidak sengaja diabaikan, sehingga membentuk bagaimana sejarah dipahami dan diingat.
Gregg menekankan pendekatan unik yang digunakan Trouillot, yang berbeda dari metode sejarah konvensional. Sementara sebagian besar sejarawan memulai dari fakta-fakta yang sudah mapan dan membangun narasi darinya, Trouillot justru memulai dari keheningan itu sendiri, menganalisis cara-cara bagaimana sejarah tertentu ditekan atau diabaikan. Pendekatan ini memungkinkan dia untuk mengungkap mekanisme di mana kekuasaan memengaruhi dokumentasi sejarah dan ingatan kolektif.
Salah satu contoh utama yang dieksplorasi oleh Trouillot adalah Revolusi Haiti. Ia berargumen bahwa revolusi ini secara sistematis diremehkan atau disalahartikan dalam catatan sejarah. Meskipun revolusi tersebut merupakan peristiwa besar dalam Era Revolusi, para sejarawan dan tokoh politik kontemporer berusaha untuk mengecilkan signifikansinya, menggambarkannya sebagai sesuatu yang kacau atau tidak terpikirkan, daripada mengakui bahwa itu adalah pemberontakan yang berhasil dipimpin oleh para budak dan memiliki dampak global yang mendalam.
Gregg mengapresiasi kemampuan Trouillot dalam menggabungkan analisis sejarah dengan teknik sastra, membandingkan gaya penulisannya dengan novelis seperti Toni Morrison dan Michelle Cliff. Karya Trouillot digambarkan sebagai berada “di antara kebenaran dan fiksi,” yang menunjukkan bagaimana narasi sejarah dikonstruksi dan diperdebatkan.
Ulasan ini juga membahas kritik Trouillot terhadap positivisme dalam studi sejarah—keyakinan bahwa kebenaran sejarah yang objektif dapat ditemukan tanpa bias. Trouillot menantang gagasan ini dengan berargumen bahwa kekuasaan memengaruhi setiap tahap produksi sejarah, mulai dari apa yang didokumentasikan hingga bagaimana hal itu diinterpretasikan dan disajikan. Gregg mencatat bahwa kesadaran diri Trouillot sebagai seorang sejarawan semakin memperkaya analisisnya.
Secara keseluruhan, Gregg memuji Silencing the Past sebagai karya yang penting dan menggugah pemikiran. Buku ini mengungkap keheningan yang tersembunyi dalam narasi sejarah dan menantang pembaca untuk memikirkan kembali bagaimana sejarah diproduksi serta siapa yang mengendalikan penyampaiannya.
ix Zinn, H. (1980). A people’s history of the United States. Harper & Row. Buku ini menunjukkan bagaimana sejarah Native American dihapus.